• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan Akhir, Pendidikan Nilai dari Pandemi Covid- Covid-19 dan Kematiannya

Pertimbangan akhir ini sepenuhnya berangkat dari kesadaran ―dapat matinya manusia‖. Kesadaran ―dapat mati‖, tertanam dalam diri manusia secara inheren. Manusia tidak dapat mengelak atau menyangkal kematian. Selain itu, merujuk realitas konteks dari riset ini, lonjakan kematian di Indonesia, karena strain baru, terus meningkat signifikan. Itu sebabnya ada beberapa pendidikan nilai yang dapat kita pertimbangkan.

Pertama, memahami substansi isolasi dan teodise. Karena pandemi Covid-19, proses kematian manusia sangat memprihatinkan. Lazimnya, ketika seorang pasien sedang kritis di

138

ruang-ruang IGD rumah sakit, keluarga dan handai tolan berdiri dekat demi mengekspresikan dukungannya kepada pasien. Tetapi berbeda dengan pasien Covid-19, keluarga dan handai tolan tidak dapat melakukan pendampingan. Pasien Covid-19, betul-betul terisolasi atau disisihkan dari kerabat dan keluarga. Manusia disebut juga sebagai individu. Individu secara etimologis adalah in-divided, yakni tidak dapat dibagi atau dipisah. Covid-19 menjadikan seorang pasien betul-betul sebagai ―as an indivisible whole or inseparable” (https://www.merriam-webster.com/

dictionary/individual).

Selain itu, problem teodise menjadi penting untuk dipertimbangkan secara teologis. Bahwa pandemi Covid-19 merupakan pergumulan dan penderitaan pahit bagi peradaban kemanusiaan. Problematika ini kerap mempertanyakan, kebaikan, keadilan, kemahakuasaan, kehadiran bahkan kepeduliaan Allah atas umat-Nya. Perihnya, bahwa semua ragu dan tanya tersebut, kerap dihadapi oleh pasien Covid-19 secara eksistensial di dalam ruang-ruang isolasi.

Kedua, Kematian menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas dan tidak independen. Merujuk teori sebab, manusia tidak cukup secara otonom pada dirinya untuk menjadi penyebab dirinya sendiri (causa sui). Manusia tidak memiliki hidup dari dirinya sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan Allah sebagai Author of life, memiliki hidup sebagai causa sui dan independen. Jika kita menyangkalnya dengan mengatakan manusia ada karena kodrat alam, hal ini baru memenuhi satu unsur dari teori-teori sebab. Itu sebabnya, perspektif biblikal dan

139 teologis, menegaskan manusia terbatas, tidak cukup pada dirinya, dan tidak independen sebagai pemilik hidup, hidup manusia semata dilihat sebagai ―gift‖ dari Author of life.

Ketiga, Nilai kesetaraan. Kematian menegaskan kesetaraan manusia tanpa ada pengecualian dan perbedaan. Dalam narasi Alkitab, hanya Henokh dan Elia yang menjadi pengecualian.

Kepada nabi, rasul bahkan raja manapun, pengalaman kematian demikian tidak terjadi. Mereka dicatat sebagai yang mati, semata merujuk ketidakhadiran mereka di alam semesta ini. Semua manusia, pasti mati, dan sepasti kematian itu menghampiri tubuh biologis, sepasti itulah nilai-nilai kesetaraan yang berkeadilan dan berkebenaran atas tubuh biologis manusia.

Keempat, menimbang keterciptaan manusia dalam paham

―kreasionisme‖ dan naluri manusia untuk ―survive‖ perlu ditafsirkan secara teologis. Apalagi jika merujuk konteks pandemi Covid-19, dimana pasien yang sudah terpapar Covid-19, menjadi pejuang Covid-19 (penyintas). Kesadaran sebagai penyintas, perlu selalu merujuk keterciptaannya sebagai pribadi, yang memiliki kemerdekaan atas realitas hidupnya, sehingga sangat mutlak mengedepankan ―meaning of life‖. Hal inilah yang kelak menjadi memory/ingatan bagi sesamanya, yang justru bisa menguat, sekalipun kematian sebagai ketidakhadiran di dunia merenggut nyawanya. Dengan demikian Christian worldview, menjadi jernih dan signifikan, yang bisa membaca realitas kematian dalam framework keseluruhan dan kesebahagian.

Kelima, Karena kematian memiliki sisi misterinya yang khas, prinsip bibliocentric dan Kristocentric, sangat signifikan bagi

140

framework teologis. Narasi dan presuposisi kematian sebagai misteri, diudar secara unik dan saling berkelindan. Apa yang diajarkan Alkitab tentang manusia dan kematian, terang benderang di dalam dan melalui kematian dan kebangkitan Kristus. Kristus sebagai Person kedua Trinitas, yang adalah manusia 100% (fully human), benar-benar menderita sengsara dan dicobai secara otentik. Perih dan takutnya kepada kematian yang makin dekat di pelupuk mata, terbaca dari doa-doaNya di taman Getsemani, yang meminta dengan tulus, kalau bisa biarlah cawan murka Allah atas dosa tersebut lalu. Dan karena keadilan Allah yang harus ditebus sebagai harga yang setara, maka Kristus mati di salib. Kristus memasuki fase kerajaan maut dan memproklamasikan kemenangan perjanjian anugrah atas maut sebagai upah dosa. Kerajaan maut dilucuti, Rasul Paulus mendeskripsikan hal ini dengan baik, ―hai maut dimanakah kemenangan dan sengatmu?‖ (1 Kor.15:55).

Tidak berhenti di kematian Kristus, Alkitab meredaksikan dokumen kebangkitan-Nya yang mengenakan natur kebangkitan tubuh, yakni sebagai tubuh yang tidak binasa dan yang tidak hina, sebaliknya sebagai tubuh rohaniah (kemah baru), penuh kuasa dan kekuatan bahkan tubuh yang penuh kemuliaan. Presuposisi Alkitab dan pengisahan eksistensial dari kematian dan kebangkitan Kristus dengan tubuh kemuliaan tersebut, mentransformasi para murid dan penganut gereja mula-mula, untuk membaca realitas kematian dengan tepat.

Akhirnya, bukan memaksudkannya sebagai obsesi atas kematian, penulis meminjam pernyataan Salomo dan rasul Paulus,

141 menjadi gong yang menyentak kesadaran dan hermeneutika kita atas kematian tersebut. ―hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran‖ (Pkh.7:1). ―bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan‖ (Flp.1:21). Reafirmasi ini atas kematian manusia menjadi bisa diterima, karena Kristus yang hidup, juga yang menderita sengsara, bahkan mati tetapi juga yang bangkit dengan tubuh kemuliaan, telah mentransformasi hermenutika kita atas kematian menjadi passioned dan bernyawa, karena tersimpannya

―the greatest hope‖ atas umat-Nya.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dengan mempertimbangkan latar belakang penelitian atas basis fenomena lonjakan kematian yang signifikan karena kasus pandemi Covid-19, dapat melahirkan multitafsir bahkan dampak-dampak yang multidimensi bagi keluarga-keluarga Kristen yang berkabung, maka dipandang perlu melakukan penelitian tentang apakah konsep kematian Kristen tersebut? Apakah konsep tersebut relevan dan kompatibel atas fenomena dan misteri dibalik kematian manusia, sehingga reafirmasi konsep tersebut dapat menguatkan pendirian iman Kristen, di tengah narasi pilu di sekitar perkabungan?

Penelitian ini menemukan konsep-konsep biblikal dan teologis tentang kematian manusia, sebagai konsekuensi logis dari pelanggaran akan perjanjian (teologi kovenan), dimana pelanggaran atas perjanjian tersebut merupakan pelanggaran yudisial yang akan menjadikan manusia tersebut terhukum dan mati. Kematian inheren dengan pelanggaran atau dosa, dengan

142

demikian kematian menjadi inheren atas manusia berdosa, sekalipun faktor-faktor eksternal seperti pandemi Covid-19, dapat menjadi salah satu penyebab kematian. Tetapi merujuk perspektif biblikal dan teologis, kematian sebagai akibat dosa, yang secara sengaja, sadar dan sukarela menolak eksistensi Allah yang mengaruniakan hidup (Author of life).

Manusia pasti mati. Tubuh biologis akan kembali kepada debu dan tanah, bahkan membusuk atau binasa. Tetapi, elemen jiwa/roh, akan kembali kepada Pencipta. Keutuhan manusia dalam tafsir atas misteri kematian, perlu berpihak kepada kesatuan psikosomatis tersebut. Person manusia tersebut mati.

Dan dalam fase selanjutnya, memasuki apa yang kita sebut sebagai

―intermediate state”, sebagai masa istirahat yang penuh berkat.

Disanalah aspek kontinuitas diterangi, bahwa jiwa/roh bersekutu dengan Kristus yang telah melakukan karya penebusan.

Sebagaimana kematian atas dosa diimputasikan, demikian juga pembenaran/justification, Kristus diimputasikan. Hal-hal inilah yang membuat manusia-manusia tebusan Kristus menikmati sukacita dan damai secara sadar pasca kematiannya. Tetapi perlu dilimitasi, bahwan kondisi ini bukanlah kondisi yang penuh/lengkap, lebih sebagai kondisi ―intermediate state‖, yang nanti akan mewujud menjadi kondisi ―final state‖ ketika penyatuan psikosomatis kembali mewujud dalam kebangkitan tubuh yang mengenakan tubuh kemuliaan, yang ditandai dengan kedatangan Kristus yang kedua.

Dengan demikian, manfaat penelitian ini menjadi terukur dan signifikan, karena terang dari narasi inspirasi Alkitab dan

143 inkarnasi Kristus yang adalah manusia 100%, telah mengalami kesengsaraan, kematian dan kebangkitan tubuh yang penuh kemuliaan, yang tampak secara kasad mata kepada jemaat mula-mula. Ke sanalah keagungan pengharapan Kristen tersebut dilabuhkan, demi menerangi tafsir kematian tubuh, hingga Salomo dan Paulus mendeklarasikan, ―hari kematian lebih baik dari hari kelahiran; hidup adalah Kristus dan mati adalah untung‖, karena keduanya oleh iman telah melihat kondisi keagungan dan kemuliaan yang terjadi pasca kematian, yakni sebagai kondisi yang penuh berkat dan kebahagiaan.

KEPUSTAKAAN

Bavinck, Herman, 2008. Reformed Dogmatics: Sin and Salvation in Christ. Edited by John Bolt. Translated by John Vriend.

Grand Rapids, Michigan: Baker Academic.

---, 2016. Reformed dogmatics: god and creation.

Edited by John Bolt. Translated by John Vriend. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic.

Beck, James R., and Demarest, Bruce, 2005, The human person in theology and psychology: A biblical anthropology for the twenty-first century. Grand Rapids, MI: Kregel.

Berkhof, Louis., 1993, Teologia Sistematika 3, Surabaya: Lembaga Reformed Injili Indonesia.

---, 2005, Teologia sistematika 6, Surabaya: Lembaga Reformed Injili Indonesia.

144

Hoekema, Anthony A., 1988, Alkitab dan akhir zaman, Surabaya:

Lembaga Reformed Injili Indonesia.

Hughes, Philip E. 1962, Paul‟s second epsitle to the Chorinthians, Grand Rapids: Eerdmans.

Ladd, G.E., 1999, Teologi perjanjian baru-1, (terj.). Bandung: Yayasan Kalam Hidup

Leming, M. R., & Dickinson, G. E.,2002. Understanding dying, death and bereavement (5th ed.). Fort Worth, TX: Harcourt.

Middleton, J. Richard, 2005 Liberating image, Grand Rapids, Michigan: Brazos Press.

Millard J. Erickson, 1992, Christian theology, Grand Rapids, Michigan: Baker Book House.

Raschke, Carl, 2006, The next reformation: why evangelicals must embrace posmodernity? Grand Rapid, MI, 2006

Ronald Nash, 2003, Iman dan akal budi, Surabaya: Penerbit Momentum.

Sproul, R.C.,1997, What is reformed theology. Grand Rapids, Michigan: Baker Books.

Chukwuedo, Mercy U., ―The paradox of life and death: a christian perspective‖, 2019, ,in Journal of African Studies. Vol. 8, No.

1.

Yadav, Meena, ―Understanding the epidemiology of COVID-19‖, 2020, in European Journal of Biological Research, Vol.10, No.2 Lai, Chih-Chang, etc. ―Severe acute respiratory syndrome

coronavirus 2 (SARS-CoV-2) and coronavirus disease-2019 (COVID-19): The epidemic and the challenges‖, in International Journal of Antimicrobial Agents, Vol.55, Issue 3.

145 Internet

https://Covid-19.go.id/peta-sebaran, diakses 27 Juni 2021 https://Covid-19.who.int/, diakses 10 Juni 2021

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK464649/, diakses 25 Juni 2021

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4369385/, diakses 25 Juni 2021

https://www.who.int/news/item/27-04-2020-who-timeline---Covid-19, diakses 20 Juni 2021

https://time.com/5791661/who-coronavirus-pandemic-declaration/, diakses 27 Juni 2021

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/02/05300081/ki las-balik-kronologi, diakses 28 Juni 2021

https://nasional.kompas.com/read/2020/04/04/15592751/updat e, diakses 28 Juni 2021

(https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan- teknologi/2021/06/03/40-persen-pasien-Covid-19-anak-meninggal-dunia, diakses 27 Juni 2021

https://mediaindonesia.com/opini/372296/meneropong-Covid-19-di-tahun-2021, diakses 23 Juni 2021

https://www.kompas.tv/article/76791/dewan-pakar-idi-ungkap-faktor-yang-buat-pasien-Covid-19-gagal-nafas, diakses 23 Juni 2021

https://tekno.tempo.co/read/1379007/happy-hypoxia-gejala-gagal-napas-pada-pasien-Covid-19-yang-menipu/full&view=ok, diakses 27 Juni 2021

Dokumen terkait