• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Financial Distress Perusahaan Sektor Agrikultur di Indonesia Kondisi keuangan perusahaan sektor agrikultur dapat dilihat melalu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Financial Distress Perusahaan Sektor Agrikultur di Indonesia Kondisi keuangan perusahaan sektor agrikultur dapat dilihat melalu

perhitungan DSCR yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya kepada pihak ke tiga. DSCR, secara lebih lanjut, menunjukkan kondisi financial distress perusahaan. Suatu perusahaan dinyatakan berada dalam kondisi financial distressketika perusahaan tersebut memiliki nilai DSCR≤1,20. Sebaliknya, perusahaan dinyatakan berada dalam kondisi non-financial distress

ketika perusahaan tersebut memiliki nilai DSCR > 1,20 (Ruster, 1996). DSCR dihitung menggunakan persamaan (1).

Tabel 4. Kondisi financial distresssektor agrikultur di Indonesia No. Kode Perusahaan Tahun DSCR Kondisi Perusahaan No. Kode Perusahaan Tahun DSCR Kondisi Perusahaan 1. AALI 2006 1,069 FD 6. MBAI 2006 1,0077 FD 2007 1,2213 NFD 2007 0,6618 FD 2008 1,4529 NFD 2008 0,1016 FD 2009 1,1851 FD 2009 0,7435 FD 2010 1,2445 NFD 2010 1,0757 FD 2. BISI 2006 0,0988 FD 7. SGRO 2006 0,4072 FD 2007 0,3883 FD 2007 0,6008 FD 2008 0,4223 FD 2008 0,9432 FD 2009 0,2887 FD 2009 0,9404 FD 2010 1,1377 FD 2010 0,8177 FD 3. CPRO 2006 0,1909 FD 8. SMAR 2006 0,7185 FD 2007 0,1494 FD 2007 0,2554 FD 2008 0,1993 FD 2008 0,5072 FD 2009 0,2915 FD 2009 0,3225 FD 2010 0,2305 FD 2010 0,3119 FD 4. DSFI 2006 0,0724 FD 9. TBLA 2006 0,2952 FD 2007 0,1890 FD 2007 0,2526 FD 2008 0,5341 FD 2008 0,2201 FD 2009 0,1787 FD 2009 0,3567 FD 2010 0,0934 FD 2010 0,2434 FD 5. LSIP 2006 0,3257 FD 10. UNSP 2006 0,3737 FD 2007 0,4582 FD 2007 0,3858 FD 2008 0,7057 FD 2008 0,3989 FD 2009 0,8834 FD 2009 0,5488 FD 2010 1,2789 NFD 2010 0,2568 FD

Berdasarkan perhitungan DSCR, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh perusahaan sektor agrikultur yang terdaftar di Indonesia mengalami masalah

perusahaan di sektor agrikultur di Indonesia yang mengalami fluktuasi kondisi

financial distress. Sedangkan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera Indonesia Tbk memasuki status emergence financial distress pada tahun 2010, dimana perusahaan tersebut berhasil keluar dari keadaan financial distress

menjadi non-financial distress. Selain kedua perusahaan tersebut, yaitu sebanyak delapan perusahaan agrikultur mengalami masalah financial distress selama periode waktu 2006 sampai dengan 2010.

Gambar 4. DSCR sektor agrikultur 2006-2010

Pada tahun 2006, AALI memiliki nilai DSCR yang tertinggi, diikuti dengan MBAI, SMAR, SGRO, UNSP, LSIP, TBLA, CPRO, BISI, dan DSFI dengan nilai DSCR yang paling rendah. Meskipun seluruh perusahaan sektor agrikultur berada pada kondisi financial distress, subsektor plantations memiliki nilai teratas. Baik AALI, SMAR, SGRO, UNSP, LSIP, dan TBLA terdaftar dalam subsektor plantations.Subsektor husbandryjuga menunjukkan angka DSCR yang relatif baik pada tahun tersebut. Dimana, MBAI memiliki nilai tertinggi kedua, meskipun masih dalam kondisi financial distress sebagaimana perusahaan agrikultur lainnya. Dua subsektor yang tersisa, yaitu crops dan fishery, memiliki nilai DSCR yang sangat rendah. Subsektor crops, yaitu BISI, memiliki nilai DSCR sebesar 0,0988 yang masih sangat jauh dari kondisi non-financial distress

dengan nilai DSCR minimal sebesar 1,2. Subsektor fishery terdiri atas CPRO dan 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 2006 2007 2008 2009 2010 AALI BISI CPRO DSFI LSIP MBAI SGRO SMAR TBLA UNSP

DSFI yang juga memiliki nilai DSCR terendah pada tahun 2006, dengan masing- masing bernilai sebesar 0,1909 dan 0,0724.

Tahun 2007 tetap diungguli oleh AALI yang mengalami peningkatan nilai DSCR hingga mencapai 1,2213 sehingga AALI mengalami emergence financial distress. Lain halnya dengan AALI, nilai DSCR MBAI menurun drastis dari 1,0077 menjadi 0,6618. Hal ini mencerminkan terjadinya penurunan kemampuan pelunasan hutang pada subsektor husbandry pada tahun 2007. Subsektor

plantations tidak terlalu berbeda jauh dari tahun sebelumnya. Selain AALI, peningkatan terjadi pada LSIP, SGRO, dan UNSP. Penurunan terjadi pada SMAR dan TBLA, dimana TBLA tidak mengalami penurunan drastis sebagaimana dialami oleh SMAR, yang menurun dari 0,7185 menjadi 0,2554. Subsektor crops

mengalami peningkatan dimana nilai DSCR BISI meningkat dari 0,0988 menjadi 0,3883. Kondisi subsektor fishery tidak mengalami perbedaan yang terlalu signifikan, meskipun CPRO mengalami penurunan dan DSFI mengalami peningkatan kemampuan membayar hutang, perbedaan tersebut tidak terlalu besar.

Pada tahun 2008, yaitu tahun dimana krisis Subprime Mortgage

memuncak dan dirasakan oleh seluruh dunia, hampir seluruh perusahaan sektor agrikultur mengalami peningkatan nilai DSCR. Peningkatan nilai DSCR yang tajam terjadi pada AALI, dimana perusahaan tersebut masuk pada kondisi non- financial distress. Peningkatan tajam ini terjadi karena adanya peningkatan net income sebesar 75%.

Penurunan yang sangat tajam dirasakan oleh MBAI pada tahun 2008. Hal ini terjadi karena terjunnya nilai net income yang hanya mencapai 35,53% dari tahun sebelumnya serta besarnya jumlah pinjaman pokok jangka panjang yang dilunasi pada tahun 2008, sehingga meningkatkan pengeluaran MBAI berupa pembayaran pokok hutang dan beban bunga hutang jangka panjang. Kinerja MBAI pada tahun 2008 sebenarnya lebih baik dari tahun sebelumnya, yaitu tahun 2007. Hal ini dinyatakan demikian karena adanya peningkatan jumlah produksi dan volume penjualan perusahaan. Namun, net income MBAI menurun drastis akibat adanya kerugian selisih kurs yang terjadi akibat penurunan nilai Rupiah yang signifikan terhadap US$ yang mencapai 16% pada akhir tahun 2008.

Selain MBAI, hanya TBLA yang mengalami penurunan nilai DSCR dari 0,2526 menjadi 0,2201. Selain itu, seluruh perusahaan agrikultur mengalami peningkatan nilai DSCR. Secara keseluruhan, dapat dinyatakan bahwa kondisi sektor agrikultur membaik. Seluruh subsektor, kecuali subsektor husbandry

didominasi dengan peningkatan kemampuan untuk membayar hutang pada tahun 2008. Dapat dilihat bahwa pada tahun terjadinya krisis Subprime Mortgage, sektor agrikultur tidak mengalami penurunan.

Tabel 5. Fluktuasi nilai DSCR perusahaan Indonesia 2007-2009 Perusahaan 2007 2008 2009

AALI Meningkat Meningkat Menurun

BISI Meningkat Meningkat Menurun

CPRO Menurun Meningkat Meningkat

DSFI Meningkat Meningkat Menurun

LSIP Meningkat Meningkat Meningkat

MBAI Menurun Menurun Meningkat

SGRO Meningkat Meningkat Meningkat

SMAR Menurun Meningkat Menurun

TBLA Menurun Menurun Menurun

UNSP Meningkat Meningkat Meningkat

Pada pasca krisis Subprime Mortgage, AALI, SGRO, SMAR, BISI, dan DSFI mengalami penurunan nilai DSCR.Sedangkan TBLA, LSIP, MBAI, TBLA, dan CPRO mengalami peningkatan nilai DSCR. Pada tahun 2010, terdapat gap

yang sangat besar antara AALI, LSIP, BISI, MBAI, dan SGRO, dengan SMAR, UNSP, TBLA, CPRO, dan DSFI. Kelima perusahaan pertama memiliki nilai DSCR yang sangat tinggi, sedangkan yang lainnya memiliki DSCR yang sangat rendah, berkisar antara 0,1 dan 0,3. Kelima perusahaan yang mengalami peningkatan tersebut berasal dari subsektor plantations, crops, dan husbandry.

Penurunan terjadi pada subsektor plantationsdan fishery. Dapat disimpulkan pada tahun 2009, subsektor plantations berfluktuatif, subsektor crops dan husbandry

mengalami peningkatan, dan subsektor fishery mengalami penurunan kemampuan pelunasan kewajiban. Fluktuasi nilai DSCR perusahaan pada sektor Agrikultur Indonesia, pada pra krisis Subprime Mortgage (2007) sampai pasca krisis

Tahun 2010 diisi dengan peningkatan nilai DSCR secara drastis oleh LSIP, MBAI, dan BISI. Peningkatan juga terjadi pada AALI, dimana AALI dan LSIP berhasil keluar dari kondisi emergence financial distress. SGRO mengalami penurunan, namun masih memiliki nilai DSCR yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan lainnya. SMAR, UNSP, TBLA, CPRO, dan DSFI mengalami penurunan DSCR dan berada sangat jauh dari kelima perusahaan lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa subsektor crops dan

husbandry mengalami peningkatan, subsektor plantations berfluktuatif, dan subsektor fishery mengalami penurunan kemampuan pelunasan hutang.

Dokumen terkait