• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Indonesia Era UU No. 22 Tahun 1999

DAN KONDISI KEKINIAN INDONESIA DI BAWAH UU No. 22 Tahun 1999

B. Kondisi Indonesia Era UU No. 22 Tahun 1999

Pada masa lalu kita telah menganut sistem Perancis yang dibawa oleh Belanda sebagai negara jajahannya ke negara kita yang juga dijajah oleh Belanda. Kemudian hingga UU No. 5 Tahun 1974 sisem tersebut masih sangat kental, baru pada UU No. 22 Tahun 1999 kita sebenarnya hendak dibawa ke model Jerman. Pada kondisi yang serba cepat dari keluarnya UU tersebut menyebabkan ‘tidak tuntas’ nya menganut sistem Jerman.

Secara empirik banyak terjadi tumpang tindih (overlapping) kewenangan yang kalau dibiarkan dapat menimbulkan friksi dan ketegangan antar tingkatan

Executive Parliament

Council Committee

MINISTRIES

Ministeries Field Agencies NATION REGION DEPARTMENTS Council Committee DEPARTMENTS Departments

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

156

pemerintahan berkaitan dengan kewenangan daerah. Tiga jenis tumpang tindih tersebut yakni:

1. tumpang tindih antara kewenangan Pusat dan Daerah

2. tumpang tindih antara kewenangan Propinsi dengan Kabupaten/ Kota 3. tumpang tindih antar kewenangan Kabupaten/ kota itu sendiri.

Hasil suvery menunjukkan bahwa penyebab utama dari berbagai tumpang tindih tersebut adalah tidak sinkronnya antar berbagai peraturan perundangan yang mengatur masing-masing kewenangan tersebut baik di tingkat UU, PP, maupun di tingkat Keputusan Menteri terkait dnegan kewennagan tersebut. Di sisi lain, terjadi juga permasalahan yang berpangkal dari persepsi yang berbeda dalam menyikapi UU No. 22 Tahun 1999 itu sendiri.

Permasalahan tersebut disebabkan oleh adanya pengaturan-pengaturan baru yang dianut oleh UU No. 22 Tahun 1999. dengan dianutnya otonomi luas, sebagaimana dnyatakan dalam pasal 7 (2) dan pasal 9, Daerah cenderung menafsirkannya secara ‘litterlijk’ dan menganggap bahwa semua kewenangan di luar kewenangan Pusat adalah menjadi kewenangan daerah. Friksinya berpangkal pada siapa yang mempunyai kewennagan secara hukum atas hal yang disengketakan tersebut. Motif utamanya lebih pada bagaiman menguasai sumber-sumber pen dapatan dari kewenangan yang disengketakan tadi, bukan kepada persoalan untuk memberikan pelayanan masyarakat pada kewenangan yang disengketakan.

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

157

Setelah 24 Tahun lamanya Indonesia menerapkan UU No. 5 Tahun 1974 sebagai dasar bagi praktek pemerintahan daerahnya, pada 1999 ditetapkan UU baru sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 yakni UU No. 22 Tahun 1999. Mengiringi perubahan tersebut, secara umum terdapat perubahan-perubahan dalam praktek pemerintahan daerah misalnya jumlah daerah otonom yang membengkak di tingkat Kabupaten/ Kota, di level Propinsi walaupun Timor-timur telah memerdekakan diri jumlahnya bertambah menjadi 33 Propinsi dengan dipecahnya Irian Jaya (PAPUA) dan Propinsi lainnya. Secara organisatoris dapat digambarkan dalam bagan berikut:

Dalam hal level pemerintahan, perlu menjadi catatan UU No. 22 Tahun 1999 mengakui Kecamatan dan Kelurahan hanya sebagai Perangkat Daerah berbeda DESA DPR DEPDAGRI GUBERNUR (KDH) DPRD WAKIL PEMERINTAH DEPARTEMEN di LUAR 5 Bidang PERANGKAT DAERAH NATION PROPINSI KAB/ KOTA BUP/ WALI (KDH) DPRD PERANGKAT DAERAH KADES BPD Perangkat Desa

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

158

dari UU sebelumnya yang menjadikannya sebagai alat Pemerintah Pusat. Selain itu, tidak dikenal lagi ‘Kota Administratif’ dan wilayah-wilayah kerja baik pembantu Gubernur maupun Pembantu Bupati/ Walikota. Oleh karena itu, UU yang baru nampak mengembangkan struktur yang lebih ‘flat’ katimbang UU No. 5 Tahun 1974.

Dari bagan di atas, ada dua level daerah otonom: Propinsi dan Kab/ Kota. Namun tedapat pemerintah Desa dalam daerah Kabupaten yang diakui secara otonom sebagai bentuk pemerintahan paling bawah yang dikoordinir oleh Bupati.

Pada level Propinsi, disamping sebagai KDH, Gubernur berperan pula sebagai Wakil pemerintah (perfect), sedangkan pada level Kab/ Kota tidak demikian, Bupati/ Walikota hanya sebagai KDH. Para menteri/ kepala LPND tidak lagi memiliki instansi vertikal di daerah kecuali 5 bidang.

Pada level Propinsi, mereka harus mengoperasikan pekerjaannya di Daerah melalui Gubernur, sedangkan pada level Kabupaten/ Kota dapat dilakukan melalui Tugas Pembantuan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi dapat melakukan tugas pembantuan kepada Pemerintah Desa.

Perubahan mendasar dari diterapkannya UU No. 22 Tahun 1974 telah banyak diulas oleh para pakar. Banyak kritikan tetapi tidak sedikit yang menyanggah kritikan. Tulisan ini tentu tidak berada pada problema tersebut, tetapi berusaha memolakan berada di mana Pemerintahan Daerah di Indonesia menuruti UU terbaru berdasarkan kerangka Humes IV.

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

159

Berkurangnya aparatus dekonsentrasi di dalam praktek pemerintahan daerah di Indonesia di bawah UU Baru menurut Bagan struktur di atas bukan tanpa sandaran. Struktur baru dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengacu pada ‘local democracy model’ yang berbeda dari ‘structural efficiency model’ yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1974. Dasar pikir ini menganggap bahwa ‘pemerintah daerah’ sebagai organisasi yang terpisah dari Pemerintah Pusat.

Keterpisahan tersebut berawal dari pemahaman akan desentralisasi dan otonomi yang memang mengandung unsur ‘separateness’. Oleh karena itu hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah sesungguhnya adalah hubungan antar organisasi.

Desentralisasi menunjukkan Pola hubungan kekuasaan antar organisasi, sedangkan dekonsentrasi menunjukkan pola hubungan kekuasaan intra organisasi…Pola hubungan kekuasaan yang tercipta dalam desentralisasi, memperlihatkan pula bahwa desentralisasi mempunyai unsur keterpisahan (separateness) dan kemajemukan struktur dalam sistem politik secara keseluruhan.

Dalam upaya reformasi terhadap UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 tidak lagi menganut model efisiensi struktural melainkan model demokrasi lokal. Disamping mengacu pada paparan teoritik terhadap hakekat desentralisasi dan otonomi daerah, penyusunan RUU (yang menjadi UU No. 22 Tahun 1999) berpegang pada TAP MPR No. XV/MPR/1999 yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan kemajemukan masyarakat dalam menyelenggarakan desentralisasi

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

160

dan pasal 18 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Menurut pendapat di atas, penyusun UU No. 22 tahun 1999 berupaya sejalan dengan pandangan normative-teoritik yang berkembang.

Konsekwensi dari model di atas, otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 lebih besar daripada UU No. 5 Tahun 1974, dan sebaliknya kontrol Pemerintah Pusat menjadi lebih kecil. Di satu sisi, berkurangnya proporsi pengawasan Pemerintah Pusat dapat dilihat paling tidak dari dua hal: (1) mengkerucutnya aparatus dekonsentrasi hanya kepada Gubernur; (2) Pengawasan Produk hukum daerah dengan menggunakan prinsip represif. Di sisi lain, di tingkat lokal pengawasan dari masyarakat dan stakeholder lain mulai diberi tempat.

Dalam konteks tersebut, pemerintahan daerah yang dikembangkan menurut UU No. 22 Tahun 1999 menganut ‘hybrid-subsidiary’ seperti di Jerman. Pemerintah Pusat maupun masyarakat dan stakeholder termasuk DPRD, memiliki andil dalam mengawasi pemerintahan daerah. Namun, dalam praktek keberadaan peran dan fungsi DPRD yang kian membesar di era UU No. 22 Tahun 1999 terdapat kecenderungan ke arah pola ‘regulation’ seperti di Inggris berdasarkan peraturan perundangan yang menjadi norma organik UU tersebut.

Dalam UU No. 22 tahun 1999 terkandung keinginan yang kuat untuk memberdayakan posisi dan peran DPRD. Penyelenggaraan otonomi daerah yang besar memerlukan posisi kuat dan peran yang besar dari DPRD. Posisi dan peran tersebut dicapai dengan cara pemisahan DPRD dari konsep Pemerintah Daerah.

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

161

Disamping itu KDH yang semula tidak bertanggungjawab kepada DPRD kini wajib bertanggungjawab kepadanya. Dalam pemilihan KDH-pun DPRD mempunyai kata akhir. Bahkan DPRD mempunyai kekuasaan ‘impeachment’ terhadap KDH untuk memperbesar akuntabilitas KDH.

Dalam setiap penyelenggaraan daerah, peran DPRD terlihat sangat menentukan. Pengisian jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota melalui proses pencalonan terlebih dahulu. Bahkan penentuan atau pengisian jabatan eselon 2 (a dan b) yakni bagi Kepala Dinas, Kepala Kantor, badan, UPT atau Camat di Kabupaten/ kota, dalam praktek DPRD dimintai persetujuan. Kondisi kuatnya DPRD sangat kentara di level Kabupaten/ Kota. Pada level ini, seperti diketahui dari struktur di atas, KDH untuk kedua daerah tidak menjabat sebagai Wakil Pemerintah. Oleh karena itu, tidak salah dalam beberapa Media Cetak dan Elektronik para Bupati/ Walikota pernah menyatakan bahwa sekarang ini mereka adalah pekerja dari pada anggota DPRD, sementara anggota DPRD adalah pemberi kerja.

Praktik kuatnya DPRD ini menyerupai kedudukan yang kuat di negara-negara yang menganut ‘regulation’ seperti di Inggris padahal diketahui DPRD (council) di sana memang adalah lembaga yang langsung membawahi birokrasi (commissioner system).

Dari kondisi tersebut, secara normative kita diarahkan kepada pola ‘hybrid-subsidiary’ ala Jerman tetapi dalam praktik tercampur aduk dengan pola ‘regulation’

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

162

nya Inggris. Oleh karena itu, persoalan yang menyangkut hubungan antara KDH dan DPRD (juga stakeholder lain) dan juga antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam hal pengawasan (pertanggungjawaban) berbuntut panjang mewarnai praktek pemerintahan daerah di Bumi Indonesia sejak diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999.

Seperti diketahui bahwa Gubernur memiliki peran ganda dalam Pemerintahan daerah di bawah UU No. 22 Tahun 1999 sebagai Kepala Daerah (KDH) dan sebagai Wakil Pemerintah. Kedudukan seperti itu tidak dimiliki oleh Bupati/ Walikota berbeda dari UU sebelumnya. Lebih jauh, ‘channel’ dekonsentrasi menurut UU No. 22 Tahun 1999 hanya melalui Gubernur dan tidak berlaku untuk Bupati/ Walikota. Oleh karena itu Pemerintah Pusat baik Presiden maupun para pembantunya dapat melakukan operasi di daerah dengan hanya melalui Gubernur.

Ada beberapa hal yang kini menjadikan aturan tersebut mengalami problem di lapangan. Pertama, tidak dioperasionalkannya tugas dan peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah. Kedua, Luasnya wilayah kerja Gubernur tidak didukung oleh ‘field office’ (pembantu Gubernur) di dalam wilayah kerjanya (Propinsi).

Ketiga, tingginya ego sektoral di tingkat Pusat yang membawa adanya kelemahan

di dalam mekanisme praktik ‘dekonsentrasi’ departemen sektoral kepada Gubernur. Nampaknya UU No. 32 tahun 2004 sebagai UU pengganti UU No. 22 Tahun 1999, diarahkan untuk memperkuat posisi Gubernur walaupun tidak dimunculkan kemungkinan adanya ‘field office’ Gubernur sebagai Wakil Pemerintah. Hal tersebut

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

163

berhubungan dnegan dipilihnya secara langsung oleh masyarakat daerah, sehingga aparatus yang berperan sebagai wakil pemerintah tidak bisa dilimpahkan kepada aparatusnya di bawah lagi. Namun, Gubernur dapat mengembangkannya atas nama dia sebagai Kepala daerah untuk membantu pekerjaannya di wilayahnya sebagai wakil Pemerintah. Aparatus tersebut bukan wakil pemerintah melainkan kepanjangan dari Gubernur semata.

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

164

BAB IV