• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reafirmasi Konsep Kematian Kristen di Tengah Lonjakan Kematian Karena Kasus Covid-19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Reafirmasi Konsep Kematian Kristen di Tengah Lonjakan Kematian Karena Kasus Covid-19"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

Y

ADA – Volume 1, Nomor 1, Desember 2021

Reafirmasi Konsep Kematian Kristen di Tengah Lonjakan Kematian

Karena Kasus Covid-19

Ferdinandus Butarbutar

Dosen Teologi dan Pendidikan Agama-agama Dunia di UPH Karawaci

Email: [email protected] Diterima : 30 Juni 2021; Review: 02 Juli 2021

Abstrak

Lonjakan kematian karena kasus Covid-19 merupakan narasi pilu yang menari dengan pongah. Angka statistik kematian terus meningkat tajam. Realitas ini tentu mengakibatkan pukulan luar biasa bagi keluarga-keluarga yang berduka dan kehilangan orang yang mereka cintai. Multitafsir terhadap kematian tentu bisa menjadi bias bahkan meluas, yang dapat mengakibatkan dampak- dampak yang multidimensi bagi kehidupan banyak orang, di sekitar perkabungan. Misteri kondisi pasca kematian memang tidak mudah untuk ditelisik.

Jika demikian maka muncul pertanyaan penelitian, apakah ada konsep teologi Kristen yang relevan dan kompatibel untuk merespon fenomena kematian yang signifikan tersebut?

Selanjutnya, apakah konsep teologi Kristen tentang kematian tersebut, dapat menolong dan menghibur, bahkan menguatkan pendirian iman dan semangat hidup umat Kristiani di tengah pukulan dari pandemi Covid-19 tersebut?

Untuk menemukan jawaban atas problematika tersebut, riset ini akan menggunakan metode deskriptik analitik dengan pendekatan kualitatif. Riset kepustakaan yang berbasis kepada pijakan-pijakan biblikal dan teologi reformed akan menjadi orientasi rujukan, demi menemukan sebuah reafirmasi pendirian teologi, ditengah tingginya lonjakan angka kematian tersebut.

Akhirnya, adapun hasil yang diharapkan dari riset ini adalah bahwa konsep kematian berdasarkan iman Kristen, dapat menolong, menghibur, bahkan menguatkan keluarga-keluarga

(2)

98

Kristen yang berduka dan kehilangan, sehingga mereka tetap optimis dalam menjalani hidup dan tanggungjawabnya kepada Allah dan sesama, karena telah menemukan keagungan kebenaran dari firman Tuhan yang tertulis tersebut.

Kata Kunci: Kematian; Pandemi Covid-19; Masa Antara; Sheol/hades;

Kekekalan Jiwa; Natur Konstitusional

Latar Belakang Masalah

Lonjakan kematian sebagai akibat sebaran pandemi Covid-19 di seluruh dunia yakni di 223 negara telah menembus angka kematian massif yakni 3.744.408 jiwa per 7 Juni 2021 Sementara di Indonesia, data dari Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, melaporkan bahwa hingga 9 Juni 2021, total kematian berada diangka 52.162 jiwa. Data-data tersebut tentu sangat memprihatinkan, menakutkan bahkan nyaris membunuh optimisme banyak orang.

Di sisi lain, kita sadar betul bahwa fakta kematian tentu akan menghampiri setiap manusia. Realitas kematian bukanlah sesuatu yang dapat dihindari oleh siapapun. Itu sebabnya, setiap individu, keluarga, komunitas, budaya bahkan suku bangsa menerima realitas kematian tersebut, yang divalidasi dengan seremoni-seremoni tertentu.

Secara medis, kematian dilihat sebagai peristiwa biologis dan natural, dimana berdasarkan diagnosa medis ada kerusakan irreversibel dari fungsi organ tubuh utama seperti jantung dan paru, atau henti fungsi irreversibel otak, secara khusus batang otak.

Leming dan Dickinson menegaskan sebagai, kerusakan irreversible

(3)

99 yang menyangkut sirkulasi darah dan respiratori pernafasan yang terganggu dan akhirnya terhenti, bahkan termasuk di dalamnya kematian batang otak. (2002, 43). Kerusakan irreversible mutlak pada jantung, paru dan sistem pernafasan, otak dan batang otak yang tidak dapat dipulihkan tersebut, akan bermuara pada status kematian yang tidak bisa dihindarkan. Seorang dokter penanggungjawab dengan segera akan membuat surat keterangan kematian dengan menyertakan narasi dan deskripsi penyebab kematian pasien tersebut.

Sementara pada pasien Covid-19, proses kematian tersebut secara umum terjadi pada gangguan pernafasan. Hal ini dimungkinkan karena virus SARS-COV-2 ini memang menyasar dan menyerang paru-paru. SARS-COV-2 ini berukuran sangat kecil yakni 125 nm atau sepermiliar meter, jika dilihat dengan teknik cryo-electron microscopy. (Lihat https://www.ncbi.nlm.

nih.gov/pmc/articles/PMC4369385/, diakses 12 Juni 2021). Itu sebabnya dengan ukuran yang super kecil ini, tentu sangat potensial terserap melalui oksigen ke paru-paru, melalui proses regulasi sistem pernafasan. Jika mekanisme pertahanan dan filterisasi di paru-paru sudah jebol karena proses multiplikasi virus yang sangat cepat, maka paru-paru akan penuh dengan lendir seperti gel, sehingga pasien mengalami ganggguan pernafasan akut. Umumnya akan mengalami demam tinggi, jantung tidak stabil, dan akan semakin parah, jika ada penyakit komorbid pada pasien tersebut.

Berdasarkan proses transmisi Covid-19 yang dapat terjadi melalui kontak dekat, maka rentan mudah terpapar. Itu sebabnya

(4)

100

dianjurkan untuk memakai masker, mencuci tangan dengan rutin dan menjaga jarak sosial, adalah pertimbangan-pertimbangan rasional dan logis. Guyub bersama menjadi peluang besar bagi peningkatan lonjakan kasus Covid-19.

Selain itu, merujuk proses kematian seorang pasien yang terpapar Covid-19, perlu juga menjadi pertimbangan awal dari riset ini. Pasien Covid-19, secara medis akan diisolasi. Secara eksistensial jauh dari keluarga dan komunitas sosialnya. Penyakit karena Covid-19 merupakan jenis yang menakutkan, karena nesesitas isolasi tersebut. Biasanya, seseorang yang sakit dan opname, sangat membutuhkan orang-orang terdekatnya untuk memberikan support, perhatian dan doa-doa sebagai perwujudan cinta kasih. Kehadiran dan perjumpaan antara pasien dengan orang-orang yang ia cintai di sekitarnya sangat menghibur, memotivasi dan menguatkan. Tetapi sangat berbeda dengan pasien Covid-19, berjuang dalam kesendiriannya di ruang isolasi.

Pasien tersebut terasing dari keluarga dan komunitasnya. Kritis, sekarat dalam sepi, sembari bertarung dengan rasa sesak pernapasan, yang digerogoti oleh Covid-19.

Akhirnya, dengan mempertimbangkan keniscayaan kematian kepada manusia, yang tentu secara prinsipil bisa datang kepada manusia dengan berbagai cara, salah satunya melalui virus Covid-19, apakah ada konsep dari perspektif teologi Kristen yang relevan terhadap lonjakan fenomena kematian tersebut?

Selanjutnya, apakah konsep-konsep biblikal dan teologis dapat membangkitkan harapan dan motivasi demi perjuangan hidup yang optimis di tengah gelombang pandemi Covid-19 yang

(5)

101 menglobal? Itulah sebabnya, untuk menjawab problematika kematian sebagai latar konteks, riset ini lebih jauh dirangkum dalam judul, ―reafirmasi konsep kematian Kristen di tengah lonjakan kematian karena kasus Covid-19‖.

Konsep Kematian Berdasarkan Perspektif Iman Kristen

Pembahasan dalam bagian ini mencakup apakah konsep kematian tersebut dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru? Selain itu akan melihat basis-basis doktrinal berdasarkan perspektif teologi reformed demi mengafirmasi pendirian Kristen di tengah konteks kematian massif tersebut sebagai konsekuensi logis dari sebaran virus Covid-19. Konsep ini nantinya akan menjadi pijakan dasar dalam mengungkap dan mengudar argumentasi-argumentasi teologis seputar eksistensi manusia pasca kematian.

Sejujurnya, kematian mengandung misterinya sendiri, sama seperti kelahiran seorang manusia. Fase sebelum lahir terbatas untuk kita mengerti dan maknai, demikian juga fase setelah kematian manusia, ada misteri kematian yang menempel di dalamnya, dan tidak mudah untuk diudar, apalagi dijelaskan secara praktis. Basis pembahasan ini, merujuk kepada Alkitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus kepada para penulisnya.

Artinya, dengan terang Alkitab, kita memaknai kematian manusia.

Selain itu, basis-basis doktrinal, perlu menjadi sebuah ―framework‖

teologis demi sebuah ―lensa tafsir worldview‖ Kristen dalam memahami realitas kematian manusia dan realitas pasca kematian tersebut.

(6)

102

1. Perspektif Biblikal dan Teologis tentang Kematian

Prinsip dasar memahami perspektif Alkitab tentang kematian, adalah semata membangun pendirian berdasarkan deklarasi Alkitab. Alkitab sendiri, tidak pernah secara eksplisit mengungkapkan kematian sebagai proses natural, kecuali ketika Alkitab mengungkap sisi-sisi regularitas alam semesta, termasuk musim-musim, kelahiran dan kematian. Memang ada teolog tertentu yang mengafirmasi bahwa kematian tersebut sebagai proses alami, bahkan sebagai ―terminus ad quem‖, misalnya oleh Pelagius, Socinian dan Karl Barth (Hoekema, 1988, 106-07).

Mempertimbangkan rujukan dari Kej.2:16-17, ―Lalu Tuhan Allah memberikan perintah ini kepada manusia, semua pohon dalam taman ini, boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, jangan kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati‖.

Lebih jauh Hoekema mengumandangkan, bahwa tenses grammatikal dari ‗pasti engkau akan mati‘ adalah ‗absolute infinite‟

(1988, 107). Kerangkanya menjadi, sepasti engkau memakanya, sepasti itulah engkau akan mati. Sebebas engkau memakannya, yang dengan bebas dan sukarela untuk memakan buah dari pohon pengetahuan tersebut, sebebas itulah engkau akan mati. Kematian setelah memakan buah pohon pengetahuan tersebut, seolah menghentikan kebebasannya, meskipun secara fisik atau jasmani, manusia tersebut tetap hidup dan berkesadaran tentang eksistensinya setelah memakan buah dari pohon pengetahuan tersebut. Tetapi Alkitab berkata, engkau sudah mati! Dasar biblikal

(7)

103 inilah yang menjadi afirmasi konsep kematian Kristen secara signifikan.

Tanpa bermaksud mengabaikan jenis argumentasi teleologis, yang berusaha mengudar dan menerangkan segala sesuatu dalam framework sebab-musabab. Penting menyadari sebuah limitasi, bahwa Alkitab tidak mengungkapnya hingga kesana, untuk mencari syarat-syarat sebab tertentu, yang pada akhirnya menghasilkan sebuah pencerahan tentang mengapa kematian tersebut nyata atau hadir? Pesan Alkitab sangat lugas, bahwa pelanggaran terhadap perintah sebagai larangan akan mengkibatkan kematian. Penolakan akan Allah sebagai Pencipta hidup (author of life), maka dengan serta merta, seorang manusia secara otomatis berada di jalur kematian. Paralelitas konsep ini dapat dilihat maknanya misalnya dalam 1 Raj. 2:37 dan Kel.10:28, yang menegaskan kepastian kematian sebagai konsekuensinya.

Menimbang etimologi kematian dari kata ―muth‖ (Ibrani) atau ―thanatos‖ (Yunani), dimana dalam Kej.3:19, mengaitkannya secara langsung dengan kematian jasmani/fisik. Hal itu berarti bahwa korelasi dosa dan konsekuensinya sebagai penghukuman atas pelanggaran Adam/Hawa terhadap perjanjian tersebut semakin jelas. Lebih jauh Hoekema berkomentar:

―Ketika misalnya Kej.3:19 disebutkan tentang kematian sebagai hukuman atas dosa manusia, maka yang dimaksud di sini adalah kematian secara fisik. Apapun pengertian lain yang terkandung dalam Kej.2:17, ayat ini dengan gamblang mengajarkan bahwa kematian fisik bagi manusia adalah akibat dosa. Meskipun kita tidak tahu rupa tubuh Adam sebelum jatuh dalam dosa, ayat ini

(8)

104

mencegah kita untuk beranggapan bahwa bagaimanapun juga ia akan mati, entah ia berdosa atau tidak.‖ (1988, 109)

Kembali merujuk bahwa Allah adalah ―author of life‖, maka dengan tindakan manusia yang secara sengaja dan sukarela melanggar perjanjiannya dengan Allah, kematian menjadi inheren dengan manusia (lih. Kej.2:17; 3:15; Hos.6:17; 8:1). Lebih jauh dimaksudkan bahwa bukan semata kepada kematian yang bercorak jasmani/fisik, tetapi juga kematian rohani. Kematian rohani menjadi mungkin dimengerti karena Allah tersebut adalah Roh, maka dosa Adam yang bersifat rohani juga tentu berdampak kepada kematian rohani. Hal ini juga sejalan dengan natur konstitusional manusia yang memiliki badan juga roh sekaligus, atau terkadang dimengerti secara gamblang ―roh yang membadan‖. Itulah sebabnya, jika merujuk dosa sebagai pelanggaran terhadap kehendak Allah yang didesain dalam framework perjanjian, maka dengan serta merta, kematian fisik pasti akan melibatkan kematian rohani. (Hoekema, 1988, 155-60, Erickson, 1992, 548). Hal senada soal ―the death of the body and spirit‖ juga dikatakan oleh Bavinck berikut ini:

―In the Old Testament, there is no room for a view that permits only the body to die and comforts itself with the immortality of the soul. The whole person dies when at death the spirit, or

“breath” (Ps. 146:4; Eccles. 12:7), or the soul (Gen. 35:18; 2 Sam. 1:9; 1 Kings 17:21; Jon. 4:3) departs from him. Not only his body but also his soul is in a state of death and belongs to the underworld; this is the reason there is mention of the death of the soul (Gen. 37:21; Num. 23:10; Deut. 22:20–21; Judg. 16:30; Job 36:14; Ps. 78:50) and of defilement by contact with the soul of a dead person (i.e., a corpse, Lev. 19:28; 21:11; 22:4; Num. 5:2;

6:6–7, 9–11; Deut. 14:1; Hag. 2:13). Just as the whole person

(9)

105 was destined for life through obedience, so the whole person also by his transgression succumbs body-and-soul to death (Gen.

2:17).‖ (2008, 822)

1.1 Sheol dan Hades

Rentang hidup manusia yang dimulai dari kelahiran akan berakhir kepada keadaan dapat mati. Bahwa setelah mati, manusia akan bereksistensi di sebuah tempat atau wilayah kematian yang disebut sebagai ―sheol dan hades‖. Istilah ―sheol dan hades‖, memang tidak selalu dimaksudkan dalam pengertian yang sama, tetapi keduanya merujuk kepada deskripsi keadaan manusia setelah kematiannya. Sheol sendiri diterjemahkan bervariasi, yakni sebagai kubur; liang; neraka; jurang maut; penjara; dunia orang mati; rumah yang kekal (Kej.37:35; Bil.16:32-33; Ay.30:23;

Maz.89:48), kondisi di sheol sama sekali dikontraskan dengan kondisi kehidupan, negri segala lupa, tanpa kebajikan, tanpa pengetahuan, tanpa kebijaksanaan dan yang ada hanyalah kerajaan kegelapan dan bayang-bayang maut. (Lih. Hoekema, 1988, 128-32; band. Bavinck, 2016, 517; Berkhof, 1998, 48, Ladd, 1999, 256-58).

Tetapi perlu diantisipasi dan ditegaskan bahwa keadaan kematian di sheol/hades tersebut bukanlah keberadaan yang musnah/hancur (not an annihilation of one‟s existence), tetapi lebih sebagai pengurangan bahkan dirampasnya kehidupan dan kenikmatan tersebut. Demikianlah keadaan manusia pasca kematian di sheol dan hades, dimaknai dengan deskripsi antitesis/kontras antara hidup dan mati, yang meskipun pengertian hidup yang kita pahami juga, bukanlah pengertian

(10)

106

ideal atau sempurna, karena realitas kejatuhan manusia ke dalam dosa tersebut. Lebih jauh melihat afirmasi Bavinck:

“This entire representation of Sheol is formed from the perspective of this earthly existence and is valid only by contrast with the riches of life enjoyed by people on earth. In that framework death indeed means a breaking off of all ties, being dead to the rich life lived on earth, being at rest, being asleep, being silent, nonbeing in relation to things on this side of the grave. The state of Sheol, though not an annihilation of one‟s existence, is still a dreadful diminution of life, a deprivation of everything in this life that makes for its enjoyment.” (2008, 822).

Demikianlah secara biblikal, kehidupan sejati tersebut hanya dipahami sejauh manusia tersebut melayani dan bersekutu dengan YHWH, yang telah berkenan mengikat perjanjian dengan manusia ciptaan-Nya, bahwa hidup tersebut menempel dengan dengan kebaikan, sedang kematian terikat dengan kejahatan, Ul.30:15. (Bavinck, 2008, 824). Allah dalam kedaulatan-Nya telah mengikat kehidupan dan maknanya kepada pemeliharaan hukum- hukum-Nya dan menetapkan kematian terhadap pelanggaran kepada hukum-hukum-Nya (Kej. 2:17; Im. 18:5; Ul. 30:20, 32:47).

Hal-hal berikut yang mangafirmasi korelasi paralel dari sheol dan hades tersebut dapat dilihat dalam Maz.16:10, ―Sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan orang kudus-Mu melihat kebinasaan‖. Dan dalam Kis.2:30-31. Rasul Petrus menegaskan tentang Mesias sebagai keturunan Daud, sesuai nubuatan Mesianik Perjanjian Lama,

―bahwa Dia tidak ditinggalkan di dalam dunia orang mati (hades), dan bahwa dagingnya tidak mengalami kebinasaan‖. Lebih jauh bagi Hoekema, bahwa sheol dan hades bukanlah tempat dari orang

(11)

107 percaya untuk selama-lamanya, tetapi ada terkandung pengharapan akan kebangkitan dari dunia orang mati. (1988, 131).

Dan merujuk kepada versi pemazmur yang mengatakan, meskipun Allah memiliki takhta-Nya di surga, tetapi Allah juga berkuasa untuk hadir oleh Roh-Nya di sheol. (Mzm. 139:7-8).

Tetapi Hoekema juga jujur dan berhati-hati tentang konsep sheol dan hades, bahwa tidak semata dilihat dalam pengertian yang identik. Secara prinsipil perlu dipahami bahwa manusia tidaklah lenyap setelah kematian, melainkan berada dalam keadaan yang penuh berkat di Firdaus atau hades. Namun ada juga pengertian yang berbeda, misalnya dalam Perjanjian Lama, kata ―hades‖ oleh pengaruh tulisan dari rabinik pada masa antar perjanjian, ternyata digunakan juga untuk menunjukan makna sebagai tempat penghukuman dari jiwa-jiwa orang fasik.

(1988, 132-33).

Dalam perspektif kitab Wahyu 1:18, 6:8 dan 20:13 konsep hades tetap dipahami sebagai tempat orang mati. Lebih jauh digambarkan sebagai penjara dengan pintunya yang kokoh;

dimana maut digambarkan menunggangi kuda hijau kuning di kerajaan maut; laut yang menyerahkan orang orang-orang mati, maut dan kerajaan maut.

Akhirnya menyajikan rangkuman deskriptik Alkitab tentang sheol dan hades, paling tidak menyebutkannya sebagai keadaan keterpisahan antara jiwa/roh dari tubuh, yang muaranya menunjukkan kerajaan maut; sheol dan hades juga menunjukkan kuburan dan neraka, karena dilukiskannya bahaya-bahaya yang mengancam orang-orang durhaka; dan terakhir menunjukkan

(12)

108

kematian manusia yang disebutkan sebagai turun ke bawah, yang menunjukkan pengertian kehancuran, yang jika merujuk pengajaran Tuhan Yesus, yang menyebutnya seperti biji gandum yang ditaburkan dan ditanamkan, maka harus mati, supaya menumbuhkan tunas yang baru, yang keadaannya jauh lebih mulia dari sebelumnya. (Berkhof, 1998, 49-50).

1.2. Masa Antara

Masa antara (intermediate state) tentu masih menyinggung

―sheol-hades‖, karena masa ini lebih dimaksudkan untuk mendeskripsikan kondisi antara ―sesudah kematian dengan sebelum kebangkitan‖. Sejak periode Agustinus hingga akhir-akhir ini, perspektif tentang kondisi antara kematian dan kebangkitan disebutkan sebagai 1) Masa istirahat yang sembari menanti penggenapan keselamatan, dan sekaligus bagi orang durhaka sebagai masa penderitaan, juga sembari menunggu penggenapan hukumannya (final judgment); 2) Purgatory (api penyucian); 3) Masa tidur (the sleeping stage); 4) Dilenyapkan/dihancurkan (the annihilation), dipandang tidak berkesadaran, yang setara dengan ketiadaan atau non-kontinuitas; 5) Masa pengujian kedua (the second chance), yang mengafirmasi bahwa masih diberikan penawaran untuk menerima Yesus sebagai Tuhan, karena kasus-kasus tertentu seperti kematian bayi; 6) Masa sadar, yang disebutkan sebagai psycopannychia oleh J. Calvin. Dideskripsikan sebagai masa antara, berkesadaran, bersukacita dan berpengharapan, meskipun demikian kondisi tersebut harus dijelaskan sebagai kondisi yang

(13)

109 tidak sempurna. (Hoekema, 1988, 123-126; Berkhof, 1998, 51-64, Guthrie, 1993, 164-88).

1.2.1 Eksistensi Jiwa-Roh Setelah Kematian

Dengan merujuk konsep dasar dari natur konstitusional manusia sebagai satu kesatuan yang personal, bahwa manusia tersebut ditegaskan sebagai manusia yang memiliki tubuh, jiwa dan roh. Terkadang pembagian tersebut, dibedakan sebagai trikotomi dan dikotomi. Trikotomi, cenderung memisahkan eksitensi jiwa dan roh, sementara dikotomi melukiskan jiwa dan roh manusia sebagai satu kesatuan substansial yang secara bergantian diberikan penyajiannya dalam Alkitab (Hoekema, 2012, 24-30 ).

Lebih jauh eksistensi jiwa setelah kematian di gambarkan di Mat.10:28; Wah.6:9; dan 20:4. Tuhan Yesus menegaskan kepada para murid-Nya untuk tidak takut kepada mansuia yang hanya berkuasa membunuh tubuh, tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa. Sementara dalam Kitab Wahyu, Yohanes memaparkan tentang eksistensi dari jiwa-jiwa yang telah dibunuh sebagi martir karena firman dan kesaksian mereka. Jiwa-jiwa tersebut berseru dengan suara nyaring, “berapa lamakah lagi ya, Penguasa yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami?‖. Jadi gambalang digambarkan, bahwa jiwa-jiwa tersebut berseru-seru dengan nyaring, bahkan ada ingatan terhadap penganiayaan dan kesukaran yang mereka alami ketika mereka masih hidup di bumi. Dengan pertimbangan inilah kita

(14)

110

menegaskan bahwa ada ingatan, ada kontinuitas dan ada harapan bagi jiwa-jiwa setelah kematiannya.

Sementara eksistensi roh juga disebutkan secara gamblang di Luk.23:46; Kis.7:59; dan Ibr.12:23. Bahwa dalam narasi Alkitab, saat-saat kematian mendekat, Tuhan Yesus dan Stefanus menyerahkan roh/nyawanya kepada Bapa. Juga dalam Ibrani dijelaskan tentang nama-nama mereka yang telah terdaftar di surga dengan roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna.

Lebih jauh sebagai reafirmasi, bahwa saat kematian, tubuh daging manusia akan rusak karena proses natural, tetapi roh atau jiwanya akan terus bereksistensi dalam fase masa antara, yakni fase antara kematian dan penantian kebangkitan tubuh. Orang- orang fasik/durhaka akan masuk kepada masa kesukaran dan kesengsaraaan, karena hidup tanpa kehadiran Allah, sementara orang-orang percaya, akan hidup dalam sukacita persekutuan di pangkuan Abraham. Dalam hal inilah kesatuan psikosomatis tersebut dapat dijelaskan sebagai kesatuan yang berkontinuitas tentu dalam status menantikan penyempurnaan pengharapan pada periode kedatangan Kristus yang kedua. Di periode masa antara, orang-orang percaya, telah menikmati keadaan yang terberkati (blessed rest), sambil menanti kemuliaan yang dijanjikan Allah Tritunggal tersebut sebagai the greatest hope.

1.3. Immortalitas Jiwa

Konsep antropologi Kristen perlu dirujuk demi memberikan orientasi teologi yang tepat. Antropologi Kristen

(15)

111 sepenuhnya melihat dan mengakui bahwa semua manusia tanpa terkecuali dicipta dalam gambar dan rupa Allah. Status sebagai gambar dan rupa Allah tersebut, menempel alias menyatu dengan jati dirinya sebagai manusia. Sederhananya bahwa, basis penciptaan mengafirmasi manusia tersebut membawa gambar dan rupa Allah dalam dirinya.

Basis penciptaan yang menegaskannya sebagai gambar dan rupa Allah, tetap harus dilihat sebagai ―ciptaan‖. Distingsi Pencipta dan ciptaan harus tuntas. Guthrie, dengan merujuk 1 Tim.6:16, bahwa dengan istilah athanasia, - hanya Allah yang kekal, yang tidak takluk kepada maut. (1993, 181). Manusia dicipta dengan keutuhan tubuh-jiwa/roh, yang diafirmasi sebagai kesatuan psikosomatik. Demikian juga dalam narasi penciptaan, dipahami bahwa tubuh berasal dari tanah sedangkan jiwa/roh berasal dari Allah (Pkh.12:7; Yes.42:5). Meskipun demikian, Alkitab tidak pernah memakai istilah ―kekekalan jiwa‖ dalam penciptaan manusia.

Jadi manakala kita memakai istilah ―immortalitas jiwa‖, bukanlah merujuk kepada keterciptaannya, tetapi kepada karya Kristus yang secara sempurna menebus manusia dari kutuk dosa.

Karya Kristus tersebut, mentransformasi manusia berdosa, ke dalam kesatuan persekutuan untuk menikmati kekekalan di dalam Dia, lebih jauh konsep ―union with Christ” sangat signifikan.

(16)

112

Problematika Lonjakan Kematian Karena Kasus Pandemi Covid- 19

Pada bab ini akan dideskripsikan kasus-kasus kematian yang mengalami lonjakan signifikan dalam masa pandemi Covid- 19 di Indonesia. Realitas konteks tersebut, perlu dibaca secara jujur dan direspon berdasarkan perspektif agama dalam hal ini perspektif iman Kristen. Lebih jauh, deskripsi historis, peta sebaran dan kondisi kematian pasien Covid-19.

1. Usut Jejak Pandemi Covid-19

Wuhan Municipal Health Commission, China pada 31 Desember 2019, melaporkan bahwa ada klaster baru dari kasus pneumonia. Kasuspneumonia yang dimaksud, telah ditemuinya sebuah varian virus yang masuk melalui pernafasan ke dalam paru-paru manusia, yang akhirnya menaklukkan kekuatan imunitas tubuh beberapa warga Wuhan. Dan munculnya virus corona jenis baru ini termasuk dalam Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2) yang lebih jauh disebut sebagai penyakit Coronavirus Disease- 2019 (COVID – 19).

(https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105924). SARS-COV2 disebut sebagai sindrom pernafasan akut dengan tingkat transmisi yang sangat cepat.

Coronavirus dikategorikan ke dalam kelompok virus ordo Nidovirales. Virus RNA dengan genom 26 hingga 32 kb. Ada empat genus dari coronavirus yaitu alpha, beta, gamma dan delta, di mana coronavirus alfa dan beta adalah coronavirus HCoV yang dapat menginfeksi manusia. Dilansir bahwa kelelawar sebagai

(17)

113 reservoir virus corona, yang memiliki riwayat penularan ke manusia dan dapat menyebabkan infeksi pernapasan). Disadari bahwa corak etiologi dan patogenesisnya sangat mudah bermutasi di dalam tubuh manusia. Itu sebabnya per tgl.10 Januari 2020, pihak otoritas Wuhan, Hubei melaporkan kematian pertama, hanya dalam waktu kurang dari dua minggu.

(https://edition.cnn.com/world/live-news/coronavirus- pandemic-vaccine-updates-01-10-21/index.html)

Selanjutnya, pada 11 Maret 2020, Organisasi kesehatan dunia (WHO), melalui Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, selaku Dirjend WHO, dalam konfrensi pers, akhirnya menetapkan Covid- 19, sebagai pandemi global, dimana pada deklarasi WHO tersebut, penyebaran kasus Covid-19, sudah meluas di 110 negara, dengan 118.000 kasus. WHO tentu harus menetapkan ambang batas sebagai kriteria baku atas sebuah terminologi pandemi. WHO mengafirmasi bahwa ―viruses are able to infect people easily and spread from person to person in an efficient and sustained way in multiple regions‖. (https://time.com/5791661/who-coronavirus-pandemic- declaration/). Deklarasi ini sangat signifikan, karena sebe;umnya per 30 Januari 2020, WHO menyebut penyebaran Covid-19 sebagai

―extraordinary event‖, yang memiliki dampak kepada beberapa negara di sekitarnya. Perubahan keputusan ini tentu akan menggeser banyak kebijakan global.

Yadav dalam European Journal of Biological Research, menggambarkan dengan tepat dan detail tentang progres penyebaran kasus Covid-19 tersebut. Bahwa pada Pada 30 Januari 2020, ada 9976 kasus terkonfirmasi positif dari 21 negara dengan

(18)

114

Cina memiliki jumlah kasus paling banyak. Lalu pada 31 Januari 2020, virus tersebut telah menyebar ke banyak negara, hingga ditemui 11.791 orang yang terpapar dengan 213 kematian. Dua minggu kemudian, tepatnya 16 Februari 2020, di China terdapat 70.548 kasus ditambah 683 kasus di negara lain. Selanjutnya pada 9 Maret 2020, Covid-19 sudah tersebar di 104 negara dengan 109.577 kasus konformasi, dimana China memiliki kasus tertinggi hingga 80.904 kasus. Selain dari China, negara lain dengan kasus besar adalah Korea Selatan (7382 kasus), Italia (7375 kasus) dan Iran (6566 kasus). Kemudian pada 30 Maret 2020, jumlah kasus meningkat menjadi 723.328 di 177 negara di seluruh dunia.

Amerika Serikat dengan 143.025 kasus, berada di urutan teratas, yang kemudian disusul Italia (97.689) dan China (82.152).

Kemudian pada 1 April 2020, terdapat 857.957 kasus terkonfirmasi secara global yang menyebar di 180 negara. Dan pada 20 April 2020, jumlah kasus adalah 2.402.798 dimana yang tertinggi adalah AS, disusul oleh Spanyol dan Italia, dengan total sebaran global terdapat di 185 negara. (2020, 106).

Jika merujuk perkembangan saat ini, setelah hampir 1,5 tahun sejak pandemi Covid-19 muncul di Wuhan, bahwa per 27 Juni 2021 terdapat 180.654.652 kasus terkonfirmasi, dengan 3.920.463 kematian. (Lih. https://Covid-19.who.int/2021).

Deskripsi laporan data WHO ini masih menunjukkan problem serius bahkan darurat pandemi Covid-19, dimana terdapat 162.743 dikategorikan sebagai kasus baru.

(19)

115

WHO: Konfirmasi Kasus Baru dan Total Kematian Global, per 27 Juni 2021

2. Sebaran Covid-19 dan Lonjakan Kematian di Indonesia

Grafik lonjakan kenaikan kasus secara umum terus mengalami lonjakan signifikan

Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/1300602-kasus-corona- hari-ini-bertambah

Covid-19 di Indonesia ditengarai pertama kali pada 2 Maret 2020, melalui dua orang Ibu dan putrinya, Yakni Sita Tayasutami (31 thn) dan Ibunya Maria Darmaningsih (61 thn), warga Depok Jawa Barat. Mereka memiliki kontak dekat dengan

(20)

116

seorang wisatawan Jepang yang sedang berkunjung ke Indonesia, pada 14 Februari 2020. Mereka mengadakan pesta dan berdansa bersama, dan pada waktu itu diketahui ada 80 orang pengunjung di restoran tersebut. Kedua ibu ini dipastikan terpapar Covid-19 setelah melakukan ―tracing‖ dan uji lab di RSPI Sulianti Saroso, dan deklarasi Covid-19 pertama ini, juga disampaikan oleh Presiden Jokowi yang didampingi Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto. Selanjutnya terhadap 80 orang yang ikut hadir, dilakukan screening dan diktemui bahwa 20 orang perlu pendalaman, yang akhirnya ditemui tambahan kasus sebanyak 7 orang. (https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/02/0530 0081/kilas-balik-kronologi).

Selanjutnya data per 4 April 2020, bertambah menjadi 2.092 kasus, yang tersebar di 9 provinsi. (Lih.

https://nasional.kompas.com/read/2020/04/04/15592751/updat e). Artinya bahwa dalam sebulan peta sebaran Covid-19 sangat signifikan. Bahkan 6 hari kemudian, yakni pada 10 April 2020, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia sudah menembus angka 3512 kasus, dan tersebar di seluruh Indonesia, yakni di 34 Provinsi.

Lebih jauh hingga menjelang akhir Juni 2020, terjadi lonjakan kasus secara signifikan hingga 21.342 kasus.

Berikut ini beberapa detail sebaran pandemi Covid-19 yang dikonversi ke dalam laporan statistik, demi kemudahan praktis dalam membaca fenomena lonjakan kasus Covid-19.

(21)

117 Sebaran data berdasarkan provinsi

Sumber: Covid-19.go.id / Last update: akses 28 Juni 2021

(22)

118

Berdasarkan sebaran data per 27 Juni 2021, posisi 5 besar dapat kita baca, yang dimulai oleh DKI Jakarta masih merupakan provinsi tertinggi dari penyebaran Covid-19, yang disusul oleh Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Timur.

Sebaran data berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur

Sumber: Covid-19.go.id / Last update: akses 28 Juni 2021

Dari data ini kita lihat bahwa perempuan lebih banyak 3%

terpapar Covid-19 dibandingkan dengan laki-laki, sedangkan pada kategori umur ditemukan data, justru pada kisaran umur 31-45, yang disusul kisaran umur 19-30 dan 46-59, yang justru lebih banyak terpapar Covid-19 secara nasional.

(23)

119 Sebaran data berdasarkan gejala dan kondisi penyerta (komorbid)

Sebaran Covid-19, berdasarkan gejala masih didominasi oleh gejala sakit batuk sebanyak 63,4%, riwayat demam 42,2%, lalu demam 36,6% dan pilek, 36,1%. Sedangkan kondisi penyerta (komorbid), secara signifikan cukup rentan tertular Covid-19, yang masing-masing didominasi hipertensi, diabetes dan jantung.

Mengingat Covid-19 virus RNA, single stranded Ribonucleic acid (ssRNA) yang masuk melalui saluran pernapasan dan mudah bermutasi di dalam tubuh, bahkan berkomplikasi ke berbagai organ, yang akhirnya berujung kepada kematian.

Sumber: Covid-19.go.id / Last update: akses 28 Juni 2021

Lebih jauh membaca data kematian kumulatif dan harian sebagai berikut:

(24)

120

Sumber: Covid-19.go.id / Last update: 28 Juni 2021

(25)

121 Data kematian terus meningkat tajam, meskipun di periode November 2020 hingga Januari 2021, realatif menurun.

Tetapi, dengan masuknya varian delta India, skema ini menjadi berubah. Kematian kumulatif nasional meningkat yang tentu indikator ini terbaca dari skala perubahan kematian di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Bahkan, kematian anak dan remaja, relatif mengalami perubahan yang menguatirkan. Dilansir dari harian Kompas, bahwa 40% anak-anak yang terpapar Covid-19, meninggal dunia. (https://www.kompas.id/baca/ilmu- pengetahuan-teknologi/2021/06/03/40-persen-pasien-Covid-19- anak-meninggal-dunia). Lebih jauh, probelamatika terpaparnya anak-anak dengan Covid-19, merupakan sebuah gunung es. Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Aman Bhakti Pulungan SpA(K) FAAP, menyatakan bahwa grafik kasus Covid- 19 pada anak secara nasional sekitar 12,5%. Hal itu berarti 1 dari 8 kasus yang terkonfirmasi adalah anak-anak.

( https://mediaindonesia.com/opini/414568/gunung-es-Covid- 19-pada-anak).

Data mengejutkan adalah jika merujuk rekomendasi riset dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) University of Washington menyebutkan bahwa kematian karena terpapar Covid-19 di Indonesia, sebenarnya mencapai 118.796 orang, hingga Mei 2021, hal itu menegaskan selisih signifikan yang dilaporkan oleh pemerintah. Indonesia berada di urutan ke-17 di dunia yang memiliki jumlah kematian terbanyak karena Covid-19.

(Lih. https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi /2021/05/22/kematian-karena-Covid-19-di-indonesia). Hal-hal ini

(26)

122

bisa dimengerti, karena kasus-kasus kematian, belum dibuka secara transparan, objektif dan merdeka, oleh karena faktor—

faktor tertentu dari masyarakat Indonesia.

3. Kondisi Kematian Pasien Covid-19

Menimbang rekomendasi WHO, bahwa positive rate suatu negara harus ditekan hingga di bawah 5%, maka dipastikan sebuah negara dapat mengontrol pandemi Covid-19. Sementara data positive rate di Indonesia, masih di kisaran 20,4%. Hal ini merefleksikan, bahwa Indonesia masih ngos-ngosan untuk berjibaku dengan magnitude pandemi Covid-19. Parameter WHO ini tentu merujuk tingkat morbiditas dan mortalitas, yakni ketertularan sebagai infeksi Covid-19 dan kematian yang diakibatkan. Hitung-hitungan angka ini, tentu berasal dari laju peningkatan kasus terkonfirmasi yang menukik tajam. Artinya, jika grafik konfirmasi positif meningkat, maka akan berbanding lurus terhadap jumlah kematian. ( https://mediaindonesia.com/

opini/372296/meneropong-Covid-19-di-tahun-2021).

Lebih jauh proses kematian pasien Covid-19, secara medis mengalami gagal napas (respiratory failure). Hal ini terjadi karena rongga atau ruang paru-paru telah dikuasai oleh Covid-19 yang bermultiplikasi, bahkan bermutasi dengan cepat. Kondisi demikian membuat pasien terinfeksi gagal napas. Dorongan dan sirkulasi oksigen terhambat alias tidak normal, sehingga pasien merasa sesak. Tetapi, jika imunitas pasien cukup baik, hal ini bisa bertahan selama dua minggu, kemungkinan masa-masa kritis dapat saja dilewati, (https://www.kompas.tv/article/76791

(27)

123 /dewan-pakar-idi-ungkap-faktor-yang-buat-pasien-Covid-19- gagal-nafas). Hal lain, yang kerap terjadi sehingga terlambat ditangani dari kasus-kasus Covid-19 adalah pasien dengan status happy hypoxia, dimana yang bersangkutan tidak menyadari bahwa kadar saturasinya sudah jebol. Jika ini terjadi, level akselerasi konsolidasi di jaringan paru-paru akan kian berat. Jika ini terjadi maka alat bantu berupa ventilator, mutlak diperlukan.

(https://tekno.tempo.co/read/1379007/happy-hypoxia-gejala- gagal-napas-pada-pasien-Covid-19-yang-menipu/full&view=ok).

Deskripsi penggunaan ventilator juga memiliki mekanismenya tersendiri. Secara umum, ventilator digunakan jika suply oksigen semakin menipis, sehingga konsolidasi dan sirkulasi di paru-paru semakin berat. Maka penggunaan ventilator bisa digunakan, yang diyakini secara mekanis, dapat membantu sistem kerja dan regulasi pernafasan. Bahkan pemakaian ventilator ini, bisa bertahan hingga beberapa minggu, sampai terjadi pemulihan yang signifikan.

Sumber: https://www.thelancet.com/journals/lanres/article/PIIS2213- 2600(20)30165-X/fulltext, akses 27 Juni 2021

Kondisi lain yang perlu kita pertimbangkan dalam proses kematian pasien Covid-19 adalah penanganan yang unik, yakni

(28)

124

harus dirawat dalam ruang-ruang isoloasi. Kondisi demikian terpaksa diterima oleh pasien dan keluarganya, walaupun pada awalnya, semua pasien nyaris memberontak atau menolaknya. Di ruang perawatan isolasi, dokter dan perawat, tidak setiap saat bisa datang atau visitasi. Proses dan mekanisme sudah diatur sedemikian rupa dan sangat ketat. Hal ini diberlakukan, karena kontak dekat dengan pasien Covid-19 sangat rentan dan beresiko tertular. Itu sebabnya, banyak tenaga medis yang tertular Covid-19 bahan akhirnya meninggal karena menjalankan profesi medisnya.

Konon, pihak keluarga juga enggan diberikan ijin untuk melakukan pendampingan terhadap pasien yang tentu adalah keluarganya sendiri. Kondisi ini tentu turut membuat perasaan terisolir yang luar biasa.

Kajian ilmu modern menyadari secara teoritik bahwa manusia tersebut adalah makhluk sosial. Artinya, bahwa manusia tersebut secara inheren terikat dengan yang lain. Di dalam dirinya secara internal ada ruang-ruang kesadaran tentang eksistensi yang lain. Mengakui dan mengenali ―yang lain‖ (otherness) adalah indikasi yang mengafirmasi bahwa relasinya dengan yang lain sebagai sesama diakomodasi. Umumnya ini turut dibentuk atau dikontruksi oleh keluarga, komunitas, profesi, wilayah, budaya, suku, agama dll. Relasi yang dekat bahkan yang sangat intim kerap terbangun di sana. Tetapi apa yang terjadi dalam kasus Covid-19, semua ini dilimitasi bahkan terkesan dijauhkan.

Itu sebabnya, jika kondisi pasien semakin kritis, maka pasien sering sekali berada dalam kondisi kesulitan napas, dan ini semua dilalui secara terisolir. Tidak ada support atau dukungan

(29)

125 langsung. Jika dikatakan ada, tetapi toh mereka tidak bisa hadir, demi mengafirmasi perjumpaan dan perwujudan relasi cinta kasih yang solid. Semua itu sulit dilakukan, maka akhirnya pasien- pasien Covid-19, sering meregang nyawa dalam sepi dan sesak.

Sebuah kondisi yang amat sulit dibayangkan. Ironisnya, tidak berhenti dalam mati yang sunyi tanpa kehadiran orang-orang yang ia cintai di sisinya, proses pemakamannya juga larut dalam sunyi yang mencekam, yang kerap dipisahkan dari makam- makam pada umumnya.

Reafirmasi Konsep Kematian Kristen

Tiada seorangpun berkuasa menahan angin dan tiada seorangpun berkuasa atas hari kematian. Tak ada istirahat dalam peperangan, dan kefasikan tidak melepaskan orang yang melakukannya” Pkh.8:8.

Akhirnya kita tiba di penghujung riset ini, yakni memberikan sebuah reafirmasi konsep kematian Kristen terhadap fenomena lonjakan kematian karena kasus Covid-19. Dan adapun tujuannya supaya setiap jemaat kristen dapat memiliki pemahaman biblikal dan teologis yang jernih terkait misteri di balik peristiwa kematian. Selain itu, diharapkan terbangun sebuah harapan bagi setiap keluarga yang berduka di sekitar perkabungan, apalagi merujuk konteks pandemi Covid-19, dimana ketika tulisan ini dibuat, jumlah kasus terus meningkat tajam.

Bahkan data hingga 21 Juni 2021, jumlah kasus Covid-19 sejak Maret 2020, Indonesia telah menembus data faktual hingga 2.00.4.445 kasus positif Covid-19, hal ini karena per 21 Juni 2021, terjadi lonjakan kasus luar biasa hingga mencapai 14.536 kasus

(30)

126

positif. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210621154 332-20-657333/positif-Covid-19-tembus-14-ribu-total-kasus-2-juta- orang, diakses 21 Juni 2021).

Lebih jauh dalam kaitan dengan konteks pandemi Covid- 19, dimana fenomena kematian semakin tak berjarak dengan manusia. Berita duka bukan lagi semata sebagai peristiwa dari orang-orang yang tidak kita kenal, peristiwa tersebut sangat dekat, bahkan mungkin saja sudah terjadi dengan orang-orang yang kita cintai. Salomo pernah menegaskan, ―Tiada seorangpun berkuasa menahan angin dan tiada seorangpun berkuasa atas hari kematian. Tak ada istirahat dalam peperangan, dan kefasikan tidak melepaskan orang yang melakukannya” (Pkh.8:8). Pesan ini menyatakan bahwa kematian tersebut tidak bisa disangkal dan dihindari oleh manusia. Meskipun, usaha-usaha penundaan ataupun pencegahan terus dan intensif dilakukan, tetapi, yang jelas dan pasti, kematian pasti datang, entah datang dengan menyergap atau dengan mengendap-endap.

Pertimbangan Dasar

Konsep antropologis dari sains modern bahkan teologi Kristen tetap mengandung keunikan, kekayaan bahkan aspek- aspek misteri yang tidak sepenuhnya bisa kita mengerti. Demikian juga soal ―kematian‖ tetap mengandung sisi misterinya yang khas.

Kematian manusia tentu tidak mudah diobjektifikasi, entah itu melalui sains modern maupun melalui lensa tafsir agama-agama.

Hal ini menjadi khas sekaligus misteri, karena memang kita mengakui bahwa kematian manusia secara mutlak berbeda

(31)

127 dengan kematian hewan. Manusia sepenuhnya person, yang didalam dirinya melekat kesatuan psikosomatis yang bertubuh, berjiwa atau ber-roh. Natur konstitusional tersebut mencoraki manusia. Problem tafsir kematian manusia kerap tidak mudah, misalnya ketika merujuk pasien-pasien vegetatif di rumah sakit.

Seorang dokter bisa saja berkata, bahwa pasien-pasien vegetatif sudah mati, meskipun ada kasus-kasus medis, dimana pasien vegetatif bisa bertahan selama belasan hingga dua atau 3 dekade, terkoneksi dan bertahan hidup oleh sokongan mesin-mesin teknologi kedokteran. Konon dikabarkan, ada juga yang akhirnya pulih atau sembuh. (Lih. Healy, J., 2010, 118-122; band.

https://www.bbc.com/news/health-29643038, diakses 23 Jun 2021).

Riset ini memeluk dan mengintegrasikan pendekatan sains modern, khususnya dalam mengafirmasi pengertian-pengertian yang diframe oleh sistem-sistem hermeneutis terkait makna teks.

Bahwa, secara fundamental ada dua hal yang diakomodasi, yakni untuk mengudar konsep kematian. Pertama, basis ―wahyu‖ dalam hal ini reafirmasi makna-makna yang terdapat dalam Alkitab yang diinspirasikan Roh Kudus, dalam poin ini sangat sentral analogy of faith. Kedua, prinsip-prinsip sains modern, yang juga mengafirmasi kebenaran sebagai keutamaan, yang lebih jauh diaplikasikan dalam sistem-sistem teologi. Meskipun demikian, harus dibangun limitasi, bahwa ada keterbatasan sains modern dalam menjelaskan hal-hal yang imateril, spritual dan transendental. Tetapi dengan mempertimbangkan manusia sebagai makhluk rasional, maka kedua model pendekatan tersebut bisa saling berkelindan dalam

(32)

128

menerangi makna bagi pembaca Alkitab. Prinsip-prinsip holoskopisitas (keutuhan Alkitab), perspicuity (kejelasan Alkitab) termasuk perpetuity (afirmasi Alkitab yang cukup untuk memberikan pengetahuan dan hikmat untuk mengerti Allah dan keselamatan manusia berdosa. Prinsip-prinsip ini perlu dirujuk dalam membangun tafsir kematian, sehingga afirmasi ―Sacra Scripture Sui Interprets scripture‖, bisa dilihat secara utuh dengan arah orientasi yang jelas dan terpusat kepada Alkitab, Kristus dan keselamatan. Prinsip-prinsip ini penting, karena menegaskan konsistensi, koherensi dan non kontradiksi, pada keseluruhan sekaligus kepada bagian-bagiannya. (Sproul, 1997, 55-57; Raschke, 2004, 115-43)

1. Kematian Sebagai Penghukuman dan Pembatasan Allah atas Manusia Berdosa

Berdasarkan basis keilmuan, manusia disebut sebagai makhluk biologis. Hal itu berarti manusia diakui sebagai sebuah organisme hidup yang melingkupi kemampuan metabolisme, pertumbuhan, reaksi terhadap stimulus dan kemampuan reproduktif. Lebih jauh bagi Beck dan Demarest, bahwa yang membedakan manusia secara biologis dengan makhluk lain adalah, adanya unsur pikiran yang membuatnya mampu berabstraksi secara rasional, memiliki bahasa, terutama self- counsciousnes. (2005, 27).

Maka muncul pertanyaan fundamental, apakah kematian manusia dapat disebut semata sebagai kematian biologis atau jasmani? Jika penilaian kematian semata dinilai sebagai kematian

(33)

129 biologis, maka kematian manusia menjadi tidak berbeda secara signifikan dengan kematian hewan. Biasanya asumsi-asumsi demikian menguat dalam ilmu biologi bahkan ilmu kedokteran, yang akhirnya abai melihat keutuhan bahkan keluhuran dignity manusia tersebut secara holistik integratif.

Secara gamblang manusia dan hewan memiliki perbedaan yang signifikan, meskipun harus diakui bahwa perkembagan riset ilmu-ilmu biologi dan kedokteran, cukup sering memakai hewan sebagai objek riset. Hewan secara umum tidak memiliki kesadaran, sedangkan manusia memiliki kesadaran oleh kekuatan akal budi atau cogito-nya. Hewan tentu bisa saja menggunakan benda-benda tertentu untuk mencapai tujuannya, tetapi hewan tidak dapat lebih jauh, untuk berabstraksi, merumuskan dan menciptakan ulang sebuah instrumen seperti yang lazim pada manusia. Manusia dapat mendesain dan merealisasikannya, bahkan dapat menduplikasinya hingga ribuan bahkan jutaan.

Terkait relasi makhluk dengan waktu, yang signifikan bagi kematian, hewan tidak memiliki kesadaran tentang relasi eksistensinya dengan waktu. Mungkinkah seekor hewan menyadari bahwa kini dia sudah makin tua sehingga bisa membayangkan kematiannya sudah semakin mendekat? Kondisi demikian berbeda pada manusia, yang dapat membayangkan kematiannya, yang mungkin saja semakin mendekat. Bukankah tidak diragukan lagi bahwa manusia sering mempertanyakan eksistensinya ketika terkait dengan waktu? Bukankah pula, manusia dapat mengharapkan bahkan menjanjikan masa depan?

Dalam dalili-dalil demikianlah, hermeneutika pasca kematian

(34)

130

manusia menjadi arena hermeneutika seputar ―Being and time”

yang justru dapat menyentak kesadarannya sebagai manusia!

Lebih jauh, memandang manusia sebagai makhluk biologis yang dapat mati, tentu memiliki perspektif yang berbeda dengan teologi! Bahwa berdasarkan rekomendasi Alkitab, kematian manusia tersebut sebagai konsekuensi logis dari pelanggarannya terhadap hukum-hukum Allah, dalam hal ini teologi perjanjian. Bahwa manusia tidak taat kepada syarat-syarat perjanjian kerja tersebut (Baca Kej.2:16-17; 3:15; Hos.6:7; 8:1). Lebih jauh dalam Rom.5:12, 19 dan 1 Kor.15:22, oleh ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap perjanjian oleh satu orang, semua orang secara federal ter-imputasi di dalam dosa Adam. Oleh kesalahan satu orang secara yudisial perjanjian, maut atau kematian tersebut menjalar ke seluruh manusia. Artinya, konsep kematian secara biblikal dan teologis mengandung aspek yudisial.

Itulah sebabnya, relasi dosa dengan penghukuman Allah sangat jelas (judgment). Allah yang satu (monisticity), kudus (holiness) dan benar (righteousness), turut menegaskan keesaan dan kemutlakan Allah. Pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah adalah penolakan terbuka terhadap eksistensi Allah. Secara gamblang, bahwa dosa adalah pelanggaran perjanjian dengan Allah. Dan konsekuensi dari pelanggaran perjanjian tersebut adalah mati. Maka jelas, dosa adalah mati atau maut. Dosa adalah penyangkalan terhadap eksistensi dari ―Author of Life‖, sebab hanya Allah-lah Pencipta kehidupan dalam framework ―creatio ex nihilo‖. Jadi kematian sebagai konsekuensi dari penghukuman dosa, adalah bertujuan untuk mengesktens keadilan Allah. Aspek

(35)

131 teodisea menjadi menonjol dalam misteri kematian karena dosa- dosa manusia. (Guthrie, 1993, 208-09)

Reafirmasinya adalah bahwa dosa membawa manusia kepada kematian dan kematian tersebut membatasi eksistensi manusia dalam framework keadilan Allah. Dosa menjadi kutuk, bahkan Allah mengusir manusia dari taman Eden sebagai taman kehidupan yang didesain Allah. Didalam penghukuman Allah ada anugerah-Nya yang mencari manusia Adam yang berdosa, sehingga dosa dibatasi di sana, meskipun juga harus dilihat bahwa Allah memberikan anugerah-Nya juga secara terbatas, hingga menunggu kesempurnaan-Nya secara progresif bahkan eskatologis.

2. Kematian Manusia Bukan Ketiadaan Total Tetapi Sebuah Kontinuitas Eksistensi dengan Cara yang Berbeda

Dalil kematian sebagai ketiadaan menguat dalam paham- paham eksistensial. Kematian meniadakan seluruh kapasitas dan probabilitas-probabilitas yang terbuka bagi manusia. Kematian dipandang menghentikan eksistensi manusia, bahkan dilihat sebagai sebuah absurditas. Hal ini bisa dimengerti karena corak pengetahuan yang materil, fenomenal, eksperimental, instrumental dan operasional. Kematian dilihat semata sebagai sebuah proses kosmik yang menghampiri dan menyergap manusia dari luar dirinya.

Merespon hal ini, kita merujuk basis biblikal dan teologis.

Bahwa ketika kematian tersebut datang kepada manusia, yang dapat datang dengan berbagai cara atau metode. Begitu manusia

(36)

132

mati, maka dipahami manusia tersebut masuk kepada fase

―intermediate state‖ (masa antara). Fase masa antara ini, lebih mendeskripsikan eksistensi manusia setelah kematian hingga kedatangan Kristus yang kedua kalinya.

Sejujurnya bahwa kondisi demikian memang sulit dijustifikasi dan diobjektifikasi, secara khusus dalam framework sains modern. Itu sebabnya, basis penjelasannya adalah corak biblikal dan teologis. Bahwa setelah kematian, roh atau jiwa dari manusia tersebut akan berada di sheol (versi PL) atau di hades (versi PB). Sheol-hades, dapat menunjuk kuburan, liang; neraka; jurang maut; penjara; dunia orang mati; rumah yang kekal, maut dan kerajaan maut (Kej.37:35; Bil.16:32-33; Ay.30:23; Maz.89:48:

Luk.16;23;Kis.2:27, 31; Rom.5:12, 6:23; Wah.6:8, 20:28).

Oleh sebab itu, merujuk pertimbangan biblikal dan teologis, setelah kematian tubuh, manusia tersebut secara kontinuitas bereksistensi dalam bentuk jiwa/roh. Hal itu berarti Jiwa/roh manusia tersebut bukan lenyap seperti gagasan anihilisme. Eksistensinya tetap ada, entah hal tersebut menerima penghukuman yang terbatas (kesengsaraan) atau kebahagiaan yang menikmati karya anugerah Kristus, juga secara temporal dan terbatas di Firdaus. (Lih. Maz.49:14-16; 16:9-11; 73:24-26; Luk.16;22- 24; 23:43; Ibr,12:23;Wah.2:7; 6:9-10; 20:4). Demikianlah Hoekema menyejajarkan Firdaus dengan kata tingkat yang ketiga dari sorga.

Firdaus sebagai dunia orang mati yang penuh berkat. (2014, 137- 38, lih. Juga Hughes, P.E., 1962, 432-37).

Lebih jauh merujuk Flp.1: 23; 3:20-21, Paulus menegaskan,

―... aku ingin pergidan diam bersama-sama dengan Kristus--itu memang

(37)

133 jauh lebih baik.” Di sini Paulus memaparkan bahwa kematiannya bersama dengan Kristus sebagai sesuatu ―yang jauh lebih baik‖.

Pernyataan ini menunjukkan aspek-aspek jiwa atau roh yang berkesadaran menikmati berkat penebusan Kristus di Firdaus.

(Lih. Ridderbos, 1957, 498-99, dan Berkouwer, 1972, 53-54, sebagaimana dikutip Hoekema, 2014, 139).

Selain itu adalah menarik untuk mengintip Wah.6:9-10,

―Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai yang kelima, aku melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki. Dan mereka berseru dengan suara nyaring, katanya: "Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami kepada mereka yang diam di bumi?Bahwa jiwa-jiwa dari para martir berada di bawah mezbah, yang berseru- seru menaikkan harapan mereka, tentang berapa lama lagi Penguasa Kudus akan menghakimi. Disinilah deskripsi kesadaran jiwa-jiwa tersebut gamblang disebutkan. Dan jika mengutip Ibr.12:23, ―dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang, dan kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna‖. Disini penulis Ibrani menyebutkan bahwa roh-roh orang benar tersebut telah menjadi sempurna.

(38)

134

3. Tubuh yang Mati akan Dibangkitkan dengan Tubuh Kemuliaan di Langit-Bumi yang Baru

Problematika tubuh manusia juga memiliki rekam jejak panjang. Corak dualisme platonik misalnya, melihat realitas tubuh berbeda bahkan terpisah dengan jiwa. Sementara dalam paham Aristotelian dan Thomistik lebih menekankan struktur ontologisnya, bahwa ada dua prinsip yang saling integratif yakni sebagai materia prima dan forma substansialis. Sementara dari gagasan Descartes, tubuh identik dengan kesadaran (cogito). Di sini sisi rasionalitas lebih dominan bahkan lebih penting. Dan bagi kaum materialistik, ekspresi manusia semata direduksi kepada ekspresi materi. Jantung dari problematika ini sebenarnya sederhana, yakni apakah kemanusiaan tersebut bercorak dualistik atau ada kesatuan yang utuh?

Ketika kematian menghampiri manusia, maka roh atau jiwa akan terpisah dari tubuhnya. Alkitab menegaskan tubuh manusia akan kembali kepada asalnya yakni debu tanah, sementara roh/jiwa manusia akan kembali kepada Penciptanya.

Tubuh manusia yang disebut sebagai tubuh alamiah, akan membusuk dan binasa. Tubuh biologis sebagai representasi eksistensi dan kehadirannya, kini menjadi tiada oleh kematian.

Tubuh biologis sebagi tubuh alami yang mendiami dan hidup di alam, oleh kematian biologis, kini namanya dicoret dari daftar orang-orang yang hidup. Kematian tubuh biologisnya, secara fundamental seolah menghilangkan persona dirinya. Dalam hal inilah, korelasi integratif tubuh dan jati diri seseorang saling melengket. Tampaknya kehadiran tubuh biologis, ekspresi tubuh

(39)

135 biologis bahkan kemewujudan roh/jiwa dalam tubuh/badan, telah menjadi pintu masuk utama kepada seluruh pengakuan eksistensinya.

Kemewujudan tubuh biologis inilah yang hilang ditelan oleh kematian. Manusia ketika mati, eksistensi/keberadaannya diakui dan diterima. Tetapi kematian mengubah segalanya. Oleh kematian, manusia menjadi kehilangan kehadirannya di dunia alamiah. Alkitab melukiskan kemarian sebagai negri segala lupa.

Kematian telah menelan keutuhan eksistensinya. Mengapa demikian? Karena kematian biologis, dipandang sebagai kematian persona/pribadi. Bukan jantungnya yang berhenti/mati atau bukan batang otaknya yang mati, tetapi diri personanya yang sudah tiada. Bagian-bagian partikularitas tubuh, tidak dapat mereduksi identitas pribadinya.

Lebih jauh perspektif biblikal dan teologis menegaskan bahwa, tubuh biologis manusia sebagai tubuh alamiah adalah tubuh yang memang akan binasa, tubuh yang lemah, bahkan disebut sebagai tubuh yang hina. (1 Kor.15:12-57). Dan menimbang kematian sebagai hukuman atas dosa secara teologis, maka kita akan mengerti betapa dosa tersebut telah menghilangkan keluhuran dignity manusia sebagai gambar dan rupa Allah.

Lebih jauh, ketika kematian tubuh terjadi, maka secara segera, akan terjadi perbedaan kondisi orang benar dan kondisi dari orang yang tidak benar (Mzm.16:10; Yes. 26:19; Dan.12:2 dan Kis.2:27, 31). Deskripsi ini menolong kita untuk melihat bahwa, ada pemisahan, dan pemisahan tersebut ajkan memuncak kepada

(40)

136

kebangkitan tubuh yang menunjuk kepada hidup yang kekal atau kebangkitan tubuh yang mencakup kebinasaan kekal.

Demikianlah perspektif Alkitab tidak semata berhenti kepada kematian dan kebinasaan tubuh biologis, tetapi ada afirmasi tentang kebangkitan tubuh. Dalam pengajaran Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, kebangkitan tubuh dari orang percaya akan berpusat kepada kebangkitan Kristus. Karena Kristus dibangkitkan dari kematian tubuh alamiah-Nya, maka orang benar akan dibangkitkan juga dari kematian tubuh alamiahnya.

Tubuh manusia yang lemah dan hina karena dosa sebagai pelanggaran covenan, akan menjadi tubuh kebangkitan yang penuh kemuliaan seperti Kristus. (1Kor.15:20; Kol.1:18; Yoh.14:19;

Flp.3:20-21). Lebih jauh bagi Paulus, natur dari tubuh kebangkitan orang benar adalah tubuh yang tidak binasa, tubuh yang mulia, tubuh yang kuat dan tubuh rohaniah. (1 Kor.15:42-43; 50-57).

Dalam fase inilah, nilai dan manfaat dari penebusan Kristus tersebut utuh bagi umat-Nya. Keterpisahan tubuh dan roh/jiwa karena kematian, kini disatukan kembali dalam episode kebangkitan tubuh. Kesatuan tubuh, jiwa atau roh sebagai kesatuan psikosomatik, kembali dilihat sebagai bagian integral dari seorang manusia. Kesatuan psikosomatik, akan mengafirmasi kekhasan dan keunikan manusia sebagai gambar dan rupa Allah yang dipulihkan oleh karya soteriologis Kristus. Tubuh kebangkitan inilah yang akan mengafirmasi eksistensi dan kehadiran manusia di langit dan bumi yang baru. Langit dan bumi yang baru dengan jiwa-roh yang sudah menubuh secara baru dalam natur kebangkitan, akan menjadi mediasi ekspresif dari

(41)

137 sukacita keselamatan dan persekutuan kekal yang menikmati kemuliaan Allah Tritunggal.

Merekomendasikan penegasan Paulus soal ―kebangkitan tubuh‖ dalam 1 Kor.15:38 dan 40, ―... Ia memberikan kepada tiap- tiap biji tubunya sendiri, ... ada tubuh sorgawi ada tubuh duniawi, kemuliaan tubuh sorgawi lain dari pada kemuliaan tubuh duniawi‖. Konteks pernyataan Paulus ini adalah berhadapan dengan skeptisisme Yunani tentang kebangkitan tubuh. Paulus memberikan biji dari dunia tumbuhan sebagai analogi, untuk menyederhanakan kemuliaan dan kebesaran tubuh kebangkitan tersebut. Dalam biji, ada suatu eksistensi/keberadaan baru yang tersembunyi, yang jelas lebih mulia dari keberadaan yang lama.

Sebagaimana biji, ada kesinambungan, tetapi lebih jauh dan lebih penting terdapat transformasi. (Guthrie, 1993, 176-78).

4. Pertimbangan Akhir, Pendidikan Nilai dari Pandemi Covid- 19 dan Kematiannya

Pertimbangan akhir ini sepenuhnya berangkat dari kesadaran ―dapat matinya manusia‖. Kesadaran ―dapat mati‖, tertanam dalam diri manusia secara inheren. Manusia tidak dapat mengelak atau menyangkal kematian. Selain itu, merujuk realitas konteks dari riset ini, lonjakan kematian di Indonesia, karena strain baru, terus meningkat signifikan. Itu sebabnya ada beberapa pendidikan nilai yang dapat kita pertimbangkan.

Pertama, memahami substansi isolasi dan teodise. Karena pandemi Covid-19, proses kematian manusia sangat memprihatinkan. Lazimnya, ketika seorang pasien sedang kritis di

(42)

138

ruang-ruang IGD rumah sakit, keluarga dan handai tolan berdiri dekat demi mengekspresikan dukungannya kepada pasien. Tetapi berbeda dengan pasien Covid-19, keluarga dan handai tolan tidak dapat melakukan pendampingan. Pasien Covid-19, betul-betul terisolasi atau disisihkan dari kerabat dan keluarga. Manusia disebut juga sebagai individu. Individu secara etimologis adalah in-divided, yakni tidak dapat dibagi atau dipisah. Covid-19 menjadikan seorang pasien betul-betul sebagai ―as an indivisible whole or inseparable” (https://www.merriam-webster.com/

dictionary/individual).

Selain itu, problem teodise menjadi penting untuk dipertimbangkan secara teologis. Bahwa pandemi Covid-19 merupakan pergumulan dan penderitaan pahit bagi peradaban kemanusiaan. Problematika ini kerap mempertanyakan, kebaikan, keadilan, kemahakuasaan, kehadiran bahkan kepeduliaan Allah atas umat-Nya. Perihnya, bahwa semua ragu dan tanya tersebut, kerap dihadapi oleh pasien Covid-19 secara eksistensial di dalam ruang-ruang isolasi.

Kedua, Kematian menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas dan tidak independen. Merujuk teori sebab, manusia tidak cukup secara otonom pada dirinya untuk menjadi penyebab dirinya sendiri (causa sui). Manusia tidak memiliki hidup dari dirinya sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan Allah sebagai Author of life, memiliki hidup sebagai causa sui dan independen. Jika kita menyangkalnya dengan mengatakan manusia ada karena kodrat alam, hal ini baru memenuhi satu unsur dari teori-teori sebab. Itu sebabnya, perspektif biblikal dan

(43)

139 teologis, menegaskan manusia terbatas, tidak cukup pada dirinya, dan tidak independen sebagai pemilik hidup, hidup manusia semata dilihat sebagai ―gift‖ dari Author of life.

Ketiga, Nilai kesetaraan. Kematian menegaskan kesetaraan manusia tanpa ada pengecualian dan perbedaan. Dalam narasi Alkitab, hanya Henokh dan Elia yang menjadi pengecualian.

Kepada nabi, rasul bahkan raja manapun, pengalaman kematian demikian tidak terjadi. Mereka dicatat sebagai yang mati, semata merujuk ketidakhadiran mereka di alam semesta ini. Semua manusia, pasti mati, dan sepasti kematian itu menghampiri tubuh biologis, sepasti itulah nilai-nilai kesetaraan yang berkeadilan dan berkebenaran atas tubuh biologis manusia.

Keempat, menimbang keterciptaan manusia dalam paham

―kreasionisme‖ dan naluri manusia untuk ―survive‖ perlu ditafsirkan secara teologis. Apalagi jika merujuk konteks pandemi Covid-19, dimana pasien yang sudah terpapar Covid-19, menjadi pejuang Covid-19 (penyintas). Kesadaran sebagai penyintas, perlu selalu merujuk keterciptaannya sebagai pribadi, yang memiliki kemerdekaan atas realitas hidupnya, sehingga sangat mutlak mengedepankan ―meaning of life‖. Hal inilah yang kelak menjadi memory/ingatan bagi sesamanya, yang justru bisa menguat, sekalipun kematian sebagai ketidakhadiran di dunia merenggut nyawanya. Dengan demikian Christian worldview, menjadi jernih dan signifikan, yang bisa membaca realitas kematian dalam framework keseluruhan dan kesebahagian.

Kelima, Karena kematian memiliki sisi misterinya yang khas, prinsip bibliocentric dan Kristocentric, sangat signifikan bagi

(44)

140

framework teologis. Narasi dan presuposisi kematian sebagai misteri, diudar secara unik dan saling berkelindan. Apa yang diajarkan Alkitab tentang manusia dan kematian, terang benderang di dalam dan melalui kematian dan kebangkitan Kristus. Kristus sebagai Person kedua Trinitas, yang adalah manusia 100% (fully human), benar-benar menderita sengsara dan dicobai secara otentik. Perih dan takutnya kepada kematian yang makin dekat di pelupuk mata, terbaca dari doa-doaNya di taman Getsemani, yang meminta dengan tulus, kalau bisa biarlah cawan murka Allah atas dosa tersebut lalu. Dan karena keadilan Allah yang harus ditebus sebagai harga yang setara, maka Kristus mati di salib. Kristus memasuki fase kerajaan maut dan memproklamasikan kemenangan perjanjian anugrah atas maut sebagai upah dosa. Kerajaan maut dilucuti, Rasul Paulus mendeskripsikan hal ini dengan baik, ―hai maut dimanakah kemenangan dan sengatmu?‖ (1 Kor.15:55).

Tidak berhenti di kematian Kristus, Alkitab meredaksikan dokumen kebangkitan-Nya yang mengenakan natur kebangkitan tubuh, yakni sebagai tubuh yang tidak binasa dan yang tidak hina, sebaliknya sebagai tubuh rohaniah (kemah baru), penuh kuasa dan kekuatan bahkan tubuh yang penuh kemuliaan. Presuposisi Alkitab dan pengisahan eksistensial dari kematian dan kebangkitan Kristus dengan tubuh kemuliaan tersebut, mentransformasi para murid dan penganut gereja mula-mula, untuk membaca realitas kematian dengan tepat.

Akhirnya, bukan memaksudkannya sebagai obsesi atas kematian, penulis meminjam pernyataan Salomo dan rasul Paulus,

(45)

141 menjadi gong yang menyentak kesadaran dan hermeneutika kita atas kematian tersebut. ―hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran‖ (Pkh.7:1). ―bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan‖ (Flp.1:21). Reafirmasi ini atas kematian manusia menjadi bisa diterima, karena Kristus yang hidup, juga yang menderita sengsara, bahkan mati tetapi juga yang bangkit dengan tubuh kemuliaan, telah mentransformasi hermenutika kita atas kematian menjadi passioned dan bernyawa, karena tersimpannya

―the greatest hope‖ atas umat-Nya.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dengan mempertimbangkan latar belakang penelitian atas basis fenomena lonjakan kematian yang signifikan karena kasus pandemi Covid-19, dapat melahirkan multitafsir bahkan dampak- dampak yang multidimensi bagi keluarga-keluarga Kristen yang berkabung, maka dipandang perlu melakukan penelitian tentang apakah konsep kematian Kristen tersebut? Apakah konsep tersebut relevan dan kompatibel atas fenomena dan misteri dibalik kematian manusia, sehingga reafirmasi konsep tersebut dapat menguatkan pendirian iman Kristen, di tengah narasi pilu di sekitar perkabungan?

Penelitian ini menemukan konsep-konsep biblikal dan teologis tentang kematian manusia, sebagai konsekuensi logis dari pelanggaran akan perjanjian (teologi kovenan), dimana pelanggaran atas perjanjian tersebut merupakan pelanggaran yudisial yang akan menjadikan manusia tersebut terhukum dan mati. Kematian inheren dengan pelanggaran atau dosa, dengan

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah kasus TB paru terinfeksi di daerah Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta pada masa pandemi COVID - 19 terus mengalami peningkatan. Penelitian ini dilakukan dengan

Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah remaja yang mengalami peristiwa kematian orangtua akibat COVID-19 pada awalnya akan melakukan penilaian awal

Fitrawaty, F., & Maipita, I.: Analisis dampak kebijakan pemulihan ekonomi nasional (Studi kasus: Masa pandemi Covid-19) 160 Kontribusi ekspor UMKM dinilai hanya

Selama masa pandemi COVID-19, hendaknya pelayanan imunisasi dilaksanakan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah masing-masing; memperhatikan angka kasus COVID-19, capaian

Berdasarkan hasil distribusi perilaku masyarakat Desa Sumerta Kelod beserta distribusi kategori kasus masyarakat di masa pandemi COVID-19, maka masyarakat Desa

Sebab, pola beribadah di masa pandemi Covid-19 tidak saja menunjukkan hadirnya strategi baru umat untuk tetap menaati perintah agamanya, tetapi juga menegaskan kembali bahwa agama

Ketentuan Pelaksanaan Asimilasi saat Pandemi Covid-19 Ketentuan Pelaksanaan Asimiliasi Narapidana di masa pandemi covid-19 ini diatur oleh Menteri Hukum dan an Hak Asasi Manusia

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan gambaran teoritis Penerapan Metode Naive Bayes Pada Kasus Gangguan Psikologis pada masa Pandemi Covid-19 berbasis web, maka penulis menarik