• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Implementasi Kepemimpinan RLA di Lingkungan

KONDISI IMPLEMENTASI KEPEMIMPINAN RLA DI LINGKUNGAN POLRI, IMPLIKASI IMPLEMENTASI KEPEMIMPINAN RLA DI

LINGKUNGAN POLRI TERHADAP PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN KEMANDIRIAN

BANGSA SERTA PERMASALAHANNYA 11. Umum

Sebagaimana disinggung pada BAB I dan II di atas tentang kepemimpinan yang RLA sebagai sebuah gaya ataupun style kepemimpinan yang menekankan kepada fitrah dari pada kehadiran umat manusia itu sendiri yang seharusnya, yaitu membawa rahmat bagi sesamanya manusia maupun alam serta sesisinya sebagaimana dalam

kepemimpinan hal ini dicontohkan oleh junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. “Wama arsalnaha illa rahmatan lil alamin” (Surat Al-Anbiya : 107) yang dimaknakan “... dan tiada kami mengutus kamu (wahai Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.

Kepemimpinan yang RLA di lingkungan Polri pada dasarnya berorientasi dari pada embanan ataupun tugas pokok yang melekat pada Polri itu sendiri, yaitu selaku pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum dan memberikan pengayoman, perlindungan serta pelayanan kepada masyarakat. Bersumber dari tugas pokok serta pengejawantahanan dari berbagai paradigma nasional, khususnya Pancasila dan landasan teori kepemimpinan yang dipelajari seperti kepemimpinan nasional, negarawan, kontemporer, visioner, transformatif maupun sifat-sifat kepemimpinan Nabi Besar Muhammad SAW khususnya fatonah, amanah, shiddig dan tabligh, maka kepemimpinan yang RLA inilah sebagai alternatif gaya atau style yang harus diberikan oleh setiap pemimpin di lingkungan Polri. Bertitik tolak dari pemaknaan kepemimpinan RLA inilah maka dalam sub-bab berikut ini akan dijelaskan bagaimana kondisi implementasi kepemimpinan RLA di lingkungan Polri saat ini, implikasi implementasi kepemimpinan RLA di lingkungan Polri terhadap peningkatan ketahanan pangan dan implikasi peningkatan ketahanan pangan terhadap kemandirian bangsa serta permasalahan yang ditemukan.

12. Kondisi Implementasi Kepemimpinan RLA di Lingkungan Polri Saat Ini

c. Belum Diimplementasikannya Kepemimpinan RLA di Lingkungan Polri Saat Ini.

Seperti telah disinggung di atas bahwa setelah Polri berpisah dengan TNI atau ABRI saat itu di tahun 2000, yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR Nomor : VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri sebagai sebuah tuntutan reformasi di Indonesia, Polri sampai saat ini belum memiliki asas-asas kepemimpinan yang secara umum diberlakukan di lingkungan Polri seperti waktu sebelumnya dengan 11 asas kepemimpinan ABRI.

Dengan dipisahkannya dari ABRI, bukanlah berarti kemudian terputusnya seketika itu juga pengamalan akan nilai-nilai atau asas-asas dari kepemimpinan di lingkungan Polri yang selama ini berlaku. Senyatanya ada nilai-nilai dan etika Polri yang dapat menjadi sumber implementasi kepemimpinan di lingkungan Polri, yaitu pedoman hidup dan pedoman kerja berupa Tribrata dan Catur Prasetya yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari nilai- nilai Pancasila dan tugas pokok Polri yang juga telah dicantumkan dalam UUD N RI 1945 (amandemen). Sesungguhnya reformasi Polri yang secara struktural baru terlihat di tahun 2000, yaitu dengan dipisahkannya dari ABRI, sudah disusun dan direncanakan bahwa reformasi birokrasi Polri itu sejak tahun 1998, yaitu dalam sebuah buku yang dikenal dengan “buku biru reformasi Polri”. Dimana reformasi Polri itu dibagi dalam tiga bagian, yaitu struktural, instrumental dan kultur. Jika kita melihat nilai-nilai ataupun asas- asas kepemimpinan maka hal ini cenderung masuk pada ranah kultur atau budaya yang memang perubahannya relatif sulit dan membutuhkan waktu, karena berkaitan dengan nilai-nilai yang kemudian tercermin dalam perilaku.

Sosok kepemimpinan di lingkungan Polri sejak tahun 2000 dapat kita lihat sebagai berikut : 1) Jenderal Polisi Rusdihardjo, Januari-Agustus 2000, Kapolri ini diangkat oleh Presdien R.I hasil Pemilu 1999 yang cukup kontraversi yaitu K.H Abdulrahman Wahid atau Gus Dur. 2) Jederal Polisi Drs. Suroyo Bimantoro, 2000-2001, Kapolri ini juga diangkat oleh Presiden R.I K.H Abdulrahmman Wahid. Dalam perjalanannya Gus Dur diganti oleh MPR karena skandal tertentu yang berujung kepada politik dan dipenghujung jabatannya Gus Dur sempat mengangkat Kapolri baru yaitu Jenderal Polisi Drs. Chairuddin Ismail yang baru sempat dilantik di Istana Presiden tetapi belum sempat serah terima jabatan dengan Jenderal Polisi Drs. Suroyo Bimantoro. Situasi ini menjadi sebuah persoalan tersendiri secara internal di lingkungan Polri, dimana selama ini calon Kapolri pengganti selalu diajukan oleh Kapolri

lama sebagai sebuah cara memelihara kesinambungan, walaupun tentu saja dengan sistem tata negara Indonesia penunjukan Kapolri itu sebagai ranah prerogratif Presiden. 3) Jenderal Polisi Drs. Da’i Bachtiar, S.H, 2001-2005, Kapolri ini diangkat oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. 4) Jenderal Polisi Drs. Sutanto, 2005- 2008, Kapolri ini diangkat oleh Presiden SBY yang kebetulan teman seangkatan di AkABRI dan sama-sama penerima penghargaan Adhimakayasa di Akademi masing-masing. 5) Jenderal Polisi Drs. Bambang Hendarso Danuri, M.M, 2008-20110, juga diangkat oleh Presiden SBY dan kemudian 6) Jenderal Polisi Drs. Timur Pradopo, 2010-sekarang, juga diangkat oleh Presiden SBY.

Melihat secara empiris, sesungguhnya para Kapolri ini tidak memiliki nilai-nilai kepemimpinan yang khusus dapat diterapkan seperti pada saat adanya 11 asas kepmimpinan ABRI. Akan tetapi para pemimpin di lingkungan Polri tersebut sudah menerapkan nilai-nilai kepemimpinan nasional, prinsif-prinsif dalam kepemimpi- nan transformatif, kepemimpinan visioner, kepemimpinan kontem- porer sebagaimana model-model kepemimpinan tersebut dipelajari, didiskusikan saat mereka sekolah di Sespim, Sespati maupun di Lemhannas. Hal tersebut dapat dilihat dari kinerja yang menonjol dari masing-masing pimpinan, walaupun tentu saja disana sini masih ada kekurangan, sehingga citra atau pandangan publik pada organisasi Polri secara keseluruhan belum begitu baik atau naik turun sesuai dengan isue yang mengemuka pada setiap saat kepemimpinan Polri itu hadir pada masanya.

d. Profesionalisme di Lingkungan Polri Secara Umum Masih Kurang.

Seperti diketahui bahwa makna profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki aosiasi profesi, kode etik serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang tersebut. Contoh profesi dibidang hukum, kedokteran,

keuangan, militer, teknik dan lain-lain. Karakteristik profesi disimpulkan antara lain : (1) Adanya keterampilan yang berdasarkan pada pengetahuan teoritis, (2) Asosiasi profesional, (3) Ujian kompetensi, (4) Pelatihan institusional, (5) Lisensi, (6) Pendidikan yang ekstensif, (7) Otonomi kerja, (8) Kode etik, (9) Mengatur diri, (10) Layanan publik altruisme dan (11) Status dan imbalan yang tinggi.

Unsur profesionalisme dalam tulisan Taskap ini dijadikan sebagai sebuah critical driving force atau salah satu pengungkit utama untuk mewujudkan kepemimpinan yang RLA di lingkungan Polri. Di dalam organisasi Polri sendiripun telah beberapa kali terjadi perubahan struktur organisasi dengan orientasi mendekatkan organisasi Polri sebagai bagian fungsi pelayanan pemerintah dengan masyarakat yang akan dilayani. Reformasi instrumental juga telah dilakukan seperti misalnya lahirnya Undang- undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai perubahan dari Undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 28 Tahun 1997 tentang Polri dimana pada periode tersebut Polri masih bersama-sama dengan ABRI. Kemudian juga telah dirubah berbagai macam Pedoman atau Petunjuk yang disebut sebagai pedoman induk, pedoman dasar, Petunjuk Pelaksana, petunjuk tehnis menjadi Peraturan-peraturan Kapolri sesuai dengan amanat Undang- undang No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan dan Perundang-undangan yang terakhir telah dirubah dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan perubahan kultur, hal ini dirasakan relatif sulit untuk dilakukan oleh Polri. Berdasarkan beberapa literatur perubahan kultur di lingkungan Polri ini dimaksudkan adalah perubahan artefak, perubahan perilaku dan perubahan paradigma (mindset) atau yang sering disebut kultur set. Beberapa hal budaya yang ingin dirubah secara mendasar di lingkungan Polri misalnya adalah budaya organisasi yang tadinya antagonis menjadi protagonis, reaktif

menjadi proaktif, legalitas menjadi legitimitas, elitis menjadi populis, arogan menjadi humanis, otoriter menjadi demokratis, tertutup menjadi transparan, akuntabilitas vertikal menjadi akuntabilitas publik dan dari monologis menjadi dialogis.

Sesungguhnya juga Polri telah memiliki Grand Strategi Polri 2005-2025 yang dikukuhkan berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor Polisi : Kep/360/VI/2005 tanggal 10 Juni 2005. Grand Strategi ini bukan dibuat oleh Polri semata, tetapi lebih melibatkan civitas akademika dari UI dan UGM. Dalam Grand Strategi ini secara umum mengarahkan pembangunan Polri untuk 20 tahun kedepan, Polri akan dibawa kemana, dan sesuai Grand Strategi tersebut secara garis besar arah pembangunan Polri adalah : Renstra pertama 2005-2009 yang lalu pembangunan Polri sesungguhnya diarahkan kepada pembangunan kepercayaan masyarakat kepada Polri atau Trust Building. Kemudian Renstra ke dua 210-2014 diarahkan kepada membangun kemitraan atau kebersamaan atau Pathnership Building dan kemudian Renstra ketiga 2015-2025 diarahkan kepada pembangunan yang mengkukuhkan organisasi untuk dapat memberikan pelayanan secara prima kepada publik atau Strive for Excellence. Setiap Renstra tersebut tentulah tidak parsial, tetapi saling bersinergi dan saling menguatkan, artinya ketika Renstra pertama lalu (2005- 2009) menekankan kepada pembangunan kepercayaan, bersama itu juga dibangun kemitraan dan pelayanan prima, hanya memang penekanan atau orientasinya kepada pembangunan kepercayaan. Begitu juga pada Renstra kedua yang sedang berjalan (2010- 2014), penekanan pembangunan Polri kepada kemitraan atau pathnership, akan tetapi tentu juga dilakukan pembangunan kepercayaan dan telah dirintis upaya untuk memberikan pelayanan yang prima. Jadi pembangunan di lingkungan Polri ada penekanan yang berkelanjutan atau suistanable program.

Kondisi Polri dimata masyarakat sebagai indikator hasil kinerja atau penerapan kepemimpinan rahmatan lil alamin saat ini dapat dilihat dari berbagai persepsi masyarakat terhadap Polri sebagai hasil penelitian ataupun survey, yang dapat digambarkan sebagai berikut :

1) Hasil survey dari PERC (Political and Economic Risk

Counsulting) menempatkan Indonesia sebagai negara nomor

dua terburuk masalah keamanan individu setelah Philipina bagi para investor (2010).

2) Kompolnas merelease bahwa penyimpangan Polri terjadi paling besar pada penegakan hukum, yaitu sebesar 72% (2009).

3) TII (Transparancy International Indonesia)

menempatkan Polri sebagai Institusi dengan tingkat suap tertinggi (2009).

4) Global Coruption Barometer (GCB), menempatkan

Polri sebagai institusi terkorup di Indonesia dengan indeks 4,2 (2010).

5) Penelitian yang dilakukan oleh lembaga independent Markplus in Sight menyimpulkan tingkat kepuasan masyarakat atas pelayanan Polri baru 54,37% (2009).

6) Penelitian oleh Staf Ahli Kapolri, Biro Litbang Polri, Mahasiswa PTIK, merelease bahwa tingkat harapan masyarakat atas pelayanan Polri sebesar 86,32%, sedangkan rata-rata transparansi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat baru sebear 64,21%, jadi masih ada gap atau disparitas antara harapan masyarakat dan yang dapat diberikan oleh Polri yang cukup tinggi, yaitu sebesar 22,11% (2010).

7) Pada tahun 2002, mahasiswa PTIK juga telah melakukan penelitian di 10 Polda yang menyoroti tentang pergeseran paradigma sebagai upaya melakukan perubahan budaya untuk meningkatkan kinerja. Ditemukan ada dua

faktor utama yang menerangkan kinerja Polri, yaitu pemahaman personil tentang paradigma itu sendiri dan peranan atasan atau pemimpin di lingkungan Polri. Ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya kehadiran seorang pemimpin yang rahmatan lil alamin.

8) Hasil survey Jaringan Survey Indonesia yang dimuat di harian Kompas hari Rabu, 2 Nopember 2011 tentang tingkat kepercayaan dan tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja aparat penegak hukum. Hasilnya adalah, untuk tingkat kepercayaan Polri menduduki peringkat yang terbaik yaitu 58,2%, kemudian KPK : 53,8%, MA : 47,8%, MK : 47,3%, Kejagung : 46,0%. Untuk tingkat kepuasan masyarakat Polri juga terbaik yaitu 53,6%, KPK : 45,0%, MK : 43,5%, MA : 42,1% dan Kejagung : 41,1%. Sedangkan terakhir hasil survey Sugeng Suryadi Syndicate pada tanggal 14-24 Mei 2012 yang lalu di 33 Provinsi menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia dengan nilai 47%.

Kondisi profesionalitas secara umum ini juga dapat dilihat dari komposisi kepangkatan riil anggota Polri dibandingkan dengan yang seharusnya, dengan asumsi kepangkatan mencerminkan profesionalisme dari anggota Polri tersebut. Tabel 3 profesionalisme dilihat dari aspek kepangkatan terlampir.

Dari sudut pandangan masyarakat dapat juga kita lihat profesionalisme Polri ini dari hasil survey dan analisis Citra Publik Indonesia pada tanggal 11-14 September 2009 lalu. Hasilnya dapat dilihat 58,20% Polri sudah/ cukup profesional dan 56,50% masyarakat yakin/ sangat yakin mampu menjadi lembaga yang profesional. Tabel 4 DAN 5 Profesionalisme Anggota Polri terlampir.

e. Belum Optimalnya Moralitas Anggota Polri Secara Umum.

Seperti juga telah disinggung di atas bahwa moral ini bersumber dari nilai-nilai dasar Pancasila dan khususnya untuk

Polri tentu juga bersumber dari pedoman kerja Tribrata yang pada dasarnya bersumber dari hakekat akan tugas pokok dan keberadaan polisi itu sendiri dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Moralitas yang bersumber dari nilai- nilai-nilai Pancasila setidaknya sesuatu yang harus melekat pada perilaku polisi seperti moral ketaqwaan, moral kemanusiaan, moral kebersamaan dan kebangsaan, moral kerakyatan dan moral keadilan. Nilai-nilai moral ini dalam organisasi teraktualisasi pada etika organisasi yang tertuang dalam kode etik profesi. Di lingkungan Polri sudah ada kode etik Polri yang senantiasa terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan pemaknaan Tribrata maupun dinamika organisasi Polri. terakhir kode etik Polri ini diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri sebagai perubahan dari Perkap Nomor 7 Tahun 2006 Tentang hal yang sama.

Berdasarkan release akhir tahun Kapolri tahun 2011 yang lalu beberapa catatan yang dapat digolongkan menyangkut moralitas anggota Polri adalah menyangkut pelanggaran kode etik, disiplin maupun pidana sampai diputuskan harus dikeluarkan dengan tidak hormat dari keanggotaan Polri. Catatan-catatan tersebut dapat kita lihat sebagai berikut :

1) Bidang Tata Tertib.

Untuk tahun 2010 sebanyak 26.872 orang dan pada tahun 2011 sebanyak 12.987 orang sehingga mengalami penurunan sebanyak 13.975 orang atau 52 %. Untuk penyelesaian kasus, seluruh masalah pelanggaran tata tertib telah diselesaikan seluruhnya atau 100%;

2) Bidang Disiplin.

Untuk tahun 2010 pelanggaran disiplin yang tercatat sebanyak 6.900 orang dan pada tahun 2011 sebanyak 3.429 orang, sehingga mengalami penurunan sebanyak 3.471 orang atau 50%. Untuk penyelesaian masalah pelanggaran tata tertib, telah diselesaikan sebanyak 931 orang atau 27%; 3) Bidang Sidang Kode Etik Polri (KKEP).

Polri telah menyidangkan (Sidang Kode Etik Polri) selama tahun 2010 sebanyak 412 orang sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 376 orang, sehingga mengalami

penurunan sebanyak 36 orang atau 9%. Untuk penyelesaian masalah kode etik Polri, seluruhnya sudah tuntas atau 100%; 4) Bidang PTDH.

Pada tahun 2010 , Polri telah memberhentikan tidak dengan hormat sebanyak 298 orang, sementara itu ditahun 2011, Polri telah memberhentikan secara tidak hormat sebanyak 267 orang. Sehingga mengalami penurunan sebanyak 31 orang atau 10,4%.

5) Bidang Pelanggaran Pidana.

Pada tahun 2010 Polri telah menyidangkan anggota Polri yang melakukan tindak pidana sebanyak 512 orang dan pada tahun 2011 sebanyak 207 orang, sehingga mengalami penurunan sebanyak 305 orang atau 60%. Untuk penyelesaian masalah pelanggaran pidana, hingga saat ini sudah 51 orang yang terselesaikan masalahnya atau 75%. 28

Sedangkan hasil survey dan analisis dari Citra Publik Indonesia yang berkaitan dengan moralitas ini dapat dlihat dari hasil poling tentang kejujuran polisi, 51,40% masyarakat menilai polisi kurang jujur. Kedisiplinan, 52,60% masyarakat menganggap poliswi belum disiplin. Masalah tanggungjawab, 45,90% masyarakat menganggap polisi belum tanggungjawab dalam melaksanakan tugas kepolisian. Jika dibandingkan dengan TNI, maka masalah kemanusiaan atau manusiawi 42,10% masyarakat menilai TNI lebih manusiawi dari pada Polri. Masalah keramahan, 42,90% masyarakat menilai TNI lembaga yang lebih ramah dari pada Polri, sedangkan masalah komunikasi, 56% masyarakat menilai Polri telah berkomunikasi dengan baik. Tabel 6 : Kejujuran Anggota Polri, Tabel 7 : Kedisiplinan Anggota Polri, Tabel 8 : Sifat Manusiawi Anggota Polri dan Tabel 9 : Keramahan Anggota Polri terlampir.

f. Ketahanan Pangan Indonesia Masih Sangat Rentan.

Dari berbagai literatur, khususnya pembelajaran baik dari Kementerian dan para tenaga pengajar di Lemhannas R.I pada PPRA XLVIII Tahun 2012 yang memang temanya “Ketahanan

28 Jenderal Polisi Drs. Timur Pradopo (Kapolri), Materi Pers Release Akhir Tahun 2011, 30

Pangan Dalam Rangka Kemandirian Bangsa”, menunjukkan secara umum masalah ketahanan pangan Indonesia masih sangat rentan, walaupun dalam hal-hal tertentu seperti produk strategis beras memberikan harapan akan swasembada. Secara umum kerentanan ini disebabkan oleh berbagai permasalahan dibidang ketahanan pangan itu sendiri. Beberapa hal dapat dikemukakan sebagai berikut :

1) Laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi periode 2000-2010 sebesar 1,49% per tahun dengan jumlah penduduk yang besar, sedangkan pertumbuhan produksi pangan relatif masih kecil.

2) Jumlah penduduk miskin dan rawan pangan masih relatif tinggi sebesar 12.4% dari total penduduk.

3) Ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan yang masih tinggi sebesar beras 139,15 kg/kapita/th.

4) Konversi lahan pertanian masih tinggi dan tidak terkendali, sekitar 65.000 ha/th.

5) Kompetisi pemanfaatan dan degradasi sumber daya air semakin meningkat.

6) Infrastruktur pertanian/ pedesaan masih kurang memadai, jaringan irigasi yang rusak 52%.

7) Belum memadainya prasarana dan sarana transportasi, sehingga meningkatkan biaya distribusi/ pemasaran pangan.

8) Sebaran produksi pangan yang tidak menentu, baik antar waktu panen raya dan paceklik ataupun antar daerah di Jawa surplus, di Papua dan Papua Barat defisit.

9) Beberapa daerah di Indonesia rawan bencana alam, yang menyulitkan bagi pengembangan ketahanan pangan yang berkelanjutan. 29

Data pendukung yang menunjukkan persoalan dalam ketahanan pangan ini misalnya adalah masalah besarnya peralihan lahan sawah atau penyusutan seluas 36.000 Ha sejak tahun 1994 s/d 2004 atau sekitar 3.600 Ha per tahun. Lebih lanjut dapat dilihat dalam Tabel 10 : Alih Fungsi Lahan Sawah terlampir. 30

Begitupun kondisi impor terhadap beberapa produksi strategis, sebagai bukti bahwa permasalahan ketahanan pangan harus diatasi oleh seluruh komponen bangsa secara komprehensif,

29 Prof. Ahmad Suryana (Kepala Badan Ketahanan Pangan Nasional), Ceramah Ilmiah

Pada Peserta PPRA XLVIII-2012 Lemahannas R.I, Kebijakan dan Strategi Ketahanan

Pangan Indonesia, 29 Agustus 2012.

integral dan holistik dan tidak terkecuali oleh Polri dengan pelaksanaan tugas pokoknya.

TABEL : 11

PERSENTASE IMPORT PANGAN STRATEGIS

KOMODITI PERSEN THD KEBUTUHAN NASIONAL

Daging sapi 25 % ( K.L 600.000 ekor)

Gula 30 % (K.L 1,3 juta ton)

Beras 2 % ( K.L 1,2 juta ton)

Bawang putih 90 %

Kedelai 70 % ( K.L 1,4 juta ton)

Garam 50 %

Jagung 10 %

Kacang Tanah 15 %

Susu 70 %

Sumber : Prof. Dr. Didin S Damanhuri, Kuliah Ilmiah PPRA XLVIII, 2012

13. Implikasi Implementasi Kepemimpinan RLA di Lingkungan Polri Terhadap Ketahanan Pangan dan Implikasi Peningkatan Ketahanan Pangan Terhadap Kemandirian Bangsa

Beranjak dari pemaknaan kepemimpinan RLA di lingkungan Polri yang menekankan bahwa seorang pemimpin itu adalah rahmat bagi semesta alam, menebar cinta kasih bagi seluruh umat manusia dan segala ciptaan Tuhan di alam semesta baik yang hidup (biotik) dan benda mati (abiotik) serta menekankan pada kemampuan profesionalisme dan moralitas dalam mencapai tujuan organisasi dan kemudian dikaitkan dengan organisasi Polri yang memiliki tugas pokok harkamtibmas, penegakan hukum, pengayom, pelindung dan pelayanan masyarakat, maka jika dikaitkan dengan upaya peningkatan ketahanan pangan Indonesia sangatlah relevan. Artinya jika kepemimpinan di lingkungan Polri yang menekankan pada RLA dengan pendekatan pelaksanaan tugas yang profesional serta personilnya memiliki moral yang baik maka persoalan- persoalan ketahanan pangan baik persoalan ketersediaan, keterjangkauan, konsumsi, pemberdayaan masyarakat maupun manajemen akan dapat diatasi dengan baik dan ketahanan pangan akan meningkat. Kondisi ini tentu juga akan memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian dari tujuan negara. Artinya kondisi ketahanan pangan ini juga akan memberikan kontribusi pada peningkatan kemandirian bangsa.

a. Implikasi Implementasi Kepemimpinan RLA di Lingkungan Polri Terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan.

Berdasarkan beberapa tabel diatas, baik yang mencerminkan tentang implementasi kepemimpinan RLA maupun kondisi ketahanan pangan, seperti masih tingginya peralihan lahan sawah untuk pertanian kepada fungsi lainnya, yang berkorelasi langsung dengan ketahanan pangan, khususnya pada aspek ketersediaan pangan (produksi), maka apabila diimplementasikannya kepemimpinan RLA di lingkungan Polri, asumsinya masalah- masalah tersebut akan teratasi dengan baik. Berbagai permasalahan ketahanan pangan khususnya yang berkaitan dengan tugas pokok Polri seperti penegakan hukum akan dapat teratasi dengan baik, peralihan lahan sawah akan semakin berkurang atau berhenti sama sekali. Dengan demikian salah satu faktor menurunnya produksi pangan akan teratasi. Belum lagi jika implementasi kepemimpinan RLA ini diterapkan dalam kerja sama yang riil antara Polri dan Kementerian Pertanian misalnya dalam pengolahan lahan sebagai ujud implementasi Perpolisian Masyarakat (Polmas), maka akan semakin memberikan kontribusi pada peningkatan produksi pangan. Lebih jauh program seperti pengadaan lahan pertanian dua juta hektar atau surplus produksi gabah sepuluh juta ton pada tahun 2014 bukanlah sesuatu yang mustahil dan sangat realistis.

Lebih lanjut, seperti telah juga dikemukakan di atas bahwa sistem ketahanan pangan itu mencakup aspek-aspek ketersediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi pangan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen. Dari tiap tiap aspek ini dapat kita lihat permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi dengan implementasi kepemimpinan RLA di lingkungan Polri adalah sebagai berikut :

1) Aspek ketersediaan pangan. Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing

pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor teknis dan sosial-ekonomi. Secara tehnis hal-hal yang mempengaruhi produksi ini misalnya : (a) Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian ke non pertanian seperti industri dan perumahan, laju 1% setiap tahun. (b) Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien. (c) Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan kemampuannya semakin menurun.

2) Aspek distribusi pangan. Faktor tehnis disebabkan oleh antara lain : (a) Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar pulau yang dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen. (b) Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan, penyimpanan dan distribusi pangan, kecuali beras. Faktor Sosial-ekonomi : (a) Belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik dalam menyangga kestabilan distribusi dan harga pangan. (b) Masalah keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur distribusi dan pemasaran

Dokumen terkait