• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokalitas televisi lokal : menonton orang Ngapak di Jogja TV - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Lokalitas televisi lokal : menonton orang Ngapak di Jogja TV - USD Repository"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

LOKALITAS TELEVISI LOKAL:

MENONTON ORANG

NGAPAK

DI JOGJA TV

Oleh; Wahyudin NIM: 066322013

Pembimbing

Dr. St. Sunardi Dr. G. Budi Subanar, SJ

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

PENGANTAR

-)(-

“Dulu banyak orang ingin masuk televisi dan sekarang banyak televisi

pengin dimasukin orang” ungkapan seorang teman ini mungkin hanya sebatas

anekdot belaka. Saya tidak menghiraukan ungkapan tersebut, apalagi memikirkannya secara serius. Saya ingin melupakannya tetapi usaha itu berujung sia-sia; suatu hari, pada masa mengikuti kuliah Penulisan Tesis di IRB, anekdot tersebut seolah-olah masuk begitu saja dan mengendap dalam pikiran saya. Anekdot itu serasa ingin ditulis dan tidak sebatas menjadi anekdot yang selesai bersama tawa.

Anekdot di atas tidaklah salah bahkan tampak begitu nyata ketika saya berusaha keras memikirkan dan mencari-cari alasannya. Di mana televisi-televisi lokal telah tumbuh di daerah-daerah dan sudah barang tentu televisi tersebut

membutuhkan banyak orang untuk “dimasukan” di dalamnya. Kesimpulan kecil

sesaat tersebut akhirnya membawa saya mulai berani menulis tesis ini dengan judul Lokalitas Televisi Lokal: Menonton Orang Ngapak di Jogja TV. Tentu, penulisan tesis ini tidak semudah dan secepat anekdot yang keluar dalam candaan ringan teman saya di atas. Melalui penelusuran jejak, mencari informasi sampai bertemu orang-orang Ngapak sendiri harus saya lalui. Tidak sampai di sini, saya bahkan harus menonton dan beberapa kali merekam tayangan Inyong Siaran sampai akhirnya menuliskannya dalam bentuk tesis atau penelitian ini.

(7)

Lokalitas Televisi Lokal: Menonton Orang Ngapak di Jogja TV sebagai judul dari tesis ini ingin menelusuri kelokalan televisi lokal melalui sebuah tayangan Banyumasan di Jogja TV atau Inyong Siaran. Inyong Siaran sendiri telah mengudara sejak tahun 2006 adalah sebuah tayangan (liputan) seputar Banyumasan lengkap dengan narasi bahasa Ngapak-nya yang hadir bukan hanya sebagai berita tetapi juga sekaligus feutures. Tayangan tersebut juga bukanlah sesuatu yang asing bagi komunitas Banyumasan di Yogyakarta karena sebagian besar dari mereka bahkan tampak akrab dalam Inyong Siaran. Mereka berkomentar dan menyapa satu sama lain sebagai warga komunitas Banyumasan di Yogyakarta salah satunya lewat Inyong Siaran. Lewat Inyong Siaran akhirnya sebagai anggota komunitas dapat dipotret jelas bahwa ada kenikmatan sebagai orang Ngapak dalam mengonsumsi seputar Banyumasan.

Penulisan tesis ini meski terkesan sederhana namun terasa tidak mungkin

terselesaikan tanpa adanya dorongan dan “nasihat” dari pak Nardi yang tidak

pernah bosan memberikan masukan dari isi sampai alur penulisan. Kepada beliau saya mengucapkan beribu terima kasih atas bimbingannya, juga pada pak Ishadi SK., Mba Katrin, Romo Banar, Romo Baskoro, Pak Budiawan, Pak George dan Romo I. Wibowo, atas kesediaannya membagi banyak waktu dan pengetahuan selama di IRB. Tidak kalah pentingnya adalah teman-teman di IRB; Hasan Basri, Dewa Ketha, Dona Prawita, Anzib, Ridlo, Wisnu, Budhis, RM. Rony, Inyiak, dan semuanya, kepada mereka saya mengucapkan banyak terima kasih dan selalu

ingin bertanya; rupanya kita memiliki kebiasaan yang sama, “Jangan suka ngebut

(8)

mba Aik dan crew Inyong Siaran Jogja TV yang telah memberikan banyak data, juga pada teman-teman yang telah menjadi bagian dalam penelitian ini (Mukhosis, Mustain, Nur hadiudin, dll). Tidak lupa teman-teman Kali Opakers (Mas Jadul, Mas Julung, Salman H, Ipang dan semuanya), saya masih ingat

pesanya; “Nulis tesis itu yang penting jelas dan mendalam dan yang lebih penting

lagi selesai”.

(9)

DAFTAR ISI

C. Tujuan Penulisan dan Signifikansinya ...………. 8

D. Tinjauan Pustaka.………. 9

E. Kerangka Teori...……… 12

F. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data...………. 16

G. Sistematika Penulisan.………... 19

BAB II KISAH TELEVISI: DARI NASIONAL KE LOKAL …….. 21

A. Televisi Awal ………... 23

A.1. Masa Negosiasi Televisi Indonesia ………. 23

A.2. TVRI Daerah Sebagai Awal Televisi Lokal ………… 27

B. Swastanisasi Televisi ………... 29

B.1. Lahirnya Televisi Bisnis Nasional ………... 29

B.2. Kelahiran Televisi Swasta Lokal ………... 32

C. Anakronisme Televisi Lokal ………... 34

D. Yogyakarta Ala Jogja TV ……….... 38

E. Jogja TV: Tradisi Tiada Henti ……… 41

BAB III INYONG SIARAN, TAYANGAN KOMUNITAS DAN KELOKALAN ALA JOGJA TV ……….... 44 A. Inyong Siaran: Sebagai Program Siaran ………. 45

B. Menonton Orang-Orang Ngapak ………. 48

B.1. Menonton Inyong Siaran ………. 48

B.2. Inyong Siaran sebagai Ikatan Emosi ………... 54

C. Menggambar Kembali Banyumasan………. 57

BAB IV BANYUMASAN: GLOKALISASI DAN KOMODIFIKASI

DI DALAM TONTONAN………..

(10)

A. Komunitas Pendatang Baru ……….. 63

B. Komodifikasi “Klangenan” Banyumasan………. 68

C. Mitos Kelokalan: Sehabis Inyong Siaran ……….. 77

D. Resepsi Audien: Kenikmatan Dalam Negosiasi ………… 82

D.1. Ditonton ...………. 82

D.2. Medan Menonton Inyong Siaran ..………. 84

BAB V PENUTUP ………...……… 91

A. Mengelak Terjebak: Dua Jalan Paradoks dari Produksi Sampai Konsumsi Tontonan Inyong Siaran ..………. 91 B. Medan Kompromi Dalam Kenikmatan Konsumsi ………... 96

DAFTAR PUSTAKA ……… 99

LAMPIRAN………...………. 103

Lampiran 1: Susunan Produksi Inyong Siaran ………... 103

Lampiran 2: Lokasi Jogja TV ...……… 104

Lampiran 3: Stockshot Inyong Siaran ...……… 105

(11)

Daftar Gambar

(12)

ABSTRAK

Televisi pasca reformasi sangat beragam dengan ditandai banyaknya stasiun televisi lokal. Di setiap daerah, televisi lokal tersebut berdiri lengkap dengan program siarannya, meski Undang-Undang belum membuat aturan di dalamnya. Dengan informasi seputar daerah setempat, televisi lokal menyajikan berbagai macam program untuk para pemirsa di wilayahnya. Tidak sebatas pada wilayah geografis, televisi-televisi lokal pun bahkan menyediakan program untuk suatu komunitas tertentu. Mereka para anggota suatu komunitas dapat menikmati berita meski mereka berada di daerah lain.

Inyong Siaran yang muncul di Jogja TV sebagai salah satu bentuk program untuk orang-orang Banyumasan di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari alasam-alasan di atas. Mereka, para anggota komunitas Banyumasan disediakan informasi seputar wilayah mereka lengkap dengan narasi bahasa Ngapak-nya. Inyong Siaran “memperbarui” dari media-media sebelumnya yang sudah ada bagi komunitas Banyumasan di Yogyakarta.

Orang-orang Banyumasan mendapat “tempat khusus” sebagai warga media di Yogyakarta. Identitas sebagai Jawa Ngapak dihadirkan kembali dalam

program tontonan. Mereka di tempatkan bukan hanya sebagai “orang asing” di

Yogyakarta tetapi sekaligus istimewa keberadaannya dengan disediakannya produk khusus. Para anggota komunitas pun mengonsumsi Inyong Siaran yang tidak lain adalah produk informasi seputar Banyumasan.

(13)
(14)

Motto

Kita menyaksikan bahwa banyak orang yang sangat radikal dan progresif secara intelektual dan filosofis

melainkan sangat ortodoks dan konservatif secara politis, dan banyak orang sangat radikal dan progresif secara politis

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak reformasi bergulir dunia media seakan mengalami masa keemasan. Banyak orang menyebutnya sebagai era kebebasan pers atau masa kejayaan pers, setelah era sebelumnya mengalami pengkerdilan terus-menerus baik dari segi isi maupun kepemilikan. Begitu juga dengan salah satu bentuk media, televisi, setelah era sebelumnya hanya menayangkan apa yang dianggap sopan oleh pemerintah, secara tiba-tiba, televisi bebas mengisi berbagai macam program untuk mengisi siarannya. Bahkan televisi dapat dimiliki oleh orang-orang daerah. Televisi tidak lagi dimiliki oleh para pemodal yang memiliki kedekatan dengan penguasa karena setiap daerah dapat mendirikan dan menyiarkan berbagai macam program sesuai yang dibutuhkan. Stasiun televisi seakan bukan barang mahal lagi yang hanya dapat tumbuh di kota mahal atau kota kuasa (Jakarta) dengan segala tayangan rekaannya. Pada pasca reformasi stasiun televisi lokal juga bermunculan di daerah-daerah. Sampai tahun 2005, fenomena pertumbuhan televisi lokal masih terus merebak dan hampir ada di setiap propinsi bahkan kabupaten di seluruh Indonesia.1 Suatu fase baru yang belum ada di era-era sebelumnya.

Televisi-televisi lokal terus mengalami pertumbuhan pada satu windu setelah reformasi. Dari alasan-alasan yang sederhana sampai atas nama “identitas

(16)

kelokalan” kemunculan televisi lokal terus mewarnai dunia penyiaran di

Indonesia. Asumsi-asumsi di belakang pertumbuhan televisi lokal tersebut adalah nilai-nilai kelokalan tidak mendapat porsi atau kurang tergarap dalam program tayangan televisi-televisi nasional. Sehingga, tayangan-tayangan yang memiliki nilai-nilai kelokalan tersebut harus memiliki wadah tersendiri dalam media televisi. Asumsi tersebut dapat dibuktikan bahwa, kekuatan televisi swasta nasional terus mendominasi dan menekan potensi daerah dari era sebelum reformasi, baik dalam pemberitaan maupun program-program acara lainnya.

Bukan hanya karena alasan-alasan di atas, lahirnya Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah (OTDA) dan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 tentang

penyiaran juga “ditengarai” menjadi pemicu lahirnya TV-TV lokal. Dalam UU

Otda, setiap pemerintah daerah juga memiliki kebebasan untuk mengatur wilayahnya sendiri-sendiri, dari pengaturan keuangan sampai regulasi media massa.2 Semangat kebebasan pengaturan penyiaran yang dijamin dalam UUP 2002, telah memberikan peluang sekaligus legitimasi bagi TV lokal untuk

“tumbuh kembang” melalui keragaman isi (diversity of content) dan keragaman

kepemilikan (diversity of ownership). Dalam bidang content (isi tayangan) misalnya, televisi-televisi lokal tersebut bersemangat membuat program untuk memvisualisasikan daerahnya masing-masing. Sedangkan dalam segi kepemilikan, para pemilik modal di daerah-daerah (dan sebagian bekerjasama dengan pemerintah setempat) beramai-ramai membangun stasiun-stasiun transmiter televisi.

2

(17)

Stasiun-stasiun televisi lokal berdiri dan ratusan program dapat dinikmati para pemirsa di setiap daerah. Alasan-alasan tentang keberbedaan dan kedaerahan (serta bisnis) dalam tontonan di televisi yang selama beberapa dekade ditentukan dari Jakarta telah terpenuhi. Televisi lokal pun menayangkan program-program

“kedaerahannya” dan “keberbedaannya” dalam berbagai siarannya. Melalui

program-program dokumenter dan berita kedaerahan misalnya, semakin terbukanya akses penonton di daerah untuk mendapatkan informasi yang selama beberapa tahun lalu dipancarkan secara sentral dari Jakarta dan tidak pernah melihat berita di daerahnya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan adanya televisi lokal porsi berita daerah lebih banyak mendapat tempat daripada berita-berita yang sifatnya umum atau nasional. Dengan “keberbedaannya” misalnya, televisi lokal kemudian menciptakan program-program yang membedakan diri dengan televisi-televisi swasta nasional.

Namun, munculnya televisi lokal bukan berarti dengan sendirinya apa yang menjadi semangat awal akan kedaerahan dan keberbedaan dalam perjalanannya tanpa aral. Televisi lokal dengan program kedaerahan yang mencoba mengangkat isu dalam program tayangan tentang kearifan lokal atau kekayaan budaya lokal menjadi semacam boomerang. Alasan tentang kelokalan di lain tempat bukan menjadi sesuatu yang ajeg (tetap) tetapi “yang lokal” juga

sedang berhadapan dengan “yang global” dalam ruang dan waktu yang

bersamaan. Lebih jauh ekspresi dan semangat lokalitas, bahasa, seni tradisi dan berbagai kultur yang masuk dalam bingkai televisi lokal pun pada kenyataanya

(18)

penyiarannya. Bingkai “yang global” bagaimanapun dalam kenyataannya masih

harus membalut apa yang disebut “yang lokal”.3 Ketakutan pada “yang global”

(sebagaimana pada televisi pemerintah di era Orde Baru) pada akhirnya bukanlah sesuatu yang harus dihindari. David Held memberikan alasan bahwa, global bukan juga sesuatu yang telah ada begitu adanya, melainkan sesuatu yang diciptakan dan dibuat.4 Alih-alih kebutuhan televisi lokal untuk merepresentasikan kelokalan pada akhirnya hanya menjadi “perpanjangan tangan” televisi nasional yang pada masa Orde Baru (dan sampai saat ini) dikenal sebagai televisi bisnis. Kelokalan dalam televisi lokal pada akhirnya terjebak pada idiom

“tempelan” dalam ruang globalisasi di media yang bernama televisi. Dengan kata

lain, televisi lokal pun melakukan “peniruan” televisi swasta melalui acara-acara

musik-musik pop, berita nasional, kuis dan beberapa iklan yang juga mendapat tempat tersendiri.

Tayangan-tayangan televisi lokal secara tidak langsung pun menjadi sesuatu yang ambivalen, yang harus berhadapan dengan produk budaya nasional sekaligus budaya global. Dilema terjadi pada televisi lokal untuk mengangkat budaya lokalnya sendiri melalui berbagai program tayangannya. Dalam perkembangannya beberapa televisi lokal mampu mengemas program-program dengan muatan lokal yang kental, khususnya program-program kesenian untuk diminati pemirsanya. Nielsen Media Research (NMR) mencatat, program jenis berita dan tayangan seni dan kebudayaan yang bersifat kedaerahan masih

3

Dennis McQuaill, Mass Communication Theory: an Introduction, Cambridge: Polity Press, 1994, hlm. 117.

4

(19)

menempati rating paling atas di antara program-program lainnya.5 Tingginya

rating program yang mengupas seputar informasi dan berita “berbau” daerah,

mengindikasikan hausnya informasi masyarakat mengenai perkembangan-perkembangan mutakhir yang terjadi di wilayahnya sendiri.

Selanjutnya, permasalahan mengenai kelokalan (sekaligus ke-dilematis-an) sebagaimana alasan di atas yang sekaligus menjadi “nilai jual” dan strategi pemasaran televisi lokal dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada kasus Jogja TV. Sebagai salah satu televisi lokal swasta Jogja TV yang telah berdiri lebih dari empat tahun, tidak luput untuk menayangkan program-program yang sifatnya nasional maupun global. Penayangan program acara seperti berita, musik, VOA (Voice of America) dan film (termasuk iklan) yang sifatnya nasional dan global di Jogja TV juga memiliki porsi yang tidak sedikit. Sehingga, penayangan dan pemaknaan atas representasi kelokalan Jogja TV tidak sekedar pada isi acara yang bercorak ke-jogja-an semata. Meski representasi atas kelokalan tersebut mengacu pada penggambaran kelompok-kelompok dan institusi sosial, tetapi penggambaran tersebut tidak hanya berkenaan dengan tampilan fisik dan deskripsi, melainkan juga terkait makna (lebih jauh lagi ideologi) di balik tampilan fisik sebagaimana yang ada di Jogja TV.6

Representasi lokalitas Yogyakarta dalam Jogja TV memiliki keunikan tersendiri. Dalam isi acara kedaerahan Jogja TV, memandang apa yang disebut

“tradisi” Yogyakarta dalam penayangannya adalah sesuatu yang berkembang di

5

Dari pemantauan majalah CAKRAM terhadap tayangan program-program TV lokal, Desember 2005.

6

(20)

masyarakat. Lokalitas yang ada dalam program acara musik Goodril misalnya, bahwa musik Campursari adalah bagian dari lagu-lagu kreativitas masyarakat Yogyakarta, sehingga Goodril menjadi wadah tersendiri bagi para pecinta setia (komunitas) musik ala Jogjaan dengan lantunan campursarinya. Dalam acara ini mereka para pecinta lagu-lagu Campursari bisa bertegur sapa dan memesan lagu

pilihannya dengan bahasa “khas” Jogja. Goodril yang ditayangkan live setiap hari

dari pukul 9.30 sampai pukul 10.00 pagi, telah menjadi semacam wadah bersama masyarakat Yogyakarta pecinta setia Campursari yang dekat dengan

“kejogjaan”.7

Program lain misalnya, Inyong Siaran menjadi media pilihan bagi warga komunitas Banyumasan (Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Banjarnegara, Purwokerto, Tegal, Brebes) yang ada di Yogyakarta untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan program tersebut.8 Program yang disiarkan dua kali dalam sepekan, pada hari Jumat dan Minggu malam, selain menyapa komunitas daerah Jawa Tengah bagian barat dan utara, tidak lain adalah sebagai “pembeda” tersendiri dari program-program lainnya. Pembeda dalam arti bahwa program acara tersebut dimaksudkan untuk komunitas-komunitas luar Yogyakarta yang secara dialek berbeda dengan bahasa Jawa umumnya yang dipakai di Jogja TV.

Inyong Siaran ingin menceritakan pada komunitas-komunitas Banyumasan perihal seputar kota-kota tersebut.9 Mereka sengaja disediakan

7

Dalam penulisan tesis ini, pengertian Campursari merujuk pada musik yang sudah “mentradisi” dengan masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta.

8

Inyong Siaran berarti “Saya Siaran”, dengan menggunakan bahasa Jawa berdialek Banyumas, Inyong Siaran menjadi sebuah judul program tayangan di Jogja TV.

9

(21)

program khusus oleh Jogja TV sebagai bahan liputan tentang seluk-beluk daerah mereka. Aktivitas orang-orang yang mengadakan pesta adat, keindahan wisata di daerah Banyumasan juga tempat-tempat yang bersejarah di daerah tersebut. Jogja TV bahkan membuat bentuk khusus dari Inyong Siaran yang menyediakan berita dan informasi-informasi kebanyumasan. Di jam Inyong Siaran, mereka orang-orang yang memiliki kultur Ngapak bahkan bisa bercerita atau bertanya kabar berita saudara atau kerabat mereka yang tersebar di Yogyakarta.

Dengan melihat kelokalan sebagaimana fokus penelitian ini, Inyong Siaran menjadi pilihan kasus. Pilihan pada program Inyong Siaran tentunya memiliki alasan tersendiri, di mana Inyong Siaran menjadi bagian representasi

masyarakat Banyumasan yang hadir di Yogyakarta dalam media “baru” televisi.

Di sisi lain, selama lebih dari tiga tahun setidaknya program Inyong Siaran masih cukup bertahan dan mendapat respon masyarakat (pemirsa) yang tidak kecil. Dengan berbagai isinya Inyong Siaran seakan sudah melihat keberadaan pemirsa

untuk tetap berada pada jaringan suatu komunitas guyub “budaya” Banyumasan.

Begitu juga dengan keterlibatan pemirsa (audiens) yang sudah begitu kental (mapan) pada program acara tersebut menandakan bahwa Inyong Siaran “mencuri

perhatian” untuk diteliti lebih dalam.

(22)

berdialog dengan program tersebut. Apakah Inyong Siaran “mewadahi” adanya hubungan antara komunitas dengan yang direpresentasikan dalam Jogja TV?

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini ingin mengkaji lokalitas yang direpresentasikan oleh Jogja TV dan diresepsi oleh audiens mengenai kelokalannya. Melalui lokalitas yang direproduksi televisi lokal menjadi sebuah realitas baru, penelitian ini ingin

mempertanyakan apa makna “kelokalan” atau “nilai tradisi” dari program, Inyong

Siaran yang ditayangkan Jogja TV kemudian dikonsumsi oleh audiens (pemirsa). Dengan asumsi-asumsi yang telah terbangun dari latar belakang masalah, selanjutnya penelitian ini akan menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut;

a) Bagaimanan tayangan Inyong Siaran di Jogja TV menghadirkan kelokalan Banyumasan pada pirsawannya?

b) Bagaimana audiens mengalami kelokalan Jogja TV melalui tayangan Inyong Siaran?

C. Tujuan Penulisan dan Signifikansinya

Dengan melihat permasalahan di atas yakni representasi kelokalan masyarakat Yogyakarta dalam tayangan Jogja TV, tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menganalisis hal-hal berikut:

(23)

2) Menggambarkan pola pemirsa saat berhadapan dengan tayangan kelokalan Jogja TV. Penggambaran di sini tidak lain dari cara pandangan pada

lokalitas dan globalitas, bagaimana televisi lokal “mensiasati” efek

globalisasi dalam program-program tayangan.

Penelitian ini diharapkan sedikit banyak bisa memberi manfaat dan signifikansi pada dunia akademisi dan pada masyrakat umum. Dengan kata lain penelitian ini dapat memberikan gambaran dan cara pandang keberadaan televisi-televisi lokal yang telah marak berkembang dengan berbagai macam programnya. Signifikansi setidaknya berupa:

a) Kerangka pemahaman (benang merah) tentang arti dan makna kelokalan atau tradisi di televisi lokal Jogja TV kaitannya dengan fenomena pertumbuhan televisi-televisi lokal di Indonesia.

b) Memberikan persepsi secara umum masyarakat (audiens) terhadap pola-pola lokalitas televisi lokal di Yogyakarta dan implikasinya terhadap pertumbuhan televisi lokal.

D. Tinjauan Pustaka

(24)

medan konsumsi tontonan televisi lokal menjadi sedikit berbeda dengan sebelumya.

Sebagian dari hasil penelitian/karya-karya terdahulu telah diterbitkan dalam bentuk buku. Karya-karya tersebut banyak mengulas tentang media, identitas dan lokalitas sebagai efek dari globalisasi, di antaranya; Ekspresi Lokal Dalam Fenomena Global; Safari Budaya dan Migransi karya Edwin Juriẽns yang membahas identitas budaya lokal dalam televisi. Melalui ekspresi yang muncul di media televisi, Juriẽns menelisik ekspresi-ekspresi kelokalan dari film berseri di TVRI Jawa Barat, Inohong di Bojongrangkong. Penelitiannya tentang migrancy budaya di TVRI memberikan kesimpulan tentang bagaimana hubungan lokal dan global berkelindan bersama dalam sebuah ekspresi tayangan film seri Inohong di Bojongrangkong.

(25)

media (pers, televisi, industri musik dan film serta internet) memberikan garis tegas bahwa kekuatan kontrol pemerintah berjalan pada semua media.

Karya-karya ilmiah lain yang membahas dan lebih dekat hubungan lokal dan global dalam televisi adalah The Concept of „Local‟ in Local Chinese

Television : a Case Study of Southwest China‟s Chongqing Television oleh Zhang

Xin. Dalam penelitiannya Zhang melihat bagaimana konsep lokal dipahami dan bagaimana mereka (masyarakat China barat daya) mempertimbangkannya sebagai bagian dari diri mereka dengan melihat dari pengalaman keseharian mereka yang diformulasikan oleh televisi lokal. Zhang memulainya dengan asumsi bahwa televisi lokal, nasional dan internasional dalam konteks China tampak pragmatis belaka; di mana perusahaan televisi lokal berusaha memenuhi fungsi politik (kaki tangan) dalam menjalankan roda pemerintahan daerah dan memaksimalkan pendapatan daerahnya.

Penelitian Kajri Jain dari Deakin University, Imagined and Performed Locality: The Televisual Field in a North Indian Industrial Town di Ludhiana Punjab India, memfokuskan pada masyarakat urban dan identitas komunitas di Ludhiana. Penelitian Kajri ini banyak membicarakan kehidupan sehari-hari masyarakat Punjab dan identitas Ludhiana yang digambarkan lewat televisi kabel. Dengan melihat sisi lainnya, seperti budaya yang tumbuh dalam masyarakat urban di Punjab sendiri, penelitian tersebut sangat kompleks dengan persoalan-persoalan lokalitas dan bagaimana kemudian direpresentasi dalam televisi kabel.

(26)

memulai tulisannya dengan mempertanyakan mengapa media lokal penting?

Aldridge memberikan pernyataan bahwa, “Life is global: Living is local” untuk

merefleksikan lebih jauh tentang hubungan lokal dan global dalam media (dalam konteks ini adalah bangsa Inggris). Dalam buku tersebut juga banyak dibahas orang lokal dalam masyarakat media global. Konstruksi yang diciptakan media (bukan hanya televisi) tentang masyarakat lokal coba dijawab oleh Aldrige bagaimana masa depan media dan masyarakat.

Selanjutnya, sebagai celah dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, penelitian ini lebih difokuskan pada wacana lokalitas itu sendiri dalam kajian televisi lokal. Seperti disinggung di atas dan pada judul penelitian ini, secara khusus akan membahas bagaimana Banyumasan muncul dan dialami oleh pemirsanya lewat Inyong Siaran. Dengan pendekatan konsumsi pada program televisi, penelitian ini memiliki posisi yang sedikit berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya paling tidak dari segi geografis dan perbincangan atas pemaknaan kelokalan dalam media (representasi) TV lokal yang lebih spesifik pada kasus Jogja TV.

E. Kerangka Teori

Televisi lokal mencoba menjawab bagaimana seharusnya televisi itu

memiliki “peran” bagi masyarakatnya di tengah-tengah kepungan dunia tontonan.

Dengan penuh semangat, televisi lokal kemudian mempersepsikan diri sebagai

“lawan” dari televisi-televisi nasional/internasional yang sudah ada. Melalui

berbagai jenis programnya, televisi lokal mencoba “melawan” televisi yang

(27)

program yang ditawarkan, televisi lokal mengelak untuk disebut bagian dari sirkulasi modal melalui medium televisi dengan segenap ideologi komersialnya. Televisi lokal masih terus mencoba setia bahwa dunia tontonannya adalah bagian dari semangat orang-orang daerah tentang kelokalan. Mereka kemudian memproduksi program-program yang memiliki nilai lokal untuk para pemirsanya yang berada di daerah-daerah. Hasilnya adalah tayangan-tayangan kedaerahan kemudian memenuhi layar kaca para pemirsa (konsumen) di hampir setiap rumah di daerah-daerah.

Sebagai alternatif dari program-program seragam dari televisi

nasional/internasional, televisi lokal kemudian membuat tayangan “yang

berbeda”. Dengan berbagai macam programnya, televisi lokal membuat

tawaran-tawaran baru dalam tontonan. Televisi lokal membuat produk-produk baru dengan rasa lokal yang siap dinikmati khususnya oleh orang-orang lokal, bahkan suatu komunitas tertentu (termasuk Inyong Siaran). Televisi lokal siap melayani orang-orang lokal untuk memenuhi segala kebutuhannya dalam dunia tontonan.

(28)

kebutuhan yang sifatnya antropologis sampai drama waktu luang; kesemuaannya menuju pada konsumsi.10 Lain lagi bagi Fiske, melalui makna-makna yang di sampaikan dalam televisi inilah yang menjadi fokus kajian: televisi membuat makna-makna yang melayani berbagai kepentingan dominan masyarakat dan mensirkulasikan makna-makna tersebut di tengah ragam kelompok sosial yang luas. Gagasan Fiske tersebut sangat kental dengan praktik industrial atau sebagai produsen komoditas yang mencari keuntungan. Di mana suatu program memiliki kesamaan sifat dengan barang yang diproduksi. Dalam teori produksi klasik suatu barang pertama-tama akan dikonsumsi karena memiliki nilai guna. Televisi kemudian menjadi alat perebutan untuk mencari konsumen sebanyak-banyaknya bahkan dengan cara memproduksi program khusus karena ada asumsi kegunaan dengan sifat informasinya. Tetapi di sisi lain, sebagai produksi program-program televisi juga sebagai industri hiburan dan kesenangan yang saling mendukung satu sama lain bagi para pemirsanya.

Dari sisi teknologi, televisi sudah dianggap bagian proses globalisasi, di mana segala macam jenis tontonan bisa masuk menjadi bagian dari sirkulasi pemrograman. Inyong Siaran bisa menjadi bagian dari tontonan global di mana antara kelokalan dan ke-global-an bercampur dalam Inyong Siaran. Globalisasi yang dirasa begitu cepat (setidaknya melalui media televisi) dan berjalan searah menyebar hingga terus merepresi pengalaman dan nilai kelokalan. Globalisasi yang hanya menciptakan satu tawaran wajah, di sisi lain juga menciptakan kompromi-kompromi baru dari kelokalan. Kompromi yang terjadi antara lokal

10

(29)

dan global memunculkan teori - oleh Roland Robertson disebut sebagai - glokalisasi. Ramalan Roland Robertson mengatakan, pluralisasi dunia terjadi ketika lokalitas melahirkan berbagai tanggapan kultural yang unik terhadap kekuatan-kekuatan global.11 Dari proses tersebut bukanlah meningkatkan

homogenisasi kultural, melainkan “glokalisasi” yakni interaksi yang komplek

antara global dan lokal yang bercirikan peminjaman budaya (Cultural Borrowing).12

John Naisbitt, dalam Global Paradox memperlihatkan hal yang bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt mengemukakan pokok-pokok pikiran, yaitu semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih berorientasi “kesukuan” dan berpikir secara lokal, namun bertindak global.13 Naisbitt di sini memberikan makna bahwa masyarakat harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional. Dengan demikian, berpikir global, bertindak lokal, seperti yang dikemukakan Naisbitt di atas, akan diletakkan dan diposisikan dalam melihat masalah-masalah kelokalan televisi lokal di Indonesia khususnya Jogja TV dan masyarakat (khalayak) sebagai kekuatan yang penting dalam era globalisasi ini.

Dalam isinya, Inyong Siaran sudah jelas sebuah tayangan yang berbeda dengan tayangan-tayangan lainnya. Ia adalah sebuah berita yang

11

Konsep tentang glokalisasi semula adalah istilah di bidang pemasaran, untuk mengungkapkan bahwa yang lokal diproduksi secara global, dan lokalisasi yang global. Lihat Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, Yogyakarta: Bentang, 2005, hlm. 158.

12

Roland Robertson, Globalization and “Glocalization: Time-Space and Homogenity-Heterogenity” dalam Mike Featherstone, Scot Lash, dan Roland Robertson (eds.), Global Modernities (London:Sage,1995), hlm. 25-44

13

(30)

menginformasikan (merepresentasikan) Banyumasan di kota lain. Banyumasan sedang membuat cerita dengan teks Banyumasan itu sendiri yang siap dibaca para pecintanya di Yogyakarta. Selanjutnya Inyong Siaran akan dilihat ketika program tersebut dibaca (ditonton) oleh pemirsanya. Dengan asumsi awal mereka meresepsi sebuah teks (tontonan) sekaligus menegosiasikannya ketika berada di depan televisi. Mereka (bisa jadi) semakin dekat dengan Banyumasan sehingga mereka terdorong untuk terus mengonsumsi Inyong Siaran atau sebaliknya hanya stimulus sesaat ketika di hadapan tontonan. Resepsi ini secara tidak langsung akan melihat bagaimana posisi para pemirsa melihat orang-orang Banyumasan ketika dihadirkan oleh Jogja TV. Karenanya interaksi antara penonton dengan yang di tonton dan ruang sekitar menjadi penting dalam sikap keterlibatan satu sama lain. Benarkah pemirsa akan merasa terlibat aktif dalam menonton Inyong Siaran yang

“berbeda” dari berbagai pengalaman yang mungkin tidak sama. Ien Ang,

memberikan argumennya setelah meneliti Dallas dan pemirsanya, bahwa ada keterlibatan aktif penonton dalam produksi makna dan kesenangan yang termanifestasikan dalam banyak hal yang tidak bisa direduksi ke dalam struktur teks, efek ideologis ataupun proyek politik.14

F. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

Metode pengumpulan data adalah apa yang penulis dapatkan lewat menonton Inyong Siaran dan praktik pengalaman menonton Inyong Siaran bersama dengan suatu komunitas anak muda yang kemudian dijadikan sumber data. Sumber data pada proses penelitian ini akan dibagi menjadi dua yakni data

14

(31)

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang penulis kumpulkan lewat menonton langsung program tayangan Inyong Siaran, wawancara serta berbagai komentar yang penulis cari dan temukan dari berbagai sumber media yang berkaitan dengan televisi lokal maupun Inyong Siaran. Data lainnya adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan yang membincangkan tentang televisi baik sebagai wacana maupun teori. Tulisan-tulisan ini berasal dari berbagai tempat dan berbagai kasus yang ikut mewarnai wacana televisi yang umumnya dimuat dalam media cetak dan buku-buku.

Dari pengumpulan data primer maupun data sekunder, penulis membagi pengumpulan data tersebut ke dalam teks dan wawancara. Perolehan data teks dan wawancara akan dijelaskan sebagai berikut;

1) Teks

(32)

Sebagaimana pentingnya membaca isi-isi yang disampaikan media televisi itu sendiri dan karena representasi berkaitan erat dengan perilaku sebuah tayangan, teks akan memiliki posisi utama. Teks sendiri tidak lain dalam penelitian ini adalah program-program yang ditayangkan televisi, dalam hal ini Inyong Siaran. Tayangan Inyong Siaran selanjutnya direkam dan disimpan dalam bentuk file yang bisa penulis putar sewaktu-waktu. Tentunya, dalam penelitian ini penulis mengambil secara acak tayangan Inyong Siaran tersebut yang berkisar antara awal 2008 sampai awal 2009.

2) Wawancara

Wawancara yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh lewat penelitian lapangan mulai dari observasi, wawancara dan catatan-catatan kecil pada proses produksi Inyong Siaran atau dengan kata lain secara etnografis. Dalam wawancara tersebut juga akan melibatkan orang-orang dalam bagian produksi Inyong Siaran serta beberapa pemirsa Inyong Siaran. Dalam

wawancara tersebut saya tidak melakukannya secara “formal” dengan

(33)

Selanjutnya, pada proses pengolahan data, baik data primer atau pun sekunder keduanya masuk pada proses analisa. Analisa dilakukan dengan berbagai teori yang sudah disebutkan dalam kerangka teori terhadap isi Inyong Siaran. Jadi, pengolahan data dalam penelitian ini tidak lain adalah analisis ideologis terhadap Inyong Siaran. Analisis ideologis di sini akan lakukan dengan dibantu pendekatan semiotika dan pendekatan teks. Pendekatan semiotika dan teks tidak lain adalah tayangan Inyong Siaran yang telah penulis kumpulkan, sehingga pada analisis ideologis ini mampu melihat praktik konsumsi Inyong Siaran sebagai ruang tontonan komunitas yang telah mengalami komodifikasi.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam penelitian Lokalitas TV Lokal (Jogja TV: Dalam Inyong Siaran) akan dibagi dalam lima bab. Bab I, berisi pendahuluan yang memuat gambaran umum penelitian ini dilakukan. Dalam Bab I juga memuat alasan-alasan dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, metode dan pengumpulan data serta sistematika penulisan. Kemudian pada Bab II akan menguraikan sejarah awal televisi di Indonesia sampai dengan munculnya televisi lokal beserta regulasinya. Penyajian Bab II ini sengaja ditulis dengan model cerita dari awal televisi berdiri sampai munculnya televisi lokal hingga Jogja TV. Bab II merupakan pintu masuk untuk bagian-bagian selanjutnya yakni, melihat praktik lokalitas televisi lokal dengan cara menonton Inyong Siaran.

(34)

akan dipaparkan lewat isi tayangannya. Penulisan pada bab III adalah dari hasil menonton tayangan Inyong Siaran yang berangkat dari pertanyaan lanjutan mengenai sebuah tayangan sehingga Inyong Siaran yang notabene adalah siaran mengenai orang-orang (komunitas) Banyumasan menjadi buah dari tontonan.

Pada Bab IV, akan dilanjutkan pembahasan mengenai glokalisasi dan komodifikasi Inyong Siaran. Pembahasan Inyong Siaran sebagai salah satu bentuk tontonan yang disediakan khusus untuk komunitas Banyumasan secara tidak langsung bersangkut-paut dalam teori-teori yang akan digunakan. Teori tersebut tidak lain adalah bagian dari analisis mengenai praktik globalisasi, produksi sampai komoditas Inyong Siaran. Bab ini juga akan disandingkan dengan praktik pengalaman menonton Inyong Siaran bersama dengan suatu komunitas anak muda. Praktik menonton bersama Inyong Siaran disajikan guna melihat bagaimana resepsi pemirsa (audiens) “mengalami” tayangan tersebut.

(35)

BAB II

KISAH TELEVISI : DARI NASIONAL KE LOKAL

(36)

Usaha-usaha pemerintah akan pentingnya televisi di masa-masa awal pemerintahan yang dibahas dalam bab ini juga berkaitan dengan isu kemoderenan atau globalisasi, di mana televisi masih menduduki teknologi mutakhir di negeri ini; keberadaannya sekaligus menjadi tanda kemajuan suatu bangsa. Pada dekade berikutnya semakin nyata, televisi sudah dimiliki oleh pihak swasta yang artinya segala yang berkaitan dengan pendanaan dan penayangan mulai dikelola sendiri. Televisi pun semakin cepat berkembang dari segi kuantitas sampai akhirnya bermuara pada munculnya televisi lokal. Televisi lokal tumbuh di mana-mana tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta yang pada saat itu telah tayang tiga stasiun televisi lokal.

Sejarah perkembangan televisi dalam bab ini akan semaksimal mungkin dilihat sebagai salah salah satu pijakan mengapa televisi lokal dapat tumbuh dan berkembang. Namun demikian, pada bab ini penulis sengaja tidak menguraikan secara detail tentang sejarah secara menyeluruh karena bukan sebagai kajian utama penyusunan tesis ini. Dengan kata lain, sejarah hanya dilihat dari peristiwa-peristiwa sebagai pintu masuk penyusunan penelitian ini untuk dilakukan. Alasan lain adalah penelitian mengenai televisi di Indonesia sudah banyak ditulis dan dilakukan yang berkaitan dengan regulasi dan sejarahnya.15 Dengan demikian, bahan-bahan dalam penyusunan ini adalah sumber-sumber yang berkaitan dengan perjalanan televisi itu sendiri baik berupa buku, dokumen, catatan-catatan ilmiah

15

(37)

maupun kebijakan-kebijakan pemerintah yang sudah banyak dipakai oleh para peneliti-peneliti sebelumnya.

A. Televisi Awal

A.1. Masa Negosiasi Televisi Indonesia

Sudah jamak diketahui orang bahwa awal mula munculnya televisi di Indonesia adalah pada masa pemerintahan Orde Lama (ORLA), yakni pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Televisi saat itu masih menduduki teknologi yang sangat maju ketika teknologi menyalurkan suara melalui gelombang elektro magnetik (radio ataupun telepon) baru beberapa dekade dikenal di Indonesia.16 Philip Kitley dalam bukunya yang banyak menjadi rujukan para peneliti pertelevisian di Indonesia karena kelengkapan datanya yang disajikan menuliskan, bahwa televisi pertama kali muncul pada bulan Agustus 1962 untuk menyambut Asian Games yang jatuh gilirannya di Indonesia sekaligus sebagai alasan reputasi Indonesia di mata dunia internasional. Pada waktu itu, Presiden Soekarno membentuk panitia persiapan yang bertugas membuat rencana bagaimana pelaksanaan televisi. Panitia tersebut kemudian mengadakan rapat pertama kalinya di Cipayung 16 Juli 1961. Ide pentingnya televisi tidaklah muncul seketika dari Soekarno. Di belakang gagasan tentang pentingnya televisi adalah Maladi, Menteri Penerangan yang pernah menjabat sebagai kepala RRI dari tahun 1946 sampai 1959. Ketika itu tahun 1952, Maladi menyampaikan pada Soekarno

16

(38)

bahwa Indonesia membutuhkan televisi untuk Pemilihan Umum tahun 1955 karena banyak faedahnya secara politik.17 Maladi kemudian mempersiapkan perangkat-perangkat dasar dengan mengirimkan tim penyiaran dari Departemen Penerangan untuk belajar ke Universitas Southern California di Los Angeles. Ide gagasan Maladi tidak dapat langsung terealisasi tahun itu juga. Pada tahun 1959 Maladi menekan kembali Soekarno akan pentingnya televisi bagi pendidikan dan diharapkan juga dapat melakukan liputan Asian Games sebagaimana yang dilakukan di Jepang pada 1958.

Meski gagasan pendirian televisi sangat terkesan politis dan ide untuk menelevisikan Indonesia jauh sebelumnya yakni 1952, namun televisi tetap terealisasi sepuluh tahun kemudian. Usaha Maladi yang akhirnya membuahkan hasil, pada tanggal 24 Agustus 1962 Televisi Republik Indonesia (TVRI) di Indonesia untuk pertama kalinya mengudara dengan isi siaran liputan Asian Games. Berita olah raga menjadi liputan karena salah satu tujuan dari berdirinya TVRI tidak lain adalah untuk liputan Asian Games. Gagasan peliputan Asian Games ini tidak semata datang dengan sendirinya, karena di sisi lain sejarah peliputan Asian Games sudah ada di negara-negara yang pernah di tempati seperti Jepang dan Australia. Alasan lainnya bahwa peliputan olah raga juga menjadi

17

(39)

bagian untuk menumbuhkan rasa kebanggaan nasional dan kesatuan bagi generasi sesudahnya yang tidak lain adalah nasionalisme.18

TVRI pun mengudara, dengan waktu siaran pada masa awal berdiri antara tanggal 24 Agustus sampai 12 september 1962 hanya setengah jam dalam satu hari. Jadi, kurang lebih enam belas hari TVRI melakukan siaran dalam waktu setengah jam dan hanya meliput informasi olah raga (ASIAN GAMES). Jangkauan siaran TVRI pun mencapai batas maksimal 180 kilometer atau kurang lebih jarak antara Jakarta dan Bandung, sehingga secara tidak langsung tayangan olah raga tersebut hanya dinikmati masyarakat Jakarta sampai Bandung dan sekitarnya. Usai pesta Asian Games, awal September 1962, TVRI kemudian digabung di bawah kelompok Yayasan Gelora Bung Karno yang diawasi langsung oleh presiden.

Kemandirian TVRI belum sepenuhnya berdiri. Namun, TVRI sudah dibebani tanggung jawab dalam isi (content), TVRI bertanggung jawab pada Menteri Penerangan, di sisi lain memiliki otonomi dalam hal pendanaan.19 Dari segi isi, rencana semula TVRI adalah menjadi bagian dari proyek pendidikan di universitas-universitas yang mulai berdiri di kota-kota besar, namun pada 1963 terjadi perubahan. TVRI dalam content siarannya (secara formal dan tidak formal) harus dibagi-bagi menjadi tujuh kriteria. Pengaturan tersebut adalah awal mula pemerintah mulai mengatur isi siaran dalam bentuk program. Ketujuh kriteria tersebut adalah a) Pendidikan, b) Informasi, c) Agama, d) Kebudayaan, e) Olah raga, f) Isu Internasional dan g) Politik, sosial dan ekonomi yang relevan dengan

18

Dikutip dari wawancara pribadi Philip Kitley dengan Maladi pada 30 Januari 1992, dalam Philip Kitley, Television, Nation, and Culture in Indonesia, hlm. 24.

19

(40)

pembangunan.20 Perubahan lainnya adalah diterbitkannya Keputusan Presiden No. 27 tahun 1963:

Televisi nasional Indonesia memiliki fungsi sebagai sebuah instrumen komunikasi dalam kerangka pembangunan mental, spiritual dan fisik sebagai bagian proses pembangunan manusia Indonesia, khususnya menuju pembangunan manusia Indonesia Sosialis. Dalam operasi penyiaran televisi, peran yang paling diutamakan adalah peran sosial masyarakat”21

Dalam perkembangannya, nasib televisi khususnya dan media pers umumnya semakin terkekang pada masa Soeharto. Meskipun tahun-tahun awal masa Soeharto dapat dikatakan menjadi masa kejayaan TVRI, di mana persaingan media audiovisual belum lahir, TVRI masih menjadi “pemain” tunggal dunia pertelevisian di Indonesia, namun kedudukannya tidak lebih jadi corong pemerintah yang harus setia pada kata penguasa. Richard Robinson mengamati bahwa kontrol pemerintah bukan hanya terjadi pada instansi media dan penyiaran tetapi juga memberikan dasar-dasar pengaruh liberal pada universitas, pers dan pegawai negeri. Kontrol tersebut mulai dijalankan setelah Peristiwa Malapetaka 15 Januari yang biasa disebut MALARI yang terjadi pada tahun 1974.22 Bentuk-bentuk dari kontrol pemerintah salah satunya adalah melalui tayangan-tayangan

20

Dikutip oleh Philip Kitley, Television.., hlm. 39. dari Surat Keputusan Presiden tahun 1963 bagian 2, pasal 3.

21

Keppres No. 27 tahun 1963. 22

Krisna Send an David T. Hill, media.., hlm. 6.

(41)

televisi dengan dikeluarkannya UU Pokok Pers tahun 1982 dan UU Penyiaran tahun 1997.23

A.2. TVRI Daerah sebagai Awal Televisi Lokal

Pada tahun-tahun sebelum penetapan UUP nomor 32 tahun 2002 di mana televisi-televisi lokal belum banyak bermunculan, televisi di daerah-daerah sudah lama bersiaran baik atas basis kedaerahan maupun hanya sebatas relay dari pusat. Televisi daerah sebelumnya hanya dikenal televisi publik daerah atau TVRI daerah yang muncul pada masa menjelang peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Meski televisi di Indonesia sendiri sudah ada sejak 1962, namun teknologi ini tidak dapat langsung dinikmati masyarakat Indonesia. Televisi masih sangat sederhana baik dari batasan waktu siaran, materi-materi yang disajikan sampai jangkauannya sendiri. Pada tahun 1965 usaha penyebaran stasiun televisi melalui TVRI daerah pertama kali dilakukan. Alasan dari penyebaran stasiun televisi ke daerah pada masa awal adalah supaya penyebaran informasi melalui teknologi menjadi lebih maju dari pada teknologi informasi era sebelumnya yaitu radio. Alasan lainnya sebagai salah satu jalan pencapaian program kerja pemerintah sampai ke daerah-daerah. Dengan kata lain, selain kelebihannya bisa ditonton, televisi masih menduduki posisi sebagai alat untuk informasi.

Tepat pada bulan Agustus 1965 tercatat TVRI daerah Yogyakarta mulai on air sebagai stasiun daerah pertama yang berdiri dan kemudian disusul dengan

23

(42)

TVRI di daerah-daerah. Stasiun TVRI daerah yang kedua adalah Medan (28 Desember 1970) yang kemudian disusul dengan daerah-daerah lainnya (sesuai dengan urutannya) seperti, Ujung Pandang (7 Desember 1973), Balikpapan (22 Januari 1973), Palembang (31 Januari 1974), Surabaya (3 Maret 1978), Denpasar (16 Juli 1978), Manado (7 Oktober 1978) dan seterusnya. Perkembangan TVRI daerah selanjutnya setelah tahun 1970-an begitu masif meski hanya untuk me-relay siaran-siaran dari TVRI Jakarta.24 Stasiun TVRI daerah tidak memiliki kesamaan dengan TVRI pusat, di mana pendanaannya dilakukan secara mandiri.

Meski sejumlah TVRI daerah telah berkembang di mana-mana, namun isi siaran tidak lebih dari pada apa yang telah terpancar dari TVRI pusat. Tayangan-tayangan hampir secara keseluruhan berasal dari TVRI Jakarta mulai dari film sampai berita yang disampaikan. Dengan kata lain TVRI daerah sebagai televisi yang tumbuh dalam kekuasaan informasi pusat, hampir tidak memiliki kekuatan otonomi di mana otoritas dapat dijalankan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. Otoritas TVRI dibatasi baik melalui undang-undang maupun kebijakan presiden yang harus mengacu pada agenda program “pembangunan”. Misi-misi pemerintah yang mengatur secara fomal pada masa Soeharto salah satunya, tercakup dalam UU Pokok Pers 1982. Dari tayangan-tayangan berita dan pidato kenegaraan misalnya, TVRI-TVRI daerah wajib me-relay dari Jakarta yang hampir tidak pernah memberitakan seputar isu-isu yang beredar di masyarakat daerah tersebut. Meski TVRI daerah memiliki jam tayang untuk membuat

24

(43)

tayangan sendiri, tetapi pembatasan waktu dan isu sangat diperhitungkan. Bukti adanya pengaturan terpusat adalah pasca diorbitkannya satelit Palapa B 2 pada tahun 1983, sehingga televisi publik daerah pun semakin tidak memiliki ruang untuk menyiarkan kelokalannya sendiri. Pengorbitan tersebut sebagai salah satu usaha pemerintah pusat untuk mempermudah relay ke daerah-daerah dan sekaligus untuk mendapatkan keuntungan secara politis.25

Akhir dari perjalanan TVRI yang memonopoli siaran adalah pada awal tahun 1990-an, di mana lembaga penyiaran swasta melalui televisi swasta mulai siaran. Kekuatan monopoli TVRI sebagai satu-satunya televisi di Indonesia kemudian harus berakhir setelah adanya Surat Keputusan Menteri Penerangan Tahun 1986 nomor 167 B. Dominasi TVRI sebagai lembaga siaran publik terus disaingi ketika televisi-televisi swasta bermunculan yang sepenuhnya didukung oleh kekuatan modal, mulai dari yang pertama RCTI, SCTV, Indosiar, TPI kemudian disusul oleh ANTV, LATIVI, TV7, Global TV, MetroTV sampai generasi baru Trans TV dan Trans 7 yang bermula dari TV 7. TVRI daerah yang hanya memiliki basis pendanaan dari pemerintah daerah semakin tidak mampu menandingi televisi-televisi swasta yang mampu beroperasi 24 jam dengan variasi programnya.

B. Swastanisasi Televisi

B.1. Lahirnya Televisi Bisnis Nasional

Seperti cerita di atas, setelah TVRI berdiri dan beranak-pinak ke daerah-daerah dengan segala kekuatannya yang ikut didorong oleh pemerintah, pada

25

(44)

tahun 1988 mendapat pesaing baru. Tahun 1988 menjadi titik mula lahirnya televisi swasta yang menandai keterlibatan pihak swasta (keterbukaan pasar) dalam pengelolaan pertelevisian di Indonesia. Meski dalam UU Pokok Pers 1966 (No. 11, pasal 13) dinyatakan bahwa modal perusahaan media harus seluruhnya merupakan modal nasional, namun pada tahun 1988 stasiun televisi swasta Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) memulai siarannya sebagai televisi bayar (pay-television). Ini adalah salah satu bukti bahwa kekuatan negara mulai diatur oleh pihak swasta. Pada tahun berikutnya televisi swasta lainnya yaitu Surya Citra Televisi (SCTV) ikut mendirikan stasiun penyiarannya di Surabaya, kemudian menambahkan stasiun transmisinya di Bali. Keduanya bersiaran secara nasional meski di awal-awal penyiarannya belum mencapai seluruh wilayah geografis di Indonesia.

Selanjutnya, stasiun televisi swasta yang ketiga adalah Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang memancarkan siarannya dengan modal menyewa fasilitas transmisi dari TVRI. Mula-mula TPI bersiaran hanya pada waktu pagi selama 4,5 jam, sebagai tambahan atas kurikulum sekolah dan perguruan tinggi.26 Dalam perjalanannya, TPI kemudian mulai berubah dengan tambahan jam tayang menjadi delapan jam dan lebih dari setengahnya memiliki kesamaan dengan dua televisi terdahulu. Dengan adanya tambahan jam tayang yang sama dengan RCTI dan SCTV dan dibantu oleh TVRI dari sisi peralatan menjadikan TPI pada pertengahan 90-an sebagai stasiun yang paling berhasil. TPI memiliki keuntungan setidaknya dari jangkauan siaran sehingga memudahkan banyak pemirsa

26

(45)

menangkap siaran yang secara tidak langsung juga menambahkan income dari segi bisnis.

Stasiun televisi swasta semakin banyak bermunculan begitu juga dengan program yang disiarkan. Namun sebaliknya, peraturan yang mengatur jalannya pertumbuhan stasiun belum dimiliki pemerintah. Alasan tersebut setidaknya menjadi landasan munculnya Surat Keputusan (SK) Menteri Penerangan No. 111 tahun 1990 (24 Juli 1990) yang mengatur pelaksanaan dan pemrograman pada televisi. Dalam SK tersebut media (televisi) ditekankan harus mendukung upaya pembangunan nasional termasuk bahasa penyampaian dan muatan asing. Peraturan dalam bentuk SK tersebut tidak lain adalah usaha pemerintah untuk mengontrol berbagai program yang memungkinkan adanya ideologi atau kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan ideologi pembangunan. Peraturan pemerintah tersebut mencoba mengatur isi siaran baik televisi yang sudah berdiri maupun belum.

(46)

swasta bermunculan kembali; Metro TV (1998), Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV), Lativi (saat ini menjadi TV One), Global TV, TV 7 (saat ini bernama Trans 7/ Trans Corp.)27

B.2. Kelahiran Televisi Swasta Lokal

Cerita-cerita titik balik dari bentuk kekangan pemerintah pada televisi khususnya dan dunia pers umumnya adalah masa reformasi pemerintahan yang meledak dengan jatuhnya rezim otoriter Soeharto. ORBA yang memegang kontrol ketat dunia penyiaran dengan ciri segala bentuk dan isi siaran harus ikut mendukung program pemerintahan akhirnya harus runtuh. Kejatuhan ORBA salah satunya adalah dengan ideologi ekonomi pembangunannya yang pada kenyataannya tidak mampu membangun kekuatan ekonomi di akar rumput. Empat tahun sesudah terjadinya reformasi, UUP tahun 2002 kemudian disahkan.28 Di belakang pengesahan UUP tersebut adalah para pemilik televisi lokal dan televisi komunitas yang mendorong pemerintah segera dibuatkan UUP yang mewadahi televisi-televisi tersebut. Pentingnya undang-undang tersebut bagi para pemilik televisi lokal adalah sebagai landasan payung hukum untuk beroperasinya stasiun televisi lokal meski sebelumnya sudah ada yaitu UUP 1997. UUP 2002 menjadi

27

Sudah banyak diketahui pada masa awal berdiri bahwa televisi-televisi RCTI dan SCTV adalah milik para konglomerat yang berdekatan dengan Orde Baru, yaitu Bambang Trihatmojo (anak ketiga Soeharto) dan Hendri Pribadi (memiliki hubungan dekat dengan saudara Soeharto, Sudwikatmono). Begitu juga dengan Anteve (milik Abu Rizal Bakrie), Metro TV (milik Surya Paloh, pemilik pengusaha media termasuk Media Indonesia), Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) dan Trans 7 (milik Chaerul Tanjung), Lativi (milik Abdul Latief), Global TV (milik Nasir Tamara).

28

(47)

“puncak” kegelisahan setelah tahun 1999 muncul banyak UU terutama Otonomi

Daerah.29

Semangat otonomi daerah yang muncul pada tahun 1999 menjadi pemantik bagi daerah untuk mengatur otoritasnya sendiri termasuk di dalamnya dunia penyiaran. Televisi lokal pun berdiri termasuk juga televisi komunitas meski belum ada UU yang mengaturnya. Televisi-televisi tersebut berdiri di balik UU Otonomi Daerah untuk mengangkat berita seputar daerah. Televisi lokal mencoba membuat semacam “perlawanan” dalam dunia penyiaran yang selama beberapa periode sebelumnya telah tersentralisasi. Stasiun televisi lokal tersebut sebagian berdiri atas nama komunitas atau pun bisnis media misalnya, Amuntai TV, PK TV dan televisi-televisi yang berbasis komunitas kampus seperti TV UI dan Wm TV. Bahkan televisi kampus yang lebih dahulu seperti Ganesha TV di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah bersiaran sejak 1999 dengan scope wilayah daerah Bandung dan pernah mendapatkan surat “pemberhentian” dari Dirjen Postel yang berkaitan dengan ijin frekuensi siaran.30

Setahun setelah penetapan UUP 2002, televisi lokal kemudian berdiri hampir di setiap kota. Keberadaan televisi lokal bagaikan jamur di musim penghujan, setidaknya lima puluh televisi lokal telah berdiri dan yang lain akan

29

Mengenai alasan kenapa UUP 2002 muncul beberapa pertimbangan dalam UU tersebut adalah UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut baca UUP Nomor 32 tahun 2002.

30

(48)

segera menyusul.31 Masing-masing daerah mendirikan televisi dengan modal pemerintah daerah (Pemda) dan sebagian yang lain bekerja sama dengan pihak pemodal. Dari modal swasta, televisi lokal bahkan membuat jejaring dengan daerah-daerah lain dalam satu modal kepemilikan seperti, J TV, Batam TV dan Riau TV yang bernaung di bawah Jawa Pos Group atau Bali TV, Jogja TV dan Semarang TV di bawah pemilik media Bali post, Satria Naradha. Namun, perjalanan televisi lokal tidak semulus perkiraan awalnya yang memiliki semangat untuk menumbuhkan keragaman isi. Lima tahun sejak disahkannya UUP tahun 2002, banyak televisi lokal tidak mampu beroperasi lagi yang akhirnya menyusut. Tugu TV yang berada di daerah siaran Yogyakarta sebagai salah satunya mengalami kepailitan sebagaimana televisi-televisi lokal lainnya yang akhirnya harus menutup diri.

C. Anakronisme Televisi Lokal

Memahami televisi lokal sebagai kebutuhan tidaklah benar sepenuhnya. Pengalaman tentang kebutuhan sendiri tidak dapat dilihat dari keberadaan televisi nasional yang telah menyiarkan secara luas program siarannya, dan menjadikan televisi lokal dianggap sebagai kebutuhan akan siaran-siaran yang bersifat akrab dengan pengalaman masyarakat lokal. Sebagai pemenuhan kebutuhan, televisi lokal sendiri masih bersifat ambigu untuk menyiarkan apakah ukuran suatu program yang dianggap lokal? Pertanyaan ini mungkin esensialis, namun menjadi titik balik bagaimana suatu program dianggap tidak lokal atau memihak kekayaan lokal? Bukankah setiap program juga akan menjadi sangat dekat dengan

31

(49)

pemirsanya jika ia menjadi bagian dari pengalaman hidup individu-individu dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Televisi juga tetap merupakan medium hybrid yang megah, dengan banyaknya kemungkinan program atas hal-hal lokal yang tidak dapat dihindari dan sudah mendasar, yang tidak dapat diterjemahkan.32

Istilah Televisi Lokal di Indonesia baru mulai dikenal secara massif ketika Undang-undang Penyiaran (UUP) nomor 32 tahun 2002 ditetapkan. Meski dalam UUP tersebut tidak dikenal istilah televisi lokal, namun penyebutan televisi lokal sudah begitu akrab untuk merujuk pada lembaga penyiaran swasta yang bersifat daerah seperti Bali TV, Jak TV, Bogor TV, Semarang TV, Riau TV, RB TV, Jogja TV dan lain sebagainya. Jauh sebelum adanya penyebutan televisi lokal, televisi di Indonesia hanya mengenal istilah lembaga penyiaran swasta, sebagai kata lain dari televisi swasta dan lembaga penyiaran publik atau televisi pemerintah (TVRI). Sebagaimana televisi swasta yang berskala nasional televisi lokal pun pendanaannya disokong oleh pihak swasta dan sebagian bekerjasama dengan pemerintah daerah dengan jangkauan siaran pada suatu wilayah tertentu.

Televisi lokal kemudian memproduksi berbagai macam program yang mengulas berita, musik, kesenian, talk show yang berdekatan dengan isu masyarakat setempat. Program-program tersebut tidak menduplikasi dari televisi swasta, namun pada perkembangan selanjutnya program-program televisi lokal pada akhirnya tidak hanya memakai produksi dari daerah atau produksi sendiri. Televisi lokal kemudian memakai tayangan musik-musik yang sudah diproduksi secara masal dari media di Jakarta. Televisi lokal (Jojga TV) pada tayanganya

32

(50)

bahkan menggunakan jejaring dengan televisi lokal lain (Bali TV) untuk pertukaran berita atau pemutaran musik yang sudah banyak disiarkan melalui televisi swasta nasional. Sisi lain UUP pun tidak memberikan aturan mengenai keharusan televisi lokal untuk memproduksi program sendiri sebagaimana TVRI pada masa Orde Baru.

Di atas telah dijelaskan bahwa istilah pemakaian televisi lokal sudah begitu akrab di masyarakat. Televisi lokal bukan hanya menjelaskan istilah teknis menyangkut tayangan dalam bingkai geografi atau batas-batas suatu daerah tertentu, tetapi disatu sisi istilah tersebut juga menyangkut pengertian tentang praktik dan pengalaman suatu masyarakat yang tampil dalam tayangan televisi. Untuk memudahkan gambaran tentang lembaga penyiaran atau televisi swasta, publik dan komunitas, berikut ini bagan sederhana dari pengertian-pengertian di atas. Bagan ini dari peraturan (regulasi) pemerintah melalui UUP No. 32 tahun 2002 yang coba disederhanakan.

Definisi Jangkauan Pemirsa Bentuk

Lembaga Televisi

Publik

lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk

Bersifat nasional

(51)
(52)

menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu

memperoleh izin

penyelenggaraan penyiaran berlangganan.

wilayah di Indonesia

satelit, kabel dan terestrial

D. Yogyakarta Ala Jogja TV

Sebelum tahun 2004, siaran televisi di Yogyakarta hanya menangkap salurandari televisi publik, televisi swasta “nasional” dan bagi para pemirsa yang

memiliki uang “lebih” dapat membeli saluran televisi dengan cara berlangganan

(membayar) pada stasiun-stasiun yang telah tersedia. Televisi di Yogyakarta masih sama dengan kota-kota lain di Indonesia, para pemirsa hanya menikmati tontonannya dari stasiun-stasiun televisi dari Jakarta kecuali tambahan dari TVRI daerah setempat atau dari televisi komunitas yang sudah ada sebelumnya. Meskipun Yogyakarta sebagai kota pertama munculnya TVRI daerah, tetapi TVRI Yogyakarta masih tidak dapat lepas dari TVRI pusat. Tayangan berita dan beberapa program tertentu misalnya masih bergantung pada Jakarta, yang tidak lain karena adanya kepemilikan Negara. TVRI Yogyakarta belum dapat

“membincangkan dirinya” sebagaimana adanya televisi lokal yang marak

(53)

Dua tahun setelah penetapan UUP 2002 akhirnya Jogja TV berdiri sebagai salah satu televisi lokal pertama di Yogyakarta. Di bawah nama PT. Yogyakarta Tugu Televisi, dengan pemilik saham gabungan AGB Satria Naradha dan GBPH Prabukusumo televisi tersebut mengudara.33 Tepat tanggal 17 September 2004 Jogja TV secara resmi berdiri meski sebulan sebelumnya sudah melakukan uji siaran. Pada masa awal-awal berdiri, stasiun televisi yang berada di kecamatan Berbah Sleman tersebut belum melakukan siaran dari pagi hari sampai tengah malam (tidak seperti tahun-tahun belakangan). Jam tayang siaran dimulai siang hari dan sebelumnya hanya berisi color bar dengan back sound musik campursari dan layanan pesan pendek dari pemirsa. Dengan content siaran yang masih sangat sederhana, Jogja TV banyak meliput tentang berita dan musik-musik daerah (campursari). Sajian pada jam-jam siang menjelang sore diisi dengan request lagu dari band-band yang biasa mengisi ruang Yogyakarta dan pada jam-jam lain banyak diisi berita dengan model dialog (talk show) seputar Yogyakarta. Acara-acara konvensional di televisi swasta nasional seperti reality show, sinema elektronik dan film layar lebar belum memiliki jam tayang sendiri. Dari content acara yang muncul menjelaskan bahwa pemilihan isi dan bentuk menjadi pertimbangan tentang ke-jogja-an. menjadi salah keutamaan adalah berita dan public affair yang hampir mendominasi Jogja TV, meski ada tayangan yang sifat

“klangenan” seperti wayang kulit di setiap penghujung siaran.

33

(54)

Belum genap satu tahun Jogja TV berdiri, salurantelevisi lokal di Yogyakarta bertambah satu stasiun, Retjo Buntung Television atau RB TV. RB TV ini sebuah televisi lokal yang satu kepemilikan dengan radio swasta yang sudah lama berdiri di Yogyakarta, radio Retjo Buntung. Sebagaimana Jogja TV dengan berbagai menu siarannya, RB TV menjadi ruang baru para pemirsa di Yogyakarta untuk melihat “wajah sendiri”. Wajah Yogyakarta yang sudah dapat dinikmati di televisi lokal selain TVRI Jogja yang sudah berdiri sejak tahun 1965. Namun, tiga saluran yang meliput Yogyakarta dan seputarnya terasa belum cukup untuk memanjakan pemirsa dengan berbagai berita dan informasi (serta hiburan) tentang ke-jogja-an, satu stasiun baru pun kembali berdiri, Tugu TV. Empat stasiun televisi lokal di Yogyakarta telah berdiri di tahun 2005 dengan channel, kanal, transmitter, serta bentuk tayangannya sendiri-sendiri. Dan akhirnya keempat stasiun televisi tersebut mengudara, meski satu di antaranya harus tumbang terlebih dahulu, yaitu Tugu TV yang sudah tidak mengudara lagi pada 2008.

(55)

dapat “mencurahkan hati” (curhat) pada tayangan-tayangan tertentu. Jogja TV mengakomodasi pemirsa dengan menyediakan berbagai program tayangannya sebagai produk. Mereka (pemirsa) yang ingin mengetahui informasi kesehatan

dapat mengikuti program “Dokter kita”, bagi yang ingin menikmati musik-musik

Campursari dapat memutar Goodril atau bagi mereka yang ingin mengetahui seluk-beluk kota Yogyakarta disediakan produk “Blusukan” yang telah ada di Jogja TV. Tidak berhenti disini, bagi mereka yang ingin memberi masukan pada pemerintahan wilayah Yogyakarta khususnya wilayah Bantul dapat bergabung di

program acara “Gabusan” atau bagi mereka yang merasa menjadi anak muda

kreatif dan ingin berbagi dengan komunitas lain Jogja TV pun menyediakan

program “Jogja Nyasar”.

Dengan berbagai macam programnya, Jogja TV akhirnya ingin membuat landscape daerah Yogyakarta sekaligus sebagai produk yang bisa dinikmati para pemirsa Yogyakarta. Produk tersebut tidak hanya dapat dilihat tetapi sekaligus juga dinikmati bersama para pemirsa dengan mengetahui informasi seputar Yogyakarta melalui Jogja TV. Jogja TV sedang menciptakan kedekatan pemirsa dengan program di mana jarak keduanya semakin menyempit dengan berbagai produknya.

E. Jogja TV: Tradisi Tiada Henti

Begitu melihat tayangan di Jogja TV, kita akan teringat dengan kalimat

“Tradisi Tiada Henti” sebagai motto atau semboyan Jogja TV dalam setiap

penyiarannya. Motto ini berbeda dengan televisi-televisi lokal lainnya di

(56)

sudah dipakai sejak berdiri sekaligus untuk “membedakan diri” dengan televisi

lokal lain. Kalimat dalam take line tersebut setidaknya memberikan dua pengertian sekaligus, pertama, hanya sebatas bentuk kreatifitas penyiaran Jogja TV, dengan kata lain bentuk tayangan Jogja TV tidak pernah lepas dari pengertian

yang sudah “mapan” tentang tradisi. Pada pengertian tersebut apa yang disebut

“tradisi tiada henti” hanya mengacu sebatas tayangan, bahwa Jogja TV identik

dengan siaran-siaran yang memiliki sifat pada apa yang sudah mapan disebut tradisi di masyarakat semata. Dalam pengertian tersebut juga tidak ada kemungkinan bahwa tayangan-tayangan yang dianggap “berlawanan” dengan tradisi akan muncul dalam sebuah tayangan Jogja TV. Tetapi pada pengertian ini menjadi ambigu ketika ada tayangan live band-band pop pada program acara Rolasan, pada jam istirahat siang, masihkah dapat dikatakan bagian dari pengertian tersebut? Atau program acara berita VOA, tentang ruang lingkup Negara Amerika, menjadi bagian dari “tradisi tiada henti”?

Pengertian kedua, take line tersebut dapat dimaknai bahwa yang di sebut

tradisi adalah bentuk yang mengalami “pembaruan” atau inovasi. “Tradisi tiada

henti” tidak lain adalah inovasi terus-menerus yang dipakai dalam program

(57)

dalam pengertian kedua tersebut, karena Campursari sudah melakukan konvensi atau tayangan Wayang Kulit yang di dalamnya sudah ada musik Campursari bahkan dangdut atau sisi lain tayangan Inyong Siaran yang menggambar (capture)

wilayah Banyumasan. “Tradisi tiada henti” menjadi garis tepi dari perpaduan

bentuk kreatifitas untuk menghasilkan model-model tayangan (sebagaimana televisi-televisi swasta nasional).

Seorang filosof konservatif, Edmund Burke, memberikan catatan penting kenapa tradisi selalu menjadi sesuatu yang selalu penting bahkan dalam media. Catatannya, tradisi sebagai ekspresi persekawanan antara yang hidup, yang belum lahir dan yang sudah meninggal.34 “Tradisi tiada henti” ala Jogja TV melihat bahwa tayangan-tayangan apapun bentuknya selalu ada pengalaman orang-orang (pemirsa) di Yogyakarta. Ia adalah sesuatu yang permanen dan terpelihara dalam pikiran para pemirsa Jogja TV. Jadi ada kedekatan yang sengaja dibuat dalam bentuk tayangan pada pemirsa (sebagai presentasi) tentang pengalaman hidup. Inyong Siaran misalnya, dapat membawa pemirsanya yang tinggal di Yogyakarta bagaimana ia sekaligus menjadi ruang cerita dari tempat atau masa lalu untuk berpijak.

34

Gambar

Gambar no. 1 Bumper Inyong Siaran  .............................................................
Gambar no. 2. pengambilan gambar (shoot) Inyong Siaran di Purwokerto
gambar diambil dari jarak jauh (long shot) kemudian (cut to) medium shot sampai
gambar bergerak tanpa makna di Jogja TV tetapi sudah menjadi ajang bagi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bahan dasar gandum yang diperoleh dengan cara penggilingan gandum yang banyak digunakan dalam industri

Dapat diidenti fi kasi beberapa poin yang menyebabkan terjadinya penurunan motivasi petani untuk merawat kebun. Penyebab tersebut terdiri dari kurangnya pengetahuan petani

(3) Bupati dapat memberikan kelonggaran ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, untuk bangunan umum yang menyediakan ruang terbuka lebih luas dan atau lebih

Como podemos intuir desde la descripción que Boyer hace del método, uno de los inconvenientes del mismo radicará en la dificultad de encontrar condiciones que garanticen que la

[r]

Pernyataan Saya minum-minuman keras atau memakai narkoba berlebihan Saya makan makanan yang sehat Saya belajar atau mengerjakan tugas sekolah semalaman ketika sudah mendekati

Hasil penelitian ini sejalan dengan peneli- tian dari Bianti Hastuti di Semarang setelah lati- han fisik jangka pendek dan sebelum latihan fisik jangka pendek menggunakan

Dalam rangka mewujudkan tertib administrasi penugasan tenaga asing dalam kerangka kerja sama teknik luar negeri, telah ditetapkan Peraturan Menteri Sekretaris