• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Kondisi Oseanografi Samudera Hindia di barat Sumatera

Perairan Samudera Hindia di barat Sumatera merupakan bagian dari Perairan Timur Laut Samudera Hindia (TLSH). Kondisi oseanografi perairan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu sistem angin muson (Wyrtki 1961; Purba

et al. 1995); perubahan iklim global atau regional seperti El Niño dan dipole mode

(Nicolls 1984; Meyers 1996; Saji et al. 1999); dan aliran beberapa massa air.

Sebagai bagian Samudera Hindia, SPL perairan TLSH umumnya 25-31 oC

(Nontji, 1993). Sementara variasi suhu tahunan rata-rata kurang dari 2oC dan

antara 2-4oC (Wyrtki 1961). Salinitas permukaan laut 30-35 ‰. Menurut Wyrtki

(1961), salinitas di sekitar pantai barat Sumatera banyak dipengaruhi curah hujan,

salinitas terendah bulan Januari (rata-rata 32,5 ‰).

Dari pengamatan spasial dan temporal variabilitas klorofil-a dari data

sensor SeaWiFS periode Januari 1998–Desember 2003, Susanto et al., (2006)

menyatakan konsentrasi klorofil-a selama musim tenggara/Southeast monsoon

(Juni-Juli-Agustus) sepanjang pantai Jawa dan Sumatera lebih tinggi daripada

musim Northwest monsoon (Desember-Januari-Pebruari). Ini berarti bahwa massa

air di barat Sumatera dan selatan Jawa pada musim timur/musim tenggara lebih subur dibanding musim barat.

2.5.1. Tipe Massa Air

Wyrtki (1961) mengidentifikasi tipe-tipe massa air TLSH (Tabel 4). Posisi

kedalaman lapisan gumbar (core layer) sebagai ciri utama dari tipe-tipe massa air

di perairan TLSH di sepanjang 88o BT antara 4o LU – 11o LS, diperlihatkan pada

Gambar 11.

Tabel 4.Tipe Massa Air di Perairan Timurlaut Samudera Hindia (Wyrtki, 1961)

No. Tipe Massa Air Karakteristik T (oC) S (‰) O2 (ml/l) 1. Subtropical Lower Water S-maksimum 16 – 27 34,6 – 36,0 >2,5 2. Northern Salinity Minimum S-minimum 16 – 19 34,8 – 35,0 1,0 – 2,0 3. Southern Salinity Minimum S-minimum 12 – 17 34,5 – 34,8 1,6 – 2,5 4. Upper Oxygen Minimum O2-minimum 12 – 16 34,8 – 35,1 <1,6 5.

Persian Gulf Water t < 27,0 S-maksimum O2-maksimum 8 – 14 11 – 13 34,6 – 35,1 34,9 – 35,1 1,0 – 2,0 1,2 – 2,2 6. Lower Oxygen Maximum O2-maksimum 8 – 11 34,7 – 35,1 3,2 – 4,0 7.

Red Sea Water t = 27,2 – 27,4 S-maksimum O2-minimum 7 – 9 6 – 10 >34,8 34,6 – 35,0 0,7 – 1,4 <2,1 8. Banda Sea Water S-Minimum 4,5 – 6 34,5 – 34,9 1,3 – 2,4

Gambar 11. Skema Posisi Kedalaman Core Layer di Perairan Timurlaut

Samudera Hindia di Sepanjang 88o BT antara 4o LU – 11o LS

(Wyrtki, 1961).

Pada bagian bawah lapisan permukaan terdapat Massa Air Subtropik

Bawah (Subtropical Lower Water). Kedalaman lapisan gumbar massa air ini

berada 50 - 100 m. Subtropical Lower Water berasal dari Lautan India bagian

tengah dan barat laut pada kedalaman sekitar 75 m dan menyebar bersama Arus Sakal Khatulistiwa Samudera Hindia ke arah timur dan tenggelam 100-125 m di

barat daya Sumatera. Selanjutnya di selatan Jawa – Sumbawa berada pada

kedalaman sekitar 125 - 150 m (Wyrtki, 1961).

Di bawah Massa Air Subtropik Bawah terdapat massa air Northern

Salinity Minimum yang menyebar bersama arus muson pada kedalaman 150 m

ke arah tenggara menuju pantai Sumatera. Massa air ini memiliki karakter

salinitas rendah 34,8-35,0 ‰ dan suhu 16-19oC serta kandungan oksigen terlarut

minimum 1-2 ml/l. Pada bagian selatan khatulistiwa terdapat massa air Southern

Salinity Minimum dengan ciri salinitas lebih rendah 34,5 - 34,8 ‰ dan suhu 12 -

17 oC serta kandungan oksigen terlarut 1,6 - 2,5 ml/l. Lapisan gumbar dari massa

air Southern Salinity Minimum ini terdapat di kedalaman 150-200 m.

Tipe massa air lain di perairan TLSH adalah Massa Air Teluk Persia (the

Persian Gulf Water) datang dari barat Sumatera pada kedalaman 150-500 m.

Massa air ini mempunyai karakter salinitas dan kandungan oksigen terlarut tinggi. Massa Air Teluk Persia dicirikan dua lapisan gumbar yaitu salinitas maksimum dan oksigen maksimum. Kedalaman lapisan gumbar berada antara 200-400 m. Di

bawah Massa Air Teluk Persia tersebut terdapat konsentrasi oksigen maksimum pada kedalaman antara 400-600 m. Massa air lainnya yang dicirikan oleh dua lapisan gumbar yakni salinitas maksimum dan oksigen minimum adalah Massa

Air Laut Merah (Red Sea Water). Lapisan gumbar massa air ini berada pada

kedalaman 600-800 m. Massa air yang hanya ditemukan di bagian selatan TLSH

adalah Massa Air Laut Banda (Banda Sea Water) berasal dari Samudera Pasifik

masuk ke TLSH melalui timur kepulauan Indonesia. Lapisan gumbar salinitas minimum massa air ini terdapat pada kedalaman di bawah 900 m.

Ekspedisi International Indian Ocean Expedition (IIOE) pada 1962-1964

di Samudera Hindia berhasil memetakan distribusi horizontal suhu dan salinitas perairan pada beberapa kedalaman. Dari hasil ekspedisi tersebut ditemukan enam massa air yang mengisi Samudera Hindia, dimana massa air TLSH terdiri dari dua

tipe yaitu tipe D (North Indian Ocean and Bengal Bay origin water mass dengan

nilai salinitas rendah, posisinya melebar dari utara dan barat Sumatera); dan tipe E

(Mixed water mass upwelled di bagian selatan yang melebar ke selatan Pulau

Jawa) (Gambar 12).

A : Southern Indian Ocean central water mass B : Arafuru Sea origin

water mass C : Arabian Sea origin

water mass

D : North Indian Ocean and Bengal Bay origin water mass E : Mixed water mass upwelled

F : Mixed water mass Southern Equatorial

Gambar 12. Massa air di Samudera Hindia bagian timur hasil eksedisi IIOE, 1966

2.5.2. Sirkulasi Massa Air Permukaan

Gambar 13 memperlihatkan pola arus di Samudera Hindia pada musim timur laut dan Gambar 14 pola arus musim barat daya. Pada bulan Januari dan

Pebruari, Northeast Monsoon Season (muson timurlaut) telah mencapai kekuatan

maksimal di atas Teluk Bengal dan juga perluasan maksimal ke selatan. Arus

Khatulistiwa Utara (North Equatorial Current) berkembang dengan kuat ke arah

barat dan di Teluk Bengal terbentuk sebuah eddy antisiklonik yang besar. Bagian

melewati khatulistiwa ke selatan yang disebabkan oleh muson. Arus Sakal

Khatulistiwa (Equatorial Counter Current) didorong jauh ke selatan dan mengalir

antara 3o–5o LS pada suatu lajur yang sempit. Jerlov (1953) dalam Wyrtki (1961)

mencatat Arus Sakal Khatulistiwa bulan Maret 1948 berada antara 6o– 8o LS.

Gambar 13. Pola Arus Samudera Hindia pada Musim Timur Laut

(Sumber: adapted from Cutler and Swallow, 1984 dalam Tomczak and Godfrey, 1994)

Gambar 14. Pola Arus pada Musim Barat Daya di Samudera Hindia

(Sumber: adapted from Cutler and Swallow, 1984 dalam Tomczak and Godfrey, 1994)

Keterangan:

Arus: EAC (East Arabian Current); SJC (South Java Current); ZC (Zanzibar Current); EMC (East Madagascar Current); dan SC (Somali Current). Front: STF (Sub Tropical Front); SAF (Sub Antarctic Front); PF (Antarctic Polar Front); dan WGB (Weddell Gyre Boundary). (Sumber: diadaptasi dari Cutler and Swallow, 1984 dalam Tomczak and Godfrey, 1994)

Muson timurlaut berakhir pada bulan Maret dan di bulan April muson

baratdaya mulai secara bertahap. Eddy antisiklonik di Teluk Bengal masih ada dan

Khatulistiwa telah meningkat dengan cukup besar dan memperluas lebar aliran

dari 3o LU – 5o LS. Arus Sakal tersebut berputar ke barat di sekitar 7o LS dan

kemudian bergabung dengan Arus Khatulistiwa Selatan (South Equatorial

Current). Sebagian massa air Arus Sakal ini terus bergerak ke tenggara sepanjang

pantai barat Sumatera dan kemudian menjadi Arus Pantai Jawa (Wyrtki, 1961). Pada bulan Juni sampai Oktober, muson baratdaya bertiup dengan kekuatan penuh

ke arah India dan menyebabkan perkembangan arus hanyutan (drift current) utara

khatulistiwa yang kuat dan aliran-aliran lebih lemah di Teluk Benggala.

Selanjutnya aliran-aliran ini bergerak sepanjang sisi bagian timur Teluk Bengal. Sebagian dari massa air ini mengalir melewati Laut Andaman dan selanjutnya di sekitar pojok barat (bagian ujung atas sebelah barat Sumatera) mengalir ke arah selatan. Arus Muson yang mengalir melalui selatan Srilangka ke timur sebagian melewati bagian atas Pulau Andaman dan sebagian lagi dibelokkan ke selatan ketika mendekati pojok barat Sumatera. Arus Sakal Khatulistiwa mengalir ke arah timur, kemudian membelok ke arah selatan dan selanjutnya bergabung dengan massa air Arus Khatulistiwa Selatan. Sebagian dari massa air Arus Sakal ini mengalir ke tenggara sepanjang pantai barat Sumatera.

Dari bulan Juli-Oktober, ketika muson tenggara berada di atas pantai selatan Jawa dengan kekuatan penuh dan Arus Khatulistiwa Selatan didorong jauh ke utara, cabang Arus Sakal ini membelok ke dalam Arus Khatulistiwa Selatan di lepas pantai Selat Sunda tetapi dari bulan November, Arus Khatulistiwa Selatan menyimpang ke arah pantai dan arus kecil terbentuk ke arah timur di selatan Jawa yang merupakan kelanjutan dari arus pantai Sumatera. Arus Pantai Jawa (APJ) ini mencapai perkembangan terkuat bulan Februari, saat APJ tersebut diperkuat oleh angin barat (Soeriaatmadja, 1957). Arus Pantai Jawa tetap terbentuk sampai bulan Juni, setelah permulaan muson tenggara. Adanya APJ pada bulan Juni ini memberikan suatu kesimpulan bahwa arus ini disebabkan oleh kondisi dinamis

daripada oleh angin. Secara temporal juga ditemukan upwelling lemah muncul di

sepanjang batas antara APJ dan Arus Khatulistiwa Selatan/AKS (Wyrtki, 1961). Muson tenggara pada bulan Oktober sudah sangat lemah. Arus muson mengalir sebagai hanyutan lemah dan arus hanyutan tersebut di dalam Teluk

yang lain, Arus Sakal Khatulistiwa menjadi lebih kuat. Dari bulan Juni sampai Oktober, massa air Arus Sakal Khatulistiwa setelah bergabung dengan massa air Arus Muson di wilayah barat Sumatera membelok ke selatan dan selanjutnya bergabung dengan AKS melalui sisi atas massa air AKS tersebut. Selanjutnya Wyrtki (1961) menyatakan AKS ini terbentuk dengan intensitas kuat sepanjang

tahun dan batas di bagian utara arus ini bervariasi antara 7o - 10o LS.

Pada bulan Desember, sirkulasi di bagian utara Samudera Hindia telah berubah. Dalam Teluk Bengal, arus hanyutan terbentuk dan selanjutnya arus ini bergerak ke baratdaya bergabung dengan Arus Khatulistiwa Utara (AKU). Arus hanyutan ini disuplai sebagian oleh air yang keluar dari Selat Malaka, tetapi dominan oleh massa air dari Arus Sakal Khatulistiwa yang memutar ke arah utara di lepas pantai barat Sumatera. Sumbu Arus Sakal ini berada dekat atau sekitar

khatulistiwa dengan batas utara-selatan mencapai sekitar 2o LU dan 6o LS. Pada

sekitar 2o LS terbentuk sebuah divergence yang membagi massa air sebagian

membelok ke arah utara dan sebagian lagi membelok ke arah selatan (Gambar 14).

Divergence ini menghilang pada bulan Pebruari, kemudian divergence tersebut

digantikan oleh sebuah convergence (saat Arus Sakal Khatulistiwa mengalir lebih

kuat dan memberikan lebih banyak air jauh ke selatan). Fenomena lain yang

terjadi adalah adanya upwelling di sepanjang pantai barat Myanmar dan Thailand

dari bulan Desember–Pebruari selama muson timurlaut.

Menurut Wyrtki (1961), Arus Sakal Khatulistiwa terjadi sepanjang tahun dan berada di sekitar khatulistiwa kecuali dari bulan Januari sampai Maret, posisi Arus Sakal ini bergeser ke selatan. Lebih lanjut Wyrtki (1961) juga menyatakan sirkulasi di wilayah utara dari Arus Sakal Khatulistiwa dipengaruhi oleh muson. Dari bulan Desember sampai April, AKU mengalir ke barat di bawah pengaruh

muson timurlaut, sedangkan dari bulan Juni–Oktober terbentuk arus muson yang

bergerak ke arah timur (pada bulan Oktober arus muson sudah sangat lemah).

2.5.3. Pengaruh Gelombang Kelvin

Pada perairan Samudera Hindia, penjalaran gelombang Kelvin yang

dikenal dengan Equatorial Trapped Kelvin Waves (ETKW), pada waktu-waktu

Jawa. Fenomena ini dipicu oleh apa yang disebut gaya penggerak jarak jauh

(remote forcing) dan jejaknya dapat dipantau melalui data pasang surut, efeknya

menaikkan muka laut rata-rata dibanding waktu biasanya .

Selama periode transisi monsun (musim pancaroba) yaitu sekitar April-Mei dan Oktober-Nopember, berhembus angin daratan yang sangat kuat di ekuator Samudera Hindia sebelah barat yang kemudian membangkitkan arus deras

ke timur yang disebut dengan Wyrtki Jet. Arus ini sangat kuat, hasil pengamatan

langsung terhadap arus deras ini mempunyai kecepatan 0,7-2.1 m/detik (Wyrtki

(1973), Molinari et al., (1990), Michida dan Yoritaka (1996) dalam Susanto et al.,

(2001). Arus deras yang terbatas hanya di permukaan perairan ekuator ini

terbentuk setelah kira-kira satu minggu setelah angin baratan mulai bertiup. Massa air di bawahnya kemudian menyesuaikan gaya angin tersebut sebagai apa yang

disebut dengan downwelling Kelvin Wave. Gelombang ini selanjutnya bergerak

ke timur sepanjang ekuator barat Samudera Hindia dan kemudian membentur pantai barat Sumatera di garis ekuator Indonesia dan direfleksikan kembali ke Samudera Hindia dalam bentuk gelombang Rossby. Gelombang balik ini terbagi

dua yang kemudian bergerak ke utara dan ke selatan (Susanto et al., 2001).

Gelombang ini dikenal dengan nama Coastally Trapped Kelvin Waves (CTKWs).

Gelombang Kelvin yang bergerak ke selatan bergerak dari ekuator Samudera Hindia ke arah tenggara sejajar pantai Sumatera dan sepanjang pantai selatan Jawa hingga Lombok. Sedangkan yang ke arah utara bergerak menuju pantai barat Aceh. Fenomena penjalaran gelombang ini pernah ditelaah oleh Wyrtki (1961) dan Pariwono (1989) melalui rekaman data pasang surut yang ditandai dengan kenaikan tinggi muka laut sepanjang pantai barat Sumatera dan selatan Jawa. Memasuki Musim Timur, gelombang Kelvin dari ekuator Samudera Hindia menjalar sepanjang pantai selatan Pulau Sumatera dan Jawa dan mendorong sebagian massa air hangat dari perairan internal Selat Sunda.

Dokumen terkait