• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

(2)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

88

Naskah Akademik

Tata Hubungan Kewenangan

Pemerintah Pusat dan Daerah

Penyusun: Bhenyamin Hoessein Irfan Ridwan Maksum Mohammad Riduansyah

Puji Nur Hanafi

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP-UI

(3)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

89

Kata Pengantar

Penyusunan Naskah Akademik adalah sesuatu yang bersifat wajib dalam mengawali sebuah Rancangan Undang-undang (RUU). Amandemen Pasal 18 UUD 1945 mengisyaratkan adanya Undang-undang (UU) yang mengatur Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu bangsa Indonesia diwajibkan merenungi bagaimana pengaturan tersebut dibuat.

Adalah kewajiban bagi kita kemudian merenungi hakekat penataan hubungan kewenangan antar pemerintahan. Hahekat akan adanya hubungan kewenangan antar pemerintahan tersebut kemudian nantinya direfleksikan ke dalam berbagai materi pengaturan. Untuk sampai ke sana, renungan akan tata hubungan tersebut haruslah mencakup legitimasi perlunya pengaturan akan hal ini. Renungan tersebut juga mencakup bagaimana konstruksi yang pantas untuk organisasi negara bangsa kita Republik Indoensia. Untuk meyakini perlunya penataan hubungan beserta konstruksi tata hubungan juga perlu dipelajari bagaimana pengalaman negara lain.

Kantor Kementerian pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) berinisiatif untuk memfasilitasi Kajian tersebut sejak tahun 2003. Pada Tahun 2004 MENPAN tetap meneruskan memfasilitasi kajian tersebut untuk dilanjutkan dengan pekerjaan Penyusunan Naskah Akademik. Kepercayaan yanng dalam dari kantor MENPAN kepada Universitas Indonesia melalui Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota (PKPADK) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menjadikan pekerjaan penyusunan tersebut melibatkan kami.

Meskipun kami telah melakukan serangkaian kajian dalam menyusun Naskah Akademik tersebut, namun masih terbuka kesempatan bagi khalayak di dalam mengkoreksi dan mengkritisi. Apalagi RUU yang akan menjadi hasil akhir dari penataan hubungan tersebut akan berdasarkan kepada Naskah akademik ini. Bahkan nantinya RUU pun terbuka dari kritik sebelum sampai menjadi UU – dan seterusnya UU pun terbuka dari kritik dan perbaikan.

Sarana untuk menjangkau kritik dan sarana untuk memberitahukan bahwa proses penyusunan RUU adalah berliku yang paling tepat adalah publikasi. Buku ini adalah cara untuk mempublikasikan bagaimana Naskah Akademik penataan hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah dibuat. Buku ini adalah hasil dari pekerjaan penyusunan naskah akademik kerjasama Kantor Menpan dan PKPADK-FISIP-UI tersebut. Oleh karena itu, di dalam berbagai bab mengalami perubahan penghalusan agar khalayak lebih memamahinya semata-mata ke arah substansi dari penataan hubungan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kami ucapkan terimakasih kepada pihak Kantor Menpan yang telah memberi kesempatan kepada kami mengerjakan proyek Penyusunan Naskah Akademik ini. Kepada kalangan Universitas Indonesia, khususnya di Departemen Ilmu Administrasi yang telah menyokong dan mendorong penerbitan pekerjaan kami, dan berbagai pihak yang tidak dapat kami sebut satu persatu kami ucapkan terimakasih.

Semoga Buku naskah Akademik ini bermanfaat.

Bhenyamin Hoessein (Ketua Tim) Irfan Ridwan Maksum (Anggota)

M. Riduansyah (Anggota)

(4)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

90

Daftar isi

Halaman Balik Sampul Hal i Pengantar Hal ii Daftar Isi Hal iii Bab I PENDAHULUAN Hal 1-6 Bab II

TINJAUAN LEGAL-HISTORIS TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA

Hal 7-47 Bab III

PENGALAMAN BERBAGAI NEGARA DALAM TATA HUBUNGAN ANTAR PEMERINTAHAN

DAN KONDISI KEKINIAN INDONESIA DI BAWAH UU No. 22 Tahun 1999 Hal 48-72

Bab IV

ALASAN PERLUNYA

TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTAR PEMERINTAHAN Hal 73-86

Bab V

KELEMBAGAAN TATA HUBUNGAN KEWENANGAN

ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH, DAN ANTAR DAERAH DI INDONESIA KE DEPAN Hal 87-128 Bab VI REKOMENDASI Hal 129-130 Daftar Pustaka

(5)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

91 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Beranjak dari pasal 1 jo Pasal 37 (5) dan pasal 18 (A), (B), (C), dan (D) UUD 1945 Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary state; Gedecentraliseerde Eenheidsstaat). Dengan demikian perancang UUD 1945 tidak memandang sentralisasi dan desentralisasi sebagai dikotomi melainkan sebagai kontinum.

Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat. Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in unity”.

Sebagai perwujudan desentralisasi terdapat tiga pola daerah otonom. Provinsi yang wilayahnya terdiri atas beberapa Kabupaten dan Kota; Kabupaten yang wilayahnya sebagian besar bermasyarakat perdesaan dan Kota yang sebagian besar bermasyarakat perkotaan. Selanjutnya, dalam wilayah Kabupaten terdapat desa sebagai kesatuan pemerintahan yang terkecil menurut desentralisasi tradisional.

(6)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

92 Kepada daerah otonom dan desa tersebut didistribusikan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah. Dalam pasal 1 butir d ditandaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Definisi (pengertian) desentralisasi tersebut mengandung makna yang dalam. Pertama, wewenang pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom terbatas pada wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah adalah Presiden dan para Menteri. Kedua, penyelenggaraan wewenang pemerintahan tersebut, baik oleh Pemerintah maupun oleh Provinsi, dan Kabupaten/ Kota dalam ikatan negara Kesatuan RI. Hal ini berarti terdapatnya sistem pemerintahan secara nasional.

Karena merupakan sebuah sistem, jalinan hubungan antar pemerintahan tersebut adalah saling bergetergantungan. Dalam sistem pemerintahan nasional terdapat dua sub-sistem: sub-sistem Pemerintahan pusat dan sub-sistem pemerintahan daerah. Di dalam sub-sistem pemerintahan daerah terdapat sub-sub sistem yang terdiri atas sub-sub sistem pemerintahan Provinsi, sub-sub sistem pemerintahan Kabupaten/ Kota dan bahkan sub-sub sistem pemerintahan Desa.

Jalinan sitemik tersebut terkait erat dengan tata hubungan kewenangan antar susunan pemerintahan. Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan adanya sejumlah rambu-rambu dalam distribusi wewenang pemerintahan tersebut. Menurut pasal tersebut dapat dikelompokkan karakter wewenang pemerintahan atas dua bagian besar: (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan

(7)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

93 (2) wewenang yang dapat didesentralisasikan. Dalam wewenang yang dapat didesentralisasikan ini dapat pula dilakukan sentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind sebagaimana dalam wewenang Kabupaten/ Kota.

Jalannya sistem pemerintahan nasional yang terbagi atas sub-sistem pemerintahan pusat dan sub-sistem pemerintahan daerah tersebut didorong oleh penyelenggaraan wewenang pemerintahan. Penyelenggaraan wewenang pemerintahan oleh masing-masing susunan pemerintahan tersebut terbagi dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Di pemerintah pusat terdapat jalinan kelembagaan antara Presiden/ Waikl Presiden dengan Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Dalam Provinsi sebagai daerah otonom, penyelengagraan wewenang pemerintahan oleh KDH dan DPRD, dan terdapat sejumlah lembaga perangkat daerah seperti Setda, Setwan, Dinas, dan Lembaga Pelaksana Teknis Daerah.

Sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, penyelenggaraan wewenang pemerintahan Provinsi merupakan jalinan kait-mengkait antara Gubernur sebagai wakil pemerintah dan berbagai lembaga instansi vertikal yang beroperasi di wilayahnya. Dalam lingkungan daerah Kabupaten/ Kota pun demikian terdapat berbagai jalinan kelembagaan yang sistemik. Penyelenggaraan wewenang pemerintahan daerah Kabupaten/ kota dilakukan oleh KDH dan DPRD dengan sejumlah perangkat daerahnya, termasuk Camat dan Lurah.

(8)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

94 Dengan demikian, jalannya sistem pemerintahan tersebut adalah pertanda dari terjalinnya tata hubungan kewenangan antar pemerintahan. Jalinan kelembagaan yang sistemik tersebut tentu diharapkan berjalan sinergi, tidak menimbulkan konflik dan mampu menguatkan kapasitas pemerintah secara keseluruhan menghadapi dinamika lingkungan yang serba tidak pasti dan berjalan cepat. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam sub-sistem pemerintah pusat berjalan sinergi secara internal maupun eksternal dengan sub-sistem pemerintah daerah. Oleh karena itu diperlukan kerangka hukum yang menjadi dasar bagi tata hubungan yang terjalin tersebut secara jelas.

Dengan demikian, diperlukan rancangan Naskah Akademik (dasar filosofis, yuridis, sosiologis) untuk lebih mematangkan langkah menuju suatu implikasi kebijakan tertentu dalam tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta antar Daerah. Tata hubungan dan Pembagian kewenangan ini mencakup tata hubungan dan pembagian kewenangan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota atau antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Sebagai sebuah naskah akademik, maka uraian isi buku ini berikisar pada empat hal pokok yang menjadi kerangka, yakni: (1) Bagaimana kondisi legal-historik tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia? (2) Bagaimana pengalaman berbagai negara lain dalam penataan hubungan antar Pemerintahan dan bagaimana keadaan di Indonesia di bawah UU No. 22 Tahun 1999? (3) Apa dasar akademik tata hubungan kewenangan antara

(9)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

95 Pemerintah dan pemerintah daerah di Indonesia? (4) Bagaimana tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Provinsi, antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota, dan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia ke depan?

Naskah akademik ini diharapkan bermanfaat secara praktis, menjadi landasan yang kuat bagi Pemerintah untuk membuat kebijakan guna penyempurnaan kerangka hukum desentralisasi. Untuk memperkuat susunan naskah akademik ini, selama prosesnya dilakukan serangkaian kajian dengan metode yang disiapkan sejak dini.

Adapun teknik penelusuran data yang dilakukan oleh tim penyusun naskah akademik ini antara lain:

1. Desk Riset dengan menelaah informasi-informasi yang telah ada sebelumnya yang berkaitan dengan topik kajian.

2. Focus Group Discussion, merupakan Diskusi Kelompok Terarah yang dilaksanakan dengan mengumpulkan nara sumber yang bisa dikatakan homogen dalam suatu ruangan. Suasana didisain sedemikian agar peserta cukup santai dalam mengemukakan berbagai pendapat dan komentarnya mengenai topik yang didiskusikan. Diskusi ini sendiri dipandu oleh seorang moderator yang kompeten dalam bidangnya. FGD diharapkan bisa dilaksanakan di semua daerah kajian yang dianggap representatif

3. In-depth interview, dimaksudkan untuk memperoleh berbagai masukan yang mendalam dari berbagai perspektif berkenaan dengan topik yang dibahas. Nara

(10)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

96 sumbernya berasal dari kalangan birokrat (pejabat pemerintahan), LSM, perguruan tinggi setempat serta tokoh-tokoh masyarakat yang ada dianggap cukup berpengaruh. Adapun pelaksanaannya diharapkan bisa di seluruh lokasi penelitian.

4. Konsinyasi untuk menyusun hasil penelitian 5. Seminar/Lokakarya pada akhir kegiatan

B. Outline Buku

Sesuai dari kerangka naskah akademik yang tertulis di muka, maka kepada khalayak pembaca, buku ini terdiri dari 6 Bab, Bab I adalah pengantar; Bab II berisi uraian kondisi legal historik penataan hubungan kewenangan antar pemerintahan di Indonesia; Bab III berisi, urian pengalaman berbagai negara lain dalam penataan hubungan antar Pemerintahan dan bagaimana keadaan di Indonesia di bawah UU No. 22 Tahun 1999; Bab IV menguraikan apa dasar akademik tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah di Indonesia; Bab V berisi penjelasan bagaimana tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Provinsi, antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota, dan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia ke depan; dan Bab VI adalah rekomendasi dari naskah akademik ini.

(11)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

97 BAB II

TINJAUANLEGAL-HISTORISTATAHUBUNGANKEWENANGAN ANTARAPEMERINTAHPUSATDANDAERAHDIINDONESIA

A. Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia Sebelum Kemerdekaan

Sebelum tahun 1903 organisasi Hindia Belanda sangat tersentralisasi (gecentraliseerde geregeerd land). Dianutnya dalam sistem organisasi tersebut didasarkan pada pendapat yang berlaku pada waktu itu bahwa dalam wilayah yang sebagian besar rakyatnya terjajah dan bersifat majemuk (higly fragmented), kepentingan negara hanya dapat ditegagkan oleh pemerintah yang sangat tersentralisasi dengan mengandalkan pada kekuatan birokrasi (PA.Kleintjes:1929). Sebagai penghalusan sentralisasi dijalankan dekonsentrasi dengan cara membentuk wilayah (daerah) administrasi yang sangat hirarkis untuk keperluan penetrasi politik. Di Jawa daerah administrasi itu secara hirarkis terdiri dari gewest (kemudian disebut residentie), afdeeling (meliputi satu atau dua kabupaten) district (kawedanan) dan onderdistrict (kecamatan).

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang politik dan ekonomi, baik di belanda maupun di Hindia Belanda tidak meningkatkan sentralisasi, tetapi justru membuatnya lemah (J.S. Furnifall:1944). Sejak itu bergulirlah isu mengenai perlunya desentralisasi di Hindia Belanda. Isu tersebut melibat tiga struktur politik.

(12)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

98 Struktur atas terdiri dari Raja, parlemen, Dewan Pertimbangan Agung, dan Menteri Urusan Jajahan di Negeri Belanda. Struktur menengah terdiri dari Gubernur Jenderal, Dewan penasehat dan para Pamong Praja Eropa di Hindia Belanda. Sedangkan struktur bawah terdiri dari penduduk Hindia Belanda, utamanya penduduk Eropa. Masing-masing struktur memiliki pendekatan sendiri. Struktur bawah menghendaki menegemen local untuk menangani kepentingan setempat. Pendekatan ini menuntut terbentuknya lembaga perwakilan di tingkat local. Struktur atas berusaha untuk menutup anggaran bagi urusan setempat dari luar APBN. Sedangkan struktur menengah mengupayakan desentralisasi birokrasi (dekonsentrasi) agar tidak kehilangan kekuasaan. Pendekatan yang ditempuh oleh struktur menengah lebih berpengaruh terhadap program desentralisasi yang dianut Hindia Belanda. (J.J.M. Nas: 1988).

Dalam tahun 1903 lahirlah UU Desentralisasi yang pertama bagi Hindia Belanda. UU ini terdiri dari tiga pasal. Ketiga pasal itu adalah pasal 68 a, 68 b. dan 68 c yang dimasukkan ke dalam RR 1854. Semula rancangan ketiga pasal tersebut hanya mengenai desentralisasi. Namun atas desakan seorang anggota parlemen kemudian disepakati untuk memasukkan medebewind dalam pasal 68 c. (PA. Kleintjes: 1929). Argumentasi yang berkembang pada waktu itu adalah kesulitan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan desentralisasi di negara jajahan. Selaras dengan pendekatan yang ditempuh struktur menengah maka perlu diutamakan penyelenggaraan medebewind. (A.D.A. Dekat Angelino: 1931).

(13)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

99 Secara keseluruhan sekalipun UU desentralisasi didasarkan atas pertimbangan politik, namun tujuan desentralisasi waktu itu untuk mencapai efisiensi administrasi dan mengurangi beban administrasi dengan menyertakan elemen rakyat dalam pemerintahan lokan (J.S. Furnivall: 1944).

Menurut UU desentralisasi, apabila dimungkinkan bagi gewest atau bagian dari gewest (gedeelte van een gewest) akan disediakan dana sendiri untuk membiayai kepentingan daerah tersebut. Sedangkan pengelolaan dana tersebut diserahkan kepada sebuah dewan (raad) yang akan dibentuk di daerah yang bersangkutan. Sistem desentralisasi itu hanya sekedar membuka kemungkinan bagi terbentuknya lembaga pemerintahan setempat yang disebut “locale raden”, namun tidak secara tegas untuk memberikan kesempatan bagi rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan secara demokratis. Dewan yang dibentuk di gewest dengan sebutan gewestelijke raad dan dewan yang dibentuk di bagian gewest disebut plaatselijke raad, sedangkan dewan yang dibentuk di suatu kota disebut gemeenteraat.

Berdasarkan UU Desentralisasi tersebut maka dibentuk 15 buah gewestelijk resort dengan gewestelijke raad-nya di gewest yang sudah terbentuk di pulau Jawa, 32 gemeentelijk resort dengan gemeenteraad-nya (sebagai bagian dari gewest yang bersifat perkotaan) di Jawa dan di luar Jawa dan 10 plaatselijk resort dengan plaatselijk raad-nya (sebagai bagian dari gewest yang bersifat pedesaan) di luar Jawa. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah membentuk gewestelijk

(14)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

100 resort berikut gewestelijk raad di gewest yang telah terbentuk (dalam rangka dekonsentrasi) di luar Jawa. Dengan demikian gewest di luar Jawa merupakan merupakan daerah administrasi belaka. Sebaliknya daerah otonom yang terbentuk selalu berhimpit dengan daerah adminidtrasi. Di bawah daerah otonom masih terdapat daerah-daerah administrasi yang sangat hirarkis.

Kepala dari ketiga daerah otonom tersebut berperan sebagai Kepala Wilayah (wakil pemerintah pusat), dan bahkan juga sebagai Ketua Raad. Keanggotaan raad bersifat multi ras dengan komposisi sebagian dipilih dan sebagian diangkat. Khusus untuk gemeente sebagai pemerintahan untuk golongan Eropa, mayoritas keanggotaan gemeenteraad-nya mutlak harus dari golongan Eropa. Para pejabat tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah Pusat serta bertanggungjawab kepadanya.

Pertumbuhan nasionalisme setelah tahun 1906 membawa perubahan iklim pemikiran. Sejak tahun 1915 otonomi semakin berkumandang. Dalam atmosfir baru kemudian diperbaharui dengan Wet op de Besttuurs-herforming 1922. Dalam memori penjelasan perubahan susunan pemerintahan itu antara lain dinyatakan bahwa : “tujuan reformasi adalah untuk memberikan jaminan mengenai otonomi dan partisipasi kepada penduduk pribumi dan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan seperti dimiliki penduduk eropa” (A.D.A. De Kat Angelino: 1931).

Di bawah UU baru di Pulau Jawa dibentuk tiga provincie (propinsi), dan 76 regentschap (kabupaten) berikut dewannya. Sebaliknya dewan-dewan yang telah

(15)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

101 terbentuk di gewest (residentie) dilikuidasi. Kedudukan gemeente dipertahankan dengan perubahan sebutan menjadi stadsgemeente. Selanjutnya di luar Jawa dibentuk sejumlah groepsgemeenschap.

Provincie, regentschap, stadsgemeente dan groepsgemeenschap masing-masing dipimpin oleh gouverneur, regent, burgemeester dan voorzitter. Disamping sebagai organ otonom, pejabat itu juga sebagai wakil pemerintah pusat. Para pejabat tersebut juga berperan sebagai Ketua Raad (dewan).

Keanggotaan dewan keempat macam daerah otonom di atas bersifat multi rasial, sebagian diangkat oleh pemerintah pusat dan sebagian dipilih melalui pemilihan. Mayoritas keanggotaan dewan provincie dan stadsgemeente adalah dari ras Eropa, sedangkan mayoritas keanggotaan dari regentschap dan groepsgemeenschap berasal dari ras pribumi. Namun terdapat kecenderungan mayoritas anggota dewan dari berbagai daerah otonom tersebut berasal dari kalangan pejabat. Dalam upaya membandingkan keanggotaan dewan antara regentschap dan stadsgeneente, Milone (1966) mengutarakan bahwa: otonomi lebih besar diberikan kepada stadsgemeente daripada regentschap sebagaimana tampak pada kenyataan terdapatnya keanggotaan dewan di stadsgemeente dari ketiga ras juga dipilih, sedangkan keanggotaan dewan di regentschap dari kelompok Eropa dan Timur Asing diangkat dan dari kelompok pribumi sebagian dipilih dan sebagian diangkat. Disamping itu, tugas-tugas yang dijalankan oleh stadsgemeente lebih besar dibanding otonomi (desentralisasi) daripada

(16)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

102 (medebewind, sedangkan tugas-tugas yang dujalankan oleh regentschap lebih besar dalam rangka medebewind.

Seperti dalam periode UU 1903, langkah-langkah yang ditempuh oleh pemeintah belanda dalam membentuk daerah otonom selalu diawali dengan pembentukan daerah administrasi. Dengan demikian, daerah otonom selalu berhimpit dengan daerah administrasi. Didamping itu terdapat daerah administrasi belaka, baik yang belum disertai dengan pembentukan daerah otonom maupun yang akan bersifat langgeng secara hirarkis.

Dengat Wet 6 Februari 1922 (Ind. Staatsblad 1922 No. 216) Regeringsreglement ditambah pula dengan 4 pasal baru, yaitu 67 a, 67 b, 67 c dan 68 baru; 119, 120, 121, 122 Ind. Staatsregeling) yang memberi kemungkinan untuk dekonsentrasi dan desentralisasi kekuasaan pusat secara besar-besaran.

Dalam pasal-pasal itu dituntut pembagian wikayah Hindia Belanda dengan Algemene Verordening (Ind. Staadsregeling: Ordonantie) atas:

a. Propinsi-propinsi otonom yang dapat diserahi juga tugas Medebewind. b. Gewest-gewest lain.

Pembagian itu dijalankan sedemikian rupa, sehingga Hindia Belanda dibagikan kembali atas sejumlah Gewest yang dikepalai oleh

Gubernur-gubernur. Dimana, mungkin Gewest besar itu diberi status propinsi otonom dimana gubernurnya mempunyai fungsi dua, yaitu

sebagai Pegawai Pusat tertinggi dalam propinsi, dan sebagai Organ Propinsi Otonom. Dimana belum mungkin mewujudkan propinsi

otonom maka dibentuk dahulu Gewest besar administrative (Gouvernement), dimana gubernurnya berfungsi semata-mata sebagai

pegawai tertinggi dalam Gewest.

Tetapi baik kepada gubernur propinsi (sebagai pegawai pusat) maupun kepada gubernur gewest besar administrative itu dapat

dioper kekuasaan Gubernur Jenderal dan Kepala Departemen dengan jalan dekonsentrasi, sedang dalam Gewest Besar administrative

(17)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

103 Pasal 67c (121 Ind. Staatsregeling) juga dibuka kemungkinan untuk mewujudkan daerah-daerah otonom bawahan dalam

wilayah propinsi otonom itu, dengan Algemene Verordening (Ind. Staatsregeling: Ordonantie). Kepadanya juga dapat dapat ditugaskan

Medebewind oleh Algemene Verordeningen dan peraturan-peraturan propinsi itu.

Penyelenggaraan asas-asa itu ditugaskan kepada Algemene Verordening (Ind. Staatsregeling: Ordonantie) dan berdasarkan ketentuan ini maka ditetapkan:

1. “Provincie Ordonnantje”, Ind. Staatblad 1924 No. 78 (perubahan terakhir: Ind. Staatsblad 1940 No. 226, 251).

2. Algemene Maatregel van Bestuur Ind. Staatsblad 1926 No. 28 yang memuat beberapa ketentuan mengenai pembentukan Propinsi, Regentschap Autonom dan Stadsgemeente Autonom.

3. “Regenschapsordonantie”, Ind. Staatsblad 1924 No. 79 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1940 No. 226)

4. “Stadsgemeenteordonantie” Ind Staatsblad 1926 No. 365 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1940 No. 226)

5. “Java Provincie Kiesordonantie” Ind Staatsblad 1927 No. 528 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1929 No. 488)

6. “Java Provincie Kiesordonantie” Ind Staatsblad 1927 No. 529 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1933 No. 213)

7. “Kiesordonantie Gemeenteraden” Ind Staatsblad 1925 No. 673 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1940 No. 451) yang berlaku baik untuk “Gemeenteraden-Decentralisatiewet” maupun “Stadsgemeenteraden-Bestuurshervormingswet”.

Berdasarkan Ordonantie tersebut di Jawa-Madura dengan sejumlah Ordonantie Pembentukan (Instellingsordonanties) diwujudkan

berturut-turut Propinsi Jawa Barat (Ind. Staatsblad 1925 No. 285), Jawa Timur (Ind. Staatsblad 1927 No. 558), Jawa Tengah (kecuali

Yogyakarta dan Surakarta: Ind. Staatsblad 1927 No. 559), Governement Surakarta (Ind. Staatsblad 1927 No. 560), dan Gouvernement

Yogyakarta (Ind. Staatsblad No. 561).

Ordonantie Pembentukan Propinsi tersebut didahului oleh suatu Ordonantie Pembentukan Gewest Administratif yang

mengubah ketika itu juga Geweslijke Raden dalam Gewest (berdasarkan “Decentralisatie-wet”) menjadi Plaatselijk Raden. Ordonantie

Pembentukan Propinsi Otonom lantas mengubag Gewest Administratif menjadi propinsi otonom, memberi nama kepadanya menyebut

hal-hal yang diserahkan kepadanya sebagai Autonomi dan hal-hal yang ditugaskan kepadanya sebagai Medebewind, menentukan susunan “Provinciale Raad”, menghapuskan “Plaatselijke Raden” dalam wilayah propinsi dan mengatur pengoperan kekuasaan

(18)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

104 Kemudian dalam tiap-tiap propinsi otonom juga dengan ordonantie pembentukan diwujudkan sejumlah Regentschap

autonom. Ordonantie pembentukannya memberi nama kepadanya, menyebut hal-hal yang diserahkan kepadaya sebagai Medebewind, menentukan susunan “Regentschapsraar” dan mengatur Regentschap otonom terhadap “Plaatselijke Raden” yang dihapuskan.

Locale Ressorten” (Plaatselijke Raden) yang berbentuk Gemeente berdasarkan Decentralisatie-wet dalam wilayah propinsi

otonom itu diubah menjadi Stadsgemeente berdasarkan Bestuurshervormingswet dan Stadgemeenteordinnatie 1926 tersebut di atas. Juga

Stadgemeenten itu diwujudkan dengan Ordonantie Pembentukan.

Dengan Java Provincie Kiesordonantie 1927, Java Regentschaps Kiesordonantie 1927 Kiesordonantie Gemeenteraden di

Jawa-Madura dan untuk Stadsgemeenten (dan Gemeenten). Dalam Ind. Staatblad 1931 No. 168 diatur suatu pembagian tugas yang baru

di kalangan Korps Pegawai BB (nieuwe taakverdeling) yang dikehendaki karena perubahan-perubahan tersebut di atas.

Gubernur-gubernur menjadi Hoofd van Gewestlijke Bestuur dan Residen-residen turun pangkat menjadi kepala Afdeling saja, pun sebagian dari

tugas-tugas Kepala Afdeling dahulu (ass. Residen) diserahkan kepada Regent.

Di luar Jawa-Madura pelaksanaan ‘Bestuurhervorming’ itu agak terhalang. Sistem Jawa-Madura memang tak dapat

dipergunakan karena agak berbeda. Dengan Ordonantie Pembentukan Ind. Staatblad 1925 No. 579, diwujudkan ‘Gubernemen Maluku’ dengan maksud supaya kemudian ‘Gubernemen’ itu diubah menjadi Propinsi otonom Maluku, tetapi usaha-usaha selanjutnya baru dijalankan dalam tahun 1936-1938. Dalam masa itu terdapat konsepsi baru:

1. dengan Ordonantie Ind. Staatblad 1936 No. 68 jo. 1938 No. 264 (mulai berlaku 1 Juli 1938) diwujudkan 3 Gubernemen besar, yaitu: Sumatera, Borneo, dan ‘Grote Oost’ yang dikepalai oleh Gubernur di Medan, Banjarmasin dan Makasar. Tentu ketiga Gubernemen Besar itu dimaksudkan sebagai bakal Propinsi-propinsi otonom di luar Jawa-Madura.

2. dengan Ordonantie Ind. Staatblad 1938 No. 371 diatur pemindahan kekuasaan-kekuasaan dari Gouverneur General. Kepala-kepala Departemen dan Instansi-instansi lain kepada Gubernur dan Residen.

(19)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

105 3. Ordonantie Ind. Staatsblad 1939 No. 67 yang mengatur hubungan finansia; antara Hindia Belanda dan Stadsgemeenten (di luar Jawa-Madura)

Dengan itu bila dikecualikan Inlandse Gemeenten (desa dan lain-lain) Waterschappen dan Swapraja, maka dalam masa 1940 –1942

rencana desentralisasi pemerintah Hindia Belanda telah menjadi terang.

Maksudnya ialah supaya seluruh wilayah Hindia Belanda terbagi atas propinsi-propinsi otonom besar yang berotonomi luas

dan diberi tugas-tugas Medebewind yang penting, yaitu c (c.q. 5) di Jawa-Madura, dan 3 (Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur) di

luar Jawa. Irian Barat pada waktu itu termasuk Gouvernement “Grote Oost” seperti juga “Afdeling Noord Nieuw Guinea” dan AfdelingWest Nieuw Guinea” (Resedensi Ambon)

Di Jawa-Madura propinsi itu dibagi atas kabupaten-kabupaten dan kotapraja otonom. Di Luar Jawa-Madura propinsi dibagi

atas Groepsgemeeschappen autonom dan kotapraja autonom. Pada waktu Hindia Belanda diduduki ileh Jepang di Jawa-Madura rencana

utu dapat dikatakan telah menjadi kenyataan, kecuali dalam Gubernemen Surakarta dan Yogyakarta daimana masih terdapat 4 Swapraja,

Locale Ressorten” telah lenyap . Di luar Jawa-Madura pelaksanaanya hanya sampai pada tingkat pembentukan 3 propinsi asministratif,

3 Groepsgemeenschap dan 6 Stadsgemeente. Disamping itu masin terdapat “Locale ressorten” (juga Gemeente), sedang sebagian besar

dari wilayah 3 propinsi administrative itu terdiri atas Swapraja.

Ketika Jepang mendekati kekalahan, mereka mengijinkan pendirian Dewan Daerah dengan tujuan untuk menggalang

dukungan kepada bala tentara Jepang. Bahkan sebelum mereka menyerah, Jepang mendirikan suatu komite beranggotakan

pemimpin-pemimpin nasional untuk persiapan akhir kemerdekaan Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang berakhir seiring dengan kekalahan

mereka dalam Perang Asia Timur Raya dan Rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dengan Proklamasi Kemerdekaan

tersebut dimulailah era Pemerintahan Daerah pasca Kemerdekaan.

B. Sistem Pemerintahan Pasca Kemerdekaan sampai Masa Orde Baru

Deskripsi sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia Pasca Proklamasi ditandai dengan diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan akan menandai terjadinya perubahan dalam sistem Pemerintahan Daerah dan ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional. Pada

(20)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

106

dasarnya terdapat lima kali perubahan yang bersifat pokok terhadap sistem Pemerintahan Daerah pasca kemerdekaan. Setiap perubahan sistem tersebut dituangkan dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan yang berbeda satu sama lainnya. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini.

1. Masa Undang-Undang No. 1/1945

Undang-undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan merupakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945. Sebuah Komite Nasional Daerah didirikan pada setiap level kecuali di tingkat Propinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislative dan anggota-anggotanya diangkat oleh pemerintah pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan ekskutif yang dipimpin oleh Kepala Daerah untuk menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan.

Sistem ini mencerminkan kehendak pemerintah untuk menerapkan prinsip Desentralisasi dan Dekonsentrasi dalam sistem Pemerintahan Daerah, namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip Dekonsentrasi. Hal tersebut terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan kepada figure Kepala Daerah. Status Kepala Daerah adalah adalah diangkat dan diambil dari anggota komite. Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang terbatas karena status mereka yang diangkat oleh pemerintah dan bukan dipilih.

(21)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

107 2. Masa Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948

Undang-undang No. 22 tahun 1948 dikeluarkan pada tanggal 10 juli 1948 yang dumaksudkan sebagai pengganti UU 1/1945 yang dianggat sudah tidak sesuai dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut hanya mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administrative. Disamping itu UU tersebut juga hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu; Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan Ekskutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. Walaupun demikian terdapat kausul dalam pasal 46 UU 22/1948 yang memungkinkan pemerintah untuk mengangkat orang-orang yang umumnya diambil dari Pamong Praja untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut pemerintah sering menempatkan para calon yang dikehendaki tanpa harus mendapatkan persetujuan DPRD.

Dewan Pemerintahan Daerah yang menjalankan urusan Pemerintahan Daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri. Kondisi tersebut merupakan cerminan dari praktek demokrasi parlementer

(22)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

108 yang dianut pada masa tersebut. Pada sisi lain Kepala Daerah tetap menjalankan dwi fungsi; sebagai Ketua DPRD pada satu sisi dan sebagai Wakil Pusat di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat pusat, Kepala Daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai ketua DPD, ia bertindak selaku wakil dari daerah yang bersangkutan. Posisi ini bias jadi menimbulkan dilemma, manakala terdapat perbedaan atara kepentingan Daerah dan Pusat.

Terdapat 15 jenis urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah tanpa melihat tingkatannya. Bahkan Kota Kecil sebagai Pemerintah Daerah Tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan Pemerintah Daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian otonomi mengesampingkan kemampuan riil dari Pemerintah Daerah. Keinginan pemberian otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas.

Walaupun UU 22/1948 menyiratkan keinginan untuk memberikan aksentuasi pada prinsip desentralisasi, kebijakan ini tetap belum cukup untuk melonggarkan kontrol pusat terhadap daerah. Ada dua alas an pokok kenapa pusat tetap mempertahankan kontrol yang kuat terhadap daerah. Pertama, kebanyakan daerah pada masa tersebut masih di bawah kontrol Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda telah merubah daerah-daerah yang didudukinya kembali menjadi negara-negara bagian dibawah sistem Federal. Sedangkan wilayar Republik Indonesia hanya terbatas pada Jawa Tengah,

(23)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

109 sebagian Sumatera dan Kalimantan. UU 22/1948 hanya berlaku pada wilayah Republik, sedangkan daerah-daerah dibawah sistem Federal diatur sistem Pemerintahan Daerahnya menurut UU No.44/1950. Kedua, Sistem pemerintahan negara Republik Indonesia pada waktu itu berdasarkan sistem parlementer. Terjadi persaingan politik yang cukup sengit pada waktu itu dari berbagai partai politik yang pada dasarnya melemahkan persatuan Indonesia. Pemberian otonomi yang tinggi akan cenderung memicu gerakan separatisme dalam kondisi politik yang tidak stabil.

3. Masa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

Apabila UU 1/1945 lebih menekankan pada aspek Dekonsentrasi dan UU 22/1948 pada aspek Desentralisasi, maka UU 1/1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah Desentralisasi. UU 1/1957 adalah produk dari sistem Parlemen Liberal hasil dari Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Partai-partai politik di parlemen menuntut adanya Pemerintahan Daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan Pemerintah Pusat di Daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana dan Asisten Wedana atau Camat (Suryaningrat, 1980).

Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk meluaskan Otonomi Daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah

(24)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

110

tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah sama seperti urusan yang dilimpahkan berdasarkan UU 22/1948, sampai dengan tahun 1958 hanya baru 7 urusan yang sebenarnya diserahkan kepada propinsi. Penyebabnya adalah bahwa urusan harus dilakukan dengan Peraturan Pemerintah dan Prosedur tersebut memakan waktu yang sangat lama.

Sistem Pemerintahan Daerah menurut UU 1/1957 adalah hampir sama dengan pengaturan dalam UU 22/1948. Pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggungjawab kepada DPRD. Kepala Daerah bertindak selaku ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi di daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya.

Perbedaanya dengan UU 22/1948 terletak pada peranan yang dijalankan oleh Kepala Daerah. Kepala Daerah hanya berperan selaku alat daerah dan tidak bertanggungjawab kepada pusat. Kepala Daerah dan DPD baik secara sendidi-sendiri maupun kolektif bertanggungjawab kepada DPRD, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sebelum diangkat ia harus mendapatkan pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menter Dalam Negeri untuk Daerah Tingkat II dan Tingkat III.

Sistem ini mendapatkan tantangan yang keras terutama dari pihak Pamong Praja dan Angkatan Darat. Mereka Menuntut diadakannya evaluasi kembali terhadap Otonomi Daerah, posisi yang jelas untuk Pamong Praja. Pengawasan

(25)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

111 yang efektif terhadap Pemerintah Daerah, dan larangan terhadap pegawai negeri untuk ikut dalam partai politik. Mereka juga menyarankan bahwa bila Kepala Daerah tidak menjadi wakil pusat di daerah, alternatifnya haruslah ada pejabat-pejabat pusat di daerah seperti Gubernur, Bupati, Walikota untuk menjalankan urusan-urusan Pusat di Daerah (syafrudin, 1976).

Undang-undang No. 1/1957 telah menyebabkan dualisme kepemimpinan di daerah. Pertama, Kepala-kepala Daerah bersama DPD bertindak selaku Ekskutif Daerah yang bertanggungjawab kepada DPRD dan mereka bertanggungjawab terhadap pelaksanaan Pemerintahan Daerah sehari-hari. Pada sisi lain, Gubernur, Bupati dan Walikota yang bertanggungjawab kepada pusat mempunyai tanggung jawab melaksanakan urusan-urusan pusat yang ada di daerah. Dalam kenyataan, rakyat lebih mengenal jabatan-jabatan Guberbur, Bupati dan Walikota dibandingkan dengan Jabatan Kepala Daerah dalam mengacu kepada pimpinan pemerintah di daerah. Akibatnya timbul kekaburan di masyarakat mengenai siapa figur Gubernur atau Bupati/Walikota; Apakah mereka agen pusat atau daerah. Bahkan anggota DPD seringkali mengklaim diri mereka sebagai Wakil Bupati atau Wakil Walikota (Syafrudin, ibid). Inilah alas an utama mengapa UU 1/1957 dianggap telah menciptakan dualisme kepemimpinan di daerah.

Keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik tidak diiringi dengan kedewasaan social dan politik. Dalam kekacauan politik tersebut, kabinet di bawah Perdana Menteri Juanda mengundurkan diri dan keadaan darurat pun

(26)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

112 diumumkan. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu: mencabut berlakunya UUDS 1950, membubarkan kabinet, dan kembali kepada UUD 1945. Pada saat tersebut dimulailah apa yang disebut Demokrasi Terpimpin (Guide Democracy)

4. Masa Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959

Pada tanggal 16 Nopember 1969, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk mengatur Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai Ekskutif Daerah dan Wakil Pusat di Daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai Eksekutif Daerah ia bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bias dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil pusat ia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat.

Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tetapi diangkat oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I, dan oleh Menter Dalam Negeri untuk Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai Eksekutif Daerah, Kepala Daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun harus bebas dari partai politik.

Penpres 6/1959 menandai beralihnya kebijaksanaan Pemerintahan Daerah ke arah prinsip Dekonsentrasi. Kekuasaan Daerah pada dasarnya terletak di tangan Kepala Daerah, dan Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap Kepala

(27)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

113 Daerah, yang umumnya direkrut dari Pamong Praja. Meskipun DPRD mempunyai hak untuk mengusulkan calon-calon Kepala Daerah, Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri mempunyai hak untuk menolaknya dan mengangkat calon yang direstui. Golongan Pamong Praja mendominasi jabatan Bupati dan walikota. Pada awal tahun 1960-an pada waktu semua jabatan Kepala Daerah terisi, dari 238 Kepala Daerah, atai 150 orang atai 63% berasal dari pamong praja (legge, 1961).

Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yang menyatakan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjutnya pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 50 tahun 1963 tentang penyerahan urusan-urusan pusat yang sebelumnya dijalankan oleh pamong praja kepada pemerintah daerah. Urusan-urusan yang dijalankan oleh residen diserahkan kepada gubernur, dan urusan-urusan yang dijalankan wedana atau camat dipertahankan. Kemudian Undang-Undang No. 18 tahun 1965 dikeluarkan untuk mengganti Penpres 6/1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari Dekonsentrasi ke Desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari menguatnya peranan partai-partai politik dan pencaturan politik nasional.

5. Masa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi sistem Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh

(28)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

114 Presiden Soekarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada waktu itu yaitu kelompok Partai Nasional, Agama dan Komunis.

Berdasarkan UU 18/1965, kepala daerah tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil pusat di daerah. Meskipun prinsip Desentralisasi dan Dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun Dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja walaupun diberi label pelengkap “vital”. Perubahan-peubahan mendasar yang terjadi dalam sistem Pemerintahan Daerah adalah bahwa kepala daerah bukan lagi bertindak sebagai ketua DPRD, dan dia juga diijinkan menjadi anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga tingkatan pemerintah daerah yang otonom, yaitu propinsi, kabupaten atau kotamadya dan kecamatan. Otonomi yang diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas-luasnya. Ini hampir serupa dengan Otonomi daerah UU 1/1957.

UU 18/1965 merupakan arus balik dari kecenderungan Sentralisasi menuju Desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutif daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada pemerintah pusat.

Keadaan politik secara nasional pada waktu itu menunjukkan bahwa partai-partai politik mendapatkan kekuasaannya kembali setelah hampir bangkrut pada akhit tahun 1950-an. Partai politik berusaha memperoleh akses ke kelompok

(29)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

115 eksekutif daerah melalui adanya ketentuan yang membolehkan para eksekutif tersebut menjadi anggota partai. Telah terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah Otonom Tingkat III yang berbasis pada kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan parpol untuk untuk mendapatkan dukungan politis dari grass-roots dimana sebagian terbesar dari masyarakat bertempat tinggal.

Pada sisi lain terasa bahwa Demokrasi Terpimpin ditujukan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi ke arah entusias politik dan konfrontasi seperti dengan Malaysia dan neger-negara barat pada umumnya. Kondisi tersebut terjadi sampai dengan meletusnya kudeta yang gagal dari PKI melalui Gerakan 30 September 1965. Era Demokrasi Terpimpin telah berakhir dan diganti oleh Pemerintahan Orde Baru. Dalam Pengaturan Pemerintahan Daerah UU 18/1965 diganti dengan UU 5/1974.

6. Masa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU 5/1974 yaitu: Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Dalam praktek prinsip Dekonsentrasi yang lebih dikedepankan. Bangunan Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah mempunyai dua peran utama; sebagai Kepala Daerah Otonim dan sebagai Kepala Wilayah yaitu wakil pemerintah di daerah. DPRD mempunyai kewenangan untuk melakukan pemilihan calon kepala daerah, namun keputusan akhir ada di tangan pusat.

(30)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

116 Bangunan pemerintah daerah yang demikian sangat kondusif sekali untuk menciptakan stabilitas daerah yang sangat diperlukan untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Kontrol pusan sangat kuat terhadap daerah sehingga daerah lebih merupakan perpanjangan tangan untuk mensukseskan program-program yang dirancang pemerintah.

Sistem tersebut pada satu sisi telah menciptakan stabilitas dan kondusif untuk menjalankan program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi laian, kondisi tersebut telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dari daerah dalam melaksanakan otonominya seperti ketegantungan dalam aspek pelayanan, kewenangan, kelembagaan, personel, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah. Akibatnya inisiatif dan kreatifitas daerah menjadi sulit dikembangkan karena ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah.

Lahirnya UU no. 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU ini, pada awalnya membawa banyak harapan. Namun sejumlah masalah terjadi baik bersifat makro institusional maupun yang bersifat teknis manajerial pemerintahan. Pada Oktober 2004 kemudian ditetapkan pengganti UU No. 22 tahun 1999 tersbeut dengan keluarnya UU No. 32 Tahun 2004. Substansi kedua UU ini menjadi inspirasi lanjutan dalam naskah akademik ini. Oleh karena itu tidak diuraikan di sini.

(31)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

117

Negara merupakan organisasi. Secara teoritik dan empirik setiap organisasi, termasuk negara, selalu menganut asas sentralisasi sejak kelahiran sampai akhir hayatnya. Namun, organisasi yang besar dan sangat rumit tidak mungkin hanya diselenggarakan dengan asas sentralisasi. Sekiranya hanya dianut asas tersebut, niscaya penyelenggaraan berbagai fungsi yang dimiliki oleh organisasi tersebut tidak sepenuhnya efektif. Oleh karena itu diperlukan juga asas desentralisasi.

Kedua asas tersebut tidak dikotomis, tetapi berupa kontinum. Kita tidak dapat memilih salah satu diantara dua alternatif tersebut. Tetapi kita harus memilih alternatif yang ketiga: sentralisasi dan desentralisasi bagi organisasi negara Indonesia, Sentralisasi berperan untuk menciptakan keseragaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi organisasi, sedangkan desentralisasi berperan untuk menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi organisasi sesuai dengan keberagaman kondisi masyarakat. Tidak ada negara yang menganut desentralisasi 100%. Sebaliknya, kecuali bagi negara yang menyerupai negara-kota, hampir tidak ada negara yang menyelenggarakan sentralisasi 100%. Dengan mengikuti pendapat Hans Kelsen, tidak mengkin terdapat total centralization atau total decentralizaion. Disamping itu, selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi, tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun di negara kesatuan yang sepenuhnya diselenggarakan secara desentralisasi.

(32)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

118 Penyelenggara asas desentralisasi selalu oleh unsur sentralisasi. Dalam tataran organisasi negara dibedakan penyelenggara desentralisasi dalam negara kesatuan dan negara federal. Dalam negara kesatuan desentralisasi diselenggarakan oleh Pemerintah (Pusat), sedangkan dalam negara federal desentralisasi diselenggarakan oleh (Pemerintah) Negara Bagian.

Walaupun istilah desentralisasi berasal dari istilah asing, namun pengertiannya dapat berlainan. Dalam pustaka berbahasa Inggris, konsep decentralization mempunyai arti yang bervariasi, mulai dari arti yang sempit sampai ke arti yang luas. Disamping sebagai padanan konsep desentralisasi Indonesia, dalam pustaka Inggris konsep decentralization acapkali mencakup sub konsep: devolution dan deconcentration. Sedangkan dalam pustaka Amerika Serikat konsep decentralization mencakup sub konsep political decentralization dan administrative decentralization.

Sub konsep political decentralization sebagai padanan devolution, sedangkan sub konsep administrative decentralization sebagai padanan deconcentration. Luas atau sempitnya arti konsep decentralisatie juga dapat dijumpai dalam pustaka Belanda. Dalam arti luas konsep tersebut mencakup staatskundige decentralisatie dan ambtelyke atau administratieve decentralisatie.

Sejak tahun 80-an, konsep decentralization mempunyai arti yang lebih luas. Konsep tersebut mencakup sub konsep devolution, deconcentration, delegation

(33)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

119 dan privatization. Konsep desentralisasi Indonesia kurang lebih sama dengan political decentralization atau devolution atau staatskundige decentralisatie.

Pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah dalam negara kesatuan serta antara negara bagian dan daerah otonom tercipta sebagai konsekuensi terselenggaranya desentralisasi. Secara konseptual, desentralisasi mengandung makna yang berbeda dengan dekonsentrasi. Desentralisasi menciptakan local self government, sedangkan dekonsentrasi menciptakan local state government atau Field Administration

Dalam rangka desentralisasi, daerah otonom berada di luar hirarki organisasi Pemerintah Pusat, sedangkan dalam dekonsentrasi Field Administrations berada dalam hirarki organisasi Pemerintah Pusat. Desentralisasi menunjukan pola hubungan kewenangan antar organisasi. Sekalipun hubungan antara local government dengan Pemerintah merupakan hubungan antar organisasi, namun local government (daerah otonom) ciptaan Pemerintah. Oleh karena itu keberadaan local government adalah dependent dan sub-ordinate terhadap Pemerintah. Berbeda dengan desentralisasi, dekonsentrasi melahirkan pola hubungan kewenangan intra organisasi.

Secara teoritis terdapat dua model dari Field Administration: Fragmented Field Administration dan Integrated Field Administration. Model pertama membenarkan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari perangkat departemen di lapangan (Instansi Vertikal) secara berbeda menurut pertimbangan fungsi dan

(34)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

120 organisasi departemen induknya. Dalam hal ini tidak terdapat apa yang dalam sistem Indonesia disebut Daerah (Wilayah) Administrasi dengan Wakil Pemerintahnya untuk keperluan koordinasi dan kegiatan pemerintahan umum lainnya. Model kedua mengharuskan terdapatnya keseragaman batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal atas dasar Daerah (Wilayah) Administrasi beserta Wakil Pemerintah. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, maka model ini mengharuskan pula berhimpitnya daerah otonom dengan Daerah Administrasi dan perangkapan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Pemerintah. Sistem pemerintahan lokal dengan karakteristik tersebut dikenal dengan sebutan Integrated Prefectoral Sistem. Konsekuensi sistem tersebut adalah terdapatnya hirarki daerah otonom.

Pola hubungan kekuasaan yang tercipta dalam desentralisasi, memperlihatkan pula bahwa desentralisasi mempunyai unsur keterpisahan (separateness) dan kemajemukan struktur dalam sistem politik secara keseluruhan. Dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat.

Moh. Hatta juga berpendapat bahwa otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong

berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya

prakarsa sendiri maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja

(35)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

121 Otonomi juga mengandung integritas sistem, dalam arti memiliki batas-batas (boundaries). Oleh karena itu, otonomi juga memiliki identitas. Dengan perkataan lain, tidak terdapat otonomi apabila tidak terdapat batas-batas. Penetapan batas-batas tersebut mengingatkan pada suatu sistem keseluruhan.

Dengan mengikuti pemikiran di atas, otonomi dalam wadah daerah otonom yang merupakan selfcontained memiliki batas-batas aktivitas yang secara nyata dan fungsional disepakati dan berinteraksi dengan suatu lingkungan yang menerima outputs dan memberikan inputs.

Walaupun konsep desentralisasi tidak bersifat hirarkis, dalam arti konsep ini menempatkan sejumlah pemerintah memiliki sistem hubungan koordinasi satu sama lain atas dasar kemandirian dan resiprokal. Namun harus disadari bahwa dalam konstelasi negara bangsa otonomi yang benar-benar penuh hampir tidak pernah tercapai.

Secara konseptual, desentralisasi kerap kali dipandang oleh pakar administrasi publik sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi merupakan nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa (national unity), pemerintahan demokrasi (democratic government), kemandirian sebagai penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi, dan pembangunan sosial ekonomi. Tujuan-tujuan tersebut biasanya tercantum dalam kebijakan nasional, peraturan perundang-undangan dan/atau pernyataan-pertanyataan politik dari elit nasional

(36)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

122 mengenai desentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu, tujuan-tujuan tersebut adalah sesuatu yang mendasar (filosofis) dalam penyelenggaraan desentralisasi di sebuah negara bangsa.

Mengingat beragamnya tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi, maka tiap negara kerapkali membuat skala prioritas tujuan desentralisasi. Oleh karena itu, terdapat variasi mengenai skala prioritas tujuan desentralisasi antar negara dan bahkan antar kurun waktu dalam suatu negara sebagai hasil kekuatan-kekuatan yang berpengaruh. Pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi di berbagai negara acapkali berpasangan dengan kesatuan bangsa, sedangkan pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada demokrasi berpasangan dengan kemandirian.

Pengaturan tentang desentralisasi di berbagai negara terdapat dalam UUD negara kesatuan atau dalam UUD negara bagian dan/atau UUD negara federal. Pengaturan dekonsentrasi tidak lazim terdapat dalam UUD, karena dekonsentrasi merupakan penghalusan sentralisasi.

Baik wacana di kalangan the founding fathers sewaktu pembahasan Rancangan UUD maupun rumusan yang muncul dalam pasal 18 UUD 1945 mengandung kerancuan pemikiran yang dapat menyesatkan pada tahap penjabarannya dalam undang-undang pemerintahan daerah. Dalam rancangan UUD terdapat pasal 17 di bawah Bab IV yang berjudul “Tentang Pemerintahan Daerah”.

(37)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

123 Pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan

pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan mengingat dasar

permusyawaratan daripada sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dari daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Rancangan pasal 17 tersebut, kemudian disempurnakan menjadi pasal 18 di bawah Bab VI yang berjudul Pemerintah Daerah.

Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dari daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Kemudian oleh Soepomo pasal 18 UUD 1945 diberi penjelasan - di bawah Bab yang diberi judul sebagaimana draft semula yaitu “Pemerintahan Daerah”.

I. Oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidstaat” maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “staat” juga. Daerah di Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan pula dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat autonom (streek dan locale rechtgemeenchappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat autonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam territoir negara Indonesia terdapat + 250 “Zelfbesturende Landschappen” dan Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dsb. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Dilihat dari judul Bab, yaitu Pemerintah Daerah maka pasal 18 mengatur desentralisasi. Pembagian daerah yang dimaksud adalah pembagian wilayah. Sedangkan daerah besar dan daerah kecil adalah daerah otonom dilihat dari perspektif spasial. Kata-kata “dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan

(38)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

124 negara” dalam pasal tersebut tidak diragukan lagi mengandung makna demokrasi. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan secara jelas bahwa pemerintahan yang bersendi atas dasar permusyawaratan menuntut adanya lembaga perwakilan rakyat. Secara ekplisit keberadaan lembaga tersebut ditonjolkan dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Lembaga perwakilan raktyat daerah hanya relevan dengan desentralisasi dan bukan dekonsentrasi. Baik secara teoritis maupun empiris lembaga ini merupakan salah satu elemen yang esensial dalam pemerintahan demokrasi. Pernyataan dalam penjelasan UUD 1945: “…di dalam lingkungannya yang bersifat “staat”, juga dapat ditafsirkan dialamatkan kepada daerah otonom (desentralisasi) dan bukan kepada daerah administrasi (dekonsentrasi) dalam konteks local state government atau fragmented field administration

Namun, dengan munculnya kata-kata “Di daerah-daerah yang bersifat autonom (streek dan locale rechtgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka,” pada kalimat ke tiga penjelasan, maka pasal 18 dicerna oleh UU No. 5 tahun 1974 mengatur pula penyelenggaraan dekonsentrasi. Penjelasan tersebut mempunyai makna bahwa di Indonesia akan terdapat daerah otonom yang secara serta merta sebagai daerah administrasi dan akan terdapat pula daerah administrasi belaka tanpa disertai daerah otonom. Oleh karena itu, dalam UU No. 5 Tahun 1974 dimungkinkan pembentukan Wilayah (Daerah) Administrasi tanpa disertai Daerah Otonom, tetapi sebailknya setiap pembentukan Daerah Otonom diharuskan berhimpit dengan Daerah (Wilayah) Administrasi yang setara. Atas

(39)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

125 dasar penafsiran tersebut UU No. 5 Tahun 1974 diberi judul Pemerintahan di Daerah yang mengatur baik local government maupun local state government

Dalam memberikan penjelasan pasal 18 UUD 1945 ternyata Soepomo sangat dipengaruhi oleh pengalaman empirik penyelenggaraan pemerintahan daerah semasa Hindia Belanda yang dirintis oleh RR. 1854 melalui pasal 68a, 68b dan 68c yang dikenal dengan Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (S 1903/329) yang kemudian direformasi dengan Wet op de Bestuursherforming 1922. Berdasarkan undang-undang desentralisasi tersebut maka dibentuk geweestelijke ressort dengan gewestelijke raad-nya di gewest yang sudah terbentuk di pulau Jawa, gemeentelijke ressort dengan gemeenteraadnya (sebagai bagian dari gewest yang bersifat perkotaan) di Jawa dan luar Jawa dan plaatselijke ressort dengan plaatselijkeraadnya (sebagai bagian dari gewest yang bersifat perdesaan) di luar Jawa. Kepala dari ketiga bentuk daerah otonom tersebut berperan sebagai Kepala Wilayah (Wakil Pemerintah), dan bahkan juga sebagai Ketua raad. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah membentuk gewestelijke ressort. berikut gewestelijke raad di gewest yang telah terbentuk (dalam rangka dekonsentrasi) di luar Jawa. Dengan demikian gewest di luar Jawa merupakan Daerah Administrasi belaka. Sebaliknya daerah otonom yang terbentuk selalu berhimpit dengan daerah administrasi. Di bawah daerah otonom masih terdapat daerah-daerah administrasi belaka yang sangat hierarkis seperti afdeling, district (kawedanan) dengan onderdistrict (kecamatan).

(40)

Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

126 Pertumbuhan nasionalisme setelah tahun 1906 membawa perubahan iklim pemikiran. Sejak tahun 1915 isu mengenai otonomi semakin berkumandang. Dalam atmosfir baru kecaman terhadap perwakilan lokal menjadi lebih terdengar. UU desentralisasi 1903 kemudian diperbaharui dengan Wet op de Bestuur hervorming 1922.

Di bawah UU baru di pulau Jawa dibentuk provincie (propinsi), dan regentschap (kabupaten) berikut dewannya. Sebaliknya dewan-dewan yang telah terbentuk di gewest (residentie) dilikuidasi. Kedudukan gemeente dipertahankan dengan perubahan sebutan menjadi stadsgemeente. Selanjutnya di luar Jawa dibentuk sejumlah groepsgemeenstchap dengan tetap mempertahankan gemeente yang secara bertahap dikonversi menjadi staadsgemeente.

Provincie, regenstchap, stadsgemente dan groepsgemeenschap masing-masing dipimpin oleh gouverneur, regent, burgermeester dan voorzitter. Disamping sebagai organ otonom, pejabat itu juga sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Para pejabat tersebut juga berperan sebagai ketua raad (dewan). Staadsgemeente merupakan daerah otonom yang bercorak perkotaan, sedangkan Regentschap dan groepsgemeenschap merupakan daerah otonom yang bercorak perdesaan. Kedudukan gewest (residentie), district dan onderdistrict sebagai daerah administrasi belaka dipertahankan.

Dalam hal ini perlu dipahami bahwa penyebutan propinsi sebagai daerah besar oleh Soepomo dalam penjelasan pasal 18 UUD 45 memperkuat kesimpulan

Gambar

Gambar 5.3.  Otonomi Hirarkis

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi permasalahan yang timbul dari waktu pemberian makanan pada hewan peliharaan, dibuat suatu desain sistem pemberian makanan otomatis pada hewan

Hasil kemampuan siswa dalam menulis puisi secara klasikal sudah meningkat berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh siswa yaitu 68.59 % (siklus I) meningkat menjadi 80.77

Hipotesis dalam penelitian ini adalah, jika seseorang Mahasantri mampu mengikuti serangkaian program dakwah Ma‟had dengan senantiasa menjaga niat yang ikhlas bukan karena

 Konsisten (Kode harus konsisten dengan kode yang telah digunakan sebelumnya).  Harus Distandarisasi ( Kode yang digunakan dalam suatu organisasi dengan bagian yang

FORKI mengusulkan atlet dan pelatih melalui Surat Keputusan Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate-do Indonesia nomor 55/KPTS/PB.FORKI/KU/VIII/10 tanggal 13 Agustus 2010

Busur Listrik Las SMAW  Gambar 2.1.. Peralatan Las Listrik 

Selain itu, masyarakat akan dapat semakin mengenal, mencintai, dan ikut melestarikan salah satu karya seni budaya Madura khususnya tentang keunikan proses pembuatan dari

Pada sistem pendukung keputusan pemilihan tempat servis komputer di kota Bandar Lampung menggunakan 10 tempat yang digunakan sebagai alternatif dapat dilihat pada