• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Pembahasan

2.2 Komunikasi terapeutik

Pengukuran kecemasan yang dilakukan peneliti sebelum komunikasi terapeutik didapati yang tidak ada kecemasan 15,4%, cemas ringan 23,1%, sedang 53,8%, cemas berat 7,7% dan cemas sekali 0%. Sedangkan pengukuran kecemasan yang dilakukan peneliti setelah komunikasi terapeutik di dapati bahwa responden yang tidak ada kecemasan sebesar 61,5%, cemas ringan 30,8%, cemas sedang 7,7%, cemas berat 0%, cemas 0%. Berdasarkan data diatas rata-rata terdapat penurunan kecemasan yang dialami responden.

Hasil uji paired t-test dependent pada taraf kepercayaan 95% (α=0,05), untuk mengetahui pengaruh komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan responden yang akan menjalani seksio sesarea bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan setelah pemberian komunikasi terapeutik yaitu cemas sedang 53,8% menjadi tidak ada kecemasan 61,5%. hasil uji paired t-test dependent diperoleh nilai ρ=0,000 menunjukkan terdapat perbedaan yang

signifikan terhadap penurunan tingkat kecemasan responden sebelum dan setelah dilakukan komunikasi terapeutik dengan mean 2,54 menjadi 1,46.

Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong ekspresi perasaan dan ide, serta menyampaikan penerimaan dan penghargaan. Dibutuhkan latihan berulang-ulang sehingga semakin terampil dan nyaman dalam mengerjakannya karena kepuasan besar akan timbul dari keberhasilan membentuk hubungan terapeutik dan pencapaian hasil klien yang diinginkan (Potter & Perry, 2009). Komunikasi terapeutik pada ibu bersalin secara seksio sesarea adalah suatu cara yang digunakan untuk menurunkan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea.

Menurut Fatmawati dan Musliha (2010) komunikasi terapeutik memegang peranan yang sangat penting untuk membantu pasien dalam memecahkan masalahnya. Dalam era kemajuan seperti komunikasi dari perawatan sebagai orang yang terdekat dengan pasien menjadi hal yang sangat penting baik secara verbal maupun non verbal dalam membantu pasien. Untuk itu perawat sebagai komponen penting dalam proses keperawatan sangat dituntut untuk mampu berkomunikasi karena pandangan mata, mimik, senyum, sentuhan tidak dapat diganti oleh peralatan canggih apapun.

Sebelum bertemu dan melakukan komunikasi terapeutik terhadap responden, peneliti perlu mempersiapkan dirinya sebelum bertemu dengan ibu yang memiliki latar belakang dan karakter yang berbeda dengan melihat catatan medik ibu, sehingga peneliti lebih siap dalam menghadapi ibu yang akan menjalani seksio sesarea. Pada saat bertemu dengan ibu, peneliti memulai

menyapa ibu, memperkenalkan diri dan tujuan, meminta izin menjadi responden dan membuat kontrak waktu, kemudian bertanya tentang keadaan dan perasaan ibu saat itu. Teknik ini dilakukan supaya pasien terlibat secara aktif dalam melakukan interaksi, termasuk memberikan informasi mengenai kondisi yang sedang dialaminya, hal ini sejalan dengan penelitian Nugroho (2009) berusaha mengetahui keadaan pasien melalui komunikasi dengan memberi kesempatan kepada paien untuk menjelaskan kondisinya. Peneliti menemukan berbagai macam respon responden pada tahap awal, dimana ada responden yang bersifat cuek atau tidak peduli, selalu tersenyum dan ramah, da nada juga yang ketakutan. Pada saat pengumpulan data peneliti memberi kesempatan kepada responden untuk menceritakan keadaan mereka dan responden terlihat senang ketika ada orang yang berusaha mendengarkan keluhan merekameskipun responden pada tahap awal terlihat gugup dan menaruh curiga ketika disapa, setelah ditanya mereka khawatir apakah wawancara yang akan berlangsung berdampak negatif atau mempersulit keadaan mereka dikemudian. Hal ini sesuai dengan respon afektif perilaku cemas dimana seseorang akan menaruh curiga dan bingung berlebihan terhadap orang lain sebagai bentuk dari reaksi emosi terhadap kecemasan.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi hampir sebagian besar ibu yang akan menjalani proses operasi seksio sesarea mengalami kecemasan tentang situasi yang akan mereka alami dikarenakan tidak mengerti persalinan yang akan dihadapinya atau faktor ketidakpercayaan terhadap tim medis yang akan melakukan tindakan dan mereka sangat membutuhkan penjelasan yang baik dari

tim medis terutama perawat yang bertanggung jawab diruangan tersebut karena tindakan sering dilakukan oleh para mahasiswa yang sedang dinas diruangan. Namun di lain sisi ibu cenderung merasa takut untuk bertanya tentang informasi operasi seksio sesarea kepada tim medis, sehingga lebih bertanya kepada orang lain.Akibatnya, ibu semakin merasa bahwa hal yang akan mereka jalani akan sangat menakutkan dan bisa menyebabkan kematian baik kepada ibu maupun janinnya sendiri sehingga hal itu membuat ibu tidak tenang dalam menantikan masa-masa kelahiran. Oleh sebab itu, aspek pengetahuan tentang operasi seksio sesarea yang akan mereka jalani sangatlah penting untuk membantu pasien menjadi lebih tenang karena banyak dari pasien yang merasa khawatir dan ketakutan menjalani operasi. Sama seperti Notoadmodjo (2007) yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi perilaku individu, yang mana semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang kesehatan, makin tinggi untuk berperan. Sehingga komunikasi terapeutik menjadi sangat dibutuhkan oleh pasien terlebih bagi pasien yang akan menjalani operasi seksio sesarea.

Dilain hal diagnosa juga membuat seorang ibu merasa cemas dengan keadaan yang dialaminya. Salah seorang responden yang mengalami kelumpuhan dikedua tangannya merasa khawatir dalam perawatan anaknya kelak sehingga tidak siap untuk menjalani operasi seksio sesarea. Lamanya proses penyembuhan luka operasi juga turut membuat ibu merasa khawatir dengan operasi seksio sesarea dikarenakan ibu juga turut membantu suami dalam mencari nafkah. Aspek spiritual juga menjadi sangat penting dalam menurunkan kecemasan ibu yang merasa ketakutan untuk situasi yang akan dihadapinya, ketika ibu kembali

diingatkan untuk lebih berserah kepada Tuhan dan percaya bahwa operasi seksio sesarea adalah jalan terbaik, ibu merasa tenang dan lebih kuat dari sebelumnya. Sehingga, respon ibu sebelum komunikasi terapeutik berbeda setelah dilakukan komunikasi terapeutik

Dari hasil penelitian pengukuran kecemasan yang dilakukan peneliti sebelum komunikasi terapeutik didapati bahwa rata-rata terdapat penurunan kecemasan yang dialami ibu. Meskipun demikian komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh peneliti tidak maksimal karena hanya dilakukan dengan 1x pertemuan dalam dalam rentang waktu yang terbatas. Hal ini sesuai dengan penelitian Nugroho (2009) yang mengatakan bahwa komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang berproses pada pengembangan. Proses komunikasi terapeutik di awali dengan perkenalan yang dangkal, namun terus berkembang menjadi hubungan yang semakin akrab. Bahkan komunikasi tidak hanya terjadi dalam proses perawatan, tetapi bisa juga diluar asuhan keperawatan. Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik dapat mengurangi kecemasan. Oleh karena itu, perawat yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pasien, seharusnya tidak hanya berkolaborasi dengan tenaga profesional lain tetapi dapat langsung memberikan intervensi keperawatan dan salah satunya adalah melakukan komunikasi terapeutik kepada pasien.

Namun komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh peneliti dengan rentang waktu yang singkat membuat tingkat keterbukaan ibu tentang perasaan yang dialaminya tidak maksimal. Sebagian ibu terlihat enggan untuk bercerita

banyak tentang perasaan yang sedang dialaminya terlebih ketika keluarga yang menemani ibu merupakan salah satu faktor penyebab peningkatan kecemasan ibu.Hambatan dalam berkomunikasi juga menjadi salah satu hal penting dimana komunikasi terapeutik tidak berjalan dengan baik. Dimana perbedaan bahasa membuat peneliti kurang mengerti tentang apa yang sedang dirasakan ibu meskipun ada keluarga yang menjelaskan kembali apa yang sedang dirasakan ibu.

Dokumen terkait