• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Kondisi Klimatologi Barat Sumatera

Curah hujan merupakan unsur iklim (klimat) yang memiliki variabilitas tinggi. Hujan berasal dari air yang terdapat di atmosfer dan sebagai hasil akhir dari proses yang berlangsung di atmosfer tersebut. Menurut BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) suatu hari dikatakan hujan apabila menerima curah hujan 0,5 mm atau lebih. Pola hujan bervariasi menurut skala ruang dan waktu sehingga curah hujan mempunyai karakteristik tertentu pada suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya. Intensitas, frekuensi, distribusi dan wilayah hujan dipengaruhi oleh faktor iklim lainnya seperti angin, suhu, kelembaban udara dan tekanan atmosfer.

Letak Indonesia di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, secara geografis berada di equator dengan ribuan kepulauan bisa dikatakan berada di posisi yang unik secara alamiah. Dua samudera tersebut dapat dikatakan sebagai pengendali iklim dunia sehingga menjadikan wilayah Indonesia sangat kuat dipengaruhi karakteristik monsun (Ramage 1971; Murakami and Matsumoto 1994; Wu and Kirtman 2007) berupa dinamika atmosfer seperti sirkulasi angin dan perubahan suhu muka laut di sekitar wilayah Indonesia.

Indonesia dipengaruhi angin monsun berupa angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun disebabkan perbedaan sifat

belahan Selatan dari Equator, benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan dibandingkan dengan benua Asia sehingga di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia terdapat pusat-pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin dari benua Asia ke benua Australia.

Di Indonesia angin ini merupakan angin musim Timur Laut di belahan bumi Utara dan angin musim Barat di belahan bumi Selatan. Oleh karena angin ini melewati Samudera Pasifik dan Samudra Hindia maka banyak membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi musim penghujan. Sebaliknya

Pada April – Oktober, matahari berada di belahan bumi Utara, sehingga benua

Asia lebih panas dari benua Australia. Akibatnya, di Asia terdapat pusat-pusat tekanan udara rendah, sedangkan di Australia terdapat pusat-pusat tekanan udara tinggi yang menyebabkan terjadinya angin dari Australia menuju Asia. Di Indonesia, terjadi angin musim Timur di belahan bumi Selatan dan angin musim Barat Daya di belahan bumi Utara. Oleh karena tidak melewati lautan yang luas maka angin tidak banyak mengandung uap air oleh karena itu pada umumnya terjadi musim kemarau. Berdasarkan faktor-faktor pengendali cuaca dan iklim, Indonesia dibagi menjadi 153 daerah pola hujan yang selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga daerah utama (Aldrian and Susanto 2003), yaitu (Gambar 10):

1. Daerah A merupakan pola yang dominan di Indonesia karena meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak pada bulan November-Maret dipengaruhi oleh monsun Barat Laut dan satu palung pada bulan Mei-September dipengaruhi oleh monsun Tenggara yang kering, sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Selain itu daerah A berkorelasi kuat terhadap perubahan suhu permukaan laut.

2. Daerah B mempunyai dua puncak pada bulan Oktober-November dan pada

bulan Maret - Mei. Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke Utara dan Selatan dari Inter Tropical Convergence Zone/ITCZ (daerah pertemuan angin antar tropis).

3. Daerah C mempunyai satu puncak pada bulan Juni-Juli (JJ) dan satu palung

pada bulan November-Februari. Pola ini merupakan kebalikan dari pola A.

Berdasarkan koefisien kemiripan curah hujannya, Liong et al, (2003)

mengelompokkan wilayah Indonesia menjadi 3, yaitu SEAM (South East Asia Monsoon) yang pola hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas benua Asia, NAIM (North Australia Indonesia Monsoon) yang pola hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas benua Australia dan MC (Maritime Continent) yang mempunyai pola hujan ekuator. Dari besar koefisien

kemiripannya, menurut Liong et al,(2003) tidak ada daerah kepulauan Indonesia

yang mempunyai koefisien kemiripan untuk dapat dinyatakan terkelompok sebagai SEAM.

Variabilitas curah hujan Indonesia terkait erat dengan kejadian IODM, ENSO dan sistem monsun Indonesia. Fenomena IODM, ENSO dan monsun dalam mempengaruhi curah hujan di Indonesia tidak terjadi secara bersamaan. Pada suatu saat salah satu fenomena menjadi dominan dibandingkan fenomena yang lain. Namun pada waktu lain, ketiga fenomena tersebut terjadi dengan pengaruh yang sama kuat. Indonesia bagian barat dipengaruhi besar oleh fenomena IODM, sedangkan bagian timur dipengaruhi oleh ENSO. Dalam studi

global, Yamagata et al., (2003) menyimpulkan secara garis besar pengaruh IODM

ke arah barat. IODM berkaitan erat dengan variabilitas suhu dan curah hujan di

wilayah yang dekat dengan Samudera Hindia. Ashok et al, (2001, 2003)

mempelajari bahwa kejadian-kejadian IODM positif diduga meningkatkan curah hujan monsun musim panas di India.

Selain berpengaruh terhadap variabilitas curah hujan secara independen, IODM juga disinyalir berkaitan (saling mempengaruhi) dengan fenomena ENSO. Behera dan Yamagata (2002) menemukan adanya korelasi antara indeks IODM dengan tekanan udara di Darwin, yang secara tidak langsung mempengaruhi kuat

lemahnya ENSO. Liong et al, (2003) mengatakan bahwa pengaruh ENSO cukup

kuat untuk berbagai tempat di Indonesia. Dengan melihat anomali SPL (suhu permukaan laut) pada Nino 3.4, perioda 1961 sampai dengan 2001, wilayah MC

bagian timur mempunyai koefisien korelasi sekitar –0,6 pada waktu terjadi El

Niño, sedangkan wilayah NAIM hanya sekitar –0.3. Untuk wilayah MC bagian

barat dan SEAM (South East Asia Monsoon) masih belum ada kesimpulan yang

jelas karena ada yang berkorelasi –0.7 untuk Padang pada tahun El Niño 97/98

tetapi berkorelasi –0.2 pada tahun El Niño 82/83 demikian juga untuk Medan

berkorelasi –0.45 pada tahun 97/98 tetapi berkorelasi 0.11 pada tahun 82/83,

sehingga dapat dikatakan korelasinya dengan El Niño sangat lemah.

Untuk Maritime Continent barat khususnya Jawa Barat dan Sumatera Selatan pengaruh IODM diperhitungkan. Pada umumnya ketika terjadi El Niño, DMI positif sehinga efeknya saling memperkuat tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Niño Indonesia kering, ternyata ketika itu DMI positif, jadi tahun Indonesia kering ketika bukan tahun El Niño dapat dijelaskan dari pengaruh IODM. Menurut Hendon (2003), variabilitas SPL di NINO 3.4 diperkirakan mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia, sedangkan variabilitas SPL di Samudera Hindia hanya mempengaruhi 10-15% curah hujan di seluruh Indonesia.

Dokumen terkait