• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BANYUMASAN: GLOKALISASI DAN KOMODIFIKASI

A. Komunitas Pendatang Baru

Banyumasan telah hadir di Yogyakarta. Ia hadir dalam bentuk yang berbeda dari masa sebelum meledaknya televisi-televisi lokal, di mana orang-orang Banyumasan secara de facto memenuhi ruang sehari-hari di Yogyakarta. Mereka entah sejak kapan telah hadir dan berbaur menjadi bagian dari Yogyakarta.51 Kehadiran mereka di Yogyakarta kemudian memunculkan berbagai komunitas Banyumasan yang mulai mapan sejak awal 1990-an.52 Kumpulan orang-orang Banyumasan, fase munculnya Jogja TV, telah (di)hadir(kan) dalam bentuk tontonan. Melalui Jogja TV, setiap malam Sabtu dan malam Senin kita

51

Kepastian data mengenai orang-orang Banyumasan yang pertama-tama hadir tidak temukan secara pasti, kecuali sedikit cerita mengenai hubungan masa lalu antara kadipaten Banyumas dengan kerajaan Mataram dalam buku Babad Banyumasan. Sedangkan data lain yang menyebutkan jumlah anggota Banyumasan pada tahun 2006 kurang lebih tiga ribu yang terkumpul dalam berbagai kelompok. (Kedaulatan Rakyat, Jum‟at 10 November 2006).

52

Kelompok-kelompok tersebut seperti Pring Sedapur, Pakudimas, Mitra Kencana juga kelompok-kelompok di kalangan mahasiswa seperti Imbas, Hima Suci dan Hima Cita adalah perkumpulan yang muncul pada awal 90-an.

dapat menyaksikan tayangan Banyumasan dalam program Inyong Siaran. Seperti lazimnya tayangan-tayangan yang mengupas berita kedaerahan, Inyong Siaran membicarakan seputar daerah Banyumasan lengkap dengan narasi bahasa setempat. Kita juga diajak menyaksikan kota-kota seputar Banyumasan beserta masyarakatnya. Dengan dibantu narator, segala tayangan seluk-beluk Banyumasan dijelaskan seperti, Museum Uang, tempat wisata Batu Raden, Panembahan Kali Kenanga, Benteng Pendem dan lain sebagainya. Di tempat wisata, kita juga dapat menyaksikan warga mengunjungi tempat tersebut. Di sekuen lain dalam Inyong Siaran, kita juga dapat menyaksikan warga Banyumasan berkreasi membuat makanan atau melakukan rutinitas sehari-hari. Aktivitas seperti pembuatan Mie Rakit, Jenang Dodol, Gethuk dan Pisang Sale yang banyak diproduksi di Banyumas diliput menjadi bagian dari Inyong Siaran. Banyumasan dibingkai dalam program antara berita, features dan tontonan.

Komunitas Banyumasan di Yogyakarta semakin nampak ketika tahun 2006 program Inyong Siaran mengudara. Mereka yang sebelumnya hanya terkumpul dalam satu kelompok tertentu dan melakukan agenda rutin bagi kalangan sendiri seperti Arisan ibu-ibu dan Syawalan, kini dapat bertegur sapa dalam Inyong Siaran.53 Agenda yang mereka namakan silaturahmi sesama warga

dialek Banyumasan, oleh mereka juga sekaligus dipandang sebagai “tali perekat”

komunitas. Dari agenda-agenda yang mereka lakukan, tidak sedikit mereka melakukan pertukaran informasi seputar Banyumasan bahkan membincangkan masa lalu saat mereka masih tinggal di Banyumasan. Para anggota Pakudimas

53

Agenda rutin komunitas Banyumasan tersebut telah berjalan jauh sebelum Inyong Siaran muncul dengan waktu dan tempat yang mereka tentukan. Untuk Arisan ibu-ibu dilaksanakan setiap bulan satu kali dan Syawalan dilaksanakan setelah hari raya Idul Fitri.

misalnya, bahkan membuat agenda-agenda tertentu selain agenda di atas seperti Macapatan sebagai media para kaum pria untuk belajar tembang-tembang Jawa. Mereka menggunakan media konvensional (pertemuan-pertemuan langsung) untuk membangun kebersamaan satu sama lain sebagai anggota suatu komunitas Banyumasan di Yogyakarta.

Tidak cukup dengan media konvensional, perkumpulan-perkumpulan komunitas Banyumasan yang sudah mapan tersebut juga disediakan media baru, Inyong Siaran. Meski ruang informasi sebelumnya sudah ada dalam berita pada kolom Banyumas di koran Kedaulatan Rakyat, Radio Republik Indonesia (RRI) Pro-2 Yogyakarta dan jurnal yang mereka terbitkan sendiri, Inyong Siaran menjadi pilihan selanjutnya. Dengan visualisasi Banyumasan, Inyong Siaran tidak hanya sebatas ruang informasi bagi orang-orang Banyumasan tetapi ia juga sekaligus tontonan komunitas tersebut. Melalui Inyong Siaran, Jogja TV mengakomodasi komunitas Banyumasan yang belum pernah muncul dalam program-program khusus untuk menjadi agenda program. Mereka yang biasa mencari berita Banyumasan dengan membaca kolom Banyumasan di koran Kedaulatan Rakyat atau menjadi pendengar setia radio pada program lagu-lagu seputar daerah Banyumasan di RRI Yogyakarta dapat beralih ke tontonan Inyong Siaran. Mereka yang terbiasa bertegur sapa di radio misalnya, dapat melanjutkannya di Inyong Siaran sambil menonton daerah mereka atau memberi komentar pada informasi yang sedang disampaikan.

Di hadapan tayangan Inyong Siaran kita dapat menyaksikan anggota Banyumasan berkomunikasi satu sama lain dengan cara mengirim salam atau

berkomentar mengenai Banyumasan (lihat di bab tiga). Ada keromantisan antar mereka seperti saat mereka mengadakan perjumpaan dalam pertemuan-pertemuan rutin di komunitas mereka. Inyong Siaran menjadi wadah baru bagi mereka, meski Inyong Siaran bukanlah agenda yang mereka buat sendiri atau hasil dari investigasi orang-orang Banyumasan tentang daerah mereka. Mereka dapat melihat tayangan seputar daerah mereka dua kali seminggu dan menyapa satu sama lain meski mereka tidak berkumpul dalam satu tempat.

Sisi lain yang ingin ditegaskan adalah Inyong Siaran nampak berusaha merepresentasikan Banyumasan lebih dari media-media sebelumnya dan menjadikannya sebagai ruang komunitas baru. Ia mencoba menghadirkan Banyumasan tidak sebatas agar dapat dibaca atau didengar, tetapi sekaligus juga perlu dilihat. Mereka (para penonton) diajak sejauh mungkin membuktikannya sendiri bahwa melalui visualisasi yang dihadirkan dan bahasa serta dialek Ngapak adalah sepenuhnya Banyumasan. Visualisai perbukitan Dieng di Banjarnegara dan narasi juga backsound Lenggeran atau Calung Banyumasan, bukankah tayangan tersebut akan memudahkan sekaligus mendukung gambar-gambar yang meliput wilayah Banyumasan mudah dikenali. Pemirsa (terutama komunitas Banyumasan!) akan mudah menangkap suara di balik gambar yang menjadi backsound. Seperti pada komentar-komentar yang muncul (dalam bab tiga), mereka sudah paham dengan Banyumasan dalam Inyong Siaran.

Inyong Siaran sebagai salah satu kode untuk terjadinya komunikasi pada Inyong Siaran sekaligus juga menjadi alat pemersatu para pirsawannya ketika mereka bertegur sapa di dunia maya; mereka mengirim pesan-pesan dalam acara

tersebut menggunakan bahasa Ngapak. Bahasa menjadi sangat penting, bukan saja sebagai alat untuk komunikasi, tetapi simbol bagaimana simbol-simbol yang lain dalam Inyong Siaran menjadi wajar di hadapan pemirsa. Melalui bahasa Ngapak warga Banyumasan mengidentikkan dirinya sebagai komunitas “lokal”

Banyumasan di Inyong Siaran.

Namun demikian, sebagai kelanjutan dari teknologi sebelumnya (radio dan koran), Inyong Siaran bukan semata-mata sebagai akibat dari adanya teknologi

“baru” yang sama-sama memiliki fungsi sebagai media informasi warga Banyumasan di Yogyakarta. Inyong Siaran, juga sekaligus dapat dilihat dari sebab-sebab lain seperti produksi dan distribusi program yang menciptakan agenda baru bagi komunitasnya. Inyong Siaran tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan modal dari sekadar program tayangan dan seterusnya. Hal ini nampak ketika Inyong Siaran juga menampilkan sponsor (slot iklan) sebagaimana televisi swasta nasional dalam menjual program pada pemirsanya.54 Iklan menjadi penting bahkan vital dalam produksi televisi. Bukankah tanpa iklan, Inyong Siaran di Jogja TV mungkin tidak bisa dikonsumsi oleh para pemirsanya? Pertanyaan ini akan mencoba dieksplorasi pada sub bab di bawah, bagaimana Inyong Siaran mengalami komodifikasi dari sebuah produk tontonan tentang Banyumasan.

Dokumen terkait