EFEKTIFITAS KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP
PENURUNAN KECEMASAN IBU BERSALIN SEKSIO
SESAREA DI RSUD dr. PIRNGADI MEDAN
SKRIPSI
OLEH
BENITA APSALEHMI ZENDRATO
101101116
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus karenapenyertaan-Nyayang sempurna penulis bisa menyelesaikan skripsiini dengan judul “Efektifitas
Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Kecemasan Ibu Bersalin
Seksio Sesarea di RSUD dr. Pirngadi”. Skirpsiini merupakantugas akhir yang
harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa S-1 keperawatan sebelum memperoleh gelar sarjana keperawatan di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada saat penyusunan skripsi penulis telah mendapat banyak bimbingan, arahan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
2. Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II dan Ikhsanuddin A Harahap, S.Kp, MNS
selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
3. Siti Saidah Nasution, SKp, MKep, Sp. Mat selaku dosen pembimbing yang
4. Cholina Trisa Siregar, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.KMB selaku dosen pembimbing
akademikyang telah banyak membantu selama belajar di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
5. Reni Asmara Ariga, S.Kp, M.A.R.S selaku dosen penguji I dan Nur Asiah, S.Kep, Ns, M. Biomed selaku dosen penguji II yang memberikan masukan dan saran.
6. Papa (Ar. Zendrato) dan mama (Ros. Hulu) yang luar biasa serta kakak dan adik. Terimakasih banyak buat setiap doa dan dukungan baik secara moril
maupun materi hingga penulis tetap kuat dan tidak menyerah.
7. Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan yang memberikan izin penelitian dan Direktur RSU Haji Adam Malik Medan yang memberikan izin untuk
reliabilitas.
8. Para responden yang berpartisipasi meluangkan waktu untuk pengisian
kuesioner.
9. Rekan-rekan mahasiswa stambuk 2010 S1 Keperawatan Universitas
Sumatera Utara dan semua sahabat yang belum penulis sebutkan satu per
Penulis berdoa semoga Tuhan Yesus yang penuh kasih melimpahkan berkat
dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah banyak membantu. Penulis juga menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan baik
dari segi penulisan maupun dari tata bahasanya, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, terkhusus ilmu keperawatan.
Medan, Juli 2014
Daftar Isi
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Prakata ... iii
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Komunikasi Terapeutik... 6
1.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik ... 6
1.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik ... 6
1.3 Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik ... 6
1.4 Karakteristik Komunikasi Terapeutik ... 7
1.5 Teknik Komunikasi Terapeutik ... 7
1.6 Fase-Fase Komunikasi Terapeutik ... 9
1.7 Teknik Komunikasi Terapeutik yang Kurang Tepat... 10
1.8 Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan ... 10
2. Konsep Persalinan Seksio Sesarea ... 12
2.1 Pengertian Persalinan Seksio Sesarea ... 12
2.2 Indikasi Seksio Sesarea ... 12
2.3 Kontra Indikasi Seksio Sesarea ... 13
2.5 Evidance Based Prosedur Seksio Sesarea ... 13
2.6 Kebutuhan Ibu Selama Persalinan ... 14
3. Konsep Kecemasan ... 15
3.1 Pengertian Kecemasan ... 15
3.2 Karakteristik Kecemasan ... 15
3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan ... 16
3.4 Tingkat Kecemasan ... 16
3.5 Respon Perilaku Cemas ... 18
3.6 Pengukuran Tingkat Kecemasan ... 19
3.7 Kecemasan Pada Ibu Hamil ... 21
BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konsep ... 22
2. Defenisi Operasional ... 22
BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 26
2. Populasi dan Sampel ... 27
2.1Populasi ... 27
2.2Sampel ... 27
2.3Teknik Sampling ... 27
3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28
4. Pertimbangan Etik ... 28
5. Instrumen Penelitian ... 29
6. Uji Validitas dan Reliabilitas Penelitian ... 30
6.1 Uji Validitas ... 30
6.2 Uji Reliabilitas ... 30
7. Pengumpulan Data ... 30
8. Analisa Data ... 31
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian. ... 34
1.1Data Demografi ... 33
1.3Efek Komunikasi Terapeutik ... 37
2. Pembahasan ... 38
2.1Kecemasan sebelum dan sesudah komunikasi terapeutik ... 38
2.2Komunikasi terapeutik ... 42
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 48
2. Saran ... 49
Daftar Pustaka ... 50
Lampiran 1. Informed Consent ... 53
2. Lembar Kuesioner ... 55
3. Panduan Komunikasi Terapeutik ... 60
4. Jadwal Tentatif Penelitian ... 63
5. Taksasi Dana ... 64
6. Riwayat Hidup ... 65
7. Uji Reliabilitas ... 66
8. Uji Keabnormalan Data ... 68
9. Data Demografi ... 71
10.Data Instrumen ... 75 11.Surat Survey Awal
12.Surat Pernyataan Keaslian Terjemahan 13.Surat Uji Validitas
14.Surat Izin Reliabilitas 15.Surat Selesai Uji reliabilitas
16.Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan FKep 17.Surat Izin Pengambilan Data
Daftar Tabel
Tabel 3.1 Defenisi Operasional ... 23 Tabel 5.1 Distribusi frekuensi data demografi responden di RSUD dr.
Pirngadi Medan tahun 2014 ... 35 Tabel 5.2 Gambaran tingkat kecemasan responden sebelum dan sesudah
Daftar Skema
Skema 2.1 Rentang cemas ... 18
Judul : Efektifitas Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Kecemasan Ibu Bersalin Seksio Sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan
Peneliti : Benita Apsalehmi Zendrato
NIM : 101101116
Jurusan : Ilmu Keperawatan (S1 Keperawatan)
Tahun : 2014
ABSTRAK
Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong ekspresi perasaan dan ide serta penyampaian penerimaan dan penghargaan terhadap klien. Desain penelitian ini adalah quasi experiment dengan menggunakan one group pretest-posttest yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea. Penelitian dilaksanakan di RSUD dr. Pirngadi Medan mulai tanggal 07 Maret – 07 Mei 2014 dengan jumlah sampel 26 orang dan menggunakan metode accidental sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, yang terdiri dari 2 bagian, yaitu data demografi dan tingkat kecemasan responden. Pada hasil analisa data dibuat dalam bentuk tabel distribusi dan frekuensi, yang dikategorikan dengan tidak ada kecemasan, cemas ringan, cemas sedang, cemas berat, dan cemas berat sekali (panik). Hasil penelitian menggunakan paired t-test dependentUji t-test menghasilkan rata-rata nilai kecemasan sebelum komunikasi terapeutik 2,54 dengan standar deviasi (SD) 0,859 dan rata-rata nilai kecemasan setelah komunikasi terapeutik 1,46 dengan standar deviasi (SD) 0,647 dan
dengan tingkat signifikansi 95% (α=0,05) didapatkan bahwa nilai ρ=0,000<0,05
yang berarti memiliki hubungan yang signifikan dan Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik efektif terhadap penurunan kecemasan ibu bersalinan seksio sesarea. Komunikasi terapeutik memilki peran yang sangat penting dalam membantu proses penyembuhan seorang pasien terutama untuk menurunkan tingkat kecemasan seseorang. Oleh sebab itu, seorang perawat harus meningkatkan komunikasi terapeutik yang baik dengan pasien.
Title : The Effectiveness Of Therapeutic Communication To
Decrease The Anxiety Of Maternity Mother Cesarean Section Name Of Student : Benita Apsalehmi Zendrato
Student Number : 101101116
Program : Bachelor Of Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
Therapeutic communication is a specific response that encourages expression of feelings and ideas as well as delivery of acceptance and respect for the client. Design of the research is quasi experiment using one group pretest-posttest aims to find out the effectiveness of therapeutic communication to decrease anxiety of maternity mother cesarean section. Research was carried out at dr. Pirngadi general hospital Medan starting on 07 March-07 Mei 2014 with a total sample of 26 people with accidental sampling method. Data collection is carried out using a questionnaire, wich consists of two parts, namely the data demographics and anxiety level of the respondents. Data is made analysis in the form of table data distribution and frequencies, which are categorized with no anxiety, anziety, mild anxiety, and severe anxiety (panic). Research results using pairet t-test dependent. T-test. Test resulted a average value of anxiety before the therapeutic communication 2.54 with a standart deviation (SD) 0.89 and average values of anxiety after a therapeutic communication 1.46 with standart deviation (SD) 0.64 and with 95% significant level deviatioan 95% (a=0.05) found that the value
ρ=0.000<0.05 meaning that Ha accepted. It can be concluded that therapeutic
communication is effective against anxiety decrease of maternity mother sction. Therapeutic communication has a very important role in helping the process of healing a patient primarily to lower a person’s anxiety level. Therefore, a nurse must enchance the therapeutic communication with patient.
Judul : Efektifitas Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Kecemasan Ibu Bersalin Seksio Sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan
Peneliti : Benita Apsalehmi Zendrato
NIM : 101101116
Jurusan : Ilmu Keperawatan (S1 Keperawatan)
Tahun : 2014
ABSTRAK
Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong ekspresi perasaan dan ide serta penyampaian penerimaan dan penghargaan terhadap klien. Desain penelitian ini adalah quasi experiment dengan menggunakan one group pretest-posttest yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea. Penelitian dilaksanakan di RSUD dr. Pirngadi Medan mulai tanggal 07 Maret – 07 Mei 2014 dengan jumlah sampel 26 orang dan menggunakan metode accidental sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, yang terdiri dari 2 bagian, yaitu data demografi dan tingkat kecemasan responden. Pada hasil analisa data dibuat dalam bentuk tabel distribusi dan frekuensi, yang dikategorikan dengan tidak ada kecemasan, cemas ringan, cemas sedang, cemas berat, dan cemas berat sekali (panik). Hasil penelitian menggunakan paired t-test dependentUji t-test menghasilkan rata-rata nilai kecemasan sebelum komunikasi terapeutik 2,54 dengan standar deviasi (SD) 0,859 dan rata-rata nilai kecemasan setelah komunikasi terapeutik 1,46 dengan standar deviasi (SD) 0,647 dan
dengan tingkat signifikansi 95% (α=0,05) didapatkan bahwa nilai ρ=0,000<0,05
yang berarti memiliki hubungan yang signifikan dan Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik efektif terhadap penurunan kecemasan ibu bersalinan seksio sesarea. Komunikasi terapeutik memilki peran yang sangat penting dalam membantu proses penyembuhan seorang pasien terutama untuk menurunkan tingkat kecemasan seseorang. Oleh sebab itu, seorang perawat harus meningkatkan komunikasi terapeutik yang baik dengan pasien.
Title : The Effectiveness Of Therapeutic Communication To
Decrease The Anxiety Of Maternity Mother Cesarean Section Name Of Student : Benita Apsalehmi Zendrato
Student Number : 101101116
Program : Bachelor Of Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
Therapeutic communication is a specific response that encourages expression of feelings and ideas as well as delivery of acceptance and respect for the client. Design of the research is quasi experiment using one group pretest-posttest aims to find out the effectiveness of therapeutic communication to decrease anxiety of maternity mother cesarean section. Research was carried out at dr. Pirngadi general hospital Medan starting on 07 March-07 Mei 2014 with a total sample of 26 people with accidental sampling method. Data collection is carried out using a questionnaire, wich consists of two parts, namely the data demographics and anxiety level of the respondents. Data is made analysis in the form of table data distribution and frequencies, which are categorized with no anxiety, anziety, mild anxiety, and severe anxiety (panic). Research results using pairet t-test dependent. T-test. Test resulted a average value of anxiety before the therapeutic communication 2.54 with a standart deviation (SD) 0.89 and average values of anxiety after a therapeutic communication 1.46 with standart deviation (SD) 0.64 and with 95% significant level deviatioan 95% (a=0.05) found that the value
ρ=0.000<0.05 meaning that Ha accepted. It can be concluded that therapeutic
communication is effective against anxiety decrease of maternity mother sction. Therapeutic communication has a very important role in helping the process of healing a patient primarily to lower a person’s anxiety level. Therefore, a nurse must enchance the therapeutic communication with patient.
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Seorang perawat tidak akan mampu menolong klien jika tidak mengetahui
kebutuhan klien tersebut. Di butuhkanketerampilan komunikasi yang baik dari seorang perawat agar bisa mendapatkaninformasi tentang kliennya serta mampu
menolongnya.Menurut Arwani (2003)komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku secara keseluruhan baik secara langsung
dengan lisan maupun tidak langsung melalui media. Komunikasi sangat penting dilakukan demi tercapainya kebahagiaan hidup kita dan seorang perawat dapat
menggunakan teknik komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan klien.Komunikasi menjadi dasar utama dalam mengimplementasikan asuhan keperawatan yang akan diberikan perawat kepada klien termasuk kepada ibu
hamil yang akan menghadapi proses persalinan secara seksio sesarea.
Persalinan adalah proses ketika janin, plasenta, dan membran dikeluarkan
melalui jalan lahir. Ketika ibu tidak mampu melahirkan tanpa bantuan medis atau bedah maka metode alternatif yang digunakan adalah persalinan dengan seksio sesarea.Seksio sesarea adalah prosedur operatif yang dilakukan dibawah anastesi
sehingga janin, plasenta, dan ketuban dilahirkan melalui insisi dinding abdomen dan uterus (Myles, 2009).
persalinan di negara berkembang. Di Indonesia persentase operasi seksio sesarea
sekitar 30% di rumah sakit pemerintah. Sedangkan angka kejadian persalinan seksio sesarea menurut data RSUD dr. Pirngadi Medan jumlah ibu bersalin seksio
sesarea tahun 2011 mencapai 365 orang dan pada tahun 2012 menjadi 369 orang (Kabid. Pengolahan Data & Rekam Medis RSUD dr. Pirngadi, 2013).
Proses persalinan seksio sesarea tidak hanya melibatkan proses fisiologis
ibu, akan tetapiproses psikologis juga turut berperan. Bahkan terkadang hambatan psikologis lebih besar pengaruhnya dibandingkan fisik.Ketika ibu sangat cemas
dan takut menghadapi persalinan, secara otomatis otak mengatur tubuh untuk merasakan nyeri yang lebih. Akibatnya, proses persalinan akan semakin sulit (Danuatmaja & Meiliasari, 2004).
Menurut Sheldon (2009) saat pasien berhadapan dengan ancaman kesehatan dan kesejahteraannya reaksi alami yang muncul adalah
kecemasan.Cemas merupakan perasaan takut atau gelisah yang tidak nyaman dan sumber perasaan ini bisa diketahui maupun tidak dan timbul dengan intensitas yang berbeda. Sedangkan menurut Maryunani (2010) kecemasan seorang ibu
dalam menghadapi proses persalinan seksio sesarea terkadang dikarenakan oleh rasa cemas apakah operasinya akan berjalan lancar dan bayinya sehat atau cacat,
rasa takut kepada darah, takut sakit, takut terjadi gangguan saat operasi. Selanjutnya rasa sakit dan cemas dapat memberikan pengaruh tidak baik.
Melihat berbagai bentuk kecemasan yang muncul pada ibu yang akan
seksio sesarea harus di atasi.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yusnita
(2012) terhadap 4 ibu yang telah melewati proses persalinan diketahui bahwa ke empat ibu tersebut mengatakan takut dan cemas serta merasa gelisah dan tegang
dalam menghadapi proses persalinan, tetapi kecemasannya dapat berkurang ketika perawat memberikan penjelasan terhadap pernyataan maupun keluhan yang dirasakannya. Ketika komunikasi di dalam ruang bersalin berjalan dengan lancar
maka kebanyakan ibu akan merasa nyaman dan senang dengan pelayanan perawat. Dengan demikian, mereka tidak khawatir dengan proses persalinan yang
akan dihadapi. Salah satu cara untuk mengatasi kecemasan tersebut adalah dengan komunikasi terapeutik.
Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong
ekspresi perasaan dan ide serta menyampaikan penerimaan dan penghargaan. Dibutuhkan latihan berulang-ulang sehingga semakin terampil dan nyaman dalam
mengerjakannya karena kepuasan besar akan timbul dari keberhasilan membentuk hubungan terapeutik dan pencapaian hasil klien yang diinginkan (Potter & Perry, 2009).
Keterampilan komunikasi terapeutik yang baik akan membedakan antara asuhan keperawatan rata-rata dengan asuhan keperawatan yang sangat baik.
Mendengar keluhan ibu, menjelaskan hal yang akan dihadapi ketika proses persalinan seksio sesarea, rasa nyaman berupa dorongan atau motivasi terutama dalam hal psikologis terkadang diabaikan oleh seorang perawat. Padahal, kualitas
Seorang perawat dapat membantu klien mengatasi masalah yang
dihadapinya melalui komunikasi terapeutik (Suryani, 2006).Dengan demikian, komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan dan dirancang untuk
tujuan terapi sehingga mempercepat proses penyembuhan klien. Dari pernyataan di atas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektivitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan kecemasan ibu bersalin
seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana efektifitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan?
3. Tujuan Penelitian
3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan.
3.2Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan ibu bersalin seksio sesarea sebelum
dilakukan komunikasi terapeutik di RSUD dr. Pirngadi.
b. Untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan ibu bersalin seksio sesarea setelah dilakukan komunikasi terapeutik di RSUD dr. Pirngadi.
4. Hipotesa
Hipotesa penelitian ini adalah hipotesa alternatif (Ha). Ha dalam hal ini adalah komunikasi terapeutik efektif terhadap penurunan kecemasan ibu
bersalinan seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan.
5. Manfaat Penelitian
5.1Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tambahan bagi
pendidikan keperawatan mengenai efektifitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan kecemasan ibu bersalinan seksio sesarea.
5.2Pelayanan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna bagi pelayananan kesehatan dalam hal memberikan intervensi atau tindakan.
5.3 Penelitian Keperawatan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan data dasar untuk peneliti selanjutnya mengenaiefektifitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Komunikasi Terapeutik
1.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong ekspresi perasaan dan ide, serta menyampaikan penerimaan dan penghargaan.
Dibutuhkan latihan berulang-ulang sehingga semakin terampil dan nyaman dalam mengerjakannya karena kepuasan besar akan timbul dari keberhasilan membentuk
hubungan terapeutik dan pencapaian hasil klien yang diinginkan (Potter & Perry, 2009).
1.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Menurut Suryani (2006) komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih positif atau adaptif dan
diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi: (1) Realisasi diri, penerimaan diri, peningkatan kesadaran, dan penghargaan diri; (2) Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung dengan orang
lain dan mandiri; (3) Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis; (4) Rasa identitas personal yang
jelas dan peningkatan integritas diri.
1.3 Prinsip Dasar komunikasi Terapeutik
Menurut Nurhasanah (2010) prinsip komunikasi terdiri dari beberapa,
kesetaraan; (3)Kualitas hubungan perawat dengan klien ditentukan oleh
bagaimana perawat mendefinisikan dirinya sebagai manusia (human); (4)Perawat menggunakan dirinya dengan teknik pendekatan yang khusus untuk memberi
pengertian dan mengubah perilaku klien; (5) Perawat harus menghargai keunikan klien karena perawat memahami perasaan dan perilaku klien dengan melihat latar belakang; (6) Komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi
maupun penerima pesan; (7) Trustharus dicapai terlebih dahulu sebelum identifikasi masalah dan alternative problem solving; (8)Trust adalah kunci dari
komunikasi terapeutik.
1.4 Karakteristik Komunikasi Terapeutik
Menurut Arwani (2003) karakteristik komunikasi terapeutik adalah (1)
Keikhalasan (genuineness) seorang perawat yang menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki klien. Perawat menunjukkan rasa ikhlas dan tidak akan
menolak segala bentuk perasaan negatif yang dipunyai klien bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien; (2) Empati (emphaty) perawat terhadap perasaan yang dialami klien; (3) Kehangatan (warmth) perawat dimana tercipta
hubungan yang saling membantu (helping relationship) dan memberi kesempatan klien untuk menceritakan keadaan dan nilai yang dianutnya secara bebas.
1.5 Teknik Komunikasi Terapeutik
Perawat dapat menyampaikan komunikasi terapeutik terhadap klien dengan mempergunakan teknik komunikasi terapeutik seperti yang di sebutkan
a. Mendengarkan (Listening)
Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk bicara. Perawat harus menjadi pendengar yang
aktif.
b. Pertanyaan terbuka (Broad Opening)
Teknik ini memberi kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
sesuai kehendak klien tanpa membatasi. c. Mengulang (Restarting)
Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien.
d. Klarifikasi
Bila perawat ragu, tidak mendengar, tidak jelas atau klien berhenti karena
malu mengemukakan informasi atau informasi yang diperoleh tidak lengkap. e. Refleksi
Reaksi perawat dan klien selama berlangsungnya komunikasi. Teknik refleksi
ini berguna untuk mengetahui dan menerima ide dan perasaan, mengoreksi, dan memberi keterangan lebih jelas.
f. Membagi persepsi
g. Identifikasi Tema
Latar belakang masalah yang dialami klien yang muncul selama percakapan. Gunanya untuk meningkatkan pengertian dan mengeksplorasi masalah yang
penting. h. Diam (Silent)
Tujuannya memberi kesempatan berpikir dan memotivasi klien untuk bicara
ketika diberi pertanyaan. Pada klien yang menarik diri, teknik diam berarti perawat menerima klien.
i. Informing
Memberi informasi dan fakta untuk pendidikan kesehatan. j. Saran
Memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan.
1.6 Fase-Fase Komunikasi Terapeutik
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Dalami dkk., 2009) fase komunikasi terapeutik dibagi 4 yaitu: (1) Pra interaksi dimulai sebelum kontak pertama
dengan klien, perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan
klien dapat dipertanggungjawabkan. Tugas tambahan pada fase ini adalah mendapatkan informasi tentang klien dan menentukan kontak pertama; (2) Perkenalan atau orientasi dimulai saat bertemu dengan klien. Hal utama yang
pikiran, perasaan, perbuatan klien dan mengidentifikasi masalah serta
merumuskan tujuan bersama klien; (3) Fase kerja dimulai ketika perawat mengeksplorasi stressor dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan
menghubungkan persepsi, pikiran, perasaan dan perbuatan klien.Perawat membantu klien mengatasi kecemasan, meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab diri sendiri; (4) Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan
klien dimana perawat mengevaluasi pencapaian tujuan dan perasaan klien setelah berinteraksi.
1.7 Teknik Komunikasi Terapeutik yang Kurang Tepat
Menurut Nurhasanah (2010) teknik komunikasi terapeutik yang kurang tepat yaitu: (1) Memberi jaminan dengan hasil yang belum pasti untuk maksud
menenangkan; (2) Memberikan penilaian terhadap nilai-nilai yang dianut klien; (3) Memberi komentar klise yang terlalu umum; (4) Memberi saran yang tidak
tepat kepada klien sehingga ketika saran tidak mampu mengatasi masalah maka klien akan menyalahkan perawat; (5) Mengubah pokok pembicaraan sehingga berorientasi kepada perawat; (6) Defensif sehingga menghambat klien dalam
mengungkapkan perasaanya.
1.8 Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan
a. Pengkajian yang terdiri dari : menentukan kemampuan seseorang dalam
proses informasi, mengevaluasi data tentang status mental pasien untuk menentukan batas intervensi, mengevaluasi kemampuan klien dalam
tingkat kecemasan klien sehingga dapat mengantisipasi intervensi yang
dibutuhkan (Mubarak dkk., 2007 dalam Nurhasanah, 2010).
b. Diagnosa yang terdiri dari : analisa tertulis dari penemuan pengkajian, sesi
perencanaan tim kesehatan, diskusi dengan klien dan keluarga untuk menentukan metode implementasi, membuat rujukan.
c. Rencana Tujuan yang terdiri dari : rencana asuhan tertulis, membantu klien
memenuhi kebutuhan sendiri, membantu klien agar dapat menerima pengalaman yang pernah dirasakan, meningkatkan harga diri klien,
meningkatkan dukungan, perawat dan klien sepakat untuk berkomunikasi secara terbuka, implementasi, memperkenalkan diri kepada klien, memulai interaksi dengan klien, membantu klien menggambarkan pengalaman
pribadinya, mengajurkan klien mengungkapkan perasaan kebutuhannya, menggunakan komunikasi untuk meningkatkan harga diri klien.
d. Implementasi yang terdiri dari : memperkenalkan diri kepada klien, memulai interaksi dengan klien, membantu klien untuk dapat menggambarkan pengalaman pribadinya, menganjurkan kepada klien untuk dapat
mengungkapkan perasaan kebutuhannya, menggunakan komunikasi untk dapat mengungkapkan kebutuhannya.
e. Evaluasi yang terdiri dari : mengembangkan kemampuan dalam memenuhi
2. Konsep Persalinan Seksio Sesarea
2.1 Pengertian Seksio Sesarea
Persalinan adalah proses ketika janin, plasenta, dan membran dikeluarkan
melalui jalan lahir. Ketika ibu tidak mampu melahirkan tanpa bantuan medis atau bedah maka metode alternatif yang digunakan adalah persalinan dengan seksio sesarea.Seksio sesarea adalah prosedur operatif yang dilakukan dibawah anastesi
sehingga janin, plasenta, dan ketuban dilahirkan melalui insisi dinding abdomen dan uterus (Myles, 2009).Sedangkan menurut Cuningham dkk.(2009) seksio
sesarea adalah kelahiran janin melalui insisi dinding abdomen dan dinding uterus. 2.2 Indikasi Seksio Sesarea
Menurut Oxorn (2003) indikasi seksio sesarea pada ibu yaitu : (1) Distosia
(panggul sempit) terjadi ketika ketidakseimbangan dimana panggul memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding ukuran bayi; (2) Pembedahan sebelumnya pada
uterus dimana terdapat kebiasaan ketika prosedur sesarea dikerjakan maka pada persalinan selanjutnya harus diakhiri dengan cara yang sama; (3) Perdarahan hebat dengan indikasi plasenta previamaka diperlukan tindakan seksio sesarea
untuk menyelamatkan bayi dan ibu; (4) Toxemia gravidarum dapat menyebabkan pengakhiran kehamilan sebelum waktunya. Jika serviks belum matang dan
induksi sukar terlaksana maka dikerjakan dengan seksio sesarea; (5) Indikasi fetal terjadi ketika gawat janin yang ditunjukkan denyut jantung yang tidak stabil dan bradikardia berat; (6) selain itu, terdapat indikasi sosial ketika peningkatan
2.3 Kontra Indikasi Seksio Sesarea
Seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan atau keselamatan ibu dan janin. Oleh sebab itu, seksio sesarea tidak boleh dilakukan dalam keadaan berikut
ini: (1) Janin sudah mati dalam kandungan atau berada dalam keadaan jelek sehingga kemungkinan hidup kecil; (2) Terjadi infeksi yang luas pada jalan lahir dan fasilitas untuk caesarea extraperitoneal tidak tersedia: (3) Dokter bedah tidak
berpengalaman atau tidak tersedia tenaga asisten yang memadai (Oxorn, 2003). 2.4 Mortalitas dan Morbiditas Sesudah Seksio Sesarea
Resiko kematian ibu yang menyertai seksio sesarea adalah 26 kali lebih besar daripada kelahiran pervaginam, peningkatan risiko kematian ibu pada pembedahannya sendiri sebanyak 10 x lipat. Dengan begitu penggunaan seksio
sesarea untuk melindungi bayi dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi ibu. Sebab-sebab kematian ibu adalah perdarahan, infeksi, anastesi, emboli
paru-paru, toxemia gravidarum.Morbiditas terjadi dalam 2 hari dari 10 hari pertama postpartum, diluar 24 jam pertama. Morbiditas lebih sering terjadi setelah seksio sesarea daripada setelah kelahiran normal, insidensinya antara 15%-20% (Oxorn,
2003).
2.5 Evidence Based Prosedur Seksio Sesarea
Rekomendasi teknik yang tepat dan telah terbukti memiliki komplikasi paling kecil sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas operasi seksio sesarea. Terdapat beberapa teknik yang disarankan berdasarkan penelitian, yaitu:
dan povidon iodin 7,5% dan larutan povidon iodin 10% tidak terdapat perbedaan
yang signifikan terhadap luka pasca operasi. Oleh karena itu, penggunaan larutan iodin saja dianggap mencukupi pada pembersihan kulit; (2) Insisi kulit untuk
persalinan seksio sesarea. Berdasarkan penelitian yang diikuti 411 wanita dalam 2 penelitian acak menunjukkan bahwa insisi transversal lebih direkomendasikan dibanding insisi secara vertikal karena nyeri paska yang lebih ringan dan efek
kosmetik yang lebih baik (Rasjidi, 2009). 2.6 Kebutuhan Ibu Selama Persalinan
Sama seperti kebutuhan dasar manusia menurut Maslow, Ibu selama proses persalinan juga memiliki kebutuhan khusus yang harus diperhatikan oleh seorang perawat, yaitu: (1) Kebutuhan fisiologis terdiri dari oksigen, makan dan
minum, istrahat selama tidak ada his, kebersihan badan, BAB dan BAK, pertolongan persalinan yang standar, penjahitan perineum bila perlu; (2)
Kebutuhan rasa aman terdiri dari memilih tempat dan penolong persalinan, informasi tentang proses persalinan, posisi tidur yang dikehendaki ibu, pendampingan oleh keluarga, pantauan selama persalinan, dan intervensi yang
diperlukan; (3) Kebutuhan dicintai dan mencintai terdiri dari pendampingan, kontak fisik (sentuhan ringan), massase untuk mengurangi rasa sakit, berbicara
dengan suara lemah lembut serta sopan; (4) Kebutuhan harga diri terdiri dari merawat dan menyusui bayinya sendiri, privasi ibu, pelayanan bersifat empati dan simpati, informasi untuk setiap tindakan, pujian untuk hal positif (5) Kebutuhan
and attachment, ucapan selamat atas kelahiran anaknya (Sumarah, 2008 dalam Diah, 2012).
3. Konsep Kecemasan
3.1 Pengertian Kecemasan
Cemas merupakan perasaan takut atau gelisah yang tidak nyaman dan
sumber perasaan ini bisa diketahui maupun tidak dan timbul dengan intensitas yang berbeda (Sheldon, 2009). Kecemasan berkaitan dengan perasaan yang tidak
pasti dan tidak berdaya.Respon psikologi karena pembedahan berkisar dari cemas ringan, sedang, berat, panik, tergantung dari masing-masing individu (Efendy, 2005 dalam Zuchra, 2012).
3.2 Karakteristik Kecemasan
Sindrom kecemasan sangat bervariasi tergantung dengan tingkat
kecemasan yang dialami seseorang dimana manifestasi gejalanya terdiri atas kategori : (1) Gejala fisiologis adalah peningkatan frekuensi nadi, tekanan darah, nafas, diaphoresis, gemetaran, mual, kadang sampai muntah. Sering BAK atau
BAB, kadang sampai diare, insomnia, kelelahan dan kelemahan, kemerahan atau pucat pada wajah, mulut kering, nyeri khususnya didada, pinggang, leher,
pingsan, pusing, dan rasa panas dingin; (2) Gejala emosional adalah individu mengatakan merasa ketakutan dan ketidakberdayaan, gugup, kehilangan proyeksi diri, tegang, tidak dapat rileks. Individu juga memperhatikan peka terhadap
dan mengutuk diri sendiri; (3) Gejala kognitif adalah tidak mampu berkonsentrasi,
kurangnya orientasi lingkungan, pelupa, termenung, orientasi pada masa lalu dari saat ini dan yang akan datang, memblok pikiran dan ketidakmampuan untuk
mengingat, dan perhatian yang berlebihan (Capernito, 1998 dalam Kusumawati, 2010).
3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan, yaitu: (1) Tingkat pengetahuan adalah hasil ‘tahu’ manusia, yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sedangkan kecemasan adalah respon manusia yang dapat dipelajari, sebagai ketidaktahuan menjadi faktor penunjang terjadinya kecemasan. Pengalaman terhadap sesuatu yang pernah dialami
seseorang juga akan mengubah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat non formal dan sering dibawa dalam situasi yang pernah terjadi pada dirinya; (2)
Tingkat pendidikan yang rendah akan menyebabkan seseorang mudah mengalami stress. Stress dan kecemasan yang terjadi pada pendidikan yang rendah disebabkan kurangnya informasi yang didapatkan oleh orang tersebut; (3) Umur
yang lebih muda akan mudah mengalami stress dan kecemasan yang lebih tinggi dari pada yang berusia tua (Notoadmojo, 2003 dalam Dachi, 2013).
3.4 Tingkat Kecemasan
a. Kecemasan Ringan
Berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari, individu akan berhati-hati dan waspada serta lahan persepsi meluas, belajar
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas, respon cemas ringan seperti sesekali bernafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar, lapang persepsi meluas,
konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, tidak dapat duduk dengan tenang, dan tremor halus pada tangan.
b. Kecemasan Sedang
Pada tingkat ini lahan persepsi pada masalah menurun, individu lebih terfokus pada hal-hal penting pada saat itu dan mengesampingkan hal lain.
Respon cemas sedang seperti sering menarik nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, gelisah, lapang pandang menyempit,
rangsangan luar tidak mampu diterima, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur.
c. Kecemasan Berat
Lapangan persepsi individu sangat sempit, seseorang cenderung hanya memikirkan hal kecil saja dan mengabaikan hal yang penting, tidak mampu
memikirkan hal yang berat lagi dan membutuhkan lebih banyak pengarahan/tuntunan.Responnya meliputi napas pendek, nadi, dan tekanan darah meningkat, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur,
d. Panik
Lahan persepsi individu terganggu, sehingga tidak dapat mengendalikan diri dan tidak dapat melakukan apa-apa, walaupun tidak diberi pengarahan.
Respon panik seperti nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, lapang persepsi sangat sempit, tidak dapat berfikir logis, agitasi, mengamuk, marah, ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali
dan persepsi kacau.
Respon adaptif Respon maladaptif
Ringan Sedang Berat Panik
Skema 2.1 Rentang cemas
3.5 Respon Perilaku Cemas
Secara langsung kecemasan dapat diekspresikan melalui respon fisiologis
dan psikologis secara tidak langsung melalui pengembangan mekanisme koping, sebagai pertahanan melawan kecemasan (Suliswati, 2009). Respon kecemasan
yaitu: (1) Respon fisiologis adalah dengan mengaktifkan sistem syaraf otonom. Sistem syaraf simpatis akan mengaktivasi proses-proses tubuh, sedangkan sistem saraf parasimpatis akan meminimalkan respon tubuh; (2) Respon psikologis dapat
mempengaruhi aspek interpersonal dan personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks. Cemas dapat membuat individu
kognitifdapat mempengaruhi berpikir baik, proses berfikir maupun isi fikir.
Diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapangan persepsi, dan bingung; (4) Respon afektif akan
menyebabkan klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.
3.6 Pengukuran Tingkat Kecemasan
Berdasarkan skala pengukuran tingkat kecemasan Hamilton Anxiety Rating Scale(HARS) terdapat 14 kelompok gejala tingkat kecemasan dengan masing-masing kelompok gejala diberi penilaian antara 0-4 dengan penilaian sebagai berikut:
Penilaian :
Nilai 0 : Tidak ada (tidak ada gejala)
Nilai 1 : Ringan (satu dari gejala yang ada) Nilai 2 : Sedang (separuh dari gejala yang ada)
Nilai 3 : Berat (lebih dari separuh gejala yang ada) Nilai 4 :Panik (semua gejala ada)
Score :
<14 : Tidak ada kecemasan 14-20 : Kecemasan ringan
21-27 : Kecemasan sedang 28-41 : Kecemasan berat 42-56 : Panik
takut, lekas marah, cemas; (2) Ketegangan terdiri darimerasa tegang, lelah, mudah
terkejut, mudah menangis, gelisah, tidak bisa rileks; (3) Ketakutan terdiri dari takut gelap, pada orang asing, keramaian, di tinggal sendiri, pada binatang, pada
keramaian lalu lintas; (4) Gangguan tidur terdiri dari sulit tidur, tidur tidak pulas, tidur tidak puas dan merasa pegal-pegal pada waktu bangun, mimpi buruk dimalam hari; (5) Gangguan kecerdasan terdiri dari konsentrasi dan daya ingat
lemah; (6) Perasaan depresi terdiri dari kehilangan minat, tertekan, bangun lebih awal, terasa melayang-layang, berkurangnya kesenangan pada hobi; (7) Gejala
somatik terdiri dari nyeri dan sakit, kejang, kaku, sentakan tiba-tiba pada otot, gigi gemelutuk, suara gemetar, otot berbunyi; (8) Gejala sensorik terdiri dari telinga berdenging, penglihatan kabur, rasa panas dingin, perasaan ditusuk; (9) Gejala
kardiovaskular terdiri dari jantung berdetak, nyeri dada, berdebar-debar, lemas seperti mau pingsan, detak jantung menghilang; (10) Gejala pernapasan terdiri
dari rasa tertekan didada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang, sesak; (11) Gejala gastrointestinal terdiri dari sulit menelan, mual, muntah, berat badan menurun, gangguan pencernaan, nyeri lambung, perut melilit, nyeri sebelum dan
sesudah makan, perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, konstipasi; (12) Gejala urogenitalia terdiri dari sering kencing, menstruasi tidak teratur, tidak
haid, ejakulasi dini, kehilangan libido, impotensi; (13) Gejala autonom terdiri dari mulut kering, muka pucat, muka merah, keringatan, pusing, tegang, kepala terasa berat, kepala terasa sakit; (14) Tingkah laku ( sikap ) pada wawancara terdiri dari
3.7 Kecemasan Pada Ibu Bersalin
Menurut Bobak (2000), kecemasan pada bersalin yaitu mengenai keadaan jalan lahir dan bayi yang akan dilahirkan. Dalam hal ini, dukungan sosial sangat
diperlukan dalam upaya memberikan rasa aman dan ketenangan pada pasangan suami istri khususnya primigravida. Dukungan ini bisa berupa motivasi dari orang terdekat atau keluarga yang memiliki pengetahuan atau pengalaman dalam
persalinan.
Ibu bersalin mengekspresikan kecemasan selama kehamilannya sampai
proses persalinan yang akan dihadapinya dan itu menyebabkan stressor. Respon individu menghadapi stressor berupa rasa cemas dan saat-saat cemas sebenarnya ditentukan oleh koping yaitu upaya berorientasi dan intra fisik untuk mengelola
lingkungan dan kebutuhan internal maupun konflik mengenai hal tersebut.
Ibu bersalin bisa menghadapi konflik internal antara ketakutan terhadap
persalinan, ingin mengetahui dan segera memeluk bayi yang baru saja dilahirkan. Pengetahuan ibu tentang persalinan merupakan faktor predisposisi yang kuat terhadap stabilitas kondisi psikologis. Seorang ibu tidak mengerti masalah
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep atau variabel-variabel yang akan diamati (Notoadmodjo, 2010). Kerangka konsep pada penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efektifitas komunikasi terapeutik
terhadap penurunan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea, maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Skema 3.1 Kerangka konsep penelitian Komunikasi terapeutik:
1. Pra interaksi
2. Defenisi Operasional
Defenisi operational adalah mendefenisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk
melakukan observasi atau pengukuran secar cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2007).
No Variabel Defenisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala
1.
Suatu cara yang di gunakan untuk menurunkan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea.
c. Kecemasan berat
d. Panik
hal-hal penting saat itu
Keadaan yang menunjukkan kekhawatiran ibu seksio sesarea yang hanya memikirkan hal-hal kecil saja tetapi mengabaikan hal-hal penting dan ibu membutuhkan tuntunan
Keadaan yang menunjukkan ibu seksio sesarea tidak dapat mengendalikan diri dan tidak mampu melakukan apa-apa walau sudah diberi pengarahan.
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Metode yang digunakan adalah quasi experiment dengan menggunakan one group pretest-posttest.Rancangan ini tidak ada kelompok pembanding, tetapi sudah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (Notoatmodjo,
2010).
Pretest Perlakuan Posttest
01 X 02
Keterangan:
01 : Melakukan penilaian tingkat kecemasan pada ibu bersalin secara seksio sesarea sebelum penerapan komunikasi terapeutik
02 : Melakukan penilaian tingkat kecemasan pada ibu bersalin secara seksio
sesarea setelah penerapan komunikasi terapeutik
X : Penerapan komunikasi terapeutik pada ibu bersalin secara seksio sesarea
2. Populasi dan Sampel
2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Populasi
dalam penelitian ini adalah pasien yang akan menjalani tindakan seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan. Pada tahun 2012 jumlah ibu bersalin secara seksio sesarea berjumlah 369 orang (Kabid. Pengolahan Data & Rekam Medis RSUD dr.
Pirngadi, 2013). 2.2 Sampel
Menurut Arikunto (2010) Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Jika populasi di atas 100 orang maka pengambilan sampelnya sekitar 10-30% dari total populasi. Sehingga dalam penelitian ini penulis mengambil sampel
10% dari jumlah populasi yang ada yaitu 37 orang.Namun, pada saat pengumpulan data, jumlah sampel yang didapatkan peneliti selama 2 bulan hanya
sebanyak 26 orang. 2.3 Teknik Sampling
Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
metode accidental sampling yang berarti pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau bersedia pada saat
diakukan penelitian sesuai dengna kriteria sampel yang sudah ditetapkan (Notoatmodjo, 2010).Kriteria inklusinya
1) Ibu yang akan melahirkan dengan seksio sesarea yang telah direncanakan
2) Dapat membaca dan berkomunikasi
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di ruang Tanjung 2, Poli Ibu Hamil (PIH), dan ruang Deliverydi RSUD dr. Pirngadi Medan . Pemilihan tempat di RSUD dr
Pirngadi Medan dikarenakan rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pendidikan dan jumlah kunjungan ibu melahirkan secara seksio sesarea sesuai dengan kebutuhanpenelitian. Penelitian ini telah dilakukan mulai tanggal 07
Maret sampai07 Mei 2014.
4. Pertimbangan Etik
Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan etik yaitu penelitian ini dapat dilakukan setelah mendapat izin dari
institusi pendidikan dan persetujuan dari komisi etik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya mengirimkan surat izin permohonan
penelitian di RSUD dr. Pirngadi Medan. Setelah mendapatkan persetujuan, peneliti melakukan pengumpulan data dimana peneliti meminta persetujuan responden sesuai dengan kode etik yang berlaku tanpa ada unsur paksaan .
Sebelum melakukan penelitian, peneliti memperkenalkan diri dan memberi penjelasan terlebih dahulu tentang tujuan dan manfaat kegiatan penelitian kepada
responden.
Hak-hak responden dalam penelitian dan kerahasiaan akan terjaga. Jika responden bersedia untuk diteliti maka responden terlebih dahulu menandatangani
berlangsung dan belum selesai. Hal tersebut tercantum dalam informed consent
yang berupa persetujuan partisipasi secara tulisan atau yang ditandatangani oleh responden sebelum penelitian dilaksanakan.
Jika responden tidak bersedia atau menolak untuk berpartisipasi maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden. Dalam menjaga kerahasiaan informasi responden, peneliti tidak mencantumkan namanya
pada lembar pengumpulan data, cukup memakai inisial responden dan hanya diketahui oleh peneliti dan responden. Rahasia informasi responden dijamin oleh
peneliti.
5. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu kuesioner data demografi responden dan kuesioner dengan
menggunakan skala HARS. Data demografi responden terdiri dari inisial nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, paritas, dan persalinan seksio sesarea ke berapa.
Kuesioner dengan menggunakan skala HARS yang telah dimodifikasi terdiri dari 14 item pernyataan yang menggambarkan tingkat kecemasan ibu
seksio sesarea. Penilaian dilakukan dengan pilihan jawaban tidak ada gejala/keluhan (0), gejala ringan (1), sedang (2), gejala berat (3) dan gejala berat sekali (4) dengan pembagian skor 1-13 tidak ada kecemasan, 14-20 adalah tingkat
6. Uji Validitas dan Reliabilitas Penelitian
6.1 Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Notoadmodjo, 2010). Instumen dikatakan valid apabila instrumen tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu. Dengan kata lain secara sederhana dapat
dikatakan bahwa sebuah instrumen dikatakan valid apabila instumen tersebut benar-benar dapat dijadikan alat untuk mengukur apa yang akan diukur (Setiadi,
2007). Instumen yang digunakan dari Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang telah dimodifikasi dan telah diterjemahkan dalam bentuk bahasa Indonesia. Uji validitas instrumen dan tindakan ini dilakukan oleh 2 orang ahli yaitu dosen
FKep USU bagian Departemen Jiwa dan Komunitas. 6.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas instrumen adalah adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Uji reliabilitas instumen dilakukan pada responden yang berbeda
dari responden penelitian tetapi dengan karakteristik yang sama. Uji reliabilitas instrument dilakukan di RSU Haji Adam Malik Medan mulai tanggal 15 Februari
7. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapat izin dari melakukan penelitian dari Fakultas Keperawatan dan RSUD dr. Pirngadi Medan. Setelah
mendapat izin, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian dengan cara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian. Calon responden yang bersedia diminta untuk menandatangani informed consent (surat
persetujuan). Setelah itu, peneliti memberikan lembar kuesioner data demografi dan kuesioner HARS yang telah dimodifikasi atau membacakan kuesioner
tersebut jika pasien memintanya sambil melakukan observasi untuk mengetahui tingkat kecemasan hal ini dilakukan kurang lebih 5-10 menit. Selama pengumpulan data demografi dan pengkajian tingkat kecemasan responden diberi
kesempatan untuk bertanya jika ada pernyataan peneliti yang kurang dimengerti oleh responden (pretest). Setelah pembacaan kuesioner peneliti menanyakan
kabar dan persepsi responden tentang seksio sesarea. Kemudian membuat kontrak waktu dengan pasien untuk membahas tentang perasaan dan penyebab kecemasannya serta menjelaskan operasi seksio sesarea yang akan dihadapinya.
Peneliti melaksanakan treatment (komunikasi terapeutik) selama 10-15 menit yaitu menjelaskan operasi sekiso sesarea dan penyebab kecemasannya. Lalu
mengevaluasi perasaan dan pengetahuan responden setelah treatment. Setelah itu, responden dibiarkan selama 5 menit sebelum tingkat kecemasannya di ukur sesudah pemberian treatment. Setelah itu peneliti kembali memberikan kuesioner
responden diberi kesempatan untuk bertanya kepada peneliti bila ada pernyataan
yang tidak dipahami (posttest), selanjutnya data yang diperoleh dikumpulkan untuk di analisa.
8. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, dilakukan analia data dengan cara:
a. Editing yaitu memeriksa kembali semua data satu persatu yakni data
demografi responden dan memastikan bahwa semua jawaban telah di isi sesuai dengan petunjuk.
b. Coding yaitu pemberian kode terhadap semua pernyataan yang telah
diajukan guna mempermudah peneliti ketika menganalisa data.
c. Processing yaitu memasukkan data kedalam program analisa statistik pada komputer.
d. Cleanning yaitu mengecek ulang kelengkapan data. Setelah semua data
dipastikan benar kemudian dilakukan pengolahan data dengan menggunakan bantuan komputer.
Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui frekuensi dan persentase
sebaran karakteristik demografi ibu bersalin seksio sesarea, karakteristik tingkat kecemasan sebelum dilakukan intervensi dan karakteristik kecemasan setelah
dilakukan intervensi. Sedangkan Statistik inferensial digunakan untuk mengetahui pengaruh sebelum dan sesudah pemberian intervensi komunikasi terapeutik terhadap perubahan tingkat kecemasan pada ibu bersalin seksio sesarea
berdistribusi normal melalui uji wilk. Peneliti menggunakan uji
Shapiro-wilk untuk melihat kenormalan data dikarenakan jumlah sampel kurang dai 30 orang. Pada uji Shapiro-wik bila signifikansi >0,05 maka data berdistribusi
normal, sedangkan bila signifikansi <0,05 maka data tidak berdistribusi normal. Pada uji Shapiro-wilk didapatkan bahwa nilai signifikansi sebelum komunikasi terapeutik sebesar 0,119dan nilai signifikansi setelah komunikasi terapeutik
sebesar 0,359 yang berarti data berdistribusi normal. Dari uji pairedt-test akan
diperoleh nilai ρ, yaitu nilai yang menyatakan besarnya peluang hasil penelitian. Kesimpulan hasilnya dilakukan dengan membandingkan nilai ρ dan nilai alpha (a=0,05). Jika nilai ρ<0,05 maka keputusannya adalah Ha diterima dan jika nilai
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa data dalam penelitian yang meliputi data demografi dan data instrument serta pembahasan mengenai
efektifitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi medan. Pengumpulan data yang dilakukan
oleh peneliti kepada ibu hamil yang direncanakan akan melahirkan dengan seksio sesarea dimulai pada tanggal 07 Maret sampai dengan 07 Mei 2014.
1.1Data Demografi
Data demografi responden disajikan dalam bentuk tabel distribusi
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi data demografi responden di RSUD dr. Pirngadi Medan tahun 2014
Data demografi Frekuensi Persentase
Umur
Seksio sesarea pertama kali 17 65,4
Seksio sesarea lebih dari 1 kali 9 34,6
Ketuban pecah tanpa kontraksi 1 3,8
Preeklampsi/Eklampsi 5 19,3
Total 26 100,0
Dari tabel 5.1 diatas mayoritas responden yang akan menjalani persalinan
setengah responden beragama islam yaitu 16 orang (61,6%), sedangkan responden
yang beragama katolik hanya 1 orang (3,8%). Pada tingkat pendidikan, mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan SMA yaitu 13 orang (50%), sedangkan
responden dengan pendidikan tingkat SD, D3, dan Sarjana masing-masing hanya sebanyak 3 orang (11,5%). Mayoritas responden yang akan menjalani persalinan secara seksio sesarea tidak bekerja (ibu rumah tangga) sebanyak 19 orang (73,1)
dan responden yang bekerja (PNS dan Wiraswasta) sebanyak 7 orang (26,9%). Pada frekuensi seksio sesarea, mayoritas responden baru pertama kali akan
menjalani persalinan secara seksio sesarea sebanyak 17 orang (65,4%) dan respoden yang lebih dari 1 kali sebanyak 9 orang (34,6%). Alasan seksio sesarea mayoritas dikarenakan panggul sempit sebanyak 9 orang (34,6%) dan paling
sedikit dikarenakan letak lintang dan ketuban pecah tanpa kontraksi, masing-masing sebanyak 1 orang (3,8%).
1.2Tingkat Kecemasan
Hasil penelitian tentang tingkat kecemasan pade responden sebelum dan sesudah komunikasi terapeutik di RSUD dr. Pirngadi Medan.
Tabel 5.2 Gambaran tingkat kecemasan responden sebelum dan sesudah komunikasi terapeutik
Tingkat Kecemasan Pre Treatment Post Treatment
Dari tabel 5.2 diatas mayoritas responden berada pada tingkat cemas sedang
yaitu 14 orang (53,8%) dan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik kecemasan pasien berada pada tingkat tidak ada kecemasan yaitu 16 orang (61,5%). Tidak
dijumpai responden dengan tingkat cemas berat sekali (panik) baik sebelum maupun sesudah dilakukan komunikasi terapeutik.
1.3Efek Komunikasi Terapeutik
pada penelitian ini digunakan teknik perhitungan statistik uji beda duan
mean dependen ( paired t-test dependen) untuk desain one group pretest-posttest dengan jumlah responden 26 orang dan taraf kepercayaan ( level of significance)
α=0,05.
Kecemasan responden Mean SD df t ρ
Value
Sebelum komunikasi terapeutik 2,54 0,859
25 6,499 0,000
Setelah komunikasi terapeutik 1,46 0,647
Uji t-test menghasilkan rata-rata nilai kecemasan sebelum komunikasi terapeutik 2,54 dengan standar deviasi (SD) 0,859 dan rata-rata nilai kecemasan setelah komunikasi terapeutik 1,46 dengan standar deviasi (SD) 0,647. Nilai thitung
sebesar 6,499 dengan ρ value 0,000 atau tepatnya 0,0001 hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan rata - rata tingkat kecemasan sebelum diberikan komunikasi terapeutik dan setelah diberikan komunikasi terapeutik. Pada hasil uji t-test juga
dilihat bahwa nilai thitung bernilai 6,499 pada df 25 dengan tingkat signifikansi
tabel hasil analisis di dapatkan bahwa hasil ρ=0,000 <0,05 yang berarti Ha diterima.
2. Pembahasan
2.1Kecemasan sebelum dan sesudah komunikasi terapeutik
Berdasarkan hasil penelitian didapati sebanyak 84,6% ibu mengalami
kecemasan dimana mayoritas berada pada cemas sedang 53,8%,. Akan tetapi, kecemasan setelah dilakukan komunikasi terapeutik relatif lebih rendah dibanding
sebelum komunikasi terapeutik, dimana mayoritas responden tidak mengalami kecemasan 16 orang (61,5%). Tingkat kecemasan responden yang relatif sedang (53,8%) sebelum komunikasi terapeutik dikarenakan operasi yang dilakukan
adalah operasi yang direncanakan dan responden sudah diberitahu terlebih dahulu oleh tim medis bahwa responden akan menjalani prosedur operasi seksio sesarea,
sehingga umumnya tingkat kecemasan responden tidak berada pada tingkat cemas berat sekali (panik) melainkan berada pada tingkat cemas sedang. Berdasarkan data diatas, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahmudah
(2010) dengan judul hubungan dukungan keluarga dan religiusitas dengan kecemasan melahirkan pada ibu hamil anak pertama (Primigravida) yang
mengatakan bahwa lebih dari separuh pasien mengalami kecemasan yang sedang dalam melahirkan, yang berarti bahwa kecemasan pada sebagian besar responden
tidak begitu tinggi namun tidak begitu rendah.
ketidakterbukaan ibu pada saat peneliti melakukan wawancara dan
observasi.Sedangkan hal ini tidak sesuai dengan penelitian Efendy (2005 dalam Zuchra, 2012) yang mengatakan bahwa respon psikologi karena pembedahan
berkisar dari cemas ringan, sedang, berat, dan panik.
Tingginya proporsi ibu bersalin dengan seksio sesarea berada pada kelompok umur 20-35 tahun (88,5 %) . Pada kelompok umur 20-35 tahun adalah
masa produktif bagi ibu untuk hamil dan melahirkan, sedangkan umur yang lebih muda akan lebih mudah mengalami stress dan kecemasan yang lebih tinggi
daripada yang berusia tua. Pada kelompok umur ini juga cara berpikir ibu sudah dewasa. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Sinaga (2007) dimana sebanyak 78,6% ibu yang menjalani seksio sesarea di daerah Sidikalang pada
tahun 2007 berada pada rentang umur 20-35 tahun.
Selain itu jika ditinjau dari aspek spiritual diperoleh hasil sebagian besar
ibu yang menghadapi operasi seksio sesarea yang beragama islam 61,5%. Aspek spiritual seorang ibu berhubungan dengan tingkat kecemasan ibu tersebut.Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti,
didapatkan bahwa ibu mengaku pasrah dan berserah kepada Tuhan dan merasa bahwa kondisi yang mereka alami adalah sesuatu yang harus dijalani. Dengan
adanya keyakinan yang dimiliki maka tingkat kecemasan akan berkurang dalam menghadapi masalah. Hal ini juga didukung dengan penelitian Nuralita dan Hadjam (2002) manusia yang benar-benar religius akan terlindung dari keresahan,
Faktor lain yang berkaitan dengan tingkat kecemasan responden adalah
tingkat pendidikan yang dimilikinya. Frekuensi pendidikan responden dalam penelitian ini mayoritas berada pada tingkat sedang, yaitu 50%. Notoadmojo
(2003 dalam Dachi, 2013) mengatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah akan menyebabkan seseorang mudah mengalami stress. Stress dan kecemasan yang rendah disebabkan kurangnya informasi yang didapatkan oleh orang
tersebut. Seorang ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung mencari informasi tentang hal yang akan dialaminya pada saat operasi
seksio sesarea dan cara perawatan bayi dan luka pascaoperasi. Hal ini juga didukung oleh Sinaga (2007) dalam penelitiannya tentang karakteristik ibu yang mengalami persalinan dengan seksio sesarea yang dirawat inap di RSUD
Sidikalang juga mengatakan bahwa pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penting dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak, dan juga keluarganya. Semakin
tinggi pendidikan formal seorang ibu maka semakin meningkat pengetahuan dan kesadarannya dalam mengantisipasi kesulitan dalam kehamilan dan
persalinannya.
Jika ditinjau dari pekerjaan dengan kecemasan responden dalam penelitian ini maka didapatkan bahwa sebanyak 73,1% ibu yang akan menjalani operasi
seksio sesarea tidak bekerja. Kecemasan juga berhubungan dengan masalah keuangan, misalnya kebutuhan yang lebih besar dibanding pendapatan. Hasilnya ibu yang tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan secara otomatis akan
dapat berakibat terjadinya penggangguran yang berdampak pada kesehatan
bahkan sampai kematian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65,4% respoden menjalani operasi
seksio sesarea untuk pertama kalinya. Dimana berdasarkan hasil wawancara dan observasi peneliti bahwa salah satu kecemasan responden dikarenakan mereka tidak memiliki pengalaman sama sekali dibanding ibu yang pernah menjalani
operasi seksio sesarea sebelumnya. Pengalaman ibu dalam menjalani proses persalinan secara seksio sesarea juga dipengaruhi oleh pengalamannya masa lalu.
Ibu yang pernah melahirkan dengan seksio sesarea memiliki kecemasan yang berbeda dengan ibu yang baru pertama kali menjalani seksio sesarea.kemungkinan ibu yang pernah menjalani seksio sesarea lebih siap dalam menghadapi operasi
seksio sesarea selanjutnya. Sebaliknya, ibu yang baru pertama kali menjalani operasi seksio sesarea akan cenderung kebingungan, marah, dan mengajukan
pertanyaan tetang operasi yang akan mereka jalani. Nuralita dan Hadjam (2002) juga mengatakan bahwa kecemasna menggambarkan suatu reaksi ketakutan dikarenakan adanya stimulus yang berkaitan dengan peristiwa yang menyakitkan
dimasa lalu. Oleh sebab itu, pengalaman seorang ibu akan sangat mempengaruhi persepsinya terhadap operasi seksio sesarea
Menurut Lutfa dan Maliya (2008 dalam Kaplan dan Sadock 1997) salah satu faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kecemasan pasien adalah kondisi medis (diagnosa penyakit). Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa 100% ibu
kontraksi, dan preeklampsi/eklampsi), sedangkan faktor indikasi medis tertinggi
adalah faktor ibu, yaitu panggul sempit 34,6. Dimana hal ini diagnosa medis menentukan tingkat kecemasan seorang pasien. Pada pasien dengan diagnosa
yang baik, bisa jadi tidak akan terlalu cemas. Sebaliknya, pasien yang mendapatkan diagnosa pembedahan akan mempengaruhi tingkat kecemasannya, misalnya ibu hamil yang akan menjalani operasi seksio sesarea akan
mempengaruhi tingkat kecemasannya.
2.2Komunikasi terapeutik
Pengukuran kecemasan yang dilakukan peneliti sebelum komunikasi terapeutik didapati yang tidak ada kecemasan 15,4%, cemas ringan 23,1%, sedang 53,8%, cemas berat 7,7% dan cemas sekali 0%. Sedangkan pengukuran
kecemasan yang dilakukan peneliti setelah komunikasi terapeutik di dapati bahwa responden yang tidak ada kecemasan sebesar 61,5%, cemas ringan 30,8%, cemas
sedang 7,7%, cemas berat 0%, cemas 0%. Berdasarkan data diatas rata-rata terdapat penurunan kecemasan yang dialami responden.
Hasil uji paired t-test dependent pada taraf kepercayaan 95% (α=0,05), untuk mengetahui pengaruh komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan
responden yang akan menjalani seksio sesarea bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan setelah pemberian komunikasi terapeutik yaitu cemas sedang 53,8% menjadi tidak ada kecemasan 61,5%. hasil uji paired t-test
signifikan terhadap penurunan tingkat kecemasan responden sebelum dan setelah
dilakukan komunikasi terapeutik dengan mean 2,54 menjadi 1,46.
Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong
ekspresi perasaan dan ide, serta menyampaikan penerimaan dan penghargaan. Dibutuhkan latihan berulang-ulang sehingga semakin terampil dan nyaman dalam mengerjakannya karena kepuasan besar akan timbul dari keberhasilan membentuk
hubungan terapeutik dan pencapaian hasil klien yang diinginkan (Potter & Perry, 2009). Komunikasi terapeutik pada ibu bersalin secara seksio sesarea adalah suatu
cara yang digunakan untuk menurunkan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea.
Menurut Fatmawati dan Musliha (2010) komunikasi terapeutik memegang peranan yang sangat penting untuk membantu pasien dalam
memecahkan masalahnya. Dalam era kemajuan seperti komunikasi dari perawatan sebagai orang yang terdekat dengan pasien menjadi hal yang sangat penting baik
secara verbal maupun non verbal dalam membantu pasien. Untuk itu perawat sebagai komponen penting dalam proses keperawatan sangat dituntut untuk mampu berkomunikasi karena pandangan mata, mimik, senyum, sentuhan tidak
dapat diganti oleh peralatan canggih apapun.
Sebelum bertemu dan melakukan komunikasi terapeutik terhadap
responden, peneliti perlu mempersiapkan dirinya sebelum bertemu dengan ibu yang memiliki latar belakang dan karakter yang berbeda dengan melihat catatan medik ibu, sehingga peneliti lebih siap dalam menghadapi ibu yang akan
menyapa ibu, memperkenalkan diri dan tujuan, meminta izin menjadi responden
dan membuat kontrak waktu, kemudian bertanya tentang keadaan dan perasaan ibu saat itu. Teknik ini dilakukan supaya pasien terlibat secara aktif dalam
melakukan interaksi, termasuk memberikan informasi mengenai kondisi yang sedang dialaminya, hal ini sejalan dengan penelitian Nugroho (2009) berusaha mengetahui keadaan pasien melalui komunikasi dengan memberi kesempatan
kepada paien untuk menjelaskan kondisinya. Peneliti menemukan berbagai macam respon responden pada tahap awal, dimana ada responden yang bersifat
cuek atau tidak peduli, selalu tersenyum dan ramah, da nada juga yang ketakutan. Pada saat pengumpulan data peneliti memberi kesempatan kepada responden untuk menceritakan keadaan mereka dan responden terlihat senang ketika ada
orang yang berusaha mendengarkan keluhan merekameskipun responden pada tahap awal terlihat gugup dan menaruh curiga ketika disapa, setelah ditanya
mereka khawatir apakah wawancara yang akan berlangsung berdampak negatif atau mempersulit keadaan mereka dikemudian. Hal ini sesuai dengan respon afektif perilaku cemas dimana seseorang akan menaruh curiga dan bingung
berlebihan terhadap orang lain sebagai bentuk dari reaksi emosi terhadap kecemasan.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi hampir sebagian besar ibu yang akan menjalani proses operasi seksio sesarea mengalami kecemasan tentang situasi yang akan mereka alami dikarenakan tidak mengerti persalinan yang akan
tim medis terutama perawat yang bertanggung jawab diruangan tersebut karena
tindakan sering dilakukan oleh para mahasiswa yang sedang dinas diruangan. Namun di lain sisi ibu cenderung merasa takut untuk bertanya tentang informasi
operasi seksio sesarea kepada tim medis, sehingga lebih bertanya kepada orang lain.Akibatnya, ibu semakin merasa bahwa hal yang akan mereka jalani akan sangat menakutkan dan bisa menyebabkan kematian baik kepada ibu maupun
janinnya sendiri sehingga hal itu membuat ibu tidak tenang dalam menantikan masa-masa kelahiran. Oleh sebab itu, aspek pengetahuan tentang operasi seksio
sesarea yang akan mereka jalani sangatlah penting untuk membantu pasien menjadi lebih tenang karena banyak dari pasien yang merasa khawatir dan ketakutan menjalani operasi. Sama seperti Notoadmodjo (2007) yang mengatakan
bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi perilaku individu, yang mana semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang kesehatan, makin tinggi
untuk berperan. Sehingga komunikasi terapeutik menjadi sangat dibutuhkan oleh pasien terlebih bagi pasien yang akan menjalani operasi seksio sesarea.
Dilain hal diagnosa juga membuat seorang ibu merasa cemas dengan
keadaan yang dialaminya. Salah seorang responden yang mengalami kelumpuhan dikedua tangannya merasa khawatir dalam perawatan anaknya kelak sehingga
tidak siap untuk menjalani operasi seksio sesarea. Lamanya proses penyembuhan luka operasi juga turut membuat ibu merasa khawatir dengan operasi seksio sesarea dikarenakan ibu juga turut membantu suami dalam mencari nafkah. Aspek
diingatkan untuk lebih berserah kepada Tuhan dan percaya bahwa operasi seksio
sesarea adalah jalan terbaik, ibu merasa tenang dan lebih kuat dari sebelumnya. Sehingga, respon ibu sebelum komunikasi terapeutik berbeda setelah dilakukan
komunikasi terapeutik
Dari hasil penelitian pengukuran kecemasan yang dilakukan peneliti sebelum komunikasi terapeutik didapati bahwa rata-rata terdapat penurunan
kecemasan yang dialami ibu. Meskipun demikian komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh peneliti tidak maksimal karena hanya dilakukan dengan 1x
pertemuan dalam dalam rentang waktu yang terbatas. Hal ini sesuai dengan penelitian Nugroho (2009) yang mengatakan bahwa komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang berproses pada pengembangan. Proses komunikasi
terapeutik di awali dengan perkenalan yang dangkal, namun terus berkembang menjadi hubungan yang semakin akrab. Bahkan komunikasi tidak hanya terjadi
dalam proses perawatan, tetapi bisa juga diluar asuhan keperawatan. Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik dapat mengurangi kecemasan. Oleh karena itu, perawat yang lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan pasien, seharusnya tidak hanya berkolaborasi dengan tenaga profesional lain tetapi dapat langsung memberikan intervensi
keperawatan dan salah satunya adalah melakukan komunikasi terapeutik kepada pasien.
Namun komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh peneliti dengan
banyak tentang perasaan yang sedang dialaminya terlebih ketika keluarga yang
menemani ibu merupakan salah satu faktor penyebab peningkatan kecemasan ibu.Hambatan dalam berkomunikasi juga menjadi salah satu hal penting dimana
komunikasi terapeutik tidak berjalan dengan baik. Dimana perbedaan bahasa membuat peneliti kurang mengerti tentang apa yang sedang dirasakan ibu