• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Historis Polusi Air dan Peraturan Lingkungan di Jepang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.2 Kondisi Historis Polusi Air dan Peraturan Lingkungan di Jepang

Jepang merupakan salah satu negara maju dengan kualitas lingkungan yang baik. Namun, sebelumnya, Jepang juga mengalami kerusakan lingkungan akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat intensif. Informasi dari kementerian Lingkungan Jepang menyebutkan bahwa polusi air telah terjadi di Jepang sebelum

49

era industrialisasi yaitu pada periode Meiji (1868-1912). Limbah tambang dari perusahaan Ashio Copper Mine dibuang langsung ke sungai Watarase sehingga menimbulkan gangguan kesehatan dan pencemaran lahan sawah di sekitar sungai. Setelah periode Meiji, polusi air terus meningkat dan menyebar ke berbagai wilayah di Jepang seiring dengan dimulainya industrialiasasi.

Kekalahan di perang dunia II menjadi momentum bagi Jepang untuk memulihkan kembali perekonomian yang hancur akibat perang melalui industrialisasi. Transisi dari rekonstruksi pasca perang ke era keemasan ekonomi Jepang dimulai sejak dekade 1950an. Jepang berhasil mencapai Gross Domestic Product (GDP) yang melebihi GDP sebelum perang pada tahun 1953. Pada awal dekade 1960-an, dalam kondisi politik pasca perang yang masih tidak stabil, Perdana Menteri Hayato Ikeda meluncurkan program Income Doubling Plan dengan target peningkatan pendapatan ril dua kali lipat dalam kurun waktu sepuluh tahun. Rencana ini dinilai tidak realistis karena pendapatan nominal mungkin meningkat tapi inflasi harus dipastikan konstan agar program tersebut terlaksana. Walaupun publik pesimis, pada kenyataannya pendapatan ril meningkat lebih dari dua kali lipat dalam sepuluh tahun. Tingkat pengangguran dapat ditekan hingga tingkat 1,1%-1,3 % kecuali pada tahun 1960 (1,6%). Pada tahun 1968, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi sehingga tahun 1968 sering disebut golden era dan masa paling penting yang menandai transformasi Jepang menjadi negara modern. GDP Jepang mencapai $ 152 miliar dan menjadi GDP tertinggi kedua di dunia (Hamada, 1996).

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan, permasalahan lingkungan juga meningkat dengan cepat. Sejak dekade 1950-an,

50

perekonomian Jepang bertumbuh dengan pesat, tetapi diikuti dengan kerusakan lingkungan. Pada tahun 1955, cemaran limbah merkuri menyebabkan penyakit Minamata di barat daya pulau Kyushu. Setelah itu, kasus minamata kedua terjadi di Sungai Agano, Laut Teluk Jepang. Sungai Jinzu yang juga terletak di sekitar Laut Teluk Jepang juga tercemar Cadmium dan menyebabkan penyakit gatal-gatal (Itai-Itai).

Menanggapi dampak bencana lingkungan yang besar bagi masyarakat dan ekosistem, pemerintah mulai mengusahakan upaya untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Secara umum. pengaturan polusi air di Jepang dilakukan melalui tiga metode yang diterapkan pada sumber polutan yang dapat diidentifikasi. Metode tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Kontrol terhadap konsentrasi polutan pada limbah cair.

2. Kontrol terhadap konsentrasi polutan di badan air. Standar ini merupakan target wajib kebijakan lingkungan jangka panjang.

3. Kontrol terhadap konsentrasi polutan limbah cair dalam satuan volume. Hal ini diterapkan bila kualitas standar lingkungan tidak dapat dicapai melalui pembatasan konsentrasi polutan. Umumnya, metode ini diterapkan pada badan air yang merupakan menjadi muara bagi polutan dari industri dan rumah tangga dalam jumlah yang besar.

Awalnya, kesadaran akan pentingnya membuat peraturan tentang lingkungan dimulai dari pemerintah daerah di pusat industri di wilayah Kanto seperti Tokyo dan Kanagawa. Beberapa pemerintah daerah mulai menerbitkan peraturan lingkungan yang berlaku untuk daerahnya masing-masing. Pemerintah Kota Metropolitan Tokyo mulai mengeluarkan kebijakan pencegahan polusi sejak

51

1949, Osaka sejak 1950, Kanagawa sejak 1951, dan Fukuoka sejak 1955. Saat itu, masalah lingkungan belum menjadi perhatian pemerintah pusat karena pemerintah pusat masih fokus meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi.

Permasalahan lingkungan mulai menjadi perhatian pemerintah pusat sejak tahun 1958 ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur kualitas air untuk publik dan limbah perusahaan. Namun, peraturan ini kurang efektif karena pelaksanaannya kurang tegas dan pemberlakuannya hanya terbatas di berbagai lokasi. Kemudian, pada tahun 1967, kontrol sumber polusi mulai diperketat dengan mengeluarkan Basic Law for Environmental Pollution Control. Pada tahun 1970, pemerintah akhirnya mengeluarkan hukum tentang polusi air yang merupakan penggabungan dari berbagai peraturan yang sudah ada sebelumnya. Hukum ini mengatur batas standar limbah cair yang berlaku secara nasional dan dikontrol oleh pemerintah melalui Environmental Agency.

Namun, pada dekade 1970-an, kasus polusi air semakin sering terjadi . Industrialisasi intensif di sepanjang Laut Pulau Seto menyebabkan kualitas air memburuk. Pada tahun 1972, terjadi kematian mendadak biota laut dalam jumlah besar akibat pertumbuhan eksposif ganggang merah yang muncul karena tumpahan minyak dari pabrik penyulingan minyak dan kontaminasi Kromium dari sampah industri. Kondisi ini kemudian ditanggapi cepat oleh pemerintah setahun kemudian dengan mengeluarkan Water Pollution Control Law untuk konservasi lingkungan di Laut Pulau Seto dan mendorong pengembangan teknologi yang dapat menghilangkan polutan seperti COD, Nitrogen, dan Phospor pada air limbah. Hukum ini kemudian direvisi pada tahun 1978 untuk mengesahkan pihak yang berwenang untuk membatasi total polutan yang diperbolehkan dibuang ke

52

perairan. Sistem ini kemudian dilaksanakan di Teluk Tokyo dan Teluk Ise yang juga mengalami kerusakan lingkungan akibat industrialisasi yang sangat pesat.

Selanjutnya, kebijakan perbaikan infrastruktur mulai diarahkan pada sistem suplai air dan pembuangan limbah cair untuk mengontrol polusi air dari perusahaan. Pemerintah pun mengimpor teknologi dari luar negeri yang berkaitan dengan penyaringan air keran, pengolahan limbah cair perusahaan dan kotoran manusia. Namun, di saat yang sama, sektor pendidikan distimulai untuk melakukan penelitian agar teknologi tersebut diproduksi di dalam negeri untuk tujuan komersil.

Pada dekade 1990-an, Basic Environment Law disahkan oleh pemerintah untuk mengatur kualitas standar indikator kualitas lingkungan. Pemerintah juga mengeluarkan sejumlah peraturan untuk yang mengatur sumber air minum, konservasi untuk sumber air minum, dan management pengolahan limbah manusia seperti feces dan urine. Pada dekade 2000-an, polusi yang diakibatkan oleh bahan berbahaya menjadi masalah lingkungan yang baru. Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan Law Concerning Special Measures against Dioxins dan Soil Contamination Countermeasures Law.

Selain itu, terdapat juga sejumlah konvensi internasional yang menjadi dasar bagi pencegahan polusi air di Jepang seperti Konvensi tentang pencegahan polusi di laut dari sampah yang dibuang dari kapal dan pesawat udara. Konvensi ini diratifikasi pada tahun 1980. Pada tahun 1983, Jepang juga meratifikasi konvensi internasional tentang pencegahan polusi akibat akitivitas pengoperasian maupun kecelakaan kapal.

53

Kualitas standar untuk polusi air diklasifikasikan berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan dan komponen lingkungan yang hidup seperti binatang, tumbuhan,dan habitatnya. Polutan yang berpengaruh terhadap kesehatan adalah bahan beracun sepertu logam Merkusi, Arsen, dan Klorin. Sementara itu, polutan yang berpengaruh terhadap komponen lingkungan yang hidup adalah bahan beracun, polusi bahan organik seperti BOD dan COD, dan nutrien seperti Nitrogen dan Phospor. Indikator polusi air yang paling utama adalah konsentrasi Oksigen di perairan yang dapat diukur melalui BOD dan COD. Berkurangnya Oksigen dapat menyebabkan kematian bagi kehidupan di perairan.

Komponen penting dalam managemen sumber daya air di Jepang adalah adanya monitoring secara berkala. Kementerian Lingkungan memeriksa kualitas air di permukaan (danau, sungai, dan laut) dan air tanah di sekitar 9.000 titik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik air, trend perubahan kualitas air dalam jangka panjang, dan mendeteksi adanya polusi air sejak dini. Data ini kemudian dianalisis dan dipublikasikan ke website maupun dalam bentuk laporan tahunan yang dapat didistribusikan ke lembaga pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendidikan.

Peraturan tentang standar konsentrasi polutan yang diperbolehkan berlaku terhadap semua perusahaan yang terdaftar dalam specified fatories karena mengeluarkan emisi dalam jumlah yang besar seperti perusahaan bahan kimia, logam, pengolahan limbah, dan hotel. Specified berarti perusahaan harus memiliki teknologi tertentu untuk mengolah limbah sebelum dibuang ke perairan. Pengawasannya adalah sistem direct penalty yang artinya perusahaan dapat dikenakan sanksi apabila konsentrasi polutan dalam limbah yang dikeluarkan ke

54

perairan telah melalui ambang batas. Sistem pengawasan ini dilakukan secara seragam oleh pemerintah pusat (uniform control). Sampai tahun 2005, sebanyak 290.000 specified factories terdaftar dalam subjek pengawasan pemerintah pusat.

Kontrol polusi yang lebih ketat mungkin dilaksanakan di tingkat provinsi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dimengerti bahwa pemerintah daerah juga sangat berperan penting dalam menjaga kualitas ambang polutan di daerahnya masing-masing. Pemerintah daerah umumnya bertanggung jawab untuk mengontrol polutan dari perusahaan skala kecil.

6.3. Pelajaran yang Dapat Diambil Indonesia dari Pengalaman Jepang