• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Kehidupan Komunitas Kwatisore

Secara administrasi pemerintahan kawasan tempat warga Kwatisore bermukim disebut sebagai Kampung Akudiomi, Dusun Kwatisore, namun oleh masyarakat pesisir Teluk Cenderawasih dan para pendatang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Kwatisore. Kampung Kwatisore merupakan salah satu kampung di kawasan TNTC yang sangat populer hingga ke mancanegara karena keberadaan hiu paus (Whale Shark) yang sering terlihat di kawasan perairannya. Kampung Kwatisore terletak di Perairan Kwatisore yang berada pada wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Kwatisore Kabupaten Nabire dan merupakan wilayah zona penyangga (buffer zone) dengan pemanfaatan terbatas pada teknik dan lokasi pengambilan hasil laut terutama di sektor perikanan tangkap. Kwatisore pun sebagai kampung yang berlokasi di dalam kawasan TNTC ikut serta dalam konsultasi publik ketika perancangan dan penyusunan zonasi dilakukan.

Gambar 11. Peta Wilayah Kwatisore

Kwatisore memiliki luas wilayah 246 km2 dengan bagian selatannya dikelilingi oleh hutan dan bagian utaranya berhadapan dengan laut wilayah TNTC. Kwatisore tidak memiliki sejarah yang pasti mengenai awal mula terbentuknya kampung. Jika ditanya mengenai sejarah kampung secara mendetail kepada komunitas Kwatisore, cukup sulit komunitas untuk menceritakannya karena cerita sejarah hanya diberitahukan oleh para tetua adat kepada anak cucunya pada tempat, waktu dan orang yang tepat. Cerita tentang sejarah kampung jika diceritakan pada waktu yang tidak tepat, warga kampung percaya akan membahayakan nyawa orang yang menceritakan dan orang yang mendengarkan cerita. Oleh karena itulah cerita mengenai sejarah kampung tidak memiliki kebenaran yang mutlak dan memiliki beberapa versi cerita.

Versi pertama sejarah Kampung Kwatisore berawal seseorang bernama Hinak yang berasal dari Suku Yaur yang memiliki anak-anak dimana salah satunya bernama Awatanenggo Inggeruhi. Ketika sedang tidur Awatanenggo mendapatkan penglihatan di dalam mimpinya untuk datang ke suatu tempat (saat itu Kwatisore belum memiliki nama). Jika tempatnya baik untuk hidup maka Awatanenggo diharuskan untuk membawa saudara-saudaranya yang lain untuk datang dan tinggal di tempat tersebut. Kemudian Awatanenggo datang ketempat yang dimaksud oleh mimpinya, dengan membawa segenggam tanah dari lokasi tersebut Awatanenggo pulang dan kemudian meletakkan segenggam tanah yang ia bawa di bawah tempat tidur. Malam harinya Awatanenggo bermimpi kembali kalau tempat tersebut layak untuk ditinggali. Keesokan harinya Awatanenggo akhirnya membawa serta saudara-saudaranya Aduari, Andoi dan Numabogre untuk tinggal dan bermukim di tempat tersebut, hingga akhirnya sampai sekarang anak cucu mereka tinggal di tempat tersebut yang saat ini bernama Kampung Kwatisore. Awalnya mereka tinggal di batu gantung di puncak bukit, kemudian pindah ke pesisir karena sumber daya alam pesisir yang mudah didapat, kemudian pindah lagi ke daerah bernama purei hingga akhirnya kembali dan menetap di pesisir.

Gambar 12. Kampung Kwatisore

Versi kedua sejarah Kampung Kwatisore yaitu karena adanya pembuangan budak ke Kwatisore yang lama kelamaan menjadi tempat bermukim. Dan versi ketiganya karena adanya pengusiran dari masyarakat Yaur kepada keluarga Awatanenggo Inggeruhi. Masyarakat Yaur menganggap perilaku Awatanenggo membahayakan masyarakat kampung setelah ia mengancam setiap pendatang yang datang ke kawasan Suku Yaur. Akhirnya Awatanenggo membawa keluarganya pindah hingga menemukan Kwatisore, sebuah tempat berbentuk teluk yang aman bagi keluarganya dari gangguan pendatang. Tempat tersebut merupakan teluk kecil yang hanya memiliki satu jalan masuk sehingga apabila ada orang yang datang akan mudah diketahui dan dapat segera bersiap untuk menyerang jika dianggap membahayakan keluarga Awatanenggo. Sama halnya dengan sejarah Kampung Kwatisore, arti kata Kwatisore pun memiliki beberapa versi yaitu:

1. Kwatisore berasal dari kata kwaterere yang artinya orang baru datang (pendatang)

3. Kwatisore artinya kampung baru

4. Kwatisore artinya tempat kudus yang berasal dari kata kwatirere.

5. Kwatisore berarti hujan sore hari, berasal dari kwate: hujan dan sore: sore hari Kampung Kwatisore merupakan salah satu kampung yang terletak dipinggiran kawasan TNTC yang secara administratif pemerintahan Kampung Kwatisore memulai pemerintahan formalnya tahun 1939. Pada saat itu Indonesia masih dalam masa pemerintahan Belanda. Masa pemerintahan Belanda, mekanisme penyelenggaraan pemerintahan tentang daerah dan desa dilakukan berdasarkan undang-undang pemerintahan Hindia Belanda atau disebut juga Regelig Reglemen pada tahun 1854 yang kemudian berubah menjadi Indische Staatsregeling pada tahun 1924. Belanda, memberikan kekuatan hukum kepada desa dengan mengeluarkan Indlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura pada tahun 1906 hingga tahun 1942 dan Inlandshe Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) yang berlaku di luar Pulau Jawa dan Madura pada tahun 1938 hingga tahun 1942. Pemerintahan formal Kampung Kwatisore ditandai dengan terpilihnya Fredek Refasi sebagai Kepala Kampung. Pemilihan kepala desa sesuai dengan aturan perundangan-undangan Hindia Belanda yaitu desa memiliki hak untuk memilih kepala desa secara mandiri dan desa berhak mengatur pemerintahannya sendiri. Setelah Fredek Refasi, kepala Kampung Kwatisore selanjutnya adalah Librek Marani. Setelah habis masa pemerintahannya, Librek Marani digantikan oleh Gustaf Yamban sekitar tahun 1960-an yang kemudian digantikan oleh Marselur Karawodi.

Masa Orde Baru, masa pemerintahan Presiden Soeharto, aturan perundang- undangan di Indonesia banyak mengalami perubahan terutama tentang pemerintahan desa. Perubahan kebijakan desa diatur berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa yang menyatakan bahwa kedudukan pemerintahan desa sejauh mungkin diseragamkan baik bentuk dan susunannya untuk memperkuat pemerintahan desa dalam pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. Tahun 1980, pemerintahan kampung berganti dengan pemerintahan desa sehingga terdapat perubahan pula pada penyebutan kepala kampung berubah menjadi kepala desa. Pada saat itu kepala desa dimana Kampung Kwatisore termasuk didalamnya dijabat oleh Nataniel Maniba.

Kampung Kwatisore pada masa penjajahan Belanda merupakan kampung yang berdiri sendiri tetapi pada masa pemerintahan Orde Baru Kampung Kwatisore bergabung dengan Kampung Yaur dan Kampung Sima membentuk satu desa yang bernama Desa Yaur. Pada saat itu Kampung Kwatisore dipimpin oleh kepala desa Sefnat Monei yang kemudian setelah masa pemerintahannya berakhir digantikan oleh Simon P Hanebora. Kemudian Kampung Yaur memisahkan diri dari kedua kampung. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk Kampung Yaur yang lebih banyak dibandingkan dua kampung lainnya. Kampung Kwatisore dan Kampung Sima berganti nama menjadi Desa Akudiomi. Nama Akudiomi diambil dari nama batu gantung yang terdapat di puncak bukit Kampung Kwatisore. Menurut warga Kwatisore akudiomi memiliki arti pergi untuk kembali. Selanjutnya kedua kampung ini pun berpisah, Kampung Kwatisore tetap menggunakan nama Desa Akudiomi sedangkan Kampung Sima berganti nama menjadi Desa Sima sesuai dengan nama kampungnya. Tahun 1998 Kampung Kwatisore secara definitif resmi menjadi sebuah desa dengan nama

Desa Akudiomi, dipimpin oleh seorang kepala desa yaitu Akwila Andoi hingga tahun 2007 digantikan oleh Matias Hamberi sampai sekarang. Saat ini pun Desa Akudiomi kembali berubah nama menjadi Kampung Akudiomi. Penyebutan desa kembali didasarkan pada penyebutan dari daerah masing-masing seperti kampung atau dusun. Jadi dari dimulainya pemerintahan formal di masa penjajahan Belanda sampai sekarang Kampung Kwatisore telah mengalami sembilan kali masa pergantian kepemimpinan kepala desa yang secara berurutan Kepala Kampung Kwatisore (Akudiomi) dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Fredek Refasi 2. Librek Marani 3. Gustaf Yamban 4. Marselus Karawodi 5. Nataniel Maniba 6. Sefnat monei 7. Simon P Hanebora 8. Akuwila Andoi 9. Matias Hamberi

Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan TNTC sudah jauh lebih dahulu tinggal dan menetap dalam kawasan Teluk Cendrawasih, bahkan sebagian kampung sudah ada ratusan tahun, termasuk Kampung Kwatisore. Jumlah penduduk Kampung Kwatisore (Akudiomi) berdasarkan data BPS (2015) adalah 326 orang dengan penduduk laki-laki berjumlah 180 orang dan penduduk perempuan berjumlah 146 orang dengan rata-rata jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga adalah 5-7 orang dengan jumlah total Kepala Keluarga 94 KK. Pada waktu penelitian dilakukan berdasarkan informasi dari kepala kampung dan polsek Distrik Yaur total jumlah penduduk yang tinggal permanen di kampung hanya sekitar kurang lebih 40 KK dari 94 KK. Saat itu penduduk Kampung Kwatisore lebih banyak berada di Nabire. Hal ini disebabkan karena kemudahan dalam akses untuk membeli kebutuhan sehari-hari, berdagang, transportasi, komunikasi hingga listrik, bahkan tidak sedikit yang telah memiliki rumah pribadi.

Di dalam kawasan TNTC bermukim masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, marga dan adat istiadat yang sangat beragam. Adapun suku-suku dan bahasa yang ada di kawasan TNTC berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh WWF tahun 2012 adalah Suku Wandamen, Suku Wamesa, Suku Roswar, Suku Roon, Suku Yaur, dan Suku Umar. Setiap suku tidak menempati satu kampung saja, tetapi mereka tersebar di beberapa kampung dan setiap individu memiliki marganya masing-masing sesuai dengan garis keturunan keluarga dari bapak (patrilineal). Ada beberapa marga yang khusus hanya ada di suatu kampung tertentu dan marga tambahan lainnya ada dikarenakan terjadinya pernikahan dengan masyarakat dari kampung lain (WWF 2012). Penduduk Kampung Kwatisore (Akudiomi) sendiri berasal dari Suku Yaur dan dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan Bahasa Yaur. Penduduk Kampung Kwatisore terdiri dari sembilan marga yaitu (1) Marga Inggeruhi, (2) Marga Aduari, (3) Marga Numobogre, (4) Marga Andoi, (5) Marga Hamberi, (6) Marga Yamban, (7) Marga Musyeri, (8) Marga Abowi dan (9) Marga Nahumoni. Marga tertua di Kampung Kwatisore sesuai dengan sejarah berdirinya kampung yaitu Marga Inggeruhi.

Gambar 13. Pemandangan Kampung Akudiomi

Pola kekerabatan masyarakat di dalam kawasan dilihat dari garis keturunan, pewarisan sumber daya, pola perkawinan, dan tempat tinggal pasca menikah. Garis keturunan yang dianut adalah garis keturunan bapak atau patrilineal, yang berarti marga/fam yang dipakai oleh keturunan baik anak laki-laki maupun anak perempuan adalah marga/fam ayah. Dalam sistem pembagian warisan, pola yang dianut adalah sama untuk semua anak, baik kakak, adik, anak laki-laki maupun perempuan, kecuali untuk warisan tanah dimana anak laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada saudara perempuannya dan laki-laki yang tertua mendapatkan warisan yang lebih besar dibandingkan dengan adik-adiknya.

Pola perkawinan masyarakat sekitar kawasan yaitu calon suami atau istri dipilih sendiri oleh anak yang akan menikah. Sebelum menikah, calon istri yang sudah dipilih dan disetujui oleh kedua belah pihak keluarga akan dilamar terlebih dahulu oleh keluarga laki-laki dengan membayar mas kawin. Mas kawin/mahar dapat dibayar langsung semuanya secara sekaligus atau dengan cara menyicil sesuai kesepakatan bersama. Barang-barang yang biasa digunakan sebagai mas kawin atau mahar adalah piring besar, piring batu kecil, guci, gelang besi putih, atau uang tunai tergantung dari permintaan mempelai wanita dan keluarganya. Setelah menikah, keluarga baru tersebut dapat tinggal serumah bersama dengan orang tua laki-laki atau orang tua perempuan untuk sementara waktu hingga memiliki rumah sendiri atau apabila telah memiliki rumah sendiri setelah menikah bisa langsung menempati rumah tersebut tanpa harus tinggal terlebih dahulu di rumah mertua.

Penduduk Kampung Kwatisore sama halnya dengan penduduk di kampung lainnya yang berdomisili di dalam kawasan TNTC dikategorikan sebagai masyarakat peramu. Hal ini disebabkan karena sebagian besar aktivitas kehidupannya masih memanfaatkan sumber daya alam disekitarnya baik di darat maupun di laut. Namun sebagai masyarakat pesisir dan dilihat dari lamanya curahan waktu, penduduk Kwatisore lebih banyak menghabiskan aktivitasnya di laut dibandingkan di darat. Oleh karena itu menjadi nelayan merupakan mata pencaharian utama penduduk Kwatisore. Sedangkan selain melaut penduduk Kwatisore juga berkebun, berternak, berburu, dan meramu sagu. Hasil laut yang umumnya diperoleh adalah teripang, kima, bia, penyu, ikan hias, lobster, ikan kerapu, ikan cakalang, ikan tuna, ikan tenggiri dll. Khusus untuk ikan kerapu dan lobster dahulu sebelum masuk adanya keramba jaring apung ikan kerapu dan lobster hanya menjadi kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga. Namun setelah

adanya Keramba Jaring Apung (KJA), nelayan yang mendapatkan ikan kerapu, tongsing dan lobster hidup akan menjualnya ke keramba dengan harga perekornya ditentukan berdasarkan berat dan ukuran ikan. Kegiatan mencari ikan yang dilakukan warga Kwatisore masih bersifat ekstraktif, artinya dalam melakukan aktivitas di laut, masyarakat hanya mengambil komoditas yang disediakan oleh alam tanpa ada upaya-upaya perlakuan budidaya untuk meningkatkan produksi.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa selain sebagai nelayan, warga Kwatisore juga melakukan kegiatan sampingan dengan bertani maupun berburu. Kegiatan pertanian dilakukan hanya pada tanaman-tanaman pokok seperti keladi, ubi jalar, singkong, juga sayur-sayuran. Berburu hanya dilakukan sesekali saja oleh warga Kwatisore dan bukan merupakan suatu keharusan. Hasil berburu yang diperoleh warga Kwatisore biasanya adalah rusa, babi hutan, tikus tanah, kuskus dan juga berbagai jenis burung. Berburu umumnya dilakukan jika keadaan laut sedang tidak bersahabat. Sedangkan untuk sumber daya hutan warga biasanya berburu kayu gaharu yang kemudian dijual ke Nabire atau mencari kayu gaharu berdasarkan pesanan. Di hutan warga Kwatisore juga mengambil kayu yang digunakan untuk membangun berbagai fasilitas kampung dan untuk memasak.

Tabel 6. Mata Pencaharian

Jumlah Pekerjaan Jumlah (orang)

Tani 168

Dagang 4

Pegawai Negeri 10

Total 182

Sumber: Kantor Distrik Yaur 2014

Sebagian kecil warga Kwatisore ada yang menjadi PNS bekerja menjadi aparatur pemerintahan kampung, perawat, bidan desa, atau guru dan ada juga yang bekerja sebagai pedagang. Tingkat pendapatan warga pun masih tergolong rendah dan hanya sebagian kecil yang memiliki pendapatan tinggi yaitu mereka yang bekerja sebagai PNS dan nelayan yang memiliki perahu motor. Transportasi yang umumnya digunakan warga untuk melakukan mobilitas dari satu kampung ke kampung yang lain dengan menggunakan speed boat, long boat, perahu mesin kecil (menggunakan mesin parut kelapa) maupun perahu tradisional (BBTNTC 2013).

Masyarakat kampung dalam kawasan TNTC termasuk warga Kwatisore terbilang merupakan masyarakat yang religius dan memiliki beberapa macam sistem kepercayaan yang mereka yakini. Pertama, sistem kepercayaan animisme dimana masyarakat percaya kepada roh-roh yang memiliki kekuatan gaib. Hal ini terlihat ketika warga Kwatisore ditanya mengenai sejarah kampung mereka terdapat kehati-hatian dalam menjawab walaupun mereka menceritakannya dengan leluasa namun cerita-cerita tersebut berbeda-beda ketika ditanyakan pada marga yang berbeda. Dan terdapat salah satu marga yang enggan menceritakan sejarah kampung dan nenek moyang mereka karena apabila diceritakan pada waktu dan orang yang tidak tepat maka mereka meyakini bahwa roh nenek moyang mereka akan marah. Kedua, sistem kepercayaan dinamisme merupakan sistem kepercayaan pada benda-benda alam seperti pada batu, pohon, matahari dan lainnya. Kepercayaan dinamisme masih diyakini di Kampung Kwatisore, hal

ini dapat diketahui ketika ingin mendaki bukit menuju batu akudiomi harus membawa semacam sayur atau benda lainnya yang kemudian diletakkan di atas batu. Sayur itu diberikan kepada penunggu batu akudiomi tersebut. Selain itu di Kampung Kwatisore juga terdapat tempat-tempat kramat atau sakral yang penting bagi masyarakat Kampung Kwatisore seperti Batu Akudiomi, Norhau’re, Inggero, Oranubowi, Anameri, Jomamberre, Hnu’q Hediawre, dan Bahyoi Gworijo (WWF 2014b).

Sistem kepercayaan ketiga adalah monoteisme yang mempercayai pada satu kekuatan tunggal. Kepercayaan monoteisme merupakan kepercayaan yang saat ini dominan dipraktekan di Kampung Kwatisore. Mayoritas agama yang dianut oleh warga Kwatisore adalah Kristen Protestan sedangkan untuk agama islam dianut oleh para pendatang yang umumnya berasal dari Sulawesi yaitu Buton, Bugis, dan Makassar yang menikah dengan penduduk setempat. Keyakinan mereka terhadap ajaran agama Kristen Protestan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari seperti pada waktu mencari nafkah disesuaikan dengan kebutuhan mereka untuk beribadah.

Warga Kwatisore pergi melaut umumnya dilakukan dari pagi hari hingga sore atau malam hari. Dahulu sebelum masuknya agama Kristen Protestan ke tengah- tengah masyarakat kawasan Teluk Cenderawasih yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan tangkap, masyarakat biasanya pergi melaut setiap hari. Penangkapan ikan dilakukan pada musim-musim tertentu terutama pada saat musim surut besar (meti besar) dimana waktu mencari ikan dilakukan pada siang hari dan musim meti malam dimana waktu mencari ikan dilakukan pada malam hari. Namun setelah masuknya agama Kristen Protestan kebiasaan tersebut berubah. Warga Kwatisore hanya menangkap ikan pada hari senin hingga jumat sedangkan sabtu dan minggu mereka beristirahat dimana hari sabtu merupakan hari persiapan untuk beribadah di hari minggu. Pada hari minggu kondisi kampung sepi dari aktivitas perahu nelayan, warga Kwatisore tidak melakukan kegiatan apapun selain untuk beribadah dan kebiasaan ini terus berlangsung hingga saat ini. Nelayan luar pun pada hari sabtu dan minggu memilih untuk menangkap ikan jauh dari perkampungan penduduk sehingga tidak mengganggu aktivitas beribadah warga Kwatisore.

Tabel 7. Pendidikan

Jenis Pendidikan Jumlah (orang)

TK - SD 150 SLTP 50 SLTA 36 Perguruan Tinggi 10 Total 246

Sumber: Kantor Distrik Yaur 2014

Dari segi tingkat pendidikan, penduduk Kampung Kwatisore masih terbilang memiliki pendidikan yang rendah. Pada umumnya orang tua akan menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah di kampung yang hanya tersedia sebatas SD atau SD YPK dengan biaya operasional dibiayai oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Nabire. Satu SD dengan enam kelas dari kelas 1 hingga kelas 6 tetapi hanya terdapat 2-4

orang guru saja yang mengajar yang terdiri dari guru PNS dan guru honorer. Namun ada juga orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya di Kabupaten Nabire dengan jarak tempuh kira-kira tiga jam perjalanan laut dengan menggunakan perahu motor tempel 40 PK. Namun sering juga setelah lulus SD anak tidak lagi melanjutkan sekolah atau ketika telah masuk SMP mereka putus sekolah karena SMP mereka harus bersekolah keluar kampung yaitu ke Nabire atau kampung lain yang letaknya cukup jauh.

Anak-anak yang putus sekolah biasanya langsung membantu orang tua mereka melaut untuk mencari ikan serta berburu di hutan. Sama halnya dengan SMP, SMA juga harus dilanjutkan di Nabire begitu juga perguruan tinggi. Di perguruan tinggi tidak banyak masyarakat yang melanjutkan sekolah dengan alasan nanti juga anaknya pulang ke kampung jadi nelayan sama dengan orang tuanya yang tidak sekolah atau hanya lulusan SD. Kegiatan belajar mengajar juga terkadang tidak bisa dilakukan karena guru yang masih berada di Nabire. Guru tidak bisa kembali ke kampung disebabkan oleh adanya urusan keluarga, ketika liburan sekolah usai terlambat kembali ke kampung, tidak adanya transportasi dari Nabire ke kampung, kondisi cuaca laut yang sedang buruk atau sedang mengurus administrasi sekolah dan pengambilan gaji yang semuanya harus dilakukan di Kabupaten Nabire. Jadi rendahnya tingkat pendidikan ini dikarenakan beberapa faktor yaitu permasalahan ekonomi keluarga yang rendah, kurangnya motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak mereka, tidak adanya tingkat pendidikan lanjutan di kampung, rendahnya pemahaman orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi anak (BBTNTC 2009 dalam Sembiring 2010) dan terbatasnya tenaga pendidik.

Struktur Komunitas Kwatisore

Struktur sosial masyarakat adat Kampung Kwatisore hampir sama namun berbeda dengan struktur kampung yang dihuni oleh Suku Yaur lainnya seperti Kampung Yaur, Kampung Napan Yaur atau Kampung Bowei. Dahulu struktur sosial masyarakat mengacu pada marga tertua sebagai pemegang struktur sosial tertinggi di kampung dimana marga di Kampung Kwatisore terdiri dari sembilan marga dengan marga tertua adalah marga Inggeruhi, Aduari, dan Andoi sedangkan kelima marga lainnya juga terbilang cukup tua tetapi merupakan hasil dari perkawinan penduduk Kampung Kwatisore dengan penduduk dari Kampung lainnya yang kemudian menetap di Kampung Kwatisore. Namun seiring berjalannya waktu struktur sosial masyarakatnya terutama dalam pemilihan kepemimpinan kampung bukan lagi diduduki oleh marga tertua melainkan sistem kepemimpinan yang lebih bersifat demokratis dimana pemimpin kampung merupakan orang-orang yang menurut penilaian masyarakat kampung dirasa cocok dan dipercaya untuk memimpin kampung.

Struktur masyarakat adat TNTC umumnya dikepalai oleh seorang kepala suku yang berasal dari marga tertua yang pertama kali menempati atau membentuk suatu kampung. Sebagai masyarakat yang berasal dari Suku Yaur, Kampung Kwatisore bersama Kampung Yaur, Kampung Napan Yaur dan Kampung Bowei dipimpin oleh seorang kepala Suku Yaur. Kepala Suku Yaur memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Suku Yaur terutama dalam pengambilan keputusan tertinggi di kampung baik keputusan

mengenai permasalahan marga atau pun permasalahan hak ulayat kampung. Di bawah kepala suku terdapat kepala adat yang berfungsi untuk mengorganisir acara-acara adat masyarakat sekaligus bersama kepala suku menegakkan aturan adat dan bekerjasama dengan kepala kampung yang bertugas secara formal menjalankan pemerintahan kampung. Setelah kepala adat terdapat tua marga. Tua marga merupakan orang yang dituakan dalam suatu marga tertentu yang memiliki kuasa atas marga tersebut sekaligus juru bicara dalam marga.

Gambar 14. Struktur Adat Masyarakat Kampung Kwatisore

Dokumen terkait