• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Distribusi Kewenangan Antar Pemerintahan

DAN KONDISI KEKINIAN INDONESIA DI BAWAH UU No. 22 Tahun 1999

ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH, DAN ANTAR DAERAH DIINDONESIAKEDEPAN

A. Materi Distribusi Kewenangan Antar Pemerintahan

* ++ BABV

KELEMBAGAANTATAHUBUNGANKEWENANGAN

ANTARAPEMERINTAHPUSATDANDAERAH,DANANTARDAERAH DIINDONESIAKEDEPAN

A. Materi Distribusi Kewenangan Antar Pemerintahan

Pada hakekatnya desentralisasi adalah mengotonomikan suatu masyarakat yang berada dalam teritorial tertentu. Sesuai dengan arahan konstitusi, pengotonomian tersebut dilakukan dengan menjadikan masyarakat tersebut sebagai provinsi, kabupaten dan kota. Disamping itu desentralisasi juga merupakan penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan bagi provinsi, kabupaten dan kota. Dalam kerangka hukum selama ini pengertian desentralisasi hanya menonjolkan aspek penyerahan urusan pemerintahan saja.

Desentralisasi yang terjadi hanya berupa penyerahan wewenang yang menjadi kompetensi Pemerintah (Presiden dan para Menteri). Lihat gambar berikut:

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

179

Gambar. 5.1

Penyerahan Wewenang Pemerintahan

Menurut UU 22 Tahun 1999, desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom. Dalam Pasal yang sama ayat 1 Butir H, dikatakan Pemerintah adalah Presiden dan para Menteri, seumpama MPR masih tetap berada diatas, setelah mengalami amademen UUD 45, maka sebenarnya desentralisasi kita itu hanya desentralisasi yang bersumber dari Presiden dan para Menteri; tidak ada penyerahan wewenang dari lembaga-lembaga tinggi negara lain. Tidak ada dari MA, kecuali untuk kasus NAD, tidak ada penyerahan wewenang dari DPR apalagi dari MPR.

Dengan demikian istilah provinsi, kabupaten dan kota membutuhkan definisi yang jelas sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu dan memiliki otonomi. Otonomi provinsi, kabupaten dan kota tersusun secara hirarkis. Agar tercipta kondisi hirarkis tersebut perlu pengaturan hubungan antara Perda provinsi dan Perda kabupaten/kota bersifat hirarkis. Disamping itu,

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

180

sistem pengawasan oleh pemerintah kepada provinsi dan kabupaten/kota bersifat hirarkis pula.

Bahwasannya selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi.

Pembagian urusan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak mungkin urusan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100% desentralisasisi dalam satu Negara Bangsa. Terdapat urusan pemerintah yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah yakni: Luar Negeri, Hankam, Moneter, dan Agama. Dalam UU No.22 Tahun 1999 tertulis adanya urusan Peradilan, sebenarnya urusan itu sudah diluar Urusan Pemerintah (eksekutif). Oleh karena itu otomatis diselenggarakan secara sentralisasi. Diluar urusan-urusan tersebut, pada prinsipnya urusan pemerintah terpola menjadi dua bagian besar yakni: (1) urusan yang dapat didesentralisasikan; dan (2) urusan pemerintah yang tidak dapat diselenggarakan secara terdesentralisasi.

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

181

Urusan pemerintah yang dapat didesentralisasikan terbagi atas: (1) urusan yang 100% memungkinan didesentralisasikan yang terbagi atas: (a) menurut prakarsa sendiri; dan (b) yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-undangan. Keduanya atas dasar Local needs. Selain itu, urusan yang dapat didesentralisasikan masih terdapat kemungkinan dilakukan oleh Pemerintah karena berbagai hal --tidak memungkinan 100% didesentralisasikan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan sentralisasi pada urusan seperti ini sehingga dapat dilakukan melalui (a) medebewind; (b) sentralisasi murni; dan (c) dekonsentrasi tergantung dari: (1) skala ekonomi; (2) eksternalitas; (3) lokalitas; dan (4) catchment area nya.

Pasal UU 22 Tahun 1999, urusan Provinsi dirinci dalam peraturan perundangan, sedangkan Kabupaten/kota bersifat terbuka (luas) kecuali urusan yang diwajibkan dan itu semua juga adalah berdasarkan local needs. Provinsi dan Kabupaten/kota adalah daerah otonom yang menerima urusan pemerintah yang didesentralisasikan.

Sementara itu, urusan pemerintah yang tidak dapat diselenggarakan secara terdesentralisasi dapat dilakukan melalui : (a) medebewind; dan (b) Sentralisasi murni; dan (c) dekonsentrasi. Urusan Pemerintah yang didekonsentrasikan dalam UU No.22 Tahun 1999 diselenggarakan pula oleh Pemerintah daerah Provinsi. Dalam hal ini kabupaten/kota tidak menerima urusan dekonsentrasi walaupun secara teoritis di wilayahnya dimungkinnkan adanya instansi vertikal Pemerintah

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

182

bekerja disana. Disamping itu, daerah otonom juga menerima tugas pembantuan (medebewind). Baik provinsi, maupun kabupaten/kota menerima urusan pemerintah dengan cara medebewind ini, bahkan Pemerintah Desa dalam UU No.22 Tahun1999 pun menerima tugas pembantuan dari kabupaten.

Untuk urusan-urusan Luar Negeri, Hankam, Moneter dan Agama juga dapat diselenggarakan melalui tiga mekanisme tersebut: (a) medebewind; (b) sentralisasi murni; dan (c) dekonsentrasi. Daerah provinsi dapat melaksanakan urusan-urusan di bidang-bidang tersebut jika dimungkingkan melalui medebewind dan dekonsentrasi, sedangkan Daerah Kabupaten/Kota hanya melalui medebewind. Secara teori juga, memungkinkan bahwa wilayah Kabupaten/Kota terdapat instansi vertikal dari bidang-bidang diatas dengan acuan ’catchment area’. Departemen Dalam Negeri mengemukakan berbagai kriteria untuk menata distribusi kewenangan yang dimaksud sebagai berikut.

Eksternalitas berpatokan kepada siapa yang trekena dampak dialah yang mengurus. Argumennya adalah bahwa unit pemerintahan yang menyebabkan terjadinya dampak harus bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkannya. Makin luas eksternalitas yang ditimbulkan akan makin tinggi otoritas yang dipelrukan untuk menangani urusan tersebut. Contoh, sungai atau hutan yang mempunyai eksternalitas regional menjadi tanggungjawab Propinsi untuk mengurusnya, sedangkan persampahan dengan eksternalitas lokal akan menjadi tanggungjawab Kabupaten/ kota.

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

183

Skala ekonomis, berpatokan kepada unit pemerintahan yang paling efisien mengerjakan sesuatu urusan dialah yang pantas menerimanya atau melaksanakannya. Sementara itu, lokalitas berpatokan kepada unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang diciptakan dari adanya pengelolaan suatu urusan dialah yang pantas mengerjakan atau melaksanakannya. Catchment area sendiri berpatokan kepada kriteria yang lebih luas dari sekedar kriteria di atas dengan menambahkan bagaimana pengawasan (akuntabilitas) dapat diciptakan dan juga keterlibatan masyarakat mana yang paling memungkinkan tinggi dan kondusif.

Selain kriteria di atas, terdapat hubungan antar tingkatan pemerintahan, antara kewenangan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/ Kota yang bersifat inter-relasi, inter-koneksi serta interdependensi dan tidak ada hirarki. Kewenangan dari masing-masing tingkatan membawahi satu sama lain (non hirarki). Dalam melaksanakan kewenangannya, masing-masing mempunyai diskresi yang tinggi (independensi). Intervensi dari Pusat akan bersifat fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) manakala daerah tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai norma dan standard yang diciptakan oleh Pusat.

Konsekwensi dari pendekatan tersebut adalah bahwa pelayanan-pelayanan yang bersifat dasar (basic service) maupun pelayanan-pelayanan untuk pengembangan sektor unggulan atas pertimbangan efisiensi, akuntabilitas dan eksternalitas yang bersifat lokal seyogyanya menjadi urusan Kabupaten/ Kota,

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

184

yang bersifat lintas Kabupaten/ Kota menjadi urusan Propinsi dan yang lintas Propinsi menjadi kewenangan Pusat.

Namun, terdapat kewenangan yang bersifat concurrent yang menjadi domain dari suatu tingkatan pemerintahan tetapi tidak dapat berdiri sendiri, dan berhubungan satu sama lainnya. Sebagai contoh bidang urusan jalan negara harus berhubungan dan saling tergantung dengan bidang urusan jalan Propinsi dan Kabupaten/ Kota karena seluruhnya merupakan suatu sistem jaringan transportasi. Urusan jalan negara, tidak lebih tinggi dari urusan jalan Propinsi atau jalan Kabupaten/ Kota. Namun, masing-masing tingkatan pemerintahan mempunyai diskresi (independensi) untuk melaksanakan kewenangannya mengurus bidang urusannya dengan harus berkoordinasi satu sama lain. Intervensi dari pemerintah pusat akan terjadi kalau Daerah tidak mampu menjalankan kewenangannya tersebut dalam koridor norma dan standard yang ditentukan Pusat. Argumennya adalah bahwa penanggungjawab akhir dalam penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Pemerintah Pusat. Lihat bagan berikut:

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

185

Gambar 5.2.

BAGAN PEMBAGIAN URUSAN-URUSAN KEPEMERINTAHAN