Menimbang rekomendasi WHO, bahwa positive rate suatu negara harus ditekan hingga di bawah 5%, maka dipastikan sebuah negara dapat mengontrol pandemi Covid-19. Sementara data positive rate di Indonesia, masih di kisaran 20,4%. Hal ini merefleksikan, bahwa Indonesia masih ngos-ngosan untuk berjibaku dengan magnitude pandemi Covid-19. Parameter WHO ini tentu merujuk tingkat morbiditas dan mortalitas, yakni ketertularan sebagai infeksi Covid-19 dan kematian yang diakibatkan. Hitung-hitungan angka ini, tentu berasal dari laju peningkatan kasus terkonfirmasi yang menukik tajam. Artinya, jika grafik konfirmasi positif meningkat, maka akan berbanding lurus terhadap jumlah kematian. ( https://mediaindonesia.com/
opini/372296/meneropong-Covid-19-di-tahun-2021).
Lebih jauh proses kematian pasien Covid-19, secara medis mengalami gagal napas (respiratory failure). Hal ini terjadi karena rongga atau ruang paru-paru telah dikuasai oleh Covid-19 yang bermultiplikasi, bahkan bermutasi dengan cepat. Kondisi demikian membuat pasien terinfeksi gagal napas. Dorongan dan sirkulasi oksigen terhambat alias tidak normal, sehingga pasien merasa sesak. Tetapi, jika imunitas pasien cukup baik, hal ini bisa bertahan selama dua minggu, kemungkinan masa-masa kritis dapat saja dilewati, (https://www.kompas.tv/article/76791
123 /dewan-pakar-idi-ungkap-faktor-yang-buat-pasien-Covid-19-gagal-nafas). Hal lain, yang kerap terjadi sehingga terlambat ditangani dari kasus-kasus Covid-19 adalah pasien dengan status happy hypoxia, dimana yang bersangkutan tidak menyadari bahwa kadar saturasinya sudah jebol. Jika ini terjadi, level akselerasi konsolidasi di jaringan paru-paru akan kian berat. Jika ini terjadi maka alat bantu berupa ventilator, mutlak diperlukan.
(https://tekno.tempo.co/read/1379007/happy-hypoxia-gejala-gagal-napas-pada-pasien-Covid-19-yang-menipu/full&view=ok).
Deskripsi penggunaan ventilator juga memiliki mekanismenya tersendiri. Secara umum, ventilator digunakan jika suply oksigen semakin menipis, sehingga konsolidasi dan sirkulasi di paru-paru semakin berat. Maka penggunaan ventilator bisa digunakan, yang diyakini secara mekanis, dapat membantu sistem kerja dan regulasi pernafasan. Bahkan pemakaian ventilator ini, bisa bertahan hingga beberapa minggu, sampai terjadi pemulihan yang signifikan.
Sumber: https://www.thelancet.com/journals/lanres/article/PIIS2213-2600(20)30165-X/fulltext, akses 27 Juni 2021
Kondisi lain yang perlu kita pertimbangkan dalam proses kematian pasien Covid-19 adalah penanganan yang unik, yakni
124
harus dirawat dalam ruang-ruang isoloasi. Kondisi demikian terpaksa diterima oleh pasien dan keluarganya, walaupun pada awalnya, semua pasien nyaris memberontak atau menolaknya. Di ruang perawatan isolasi, dokter dan perawat, tidak setiap saat bisa datang atau visitasi. Proses dan mekanisme sudah diatur sedemikian rupa dan sangat ketat. Hal ini diberlakukan, karena kontak dekat dengan pasien Covid-19 sangat rentan dan beresiko tertular. Itu sebabnya, banyak tenaga medis yang tertular Covid-19 bahan akhirnya meninggal karena menjalankan profesi medisnya.
Konon, pihak keluarga juga enggan diberikan ijin untuk melakukan pendampingan terhadap pasien yang tentu adalah keluarganya sendiri. Kondisi ini tentu turut membuat perasaan terisolir yang luar biasa.
Kajian ilmu modern menyadari secara teoritik bahwa manusia tersebut adalah makhluk sosial. Artinya, bahwa manusia tersebut secara inheren terikat dengan yang lain. Di dalam dirinya secara internal ada ruang-ruang kesadaran tentang eksistensi yang lain. Mengakui dan mengenali ―yang lain‖ (otherness) adalah indikasi yang mengafirmasi bahwa relasinya dengan yang lain sebagai sesama diakomodasi. Umumnya ini turut dibentuk atau dikontruksi oleh keluarga, komunitas, profesi, wilayah, budaya, suku, agama dll. Relasi yang dekat bahkan yang sangat intim kerap terbangun di sana. Tetapi apa yang terjadi dalam kasus Covid-19, semua ini dilimitasi bahkan terkesan dijauhkan.
Itu sebabnya, jika kondisi pasien semakin kritis, maka pasien sering sekali berada dalam kondisi kesulitan napas, dan ini semua dilalui secara terisolir. Tidak ada support atau dukungan
125 langsung. Jika dikatakan ada, tetapi toh mereka tidak bisa hadir, demi mengafirmasi perjumpaan dan perwujudan relasi cinta kasih yang solid. Semua itu sulit dilakukan, maka akhirnya pasien-pasien Covid-19, sering meregang nyawa dalam sepi dan sesak.
Sebuah kondisi yang amat sulit dibayangkan. Ironisnya, tidak berhenti dalam mati yang sunyi tanpa kehadiran orang-orang yang ia cintai di sisinya, proses pemakamannya juga larut dalam sunyi yang mencekam, yang kerap dipisahkan dari makam-makam pada umumnya.
Reafirmasi Konsep Kematian Kristen
―Tiada seorangpun berkuasa menahan angin dan tiada seorangpun berkuasa atas hari kematian. Tak ada istirahat dalam peperangan, dan kefasikan tidak melepaskan orang yang melakukannya” Pkh.8:8.
Akhirnya kita tiba di penghujung riset ini, yakni memberikan sebuah reafirmasi konsep kematian Kristen terhadap fenomena lonjakan kematian karena kasus Covid-19. Dan adapun tujuannya supaya setiap jemaat kristen dapat memiliki pemahaman biblikal dan teologis yang jernih terkait misteri di balik peristiwa kematian. Selain itu, diharapkan terbangun sebuah harapan bagi setiap keluarga yang berduka di sekitar perkabungan, apalagi merujuk konteks pandemi Covid-19, dimana ketika tulisan ini dibuat, jumlah kasus terus meningkat tajam.
Bahkan data hingga 21 Juni 2021, jumlah kasus Covid-19 sejak Maret 2020, Indonesia telah menembus data faktual hingga 2.00.4.445 kasus positif Covid-19, hal ini karena per 21 Juni 2021, terjadi lonjakan kasus luar biasa hingga mencapai 14.536 kasus
126
positif. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210621154 332-20-657333/positif-Covid-19-tembus-14-ribu-total-kasus-2-juta-orang, diakses 21 Juni 2021).
Lebih jauh dalam kaitan dengan konteks pandemi Covid-19, dimana fenomena kematian semakin tak berjarak dengan manusia. Berita duka bukan lagi semata sebagai peristiwa dari orang-orang yang tidak kita kenal, peristiwa tersebut sangat dekat, bahkan mungkin saja sudah terjadi dengan orang-orang yang kita cintai. Salomo pernah menegaskan, ―Tiada seorangpun berkuasa menahan angin dan tiada seorangpun berkuasa atas hari kematian. Tak ada istirahat dalam peperangan, dan kefasikan tidak melepaskan orang yang melakukannya” (Pkh.8:8). Pesan ini menyatakan bahwa kematian tersebut tidak bisa disangkal dan dihindari oleh manusia. Meskipun, usaha-usaha penundaan ataupun pencegahan terus dan intensif dilakukan, tetapi, yang jelas dan pasti, kematian pasti datang, entah datang dengan menyergap atau dengan mengendap-endap.
Pertimbangan Dasar
Konsep antropologis dari sains modern bahkan teologi Kristen tetap mengandung keunikan, kekayaan bahkan aspek-aspek misteri yang tidak sepenuhnya bisa kita mengerti. Demikian juga soal ―kematian‖ tetap mengandung sisi misterinya yang khas.
Kematian manusia tentu tidak mudah diobjektifikasi, entah itu melalui sains modern maupun melalui lensa tafsir agama-agama.
Hal ini menjadi khas sekaligus misteri, karena memang kita mengakui bahwa kematian manusia secara mutlak berbeda
127 dengan kematian hewan. Manusia sepenuhnya person, yang didalam dirinya melekat kesatuan psikosomatis yang bertubuh, berjiwa atau ber-roh. Natur konstitusional tersebut mencoraki manusia. Problem tafsir kematian manusia kerap tidak mudah, misalnya ketika merujuk pasien-pasien vegetatif di rumah sakit.
Seorang dokter bisa saja berkata, bahwa pasien-pasien vegetatif sudah mati, meskipun ada kasus-kasus medis, dimana pasien vegetatif bisa bertahan selama belasan hingga dua atau 3 dekade, terkoneksi dan bertahan hidup oleh sokongan mesin-mesin teknologi kedokteran. Konon dikabarkan, ada juga yang akhirnya pulih atau sembuh. (Lih. Healy, J., 2010, 118-122; band.
https://www.bbc.com/news/health-29643038, diakses 23 Jun 2021).
Riset ini memeluk dan mengintegrasikan pendekatan sains modern, khususnya dalam mengafirmasi pengertian-pengertian yang diframe oleh sistem-sistem hermeneutis terkait makna teks.
Bahwa, secara fundamental ada dua hal yang diakomodasi, yakni untuk mengudar konsep kematian. Pertama, basis ―wahyu‖ dalam hal ini reafirmasi makna-makna yang terdapat dalam Alkitab yang diinspirasikan Roh Kudus, dalam poin ini sangat sentral analogy of faith. Kedua, prinsip-prinsip sains modern, yang juga mengafirmasi kebenaran sebagai keutamaan, yang lebih jauh diaplikasikan dalam sistem-sistem teologi. Meskipun demikian, harus dibangun limitasi, bahwa ada keterbatasan sains modern dalam menjelaskan hal-hal yang imateril, spritual dan transendental. Tetapi dengan mempertimbangkan manusia sebagai makhluk rasional, maka kedua model pendekatan tersebut bisa saling berkelindan dalam
128
menerangi makna bagi pembaca Alkitab. Prinsip-prinsip holoskopisitas (keutuhan Alkitab), perspicuity (kejelasan Alkitab) termasuk perpetuity (afirmasi Alkitab yang cukup untuk memberikan pengetahuan dan hikmat untuk mengerti Allah dan keselamatan manusia berdosa. Prinsip-prinsip ini perlu dirujuk dalam membangun tafsir kematian, sehingga afirmasi ―Sacra Scripture Sui Interprets scripture‖, bisa dilihat secara utuh dengan arah orientasi yang jelas dan terpusat kepada Alkitab, Kristus dan keselamatan. Prinsip-prinsip ini penting, karena menegaskan konsistensi, koherensi dan non kontradiksi, pada keseluruhan sekaligus kepada bagian-bagiannya. (Sproul, 1997, 55-57; Raschke, 2004, 115-43)
1. Kematian Sebagai Penghukuman dan Pembatasan Allah atas