• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teoritik 1.JKT48

4. Komunitas dan Budaya Penggemar

Komunitas dan budaya penggemar pada penelitian ini saling berkaitan, karena dengan adanya komunitas maka budaya penggemar akan semakin menguat eksistensinya. Sebelum membahas tentang budaya penggemar, akan dibahas terlebih dahulu apa itu komunitas.

a. Pengertian Komunitas

Berkaitan dengan kehidupan sosial, ada banyak definisi yang menjelaskan tentang arti komunitas. Tetapi setidaknya definisi

59

komunitas dapat didekati melalui; pertama, terbentuk dari sekelompok orang; kedua, saling berinteraksi secara sosial diantara anggota kelompok itu; ketiga, berdasarkan adanya kesamaan kebutuhan atau tujuan dalam diri mereka atau di antara anggota kelompok yang alin;

keempat, adanya wilayah-wilayah individu yang terbuka untuk anggota kelompok yang lain, misalnya waktu.60

Dalam buku terjemahan Bruce J. Cohen, komunitas didefinisikan sebagai kelompok khusus dari orang-orang yang tinggal dalam wilayah tertentu, memiliki kebudayaan dan gaya hidup yang sama, sadar sebagai satu-kesatuan, dan dapat bertindak secara kolektif dalam usaha mereka mencapai sesuatu tujuan.61

Kebudayaan memiliki hubungan yang signifikan dengan komunitas. Menurut elville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam Rulli mengatakan bahwa, segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat (komunitas) ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain.62

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft) merupakan konsep yang kurang lebih sama dengan konsep kelompok sekunder yang dikembangkan oleh Ferdinand Tonnies. Kedua istilah itu dapat diterjemahkan sebagai “komunitas” (community) dan “masyarakat” (society).63 Jadi, komunitas dalam penelitian ini dapat dikatakan sebagai kelompok sosial yang memiliki arti perkumpulan beberapa individu.

b. Indikator Komunitas

Menurut Kennerth dan Wilkinson dalam Isbandi, komunitas sekurang-kurangnya mempunyai tiga unsur dasar, yaitu:

60

Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, (Jakarta: Kencana: 2014), Cet. ke-2, h, 138

61

Bruce J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, (____: PT. Bina Aksara: 1983), Cet. ke-1, h. 315

62

Rulli Nasrullah, op. cit., h. 139

63

1. Ada nya batasan wilayah atau tempat (territory or place);

2. Merupakan suatu ‘organisasi sosial’ atau instusi sosial yang menyediakan kesempatan untuk para warga nya agar dapat melakukan interaksi antar warga secara reguler; dan

3. Interaksi sosial yang dilakukan terjadi karena ada nya minat atau kepentingan yang sama (common interest).64

Sedangkan menurut McMillan dan Chavis dalam jurnal penelitian oleh Yudho Hartono mengatakan bahwa paling tidak terdapat tiga karakteristik utama komunitas yang sering muncul, yaitu:

1. Kesatuan tempat (locality), komunitas didefinisikan secara fisik sebagai entitas spasial dimana titik beratnya lebih kepada lokasi geografis, seperti desa atau kota.

2. Jaringan sosial (social network), suatu komunitas dapat dikatakan keberadaannya apabila didalamnya terdapat network of relationship antar-anggota didalam suatu tempat yang sama. 3. Hubungan (relationship-communion), komunitas didefinisikan

sebagai suatu hubungan perasaan saling berbagi identitas (shared sense of identity) diantara individual-individual dari anggota komunitas tersebut.65

a. Budaya Penggemar

Para penggemar atau fans adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan praktik budaya pop. Pada tahun-tahun belakangan ini, kelompok penggemar (fans) lagi-lagi berada di bawah tatapan kritis

cultural studies. Dahulu, peggemar diperlakukan dengan dua cara— ditertawakan atau dipatalogikan. Menurut Joli Jenson dalam John Storey ‘Literatur mengenai kelompok penggemar dihantui doleh citra

64

Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada: 2013) Cet. ke-2, h. 83

65

Yudho Hartono, Jurnal Penelitian: Dinamika Hubungan Perusahaan dan Komunitas Konsumen Sebuah Implikasi Stratejik bagi Pemasar, Jurnal Manajemen Bisnis, 2008. Volume 1, Nomor 1, h. 18.

penyimpangan.66 Penggemar selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang potensial. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan. Jenson dalam John Storey menunjukkan dua tipe khas patolohi penggemar, ‘individu yang terobsesi’ (biasa nya laki-laki) dan ‘kerumunan histeris’ (biasa nya perempuan).

Kelompok penggemar disebut-sebut melakukan aktivitas kultural khalayak pop, sementara kelompok-kelompok dominan dikatakan memiliki minat, selera, dan preferensi kultural.67 Hal ini diperkuat oleh obejk-objek kekaguman. Budaya resmi atau dominan menghasilkan apresiasi estetik; kelompok penggemar hanya pas untuk pelbagai teks dan praktik budaya pop. Selain itu, pembedaan dibuat tidak hanya melalui objek kekaguman tetapi juga melalui bagaimana objek tersebut dikagumi. Para khalayak pop dikatakan memamerkan kesenangan mereka hingga menimbulkan ekses emosional, sementara khalayak budaya resmi dan budaya dominan senantiasa mampu memelihara jarak dan kontrol estetik yang terhormat.

Catatan mutakhir paling menarik mengenai budaya penggemar dalam cultural studies adalah Textual Poarches karya Henry Jenkis pada sebuah penelitian etnografis mengenai sebuah komunitas penggemar. Sumber teoritis utama Jenkis adalah teoritikus budaya Prancis, Michel de Certeau yang membongkar istilah ‘konsumen’ untuk menguak aktivitas yang terletak didalam tindak konsumsi: apa yang dia sebut ‘produksi sekunder’.68 Bagi de Certeau, medan budaya adalah sebuah situs konflik yang berlangsung terus (diam adan hampir tidak kentara) di antara ‘strategi’ penimpaan budaya (produksi) dan ‘taktik’ penggunaan budaya (konsumsi).69

Menurut Jenkis dalam John Storey adalah,

66

John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra: 2007), Cet. ke-2, h. 157

67 Ibid., John, h. 157 68 Ibid., John, h. 160 69 Ibid., John, h. 161

Apa yang signifikan tentang penggemar dalam hubungan nya dengan model de Certeau adalah bahwa mereka merupakan komunitas konsumen yang sangat aktif dan vokal yang aktivitas-aktivitasn nya megarahkan perhatian pada proses pemberian (makna) kultural ini... Para penggemar tidak lah unik dalam status mereka sebagai pemburu tekstua, kendati demikian, mereka telah mngembangkan tindakan berburu menjadi sebentuk seni. Jenkis memiliki pendapat yang berbeda dengan de Certeau, menurut dia tidak seperti pembacaan populer, yang Jenkis ciri kan sebagai ‘produksi makna yang berdurasi pendek’, pembacaan yang dilakukan penggemar memiliki eksistensi terus-menerus dalam diskusi dengan para pembaca penggemar lainnya.70

Perbedaan kedua antara pembaca populer de Certeau dan aktivitas kelompok penggemar adalah bahwa didalam kelompok penggemar tidak dapat pembedaan yang kaku antara pembaca dan penulis. Budaya penggemar adalah suatu budaya konsumsi dan produksi. Kelompok penggemar tidak hanya soal konsumsi, ia juga berkenaan dengan produksi teks—lagu, puisi, novel, fanzine (majalah yang di kelola secara amatir dan ditujukan bagi subkultur antusias pada minat tertentu), video, dan lain-lain—yang di buat sebagai respon atas teks media profesional mengenai kelompok penggemar.71

Menurut Jenkis dalam John Storey mengemukakan bahwa, ‘kelompok penggemar merupakan ... suatu ruan ... yang didefinisikan berdasarkan penolkannya atas nilai dan praktik biasa/mundane, perayaannya atas emosi yang digeluti secara mendalam dan kesenangan yang direngkuh dengan penuh gairah.72 Fiske dalam John Storey juga memberikan penegasannya bahwa perbedaan nyata antara seorang

70 Ibid., John, h. 162 71 Ibid., John, h. 162 72 Ibid., John, h. 166

penggemar dan pembaca ‘biasa’ adalah pada ‘unsur lebih’—penggemar adalah seorang pembaca budaya pop yang berlebihan.73

Dari pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang

fans merupakan pembaca budaya pop yang berlebihan sehingga apapun yang berkaitan dengan idola mereka segalanya akan dilakukan dan diusahakan. Ditambah lagi dengan komunitas yang berpengaruh dengan budaya penggemar semakin menambah eksistensinya. Dengan memiliki minat, dan kegemaran yang sama para fans dapat menyalurkan atau membagi hal tersebut secara berkelompok melalui ikatan emosional yang telah terbentuk.

5. Budaya Pop/PopCulture a. Budaya

Untuk mendefinisikan budaya pop, sebelum itu perlu mendefinisikan istilah budaya terlebih dahulu. Raymond Williams dalam John Storey mengatakan bahwa budaya sebagi “satu dari dua atau tiga kata yang paling rumit dalam bahasa Inggris. Kemudian Williams memberikan tiga definisi yang sangat luas.74

Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada “suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual, dan estesis”.

Kedua¸budaya bisa berarti “pandangan hidup tertentu masyarakat, periode, atau kelompok tertentu”. Ketiga, budaya bisa merujuk pada “karya dan praktik-pratik intelektual, terutama aktivitas artistik”.

Jika berbicara mengenai budaya pop berarti menggabungkan makna budaya kedua dengan makna ketiga. Makna kedua—pandangan hidup tertentu—memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik-praktik seperti berlibur ke pantai, perayaan Idul Fitri, dan yang lainnya, semua hal ini biasanya disebut sebagai budaya-bdaya yang hidup atau disebut juga sebagai praktik-praktik budaya. Sedangkan makna

73

Ibid., John, h. 168

74

ketiga—praktik berkemaknaan—memungkinkan kita membahas tentang musik pop dan komik sebagai contoh budaya pop.75

Dari berbagai definisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, budaya adalah sesuatu yang mengacu pada proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estesis dan pandangan hidup tertentu masyarakat untuk memenuhi aktivitas kehidupannya.

b. Budaya Pop

Ada beberapa cara untuk mendefinisikan budaya pop. Kata pertama yang akan di bahas adalah istilah “popular”. Terhadap istilah ini Williams dalam John Storey memberikan empat makna: “banyak disukai orang,” “jenis kerja rendahan”, “karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang”, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk diri nya sendiri”. 76 Kemudian, untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua sitilah, yakni ”budaya” dengan “popular” yang keduanya memiliki formulasi definisinya sendiri-sendiri. Dari sisi sejarah perjalanan teori budaya dengan budaya pop itu adalah suatu sejarah dimana dua istilah itu terhubung satu sama lain oleh pemakaian teoritis dalam konteks historis dan sosal tertentu.

Ada satu titik awal yang menyatakan bahwa budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disuaki orang. Misalnya, bisa diteliti dari konser musik, festival, dan lain-lain. Kita dapat menemukan budaya pop pada apa yang disukai orang-orang, namun kita bisa menemukannya pada banyak hal yang secara teoritis tidak bisa digunakan sebagai definisi konseptual.77 Definisi budaya pop harus pula mencakup dimensi kuantitatif. Pop-nya budaya popular menjadi sebuah prasayarat. Pengakuan ini mencakup juga pengakuan resmi akan istilah “budaya tinggi” terutama pada penjualan buku,

75 Ibid., John, h. 3 76 Ibid., John, h. 10 77 Ibid., John, h. 11

rekaman dan juga rating audiens TV yang dinyatakan sebagai budaya “pop”.

Cara kedua untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah). Budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi prasyarat budaya tinggi. Dengan kata lain, budaya pop didefinisikan sebagai budaya “substandar”. 78 Dalam John seorang sosiolog Perancis, Pierre Bourdieau mengatakan bahwa perbedaan budaya seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara perbedaan klas. Bourdieau menyebutkan satu contoh, yaitu konsumsi budaya. Menurut Bourdieau, konsumsi budaya sudah ditentukan, sadar, dan disengaja, atau tidak untuk tujuan memenuhi fungsi sosial pengabsahan perbedaan sosial. Pembatasan ini didukung oleh pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya komersial dampak dari produksi massal, sedangkan budaya tinggi adalah hasil kreativitas individu.79

Ketiga, untuk mendefinisikan budaya pop adalah menetapkannya sebagai “budaya massa”.80 Persoalan pertama adalah mereka yang menyebut budaya pop sebagai budaya massa dengan tujuan menegaskan bahwa budaya massa secara komersial tidak bisa diharapkan. Budaya ini dikonsumsi tanpa berpikir panjang dan tanpa perhitungan. John Fiske dalam John Storey mengungkapkan bahwa “antara 80%-90% produk baru gagal walaupun diiklankan dengan kuat... beberapa film gagal kembali modal meskipun biaya promosi nya sangat besar”. Banyak contoh, misalnya suatu label musik mengeluarkan single atau album ke dunia musik karena pada saat itu sedang marak wanita atau pria secara berkelompok bernyanyi dan menari, walau pun sudah promosi secara besar-besaran akan tetapi pada akhirnya girlband tersebut bubar dan menjadi produk gagal.

78 Ibid., John, h. 11 79 Ibid., John, h. 12 80 Ibid., John, h. 15

Definisi keempat, budaya pop adalah budaya yang berasal dari rakyat.81 Budaya pop adalah budaya otentik “rakyat”. Maskud dalam hal ini adalah budaya pop tidak lain dan tidak bukan adalah berasal dari rakyat dan dinikmati pula oleh rakyat, sehingga budaya pop ini akan terus turun temurun dilakukan oleh generasi-generasi berikutnya.

Definisi kelima, budaya poop berasal dari analisis politik tokoh Marxis Italia, Antonio Gramsi terutama tentang pengembangan konsep hagemoninya. Gramsci dalam John Storey menggunakan istilah hagemoni untuk mengacu pada cara dimana kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok subordiansi melalui proses “kepemimpinan” intelektual dan moral. Pendapat Gramsci mengenai budaya pop dalam konsep hagemoni dikenal juga dengan teori hagemoni neo-Gramscian.82 Teori ini menganggap budaya sebagai tempat terjadinya pergulatan antara usaha perlawanan kelompok subordinasi dan inkorporasi kelompok dominan dalam masyarakat. Dalam penggunaan teori ini tidak diberlakukan seperti empat definisi yang sebelumnya melainkan sebagai suatu lingkup tukar-menukar, keduanya akan berkelindan dalam rupa perlawanan dan penyatuan (resistensi dan inkorporasi). Teks dan praktik budaya pop bergerak dalam apa yang oleh Gramsci disebut sebagai “keseimbangan kompromis”.83 Misalnya, liburan ke pantai dulu dianggap sebagai budaya para bangsawan, dan dalam tempo 100 tahun ia berubah menjadi budaya pop. Konsep pokok penggunaan perspektif Neo-Gramscian adalah konsep “artikulasi” (kata ini dipahami dalam arti ganda, yaitu mengekspresikan dan menyatukan).84

Definisi keenam, budaya pop berasal dari pemikiran

postmodernisme. Persoalan utama dalam perdebatan tentang hubungan antara postmodernisme dengan budaya pop adalah pernyataan bahwa

81 Ibid., John, h. 18 82 Ibid., John, h. 19 83 Ibid., John, h. 19 84 Ibid., John, h. 20

budaya postmodern adalah budaya yang tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan budaya pop. Akibatnya postmodernis menyatakan sekarang “semua budaya adalah budaya postmodern”.85 Mereka menentang pembatasan tegas budaya pop dengan budaya massa dan mereka pula menegaskan budaya pop adalah budaya komersial. Salah satu contoh interpretasi komersial dan budaya postmodern dapat ditemukan dalam hubungan antara TV komersial dengan musik pop. Nidji, Isyana Sarasvati, JKT48, Afgan, dan Ayu Ting-Ting masing-masing memiliki rekaman lagu-lagu yang mereka nyanyikan di TV komersial. Terlepas dari apakah semua definisi ini beranggapan sama terhadap budaya pop manapun, yang jelas ia muncul mengikuti industrialisasi dan urbanisasi.86 Inilah definisi budaya dan budaya pop yang bergantung pada keberadaan ekonomi pasar kapitalis.87

Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak mudah mengidentifikasi secara pasti sebuah definisi dari istilah budaya pop. Apapun istilah yang digunakan entah itu budaya massa, budaya tinggi, budaya kelas buruh, atau budaya daerah yang tercakup dalam definisi budaya pop seluruh nya—dengan proporsinya masing-masing—akan membawa perubahan definisi terhadap budaya pop tertentu. Akan tetapi ada suatu pembagian umum mengenai pembagian antara studi teks (fiksi pop, TV, musik pop, dsb.) dan budaya atau praktik budaya yang hidup (liburan ke pantai, perayaan hari Lebaran, dan lan-lain).88

85 Ibid., John, h. 22 86 Ibid., John, h. 23 87 Ibid., John, h. 24 88 Ibid., John, h. 26