• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Kelainan Refraksi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dari 1 Januari 2012 Sampai 31 Desember 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Penderita Kelainan Refraksi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dari 1 Januari 2012 Sampai 31 Desember 2012"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

MUHIBBUDDIN MUHAMMAD ISA 100100393

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Lembar Pengesahan

Karakteristik Penderita Kelainan Refraksi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dari 1 Januari 2012 Sampai 31 Desember 2012

Nama : Muhibbuddin Muhammad Isa NIM :100100393

Pembimbing,

(dr. Syaiful Bahri, Sp. M) NIP: 1955 04 16 1982 11 1 001

Penguji I,

(dr. Aliandri, Sp. THT - KL) NIP: 1966 03 09 2003 12 1 007

Penguji II,

(dr. Rosmayanti Safriani Siregar,Sp. A) NIP: 1971 04 01 2000 12 2 002

Medan, Januari 2014 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(3)

ABSTRAK

World Health Organization menyatakan jumlah orang yang cacat penglihatan di dunia adalah 285 juta dengan 39 juta orang buta dan 247 juta dengan low vision, dimana 43% dari jumlah cacat penglihatan penyebabnya adalah refraksi tidak terkoreksi. Di Indonesia terdapat sekitar 1,5% atau 3,6 juta penduduknya mengalami kebutaan. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2011, gangguan refraksi merupakan penyebab kebutaan paling tinggi, yaitu dengan 198.036 pasien diikuti dengan katarak dan glaukoma, masing-masing 94.582 dan 25.175 pasien

Penelitian ini bertujuan menentukan karakteristik pasien kelainan refraksi di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengetahui proporsi kelainan refraksi berdasarkan jenis kelainan refraksi, jenis kelamin, dan kelompok umur. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medik penderita kelainan refraksi selama periode 1 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012, dan sampel diambil dengan metode total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampel. Data yang diperoleh dari data sekunder diolah dengan SPSS dan dituangkan dalam tabel distribusi.

Hasil penelitian menunjukkan proporsi penderita kelainan refraksi adalah 48,55% yaitu 2925 pasien, dengan persentase terbanyak terdapat pada miopia 48,4% yaitu 1416 orang, pada jenis kelamin perempuan 66,4% yaitu 1943 penderita, dan pada kelompok umur 45 tahun – 54 tahun dengan jumlah 707 pasien (24,2%).

(4)

Abstract

The World Health Organization states that the number of people with visual impairment in the world is 285 million people, with 39 million people are blind and 247 million more are low vision.

In Indonesia there are about 1.5% or 3.6 million people are blind. Based on data from hospital information systems in 2011, refractive errors are the highest cause of blindness, with 198,036 patients, followed by cataract and glaucoma, respectively 95,582 and 25,175 patients.

The purpose of this study is to know the characteristic of refractive error patient in Dr. Pirngadi Regional General Hospital Medan. The specific purpose of this study is to know the proportion of refractive error according to type of refractive error, gender, and group of age. This research method is descriptive with the approach of cross sectional. The population is the entire medical record data of refractive error patients during 1st January 2012 – 31st December 2012, and the sample was taken with a total sampling method where the whole population is considered as the sample. All the collected data were calculated with SPSS and presented in distribution tables.

The result of this study shows that the refractive error is 48.55% which is 2925 persons, and the highest proportion is found in myopia which is 48.4% (1416 persons), in female gender which is 66.4% (1943 persons), and in group of age 45 -54 years which is 24.2% (707 persons).

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulisan karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan denagn sebaik – baiknya. Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam karya tulis ini, dipaparkan landasan pemikiran dan segala konsep serta hasil yang diperoleh dari penelitian yang berjudul “Karakteristik penderita kelainan refraksi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dari 1 Januari 2012 sampai 31 Desember 2012”. Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi – tingginya kepada:

1) Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH, selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2) Dr. Syaiful Bahri Sp. M selaku dosen pembimbing, dr. Aliandri Sp.THT-KL selaku dosen penguji I dan dr. Rosmayanti Safriani Siregar, Sp. A, selaku dosen penguji II yang telah banyak membantu dan memberikan saran – saran selama penulisan karya tulis ilmiah ini, sehingga dapat di selesaikan dengan baik.

3) Seluruh staf pengajar dan civitas akademik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4) Kedua orang tua tercinta, H. Muhammad Isa Abdullah dan Hj. Nursyidah Zainuddin yang membesarkan dan mendidik penulis dari kecil hingga saat ini. Tidak dilupakan juga seluruh keluarga besar yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi selama penulisan karya tulis ilmiah ini.

(6)

6) Sahabat-sahabat penulis di Fakultas Kedokteran USU, Nur Amalina Mohammad Razin dan teman-teman lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Untuk seluruh bantuan moral maupun materi yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Penulis juga menyadari bahawa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis juga mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

.

Medan, 9 Desember 2013

MUHIBBUDDIN MUHAMMAD ISA

(7)

DAFTAR ISI Halaman Halaman Persetujuan……… Abstrak……… Abstract………... i iii iv

Kata Pengantar……….. v

Daftar Isi………...………..

Daftar Tabel………

Daftar Gambar……….. Daftar Singkatan………..……….. Daftar Lampiran……… vii xi xii xiii xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang……….. 1 1.2 Rumusan Masalah………. 3 1.3 Tujuan Penelitian………..

1.3.1 Tujuan Umum 1.3.2 Tujuan Khusus

3 3 3 1.4 Manfaat Penelitian……… 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata……… 6 2.2 Media Refraksi………..……… 7

2.2.1 Kornea.. ………..

2.2.2 Aqueous Humor (cairan mata)………

2.2.3 Lensa………...

2.2.4 Banda Vitreous (Badan Kaca)………. 2.2.5 Panjang Bola Mata………..

(8)

2.3.2 Epidemiologi Kelainan Refraksi……….. 2.3.3 Klasifikasi Kelainan Refraksi………..

11 12

2.4 Miopia………..……… 12

2.4.1 Definisi Miopia……… 12 2.4.2 Klasifikasi Miopia ……….. 13 2.4.3 Gejala Miopia ……….

2.4.4 Diagnosis Miopia……… 2.4.5 Penatalaksanaan Miopia………..

13 13 15 2.5 Hipermetropia………. ……… 16 2.5.1 Definisi hipermetropia……….

2.5.2 Klasifikasi Hipermetropia……… 2.5.3 Gejala Hipermetropia……… 2.5.4 Diagnosis Hipermetropia……….. 2.5.5 Penatalaksanaan Hipermetropia……… 2.6 Astigmatisma……….. 2.6.1 Definisi Astigmatisma………...……… 2.6.2 Klasifikasi Astigmatisma……….. 2.6.3 Gejala Astigmatisma………....……… 2.6.4 Diagnosis Astigmatisma………...……...………. 2.6.5 Penatalaksanaan Astigmatisma……..………...

16 17 17 18 18 20 20 20 22 22 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 24

3.1 Kerangka Konsep……….. 24 3.2 Definisi Operasional………...……….. 24

BAB 4 METODE PENELITIAN 26

4.1 Jenis Penelitian……….. 26 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……… 26 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian………

4.3.1 Populasi………... 4.3.2 Sampel……….

(9)

Daftar Pustaka 36

Lampiran 38

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi………. 27 4.5 Metode Pengumpulan Data………...

4.6 Pengolahan dan Analisa Data………...

27 27

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian……….. 5.1.1 Diskripsi Lokasi Penelitian………... 5.1.2 Sejarah Singkat RSUD Dr. Pirngadi Medan…………. 5.1.3 Deskripsi Karakteristik Sampel………

28 28 28 28 29 5.1.4 Diskripsi Sampel berdasarkan Jenis KelainanRefraksi 29 5.1.5 Diskripsi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin 29

5.1.6 Diskripsi Sampel Krlainan Refraksi Berdasarkan

Jenis Kelamin……… 30 5.1.7 Diskripsi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur……. 30 5.2 Pembahasan……… 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan…..……….. 6.2 Saran……….

6.2.1 Bagi Lahan Penelitian………. 6.2.2 Bagi Institusi Kesehatan……….. 6.2.3 Bagi Masyarakat……….. 6.2.4 Bagi Peneliti Selanjutnya……….

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman TABEL 5.1 Distribusi Jenis Kelainan Refraksi………... 29 TABEL 5.2 Distribusi Jenis Kelamin Pasien kelainan Refraksi……….. 30 TABEL 5.3 Distribusi Kelainan Refraksi Berdasarkan Jenis Kelamin... 30 TABEL 5.4 Distribusi Kelompok Umur Pasien Kelainan Refraksi……

.

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Mata………... 6

Gambar 2.2 Histologi Mata……….. 7 Gambar 2.3 Gambaran Refraksi Miopia ……….

Gambar 2.4 Kartu Snellen……… Gambar 2.5 Bingkai percobaan……… Gambar 2.6 Set Lensa Coba………. Gambar 2.7 Gambaran Refraksi Hipermetropia……….. Gambar 2.8 Gambaran Refraksi Astigmatisma………... Gambar 2.9 Jenis-Jenis kelainan Refraksi Astigmatisma……… Gambar 2.10 Kipas Astigmatisma………. Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian………

(12)

DAFTAR SINGKATAN

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Ethical Clearance Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Lampiran 4 Surat Selesai Penelitian Lampiran 5 Data Induk

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Mata merupakan salah satu organ panca indra yang sangat besar fungsinya yang dianugrahkan oleh Allah S.W.T. Tetapi terdapat beberapa jenis penyakit dan kelainan yg dapat membuat mata tidak dapat berfungsi dengan sempurna salah satunya adalah kelainan refraksi. Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata. Kelainan refraksi dapat dikenali dalam tiga bentuk, iaitu myopia, hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas, 2006).

Kelainan refraksi sebagai satu penyebab buta tidak pernah mendapat perhatian dikalangan masyarakat. Banyak negara di dunia menyatakan kelainan refraksi akan menjadi penyebab buta yang bisa dirawat kedua terbesar setelah katarak (Rakhi Dandona & Lalit Dandona, 2001). Kelainan refraksi dapat terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur, jenis kelamin, ras, dan lingkungan. Dalam satu penelitian menyatakan genetik juga memegang peranan besar pada miopia dan hipermetropia (Hammond et al , 2001).

(15)

Di Indonesia terdapat sekitar 1,5% atau 3,6 juta penduduknya mengalami kebutaan. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2011, gangguan refraksi merupakan penyebab kebutaan paling tinggi, yaitu dengan 198.036 pasien diikuti dengan katarak dan glaukoma, masing-masing 94.582 dan 25.175 pasien (Yulianus, 2013). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 menyatakan bahwa di Indonesia proporsi penurunan ketajaman penglihatan pada usia 6 tahun keatas sebesar 4,8% dan 0,9% mengalami kebutaan (Depkes, 2008), Sedangkan di Provinsi Sumatera proporsi penurunan ketajaman penglihatan sebesar 4,5% dan 0,7% mengalami kebutaan (Depkes, 2008).

Menurut perhitungan World health organization (WHO), tanpa ada tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap kelainan refraksi, hal ini akan mengakibatkan jumlah penderita akan semakin meningkat. Kenyataan ini sangat kontradiktif dengan pentingnya hak asasi manusia yakni hak memperoleh penglihatan yang optimal (right to sight) yang harus terjamin ketersediaannya. Dengan latar belakang tersebut, maka terdapat program kerjasama antara International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB) dengan WHO yang telah ditandatangani oleh lebih dari 40 negara termasuk Indonesia, “Vision 2020 : Right to Sight”, yang merupakan gagasan dari seluruh dunia berupa upaya kesehatan untuk menanggulangi masalah gangguan penglihatan termasuk kelainan refraksi dan kebutaan yang dapat dicegah atau direhabilitasi dengan dasar keterpaduan upaya dan bertujuan untuk menurunkan jumlah kebutaan pada tahun 2020 (Dunway & Berger, 2001).

Dalam program “Vision 2020 : Right to Sight” terdapat 4 prinsip utama, yaitu eye health promotion, prevention of eye disease, curative intervention, dan rehabilitation. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut diperlukan usaha dari tiap

(16)

telah mengupayakan penanggulangan gangguan penglihatan termasuk kelainan refraksi tersebut (Tsan, 2010).

Kelainan refraksi bukan hanya menggangu produktivitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara dalam menghadapi pasar bebas. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya, yang selanjutnya akan mempengaruhi mutu, kreativitas dan produktivitas kerja. Yang akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional yang kini dititikberatkan pada pengembangan dan penguatan usaha kecil menengah untuk mengentaskan golongan ekonomi lemah dari kemiskinan (RENSTRANAS PGPK, 2005).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, kelainanan refraksi akan menepati urutan kedua sebagai penyebab buta yang bisa dirawat setelah katarak. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengetahui bagaimanakah karakteristik kelainan-kelainan refraksi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi?

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan menentukan karakteristik penderita kelainan refraksi di RSUD Dr. Pirngadi Medan dari 1 Januari 2012 sampai 31 Desember 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui jumlah penderita kelainan refraksi di RSUD Dr. Pirngadi pada tahun 2012.

(17)

c. Untuk mengetahui proporsi kelainan refraksi berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2012

d. Untuk mengetahui proporsi kelainan refraksi berdasarkan kelompok umur pada tahun 2012

1.4 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Masyarakat

a. Supaya masyarakat dapat mengetahui proporsi jumlah kasus kelainan refraksi.

b. Peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan mata terutama refraksi

c. Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap kelainan refraksi

d. Untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya penjagaan kesehatan mata.

2. Peneliti

a. Sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam menerapkan metode penelitian dan menambah pengetahuan tentang kasus-kasus kelainan refrakasi

b. Memberi informasi dan masukan dalam meningkatkan pengetahuan tentang gambaran dan perbedaan jenis- jenis refraksi

3. Institusi

a. Memberi informasi bagi sarana pelayanan kesehatan supaya memperluaskan lagi pemberian informasi dan pendidikan tentang faktor- faktor penyebab kelainan refraksi.

(18)
(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisologi Mata

Gambar 2.1 Anatomi Mata

Yang termasuk media refraksi antara lain kornea, pupil, lensa, dan vitreous. Media refraksi targetnya di retina sentral (macula). Gangguan media refraksi menyebabkan visus turun (baik mendadak maupun perlahan) (Marieb & Hoehn, 2013).

(20)

sedikit pigmen = biru, tidak ada pigmen = merah / pada albino) (Marieb & Hoehn, 2013).

2.2. Media Refraksi

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan kaca), dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas &Yulianti, 2011).

(21)

2.2.1. Kornea

Kornea (Latin cornum=seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya. Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutupi bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu:

1. Epitel

Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat padanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

2. Membran Bowman

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma

Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. Membran Descement

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

(22)

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula okluden (Ilyas & Yulianti, 2011).

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf V. Saraf siliar longus berjalan supra koroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kepada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan (Ilyas & Yulianti, 2011).

Trauma atau panyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompresi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunya daya regenerasi ( Ilyas & Yulianti, 2011).

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk ke dalam mata dilakukan oleh kornea ( Ilyas & Yulianti, 2011).

2.2.2. Aqueous Humor (Cairan Mata)

(23)

saraf dalam retina. Penekanan ini menyebabkan kerusakan retina dan saraf optikus yang dapat menimbulkan kebutaan jika tidak diatasi (Sherwood, 2010).

2.2.3. Lensa

Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam bola mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris dan terdiri dari zat tembus cahaya (transparan) berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi (Ilyas & Yulianti, 2011).

Lensa berbentuk lempeng cakram bikonveks dan terletak di dalam bilik mata belakang. Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat lensa di dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa terus-menerus sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa sehingga membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat lensa yang paling dahulu dibentuk atau serat lensa yang tertua di dalam kapsul lensa. Di dalam lensa dapat dibedakan nukleus embrional, fetal dan dewasa. Di bagian luar nukleus ini terdapat serat lensa yang lebih muda dan disebut sebagai korteks lensa. Korteks yang terletak di sebelah depan nukleus lensa disebut sebagai korteks anterior, sedangkan dibelakangnya korteks posterior. Nukleus lensa mempunyai konsistensi lebih keras dibanding korteks lensa yang lebih muda. Di bagian perifer kapsul lensa terdapat zonula Zinni yang menggantungkan lensa di seluruh ekuatornya pada badan siliar (Ilyas & Yulianti, 2011).

Secara fisiologis lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi cembung, jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan, dan terletak ditempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan vitreous body dan berada di sumbu mata (Ilyas & Yulianti, 2011).

Keadaan patologik lensa ini dapat berupa tidak kenyal pada orang dewasa yang mengakibatkan presbiopia, keruh atau apa yang disebut katarak (Ilyas & Yulianti, 2011).

(24)

2.2.4. Badan Vitreous (Badan Kaca)

Badan vitreous menempati daerah mata di balakang lensa. Struktur ini merupakan gel transparan yang terdiri atas air (lebih kurang 99%), sedikit kolagen, dan molekul asam hialuronat yang sangat terhidrasi. Badan vitreous mengandung sangat sedikit sel yang mensintesis kolagen dan asam hialuronat (Mescher, 2010). Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina. Kebeningan badan vitreous disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya kekeruhan badan vitreous akan memudahkan melihat bagian retina pada pemeriksaan oftalmoskopi (Ilyas & Yulianti, 2011). Vitreous humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata yang sferis (Sherwood, 2010).

2.2.5. Panjang Bola Mata

Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan. Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh karena kornea (mendatar atau cembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang atau lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma ( Ilyas & Yulianti, 2011).

2.3. Kelainan Refraksi

2.3.1. Definisi kelainan refraksi

Kelainan refraksi sendiri adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata (Ilyas, 2006).

2.3.2 Epidemiologi kelainan Refraksi

(25)

juta orang. Angka kejadian rabun jauh meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Jumlah penderita rabun jauh di Amerika Serikat berkisar 3% antara usia 5-7 tahun, 8% antara usia 8-10 tahun, 14% antara usia 11-12 tahun dan 25% antara usia 12-17 tahun. Pada etnis tertentu, peningkatan angka kejadian juga terjadi walupun persentase tiap usia berbeda. Etnis Cina memiliki insiden rabun jauh lebih tinggi pada seluruh usia. Studi nasional Taiwan menemukan prevalensi sebanyak 12% pada usia 6 tahun dan 84 % pada usia 16-18 tahun. Angka yang sama juga dijumpai di Singapura dan Jepang (PERDAMI, 2010).

2.3.3 Klasifikasi kelainan refraksi

Klasifikasi kelainan refraksi adalah: (Ilyas, 2009) 1. Miopia

2. Hipermetropia 3. Astigmatisme

2.4 Miopia

2.4.1 Definisi Miopia

Miopia atau nearsightedness terjadi bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang tidak berakomodasi (Riordan-Eva & Whitcher, 2007)

(26)

2.4.2 Klasifikasi miopia

Miopia dibagi berdasarkan beberapa karakteristik: 1. Menurut kelainannya (Riordan-Eva & Whitcher, 2007),

a. Miopia aksial, yaitu bila diameter antero-posterior dari bola mata lebih panjang dari normal.

b. Miopia kurvatura, yaitu apabila terdapat unsur-unsur pembiasan lebih refraktif dibandingkan dengan rata-rata. Juga disebut miopia refraktif. 2. Menurut perjalanan penyakit (Ilyas, 2006),

a. Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.

b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambahnya panjang bola mata

c. Miopia maligna, yaitu miopia yang berjalan progresif, yang mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia permisiosa = miopia degeneraf.

3. Berdasarkan derajat beratnya (Ilyas, 2006),

a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 3 dioptri b. Miopia sedang, dimana miopia antara 3-6 dioptri

c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia antara 6-9 dioptri d. Miopia sangat berat, dimana miopia lebih daripada 9 dioptri. 2.4.3 Gejala miopia

Antara gejala yang dapat ditemukan pada miopia adalah seperti berikut (Ilyas, 2006):

1. Melihat jauh buram. 2. Juling saat melihat jauh. 3. Lebih jelas melihat dekat. 2.4.4 Diagnosis Miopia

(27)

Antara alat yang digunakan adalah: 1. Kartu Snellen

Gambar 2.4 Kartu Snellen 2. Bingkai percobaan

Gambar 2.5 bingkai percobaan 3. Set lensa coba.

(28)

Teknik pemeriksaan: (Ilyas, 2009),

1. Penderita duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter. 2. Pada mata dipasang bingkai percobaan dan satu mata ditutup.

3. Penderita di suruh membaca kartu Snellen mulai huruf terbesar dan diteruskan sampai huruf terkecil yang masih dapat dibaca.

4. Lensa negatif terkecil dipasang pada tempatnya dan bila tajam penglihatan menjadi lebih baik ditambahkan kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat di baca huruf pada baris terbawah.

5. Sampai terbaca basis 6/6.

6. Mata yang lain dikerjakan dengan cara yang sama 2.4.5 Penatalaksanaan Miopia

Tujuan penatalaksanaan miopia adalah dengan mengusahakan sinar yang masuk ke mata dapat difokuskan tepat pada retina. Penatalaksanaan miopia dapat dilakukan dengan cara:

1. Cara optik

a. Kacamata (Lensa Konkaf)

Koreksi miopia dengan kacamata, dapat dilakukan dengan menggunakan lensa konkaf (cekung/negatif) karena berkas cahaya yang melewati suatu lensa cekung akan menyebar. Bila permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu tinggi atau bila bola mata terlalu panjang seperti pada miopia, keadaan ini dapat dinetralisir dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata. Lensa cekung yang akan mendivergensikan berkas cahaya sebelum masuk ke mata, dengan demikian fokus bayangan dapat dimundurkan ke arah retina (Guyton, 2006).

b. Lensa kontak

(29)

permukaan anterior kornea tidak lagi berperan penting sebagai dari susunan optik mata. Sehingga permukaan anterior lensa kontaklah yang berperan penting.

2. Cara operasi

Ada beberapa cara, yaitu: (Friedman & Kaiser, 2009) a. Phakic intraocular lens

b. Radial keratotomy

c. Excimer photorefractive keratotomy d. LASEK (laser epithelial keratomileusis) e. LASIK (laser in-situ keratomileusis) f. Intraocular lens (IOL) implantation

2.5 Hipermetropia

2.5.1 Definisi Hipermetropia

Hipermetropia atau farsightedness adalah keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia ini sinar sejajar difokuskan di belakang macula lutea (Ilyas & Yulianti, 2011).

Hipermetropia dapat disebabkan :

a. Hipermetropia aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek

b. Hipermetropia kurvatural, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina

(30)
[image:30.595.181.479.113.340.2]

Gambar 2.7 gambaran refraksi hipermetropia 2.5.2 Klasifikasi hipermetropia

Hipermetropia dibagi berdasarkan beberapa karakteristik:

Berdasarkan kemampuan akomodasi, hipermetropia dibagi sebagai berikut : (Ilyas, 2006)

1. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia. 2. Hipermetropia manifes, dibagi

a. Hipermetropia manifes fakultatif : kelainan hipermetropik yang dapat dikoreksi dengan akomodasi sekuatnya atau dengan lensa sferis positif b. Hipermetropia manifes absolut : kelainan hipermetropik yang tidak dapat

dikoreksi dengan akomodasi sekuatnya

3. Hipermetropia total: Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan sikloplegia

2.5.3 Gejala Hipermetropia

(31)

2.5.4 Diagnosis Hipermetropia

Tujuan pemeriksaan hipermetropia untuk memfokuskan bayangan dari jarak jauh tepat di retina dengan memasangkan lensa sferis plus dengan atau tanpa lensa silinder. (Ilyas, 2009)

Antara alat yang digunakan adalah: 1. Kartu Snellen (Gambar 2.5)

2. Bingkai percobaan (Gambar 2.6) 3. Set lensa coba.(Gambar 2.7)

Teknik pemeriksaan adalah: (Ilyas, 2009)

1. Penderita duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter. 2. Pada mata dipasang bingkai percobaan dan satu mata ditutup.

3. Penderita di suruh membaca kartu Snellen mulai huruf terbesar dan diteruskan sampai huruf terkecil yang masih dapat dibaca.

4. Lensa positif terkecil dipasang pada tempatnya dan bila tajam penglihatan menjadi lebih baik ditambahkan kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat di baca huruf pada baris terbawah.

5. Sampai terbaca baris 6/6.

6. Ditambah lensa positif + 0.25 lagi dan titanyakan apakah masih dapat melihat huruf-huruf di atas.

7. Mata yang lain dikerjakan dengan cara yang sama. 2.5.5 Penatalaksanaan Hipermetropia

Tujuan penatalaksanaan hipermetropia adalah dengan mengusahakan sinar yang masuk ke mata dapat difokuskan tepat pada retina. Penatalaksanaan hipermetropia dapat dilakukan dengan cara :

1. Cara optic a. Kacamata

(32)

anak-anak, maka pemeriksaan sebaiknya dilakukan dengan memberikan sikloplegia atau melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamata pada saat mata tersebut beristirahat (Ilyas, 2006).

b. Lensa kontak

Lensa kontak merupakan lensa yang langsung ditempatkan pada kornea, dibuat dari badan ringan karena diameternya kecil bisa dibuat tipis, akan tetapi perlu diperhatikan kebersihan dan ketelitian pemakaiannya. Selain daripada masalah pemakaiannya dengan lensa kontak perlu diperhatikan masalah lama pemakaian, infeksi dan alergi terhadap bahan yang dipakai (Ilyas, 2006).

Keuntungan penggunaan lensa kontak ini adalah :

 Pada kelainan refraksi berat, penglihatan melalui lensa kontak praktis tidak berubah sedangkan dengan kacamata dengan lensa plus atau minus yang berat akan melihat semua lebih besar atau lebih kecil

 Dengan lensa kontak luas lapang pandang tidak berubah, sedang dengan kacamata lapangan pandang menciut

 Perubahan besar bayangan sedikit  Untuk kosmetik

2. Cara operasi

Terdapat beberapa jenis operasi (Friedman & Kaiser, 2009). a. Phakic intraocular lens

b. Radial keratotomy

(33)

2.6Astigmatisma

2.6.1 Definisi Astigmatisma

[image:33.595.172.453.237.436.2]

Astigmatisme adalah suatu keadaan dimana titik fokus dalam bentuk satu titik. Yang dimaksudkan dengan astigmatisma atau silindris adalah terdapatnya variasi kurvatura atau kelengkungan kornea atau lensa pada meridian yang berbeda yang akan mengakibatkan sinar tidak terfokus pada satu titik. (Ilyas, 2006)

Gambar 2.8 Gambaran refraksi astigmatisma 2.6.2 Klasifikasi Astigmatisma

Astigmatisma dibagi berdasarkan beberapa karakteristik: 1. Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina :

a. Astigmatisme Reguler

Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang yang saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari pada bidang yang lain.

1. Astigmatisme with the Rule

Bila pada bidang vertikal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang

horizontal

2. Astigmatisme against the Rule

(34)

3. Astigmatisme oblique

Adalah astigmatisma regular yang meridian-meridian utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan vertikal (Riordan-Eva & Whitcher, 2007).

b. Astigmatisme Irreguler

Di mana daya atau orientasi meridian-meridian utamanya berubah di sepanjang lubang pupil.

2. Berdasarkan letak titik vertikal dan horizontal pada retina a. Simple Astigmatism:

1. Simple Astigmatisma Myopia : garis fokus pertama adalah di depan retina, sedangkan yang kedua adalah pada retina.

2. Simple Astigmatisma Hiperopia : Garis fokus pertama adalah pada retina, sedangkan yang kedua terletak di belakang retina

b. Compound Astigmatism:

1. Compound Myopia Astigmatism: kedua jalur fokus ini terletak di depan retina.

Compound Hyperopia Astigmatism: kedua jalur fokus ini terletak di

belakang retina

[image:34.595.168.458.526.690.2]

c. Astigmatisma campuran : garis fokus berada di kedua sisi retina

(35)

2.6.3 Gejala Astigmatisma

Seseorang dengan astigmat akan memberikan keluhan melihat jauh kabur sedang melihat dekat lebih baik, melihat ganda dengan satu atau kedua mata, melihat benda yang bulat menjadi lonjong, penglihatan akan kabur untuk jauh ataupun dekat, bentuk benda yang dilihat berubah, mengecilkan celah kelopak, sakit kepala, mata tegang dan pegal, mata dan fisik lelah (PERDAMI, 2010) 2.6.4 Diagnosis astigmatisma

Tujuan pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui derajat lensa silinder yang diperlukan dan sumbu silinder yang dipasang untuk memperbaiki tajam penglihatan menjadi normal atau tercapai tajam penglihatan terbaik (Ilyas, 2009).

[image:35.595.226.399.420.549.2]

Alat yang digunakan : 1. Kartu Snellen (Gambar 2.5) 2. Bingkai percobaan (Gambar 2.6) 3. Set lensa coba (Gambar 2.7) 4. Kipas astigmatisma

Gambar 2.10 Kipas astigmatism

Teknik pemeriksaan (Ilyas, 2009)

1. Pasien duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter. 2. Pada mata dipasang bingkai percobaan.

3. Satu mata ditutup.

(36)

5. Pada mata tersebut dipasang lensa (+) dengan cukup besar ( misal S + 3.00) untuk membuat pasien mempunyai kelainan refraksi astigmatisma miopikus. 6. Pasien di minta melihat kartu kipas astigmatisma.

7. Pasien ditanya tentang garis pada kipas paling jelas terlihat.

8. Bila belum terlihat perbedaan tebal garis kipas astigmatisma maka lensa S + 3.00 diperlemah sedikit demi sedikit sehingga pasien dapat menentukan garis mana yang terjelas dan mana yang terkabur.

9. Lensa silindris negatif diperkuat sedikit demi sedikit dengan sumbu hingga pada suatu saat tampak garis yang mula-mula terkabur sama jelasnya dengan garis yang sebelumnya terlihat terjelas.

10.Bila sudah tampak sama jelas garis pada kipas astigmatisma, dilakukan tes melihat kartu Snellen.

11.Bila penglihatan belum 6/6 sesuai kartu Snellen, maka mungkin lensa positif (+) yang diberikan terlalu berat, sehingga perlu secara perlahan-lahan dikurangi kekuatan lensa positif tersebut atau di tambah lensa negatif.

12.Pasien diminta membaca kartu Snellen pada saat lensa negatif (-) ditambah perlahan –lahan sampai tajam penglihatan menjadi 6/6.

Pemeriksaan ini disebut cara pengkaburan (fogging technique of refraction).

2.6.5 Penatalaksanaan Astigmatisma

Tujuan penatalaksanaan adalah agar pasien dapat memprolehi tajam penglihatan terbaik, diusahakan supaya semua titik pembiasan jatuh pada macula luteal (Ilyas et al, 2010). Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan cara :

1. Cara optik

Kelainan astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa silindris, sering kali di kombinasi dengan lensa sferis. Karena otak mampu beradaptasi terhadap distorsi penglihatan

2. Cara operasi (Friedman & Kaiser, 2009) a. Excimer laser photorefractive keratectomy

(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

[image:37.595.118.499.247.535.2]

Berdasarkan tinjauan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi operasional 1. Jenis kelainan refraksi

Definisi operasional : Kelainan refraksi responden saat didiagnosa dan dicatat dalam rekam medik RSUD Dr. Pirngadi.

Cara ukur : Observasi Alat ukur : Rekam medik

(38)

2. Jenis kelamin

Definisi operasional : Jenis kelamin responden yang didiagnosa menderita kelainan refraksi dan dicatat dalam rekam medik RSUD Dr. Pirngadi

Cara ukur : Observasi Alat ukur : Rekam medik

Hasil ukur : Laki-laki dan perempuan Skala pengukuran : Nominal

3. Kelompok umur

Definisi operasional : Umur responden saat didiagnosa menderita kelainan refraksi dan dicatat dalam rekam medik RSUD Dr. Pirngadi Cara ukur : Observasi

Alat ukur : Rekam medik Hasil Ukur : Usia dalam tahun Skala pengukuran : Ordinal

4. Proporsi kelainan refraksi

Definisi operasional : angka kejadian kelainan refraksi yang didiagnosa dan dicatat dalam rekam medik per populasi yang berobat mata di RSUD Dr. Pirngadi dari 1 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012

Cara ukur : Dalam Rumus Alat ukur : Alat pengumpul data Hasil ukur : Persentase

(39)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Metode deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melakukan deskripsi mengenai fenomena yang ditemukan baik yang berupa faktor resiko maupun efek atau hasil. Cross sectional adalah observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu. Dalam penelitian ini, yang dinilai adalah prevalensi kelainan refraksi berupa jenis refraksi, usia pasien, dan jenis kelamin pasien di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi pada 1 januari 2012 hingga 31 desember 2012.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan diantara bulan Agustus – Oktober 2013 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi. Sebab pemilihan RSUD Dr. Pirngadi sabagai tempat penelitian karena ia bukan saja merupakan pusat pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu pusat rujukan di Sumatera Utara malah ia juga merupakan salah satu rumah sakit pendidikan di Sumatera Utara yang memiliki pasien kelainan refraksi yang relatif memadai untuk menjadi sampel penelitian.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

(40)

4.3.2. Sampel

Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan cara total sampling dimana seluruh rekam medis pasien-pasien dengan kasus refraksi di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi pada 1 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012.

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi.

Sampel penelitian ini telah ditentukan kriteria inklusi dan eksklusinya. Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah semua data yang tercatat/lengkap diisi dengan jenis kelamin, dan umur serta terdiagnosis jenis kelainan refraksinya, dan kriteria eksklusi dalam penelitian ini ialah presbyopia, katarak, emetropia dan asthenopia, dan data yang tidak tercantum didalamnya kriteria inklusi.

4.5. Metode pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperolehi dari pencatatan rekam medis. Pencatatan data yang diambil dari rekam medis kasus berupa jenis-jenis refraksi, usia pasien, dan jenis kelamin pasien dimulai dari 1 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012.

4.6. Pengolahan dan analisa Data

Data yang di peroleh dari rekam medis akan diteliti agar tidak terjadi kesalahan membaca data dari rekam medis. Informasi dan data yang didapat kemudian akan di masukkan ke komputer untuk dianalisa dengan menggunakan statistical package for the social sciences (SPSS). Data akan dianalisa secara

(41)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian dan Pembahasan 5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan yang merupakan suatu unit pelayanan kesehatan milik Pemerintah Kota Medan yang berada di Jalan Prof. H.M Yamin SH No. 47 Medan Sumatera Utara. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 1928 oleh Pemerintah Hindia Belanda dan selesai pada tahun 1930 dengan nama Rumah Sakit Kota. RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan rumah sakit Pendidikan kelas B berdasarkan keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor : 433/Menkes/SK/IV/2007.

Sebagai rumah sakit pendidikan kelas B, RSUD Dr. Pirngadi yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan dari seluruh Sumatera Utara dan Aceh ini mempunyai sekitar 20 jenis poliklinik dalam berbagai bidang spesialis dan sumber daya manusia yang berjumlah lebih kurang 1748 orang dalam bidangnya masing-masing.

5.1.2. Sejarah Singkat RSUD Dr. Pirngadi Medan

Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi didirikan tanggal 11 Agustus 1928 oleh pemerintah kolonial Belanda dengan nama “GEMENTE ZIEKEN HUIS” yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berumur 10 tahun bernama Maria Constantia Macky anak dari Walikota Medan saat itu dan diangkat sebagai Direktur adalah dr. W. Bays.

(42)

5.1.3. Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel yang diteliti selama priode 1 Januari 2012 sampai 31 Desember 2012 sebanyak 2925 pasien. Sampel didapat dari data sekunder pasien kelainan refraksi yaitu melalui rekam medik. Kelainan refraksi yang dimaksud adalah miopia, hipermetropia dan astigmatisma.

5.1.4 Diskripsi Sampel berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi

[image:42.595.106.507.380.530.2]

Berdasarkan penelitian, diperoleh jenis kelainan refraksi yang paling banyak adalah miopia dimana terdapat 1416 pasien (48,4%), kemudian diikuti dengan astigmatisma dan hipermetropia dengan masing-masing berjumlah 790 pasien (27%), dan 719 (24.6%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.1. Distribusi Jenis Kelainan Refraksi

No Jenis kelainan Refraksi Jumlah Persentase (%)

1. Miopia 1.416 48,4

2. Astigmatisma 790 27

3. Hipermetropia 719 24,6

Jumlah 2.925 100,0

5.1.5 Diskripsi Sampel berdasarkan Jenis Kelamin

(43)
[image:43.595.108.508.141.258.2]

Tabel 5.2. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Kelainan Refraksi

No Jenis kelamin Jumlah Persentase (%)

1. Laki-laki 982 33,6

2. Perempuan 1.943 66,4

Jumlah 2.925 100,0

5.1.6 Diskripsi Sampel Kelainan Refraksi berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian, diperolehi data jumlah penderita kelainan refraksi pada laki-laki ada 442 orang miopia, 259 orang hipermetropia dan 281 astigmatisma. Pada perempuan diperolehi 974 orang miopia, 460 orang hipermetropia dan 509 orang astigmatisma. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Distribusi Kelainan Refraksi Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis kelainan refraksi Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Miopia 442 974 1.416

2. Hipermetropia 259 460 719

3. Astigatisma 281 509 790

Jumlah 982 1.943 2.925

5.1.7 Diskripsi Sampel berdasarkan Kelompok Umur

[image:43.595.111.507.446.592.2]
(44)
[image:44.595.111.504.233.522.2]

kelompok umur 35 tahun – 44 tahun sebanyak 289 pasien (9,9%), kelompok 5 tahun – 14 tahun sebanyak 230 pasien (7.9%), dan yang paling sedikit di jumpai pada 25 tahun – 34 tahun sebanyak 163 pasien (5,6%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.4. di bawah.

Tabel 5.4. Distribusi Kelompok Umur Pasien Kelainan Refraksi

No Kelompok Umur Jumlah Persentase (%)

1. 0 tahun – 4 tahun 0 0

2. 5 tahun – 14 tahun 230 7,9

3. 15 tahun – 24 tahun 537 18,4

4. 25 tahun – 34 tahun 163 5,6

5. 35 tahun – 44 tahun 289 9,9

6. 45 tahun – 54 tahun 707 24,2

7. 55 tahun – 64 tahun 700 23,9

8. 65 tahun dan keatas 299 10,2

Jumlah 2.925 100,00

5.2. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari kelainan refraksi secara umum dan mengetahui proporsi kelainan refraksi berdasarkan jenis kelainan refraksi, jenis kelamin, dan kelompok umur pasien di Poliklinik Mata divisi refraksi RSUD Dr. Pirngadi Medan pada periode 1 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012.

(45)

Hong Kong adalah 36,71%. Hasil yang didapatkan oleh peneliti tidak sama dengan hasil penelitian Fan et al (2004).

Dari tabel 5.1., terlihat bahwa penderita astigmatisma sebanyak 790 atau 27% dari seluruh pasien poliklinik mata bahagian refraksi. Menurut penelitian Adeoti dan Egbewale (2008), proporsi astigmatisma di rumah sakit spesialis Mercyland di barat Nigeria adalah 21,80%. Hasil yang didapatkan oleh peneliti tidak sama dengan hasil penelitian Adeoti dan Egbewale (2008).

Pada tabel 5.1., terlihat bahwa penderita hipermetropia sebanyak 719 atau 24,6% dari seluruh pasien poliklinik mata. Menurut penelitian Amorim Garcia et al (2005), proporsi hipermetropia pada anak sekolah di timur laut Brazil adalah 71%. Hasil yang didapatkan oleh peneliti tidak sama dengan hasil penelitian Amorim Garcia et al (2005).

Pada tabel 5.2., terlihat bahwa pasien kelainan refraksi terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 1943 pasien atau 66,4% dari seluruh pasien poliklinik mata bahagian refraksi, sedangkan laki-laki sebanyak 982 pasien atau 33,6% dari seluruh pasien poliklinik mata. Menurut penelitian David Dunaway (2001), kelainan refraksi lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian ini menunjukkan persamaan dengan penelitian David Dunaway (2001).

Dari tabel 5.3, terlihat bahwa pasien lelaki yang menderita myopia adalah sebanyak 442 orang, hipermetropia 259 orang dan astigmatisma 281 orang. Pada pasien perempuan terlihat bahwa penderita myopia adalah sebanyak 974 orang, hipermetropia sebanyaj 460 orang dan astigmatisma 509 orang.

(46)

Macias et al (1999) melaporkan astigmatisma sebagai salah satu komponen kelainan refraksi yang mengakibatkan gangguan penglihatan, proporsinya bertambah dengan bertambahnya usia. Hasil yang didapatkan oleh peneliti tidak memiliki persamaan dengan laporan Macias et al (1999) dan David Dunaway (2001) tentang miopia, akan tetapi terdapat kesamaan dengan hasil penelitian David Dunaway (2001) tentang hipermetropia, dimana penderita penderita kelainan refraksi paling banyak pada kelompok umur 45 tahun ke atas.

(47)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Hasil dari penelitian tentang Karakteristik penderita kelainan refraksis di rumah sakit umum daerah dr. pirngadi dari 1 januari 2012 hingga 31 desember 2012, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Jumlah pasien penderita kelainan refraksi di RSUD Dr. Pirngadi adalah sebanyak 24,48% dari jumlah pasien poliklinik mata, yaitu 2925 orang . 2. Jenis kelainan refraksi pada pasien kelainan refraksi paling banyak adalah

miopia sebanyak yaitu 48,4% dari dari seluruh pasien poliklinik mata, diikuti oleh astigmatisma dan hipermetropia dengan masing-masing sebanyak 27% dan 24,6%.

3. Jenis kelamin pada pasien kelainan refraksi paling banyak adalah perempuan sebanyak 66,4% diikuti oleh laki-laki sebanyak 33,6% dari seluruh pasien poliklinik mata bahagian refraksi. Pada laki-laki ditemukan 442 orang miopia, 259 orang hipermetropia dan 281 astigmatisma. Pada perempuan diperolehi 974 orang miopia, 460 orang hipermetropia dan 509 orang astigmatisma. 4. Kelompok umur pada pasien kelainan refraksi paling banyak adalah 45 tahun

(48)

6.2. Saran

6.2.1 Bagi lahan Penelitian

a. Perlu dilakukan langkah-langkah intensif untuk mensosialisasikan pemeriksaan mata kepada masyarakat secara luas, mengingatkan kepentinggan pemeriksaan mata dalam mengantisipasi sedini mungkin terjadinya refraksi yang prevalensinya semakin meningkat.

b. Sosialisasi dan penyuluhan tentang pemeriksaan mata hendaknya dilakukan sejak dari bangku sekolah, sehingga masyarakat lebih tertarik dan termotivasi untuk melakukan permeriksaan mata. Selanjutnya diharapkan pengetahuan masyarakat tentang kelainan refraksi akan semakin meningkat.

6.2.2 Bagi Institusi Kesehatan

a. Institusi kesehatan dan juga para dokter diharapkan dapat menjelaskan dengan baik tentang kelainan refraksi kepada penderita agar dapat dicegah atau direhabilitasi dengan sedini mungkin.

b. Puskesmas hendaklah menyediakan fasilitas pemeriksaan mata supaya mudah dijangkau dan diakses oleh masyarakat, sehingga setelah masyarakat mengetahui tentang kepentingan layanan tersebut akan diikuti oleh kemauan untuk memeriksa diri.

c. Semua institusi kesehatan agar dapat membantu pemerintah dalam mencapai program “Vision 2020 : Right to Sight”.

6.2.3 Bagi Masyarakat

Tokoh masyarakat atau kader kesehatan hendaknya menjadi pelopor utama untuk mensosialisasikan pemeriksaan mata melalui kegiatan atau aktivitas- aktivitas sosial dilingkungan setempat sehingga masyarakat lebih mudah mencerna informasi.

6.2.4 Bagi Peneliti Selanjutnya

(49)

Daftar Pustaka

Adeoti, C., & Egbewale, B. (2008). Refractive errors in Mercyland Specialist Hospital, Osogbo, Western Nigeria. Niger Postgrad Med J. , 15(2):116-119.

Dandona, R., & Dandona, L. (2001 ). refractive error blindness. Bulletin of the World Health Organization 79 (3), 237-243.

Departement Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

de Amorim Garcia, C., Oréfice, F., Dutra Nobre, G., de Brito Souza, D., Ramalho Rocha, M., & Garrido Vianna, R. (2005). Prevalence of refractive errors in students in Northeastern Brazil. Arq Bras Oftalmol, 68(3):321-325.

Dunaway, D., & Burger, I. (2001). Worlwide Distribution of Visual Refractive Errors and What to Expect at a Particular Location. Retrieved, Available

from:www.infocusonline.org/WORLDWIDE%20DISTRIBUTION%20O F%20...? [Accessed 20 May 2013

Fan, D., Lam, D., Lam, R., Lau, J., Chong, K., Cheung, E., . . . Chew, S.-J. (2004). Prevalence, Incidence, and Progression of Myopia of School Children in Hong Kong. IOVS 4, 45, 1071-1075.

Friedman, N. J., & Kaiser, P. K. (2009). The Massachusetts Eye and Ear Infirmary Illustrated Manual of Ophtalmology 3rd ed. China: Saunders

Elsevier.

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2006). Textbook of Medical Physiology 11th ed. China: Elsevier Saunders.

Hammond, C. J., Snieder, H., Gilbert, C. E., & Spector, T. D. (2001). Genes and Enviroment in Refractive Error: The Twin Eye Study. Investigative Opthalmology & Visual Science 42 (6), 1232-1326.

Ilyas, S. (2009). Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata 3rd ed. Jakarta: FKUI.

(50)

Ilyas, S., Mailangkay, H., Taim, H., Saman, R. R., Sidarmata, M., & Widodo, P. S. (2010). Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran 2nd ed. Jakrta: Sagung Seto.

Macias, E., Lee, D., & Oelrich, F. (1999.). Refractive errors and visual acuity impairment among self-selected Hispanic, white and black adults examined by the UCLA Mobile Eye Clinic. J Am Optom Assn., 70;724-734.

Marieb, E. N., & Hoehn, K. (2013). Human anatomy & physiology 9th ed. San Fracisco: Pearson.

Mescher, A. L. (2010). Junqueiras's Basic Histology Text & Atlas 12th ed. Singapore: McGraw-Hill.

PERDAMI. (2010). Refraksi. Available

from:http://www.perdami.or.id/?page=news_seminat.detail&id=3 [Accessed18 May 2013]

R.D. Thulasiraj, R. M. (2000). Vision 2020: The Global Initiative for Right to Sight. Community Ophthalmology 1 (3), 20-22.

RENSTRANAS PGPK. (2005). Strategi Nasional Penangulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan.

Riordan-Eva, P., & Whitcher, J. P. (2007). Vaughan & Asbury's General Ophthalmology 17th ed. McGraw - Hill.

Sherwood, L. (2010). Human Physiology from Cells to Systems 7th ed. Canada:

Brooks/Coles, Cangage Learning.

Tsan , R. (2010). World Sight Day dan Vision 2020 di Indonesia.,Available from: health.kompas.com/read/2010/10/19/07082437/World.Sight.Day.dan.Vissi on.2020.di.Indonesia [Accessed 22 April, 2013]

World Health Organization. (2012). Global Data on Visual Impairment 2010. Geneva: World Heakth Organization.

Yulianus, J. (2013). Pencegahan Kebutaan Perlu Terus Diupayakan.Available from:

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi Mata
Gambar 2.2 Histologi mata
Gambar 2.3 gambaran refraksi miopia
Gambar 2.6 Set lensa coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

b. Karakteristik individu adalah potensi insani yang masih “tertanam” pada diri setiap individu dan siap untuk dimunculkan. Karakteristik individu diukur melalui alat

Informasi yang diberikan dirancang hanya sebagai panduan untuk penanganan, penggunaan, pemrosesan, penyimpanan, pengangkutan, pembuangan, dan pelepasan secara aman dan tidak

Semua pasangan batu atau batu kosong yang dibutuhkan untuk dibuat dalam persyaratan teknik ini dan untuk keperluan yang berhubungan dengannya, dan yang

- Dinilai dari aspek manajemen Koperasi Serba Usaha Karyawan Pemerintah Kota Semarang tahun 2011 adalah termasuk baik dengan hasil skor 11,50 dari keseluruhan skor 15.

[11] applied a hybrid forecasting method which is an integration of empirical mode decomposition (EMD) and ARIMA on a data set of commodities demand after natural

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

tersebut sudah menggunakan model e - learning sebagai media atau cara mengajar agar para siswa lebih mudah untuk memahami dan menerima materi yang di sampaikan.

Kode Barang Asal-usul Cara Nomor Bahan Nomor Register Merk / Type Ukuran /cc Nama Barang /.