DIPOLE MODE) HUBUNGANNYA DENGAN HASIL
TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN
BARAT SUMATERA
KHAIRUL AMRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi yang berjudul: Kajian Kesuburan Perairan pada Tiga Kondisi Moda
Dwikutub Samudera Hindia (Indian Ocean Dipole Mode) Hubungannya dengan
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Perairan Barat Sumatera, merupakan gagasan
atau hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan dari komisi pembimbing, kecuali
yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan
untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2012
Khairul Amri
KHAIRUL AMRI. Study of Primary Productivity on Indian Ocean Dipole Mode Event and Its Relationships to Pelagic Fish Catch Abundance in Western Part of Sumatera Waters. Supervised by: DJISMAN MANURUNG, JONSON LUMBAN GAOL, and MULYONO S. BASKORO.
KHAIRUL AMRI. Kajian Kesuburan Perairan pada Tiga Kondisi Moda Dwikutub Samudera Hindia (Indian Ocean Dipole Mode) Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Perairan Barat Sumatera. Dibimbing oleh DJISMAN MANURUNG, JONSON LUMBAN GAOL, dan MULYONO S. BASKORO.
Indian Ocean Dipole Mode (IODM) adalah fenomena inter-annual di
Samudera Hindia, berupa dua kutub massa air dengan karakteristik suhu permukaan laut (SPL) yang berbeda atau menyimpang dari normalnya. Struktur
dipole mode dicirikan anomali SPL yang lebih hangat dari biasanya di bagian
barat dan lebih dingin di bagian timur Samudera Hindia, disebut dipole mode
“positif”, berakibat terjadi kekeringan di wilayah Indonesia. Kejadian sebaliknya,
dipole mode “negatif” dicirikan menghangatnya SPL di bagian timur dan menurun
di bagian barat Samudera Hindia, berakibat curah hujan tinggi di wilayah Indonesia. Dampak IODM positif di daratan selain terjadinya kekeringan dan kebakaran hutan adalah kegagalan panen hasil-hasil pertanian serta menurunnya produksi peternakan(daging, telur dan susu) akibat sulitnya mendapatkan pakan dan air. Sementara di lautan, pada saat IODM positif, terjadi upwelling yang intensifmeningkatkan kesuburan perairan.Saat terjadi perubahan musim dan iklim, dimana kondisi oseanografi turut berubah, berpengaruh terhadap sumber daya ikan, khususnya ikan pelagis. Keberadaan sumberdaya ikan berhubungan dengan perubahan suhu, salinitas, kandungan oksigen terlarut dan tingkat kesuburan perairan. Perubahan suhu perairan menyebabkan perubahan densitas populasi
ikan. Pada perairan dengan kandungan zat hara tinggi, seperti di daerah upwelling,
produksi planktonnya melimpah biasanya diikuti dengan produksi ikan yang cukup tinggi.Pemahaman kaitan IODM dengan kesuburan perairan dan pengaruhnya terhadap sumberdaya perikanan pelagis di barat Sumatera sangat penting dilakukan, karena dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika kesuburan perairan terkait fenomena IODM berdasarkan sebaran klorofil-a dan variabilitas SPL serta hubungannya dengan hasil tangkapan ikan pelagis. Data yang digunakan adalah
citra SPL sensor Advanced Very High Resolution Radiometer-National Oceanic
and Atmospheric Administration (AVHRR-NOAA) dan citra klorofil-a sensor Sea
Viewing Wide Field of View Sensor (SeaWiFS). Data oseanografi in-situ
(temperatur dan salinitas) hasil pengukuran Conductivity Temperature
Depth(CTD) cruise kapal risetdan data buoy dari Geophysical Fluid Dynamic
Laboratory (GFDL)-NOAA. Data klimatologi (hari dan volume hujan) dari
Stasiun Meteorologi dan Geofisika setempat dan data Global Precipitation
Climatological Project (GPCP) dari National Aeronautics and Space
Administration (NASA). Data hasil tangkapan ikan pelagis diperoleh di beberapa
lokasi pendaratan ikan utama sepanjang pantai barat Sumatera (Aceh, Sibolga, Air Bangis, Padang/Bungus. Painan dan Bengkulu) dalam rentang waktu 1994-2009.
kedalaman 5, 25, 45, 95, 125, 145, 195, 250, 298 m yang kemudian dilakukan
griding menggunakan MATLAB 7. Data in-situ dari CTD diolah dengan software
Surfer 10 untuk mendapatkan pola sebaran mendatar, melintang, dan menegak. Data curah hujan diolah menggunakan software Microsoft Office Excel 2007 untuk mendapatkan pola dan intensitas curah hujan bulanan dalam bentuk grafik.
Citra satelit (SPL dan klorofil-a) di-ekstrak nilai ASCII-nya dan di-
re-plotingdengan Surfer 10. Penghitungan luasan massa air upwelling (SPL) dan
luasan area sebaran klorofil-a dilakukan menggunakan software Archview
5.2.Data hasil tangkapan ikan pelagis dianalisis menggunakan analisis Catch Per
Unit Effort (CPUE).
Analisis temporal citra satelit berdasarkan deret waktu (time series) rerata
mingguan untuk mengetahui variabilitas masing-masing parameter oseanografi yang diamati (citra satelit maupun data in-situ). Untuk melihat korelasi faktor oseanografi dengan kejadian IODM digunakan data rerata mingguan/bulanan. Untuk melihat hubungan hasil tangkapan dengan parameter oseanografi dilakukan proses tumpang tindih (overlay) antara parameter oseanografi dari citra satelit ataupun data in-situ dengan lokasi penangkapan (fishing ground) ikan pelagis. Analisa hubungan dilakukan secara deskriptif antara parameter oseanografi, kesuburan perairan (klorofil-a) dan hasil tangkapan ikan pelagis, dibandingkan berdasarkan fase IODM (positif, negatif dan normal) berikut intensitasnya dan keterkaitannya dengan ENSO (El Niño, La Niña dan normal).
Parameter oseanografi yang mendapat pengaruh besar IODM adalah SPL, nilai sebarannya mengalami penurunan (lebih dingin) pada fase IODM positif dan mengalami peningkatan (lebih hangat) fase IODM negatif. Standar deviasi SPL menunjukan simpangan nilai sebaran SPL lebih besar di barat Sumatera, dibandingkan selatan Jawa Barat dengan pola semakin tinggi ke arah selatan (perairan Bengkulu dan barat Lampung) dan semakin melemah ke arah utara (perairan Aceh). Asosiasi IODM dengan ENSO, menunjukkan peran ENSO dalam memperkuat/memperlemah dampak IODM terhadap anomali SPL. Penurunan SPL fase IODM positif terkait terjadinya upwelling intensif pada musim timur. Massa air upwelling memiliki nilai sebaran SPL ≤ 26 0C (22-26 0C). Upwelling intensitas tinggi terjadi fase IODM positif kuat 1994, 1997 dan 2006 dengan
dampak terbesar tahun 1997 (IODM positif kuat in-phase El Niño kuat);
upwelling intensitas sedang terjadi fase IODM positif lemah (2002, 2003, 2007 dan 2008); dan fase normal (2001) tidak ditemukan indikasi terjadinya upwelling. Terdapat perbedaan signifikan luasan massa air upwelling fase IODM positif kuat
berasosiasi El Niño sedang (1994); in-phase El Niño kuat (1997); dan berasosiasi
El Niño lemah (2006) masing-masing berkisar 2,01–58,88%
(93.229,56-2.722.435,23 km2);0,35-50,39% (16.149,83-2.312.607 km2); dan 0,03-43,09%
(13.704,28-1.920.950,20 km2).
Suamatera) dan 0,48 mg/m3 (selatan Jawa Barat). Fase IODM positif kuat 2006, nilai sebaran rerata klorofil-a lebih tinggi di perairan Jawa Barat (0,4 mg/m3)
dibanding di barat Sumatera (0,35 mg/m3). Nilai sebaran rerata klorofil-a terendah
terjadi fase IODM negatif (1998 dan 2005) dengan nilai sebaran maksimum 0,2
mg/m3. Luasan massa air pengkayaan klorofil-a di barat Sumatera fase IODM
positif kuat in-phase El Niño kuat 1997: 35,98-60,03%
(1.633.627,06-2.866.389,58 km2); fase IODM positif kuat berasosiasi El Niño lemah 2006:
11,39-40,82% (516.671,19-1.855.643,17 km2); fase IODM positif lemah
berasosiasi El Niño lemah 2002: 4,43–25,57 % (201.572,34-1.162.379,97 km2); dan fase IODM positif lemah berasosiasi El Niño sedang 2007: 4,38-35,25%
(150.089,11-1.602.001,09 km2).
Hasil tangkapan ikan pelagis meningkat tajam pada tahun-tahun IODM positif kuat dan menurun pada tahun-tahun IODM negatif. Di perairan Aceh, CPUE purse seine sangat tinggi pada fase IODM positif kuat(2006), ikan
tangkapan dominan jenis layang (Decapterus macrosoma dan D. macarellus). Di
perairan Sibolga, hasil tangkapan pelagis besar (tuna, cakalang dan tongkol) sangat tinggi fase IODM positif lemah (2003) dibandingkan tahun 2005 (IODM negatif). Di perairan Air Bangis, hasil tangkapan ikan pelagis kecil (layang, kembung, banyar, siro, teri) tahun 1997 melonjak dua kali lipat dari tahun lainnya. Di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus, hasil tangkapan ikan pelagis besar sangat tinggi fase IODM positif kuat (1994, 1997 dan 2006). Tahun 1998
(fase IODM negatif kuat berasosiasi La Niña sedang) hasil tangkapan juga tinggi,
diduga akibat upwelling tahun 1997 yang berlanjut sampai awal 1998.
Fluktuasi hasil tangkapan ikan pelagis kecil mengikuti pola sebaran SPL (SPL rendah) dan sebaran klorofil-a tinggi.Hasil tangkapan menunjukkan keterkaitan dengan pola sebaran SPL (rendah) dan klorofil-a (tinggi). Tingginya hasil tangkapan fase IODM positif terkait dengan upwelling. Ikan-ikan jenis oseanik seperti layang, banyar dan siro bersifat salinity oriented sumberdayanya melimpah pada fase IODM positif karena upwelling yang intensif membawa naik massa air dari lapisan dalam ke permukaan dengan karakteristik salinitas tinggi dan SPL rendah juga kaya nutrien. Pengkayaan nutrien memicu peningkatan kesuburan perairan (produktivitas primer) ditandai kelimpahan klorofil-a yang identik dengan kelimpahan fitoplankton. Keterkaitan ikan pelagis kecil dengan klorofil-a, dapat dijelaskan karena makanan utama ikan jenis ini didominasi oleh jenis-jenis fitoplankton terutama diatome dan dinoflagelata serta zooplankton dari kelas Crustacea, Mollusca dan Copepoda. Hasil tangkapan ikan pelagis kecil
(layang dan teri)di Painan menunjukkan adanya time lag (waktu tenggat), antara
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan
penulisan Karya Ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
OCEAN DIPOLE MODE) HUBUNGANNYA DENGAN HASIL
TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN
BARAT SUMATERA
KHAIRUL AMRI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Mayor Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor
2. Prof. (Riset) Dr. Ali Suman
Kepala Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL)
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan
dan Perikanan, KKP, Jakarta
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc.
Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Bidawi Hasyim, M.Si.
Peneliti Utama Lembaga Penerbangan dan
Judul Disertasi : Kajian Kesuburan Perairan pada Tiga Kondisi Moda
Dwikutub Samudera Hindia (Indian Ocean Dipole Mode)
Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Perairan Barat Sumatera
Nama : Khairul Amri
NRP : C562080011
Mayor : Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui,
Mayor Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ketua,
Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
petunjuk-Nya disertasi dengan judul “Kajian Kesuburan Perairan pada Tiga
Kondisi Moda Dwikutub Samudera Hindia (Indian Ocean Dipole Mode)
Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Perairan Barat Sumatera”, ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih atas segala arahan dan bimbingan dari
Komisi Pembimbing yakni Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. selaku Ketua
Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Mayor Teknologi Kelautan dan Dr. Ir.
Jonson Lumban Gaol, M.Si serta Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M. Sc. selaku
Anggota Komisi Pembimbing. Seluruh staf pengajar pascasarjana Mayor
Teknologi Kelautan yang telah membekali penulis dengan ilmu dan pengetahuan.
Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. (Riset) Dr. Indroyono Soesilo,
M.Sc.dan Drs. Asep D. Muhammad, M.Si yang telah membukakan jalan bagi
penulis mendapatkan beasiswa S3 sebagai hadiah BRKP Award. Pimpinan/staf
Balitbang Kelautan dan Perikanan dan Pusdik Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Terima kasih atas bantuan moril, materil dan data penulis sampaikan
kepada Prof. (Riset) Dr. Ali Suman, Ir. Mahiswara M.Si, Ir. Tuti Hariati, serta Ir.
Hufiadi, M.Si. (BPPL); Dr. Fadli Samsudin dan Dr.Nani Hendiarti
(P3-TISDA-BPPT); Dr. Aryo Hanggono, DEA., dan La Ode Nurman, S.Pi., M.Si (P3TKP);
Prof. Dr. Suharsono (LON-LIPI); Dr. R. Dwi Susanto (LDEO, Columbia
University, New York); serta Hanum, Dipo, Mas Fahmi dan Mas Awir.
Akhirnya, terima kasih yang tak terbilang kepada seluruh keluarga: Apa,
almarhumah Amak dan kakak-kakak serta adik-adik dan secara khusus kepada
isteri tercinta Nia Tini serta anak-anakku tersayang: Restu, Bismi, dan Alya, atas
doa, kasih, dukungan dan pengorbanannya.Semoga disertasi ini bermanfaat
Bogor, Juli 2012
Penulis dilahirkan di Tungkar, Payakumbuh, Sumatera Barat (5 Juni 1967)
sebagai anak keempat dari enam bersaudara pasangan Bapak Chairuddin Am dan
Ibu Syahrian. Menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Tungkar (1981); SMP
Negeri Situjuh-Payakumbuh (1984); dan Sekolah Usaha Perikanan Menengah
(SUPM) Negeri Bogor (1987). Bekerja pertama kali sebagai aquaculturist pada
proyek tambak udang PT. Migra Tirta Saranindo di Lampung (1998-1990).
Jenjang pendidikan sarjana (S-1) diselesaikan di Fakultas Perikanan Universitas
Satya Negara Indonesia (USNI) Jakarta (1997),sambil bekerja sebagai reporter
majalah Agribisnis Tumbuh dan menjadi penulis lepas di berbagai media cetak di
Jakarta (1990–sekarang). Gelar Magister Sains (S-2) Teknologi Kelautan
diperoleh dari IPB Bogor (2002).
Pada 1998–2003 bekerja sebagai staf Lab. Remote Sensing & GIS, Dit
TISDA- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Menjadi
tenaga ahli untuk proyek kelautan dan perikanan PT (Persero) Succofindo
(2000-2002). Sejak akhir 2003 menjadi peneliti pada Badan Riset Kelautan dan
Perikanan/BRKP (sekarang: Badan Litbang Kelautan dan Perikanan),
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Jakarta, yaitu di Balai Riset
Perikanan Laut (2003-2006) dan Pusat Riset Perikanan Tangkap (sekarang: Pusat
Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan/P4KSDI)
(2006–sekarang). Penulis juga mengabdikan ilmu sebagai dosen di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI Jakarta (sejak 1998–sekarang).
Pada akhir 2007, penulis mendapat penghargaan “BRKP Award” sebagai
Peneliti Muda Berprestasi: Juara I Lomba Penulisan Ilmiah. Hadiah berupa
beasiswa S-3 menghantarkan penulis melanjutkan studi doktoral pada Mayor
Teknologi Kelautan (TEK), Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2008.
Karya ilmiah berjudul Variabilitas Klorofil-a di Perairan Barat Sumatera
dan Selatan Jawa Barat Fase Indian Ocean Dipole Mode (IODM) Positif dimuat
di Jurnal Kelautan Nasional pada Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi
Kelautan dan Perikanan – Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
di Jurnal Segara pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan
Pesisir – Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Kedua
xiii Halaman
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xxix
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 5
1.6. Nilai Kebaruan (Novelty) ... 6
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1. Indian Ocean Dipole Mode (IODM)... 9
2.2. El-Nino Southern Oscillation (ENSO)... 13
2.3. Asosiasi IODM dengan ENSO ... 16
2.4. Kondisi Klimatologi Barat Sumatera ... 19
2.5. Kondisi Oseanografi Samudera Hindia di barat Sumatera ... 22
2.6. Produktivitas Primer ... 29
2.7. Penginderaan Jauh (Inderaja) Kelautan ... 33
2.8. Sumberdaya Perikanan Pelagis di barat Sumatera ... 40
2.9. Hubungan Kondisi Oseanografi dengan Ikan Pelagis ... 42
3. BAHAN DAN METODE ... 43
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43
3.2. Bahan dan Peralatan ... 43
3.3. Metode Pengumpulan ... 44
3.4. Pengolahan Data ... 46
3.5. Analisa Data ... 49
4. DISTRIBUSI SUHU PERAIRAN ... 53
4.1. Pola Umum SPL ... 53
4.2. Curah Hujan ... 57
4.3. Distribusi Spasial ... 61
4.3.1. IODM Positif ... 62
4.3.2. IODM Negatif ... 66
4.3.3. IODM Normal ... 68
xiv
4.6.1. IODM Positif Kuat ... 77 4.6.2. IODM Positif Lemah ... 84 4.7. Durasi Upwelling ... 89 4.8. Distribusi Vertikal Suhu dan Salinitas In-situ ... 91 4.8.1. IODM Positif Kuat ... 92 4.8.2. IODM Positif Lemah ... 95 4.8.3. IODM Negatif ... 97 4.8.4. IODM Normal ... 100
5. DISTRIBUSI KLOROFIL-A ... 105 5.1. Pola Umum Sebaran Klorofil-a ... 105 5.2. Distribusi Spasial ... 110 5.2.1. Fase IODM Positif ... 111 5.2.2. Fase IODM Negatif... 114 5.2.3. Fase IODM Normal ... 115 5.3. Variabilitas Temporal ... 117 5.4. Karakteristik Massa Air Pengkayaan Klorofil-a ... 120 5.5. Luasan Massa Air Pengkayaan Klorofil-a ... 122 5.5.1. Fase IODM Positif Kuat ... 122 5.5.2. Fase IODM Positif Lemah ... 128 5.6. Perbandingan Luasan Berdasarkan Fase IODM ... 135
6. PERIKANAN PELAGIS BARAT SUMATERA ... 139 6.1. Karakteristik Penangkapan ... 139 6.1.1. Perairan Barat Aceh ... 139 6.1.2. Perairan Sibolga ... 141 6.1.3. Perairan Sumatera Barat ... 145 6.1.4. Perairan Bengkulu ... 150 6.2. Hasil Tangkapan ... 152 6.2.1. Perairan Barat Aceh ... 152 6.2.2. Perairan Sibolga ... 161 6.2.3. Perairan Sumatera Barat ... 186 6.2.4. Perairan Bengkulu ... 206 7. HUBUNGAN HASIL TANGKAPAN DENGAN KONDISI
xv 8. KESIMPULAN DAN SARAN ... 237
8.1. Kesimpulan ... 237 8.2. Saran ... 238
DAFTAR PUSTAKA ... 239
LAMPIRAN ... 247
xvii Halaman
1. Kejadian independen dan bersamaan IODM dan ENSO
1958-1997 ... 18
2. Kelompok tahun kejadian independen dan bersamaan ENSO dengan IODM ... 18
3. Klasifikasi El Niño/La Niña menurut intensitasnya berdasarkan indeks ONI (Oseanic Nino Index) 1951-2010 ... 19
4. Tipe Massa Air di Perairan Timurlaut Samudera Hindia (Wyrtki, 1961) ... 23
5. Estimasi potensi sumberdaya ikan WPP Samudera Hindia barat Sumatera (WPP 572) dan selatan Jawa (WPP 573) ... 41
6. Kelompok IODM berdasarkan indeks DMI dan asosiasinya dengan ENSO berikut intensitasnya 1994-2009 ... 51
7. Identifikasi pengaruh IODM dan ENSO terhadap peluang terjadinya upwelling di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa berdasarkan SPL citra satelit ... 72
8. Kisaran luasan massa air upwelling berdasarkan nilai sebaran SPL di barat Sumatera tahun 1994, 1997 dan 2006 ... 79
9. Kisaran luasan massa air upwelling berdasarkan SPL di perairanselatan Jawa Barat tahun 1994, 1997 dan 2006 ... 83
10. Kisaran luasan massa air upwelling berdasarkan SPL di perairan barat Sumatera tahun 2002 dan 2007 ... 86
11. Kisaran luasan massa air upwelling berdasarkan SPL di perairan selatan Jawa Barat tahun 2002 dan 2007 ... 88
12. Nilai sebaran rata-rata tahunan dan standar deviasi klorofil-a di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa Barat 1997-2009
berdasarka fase IODM berikut asosiasinya dengan ENSO ... 107
13. Kisaran luasan massa air pengkayaan klorofil-a di perairan barat Sumatera 1997 ... 123
14. Kisaran luasan massa air pengkayaan klorofil-a di perairan selatan
Jawa Barat 1997 ... 124
15. Kisaran luasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
di perairan barat Sumatera 2006 ... 126
16. Kisaran luasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
di perairan selatan Jawa Barat 2006 ... 128
17. Kisaran luasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
xviii
19. Kisaran luasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
di perairan barat Sumatera 2007 ... 133
20. Kisaran luasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
di perairan selatan Jawa Barat 2007 ... 134
21. Nama lokal jenis ikan pelagis hasil tangkapan nelayan Sibolga di
perairan barat Sumatera ... 143
22. Jenis ikan pelagis dominan hasil tangkapan pukat cincin (pukat
rapat) Sibolga (Hariati, 2003) ... 144
23. Jenis ikan pelagis dominan hasil tangkapan pukat cincin (pukat
jarang) Sibolga (Hariati, 2005) ... 145
24. Famili ikan pelagis dominan hasil survei tahun 2005 dan 2006 ... 161
25. Estimasi jumlah hasil tangkapan ikan pelagis pukat rapat Sibolga
tahun 2003 ... 166
26. Estimasi hasil tangkapan ikan pelagis besar pukat jarang Sibolga
tahun 2003 ... 169
27. Hasil tangkapan pelagis besar pukat jarang Sibolga 2005 ... 172
28. Estimasi hasil tangkapan ikan pelagis kecil pukat rapat Sibolga
tahun 2007 ... 174
29. CPUE pelagis kecil dan CPUE total bagan perahu Sibolga ... 179
30. Panjang pertama kali tertangkap (Lc) jenis ikan pelagis kecil
yang didaratkan di Sibolga ... 182
31. Jumlah individu menurut jenis dan tingkat kematangan gonad
(TKG) ikan pelagis kecil di perairan barat Sumatera 2008 ... 185
32. Hasil tangkapan dominan, kondisi SPL dan kesuburan perairan (rata-rata tahunan) serta indikator biologi jenis ikan pelagis
berdasarkan fase IODM di perairan Aceh ... 230
33. Hasil tangkapan dominan, kondisi SPL dan kesuburan perairan (rata-rata tahunan) serta indikator biologi jenis ikan pelagis
berdasarkan fase IODM di perairan Sibolga ... 231
34. Hasil tangkapan dominan, kondisi SPL dan kesuburan perairan (rata-rata tahunan) serta indikator biologi jenis ikan pelagis
berdasarkan fase IODM di perairan Sumatera Barat ... 234
35. Hasil tangkapan dominan, kondisi SPL dan kesuburan perairan (rata-rata tahunan) serta indikator biologi jenis ikan pelagis
xix Halaman
1. Kerangka Alur Pemikiran ... 7
2. Diagram skematik anomali SPL pada saat dipole mode positif
dan dipole mode negatif (Yamagata, 1999) ... 9
3. Evolusi IODM dari hasil analisis komposit SPL di Samudera
Hindia (Saji et al., 1999) ... 11
4. Posisi penghitungan anomali SPL di WTIO dan SETIO untuk
mendapatkan indeks DMI (Saji, et al, 1999) ... 11
5. Posisi daerah pengukuran anomali SPL Nino 3.4 di Samudera
Pasifik (Sumber:www. noaa. gov) ... 14
6. Pola anomali SPL pada eventEl Niño dan La Niña (Sumber:
http://www.whoi.edu/oceanus) ... 14
7. Perbedaan SPL akibat upwelling fase IODM positif 1994 (tanpa El Niño) dan 1997 (in-phase El Niño)(Sumber: JAMSTEC, 1999) ... 17
8. Tahun-tahun kejadian El Niño/La Niña berdasarkan indeks SOI
(Sumber: http://ossfounda-tion.us/) ... 17
9. Indeks DMI 1994-2009 (atas) dan kelompok IODM berdasarkan
intensitasnya hasil standardisasi indeks DMI rata-rata 3 bulan ... 17
10. Sebaran pola curah hujan Indonesia (Aldrian dan Susanto, 2003) .. 20
11. Skema Posisi Kedalaman Core Layer di Perairan TLSH Sepanjang 88o BT antara 4o LU – 11o LS (Wyrtki, 1961) ... 24 12. Massa air di Samudera Hindia bagian timur hasil eksedisi IIOE,
1966 ... 25
13. Pola Arus Samudera Hindia pada Musim Timur Laut ... 26
14. Pola Arus pada Musim Barat Daya di Samudera Hindia ... 26
15. Hubungan fotosintesis dan cahaya (P max fotosintesis maksimum; Ic Intensitas cahaya pada titik kompensasi; R Respirasi; Pn fotosintesis bersih; Pg fotosintesis kotor; I opt intensitas cahaya pada P max; Ik Intenbsitas cahaya saturasi (Parsons, et al, 1984) ... 31
16. Prinsip dasar ocean color berkerja pada panjang gelombang visible (Sumber: http://www.eeb.ucla.edu ) ... 37
17. Reflektansi air jernih (A), klorofil (B) dan material an-organik terlarut (C) berdasarkan panjang gelombang (Sumber: http://www.eeb.ucla.edu ) ... 38
xx
Jawa Barat (B:warna biru). Kotak putih: lokasi crooping penghitungan nilai sebaran SPL/klorofil-a mewakili lokasi penangkapan ikan nelayan Aceh, Sibolga, Sumatera Barat dan Bengkulu ... 47
21. Diagram alir proses penghitungan luasan massa air ... 47
22. Grafik indeks DMI dan Nino 3.4 tahun 1994-2009 ... 50
23. Citra standar deviasi simpangan baku tahunan nilai sebaran SPL (diolah dari data SPL mingguan setiap tahun) 1994 – 2001 ... 53
24. Citra standar deviasi simpangan baku tahunan nilai sebaran
SPL (diolah dari data SPL mingguan setiap tahun) 2002– 2009 ... 54
25. Nilai sebaran rerata dan standar deviasi tahunan SPL berdasarkan fase IODM di barat Sumatera dan selatan Jawa Barat 1994-2009 ... 56
26. Curah hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian 1994-2007 ... 58
27. Curah hujan rata-rata tahunan berdasarkan fase IODM ... 58
28. Fluktuasi curah hujan bulanan di barat Sumatera 1994-2009 ... 59
29. Curah hujan rata-rata bulanan berdasarkan fase IODM
1994-2009 ... 60
30. Citra SPL (bulanan) fase IOD positif kuat 1994, 1997 dan 2006. ... 63
31. Citra SPL (bulanan) fase IODM positif lemah 2002 dan 2003 ... 65
32. Citra SPL (bulanan) fase IODM positif lemah 2007 dan 2008 ... 66
33. Citra SPL (bulanan) fase IODM negatif (1996, 1998, dan 2005) .... 67
34. Citra SPL (bulanan) fase IODM normal (1995, 1999, dan 2000) .... 69
35. Citra SPL (bulanan) fase IODM normal (2001, 2004, dan 2009) .... 70
36. Variabilitas temporal SPL mingguan citra satelit NOAA-AVHRR 1994-2009 perairan barat Sumatera dan selatan Jawa Barat kaitannya dengan Indek DMI dan ENSO berikut intensitas kekuatannya (kuat/sedang/lemah) ... 74
37. Lokasi upwelling di selatan Jawa Barat dan barat Sumatera. Ketiga citra mewakili periode puncak upwelling fase IODM positif kuat 1994, 1997 dan 2006 ... 76
38. Luasan total massa air upwelling (%: kiri) dan (km2: kanan) di barat Sumatera fase IODM positif kuat 1994, 1997, dan 2006 ... 77
xxi 41. Perbandingan luasan massa air upwelling dengan non upwelling
(%) serta besaran luasan totalnya (km2) di selatan Jawa Barat fase IODM positif kuat 1994, 1997, dan 2006 ... 81
42. Luasan massa air upwelling (% & km2) berdasarkan nilai sebaran SPL di perairan selatan Jawa Barat fase IODM positif kuat 1994 ... 82
43. Kisaran terluas massa air upwelling fase IOD positif kuat di perairan selatan Jawa Barat. ... 83
44. Perbandingan luasan total massa air upwelling dengan non upwelling (%) serta besaran luasan totalnya (km2) di barat Sumatera fase IODM positif lemah 2002 dan 2007 ... 84
45. Luasan massa air upwelling (km2) berdasarkan nilai sebaran SPL di perairan barat Sumatera fase IODM positif lemah 2002 dan 2007... 85
46. Kisaran terluas massa air upwelling fase IOD positif lemah di perairan barat Sumatera ... 86
47. Perbandingan luasan massa air upwelling dengan non upwelling (%) serta besaran luasan totalnya (km2) di selatan Jawa Barat fase IODM positif lemah 2002 dan 2007 ... 87
48. Luasan massa air upwelling (% & km2) berdasarkan nilai sebaran SPL di perairan selatan Jawa Barat fase IODM positif lemah 2002 dan 2007 ... 88
49. Kisaran terluas massa air upwelling fase IOD positif lemah di perairan selatan Jawa Barat ... 89
50. Durasi upwelling fase IODM positif kuat di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa Barat ... 90
51. Durasi upwelling fase IODM positif lemah di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa Barat ... 90
52. Sebaran melintang rerata suhu permusim barat Sumatera data buoy fase IODM positif kuat berasosiasi El Niño sedang 1994 ... 91
53. Sebaran vertikal rerata permusim perairan barat Sumatera dari data buoy fase IODM positif kuat berasosiasi El Niño kuat 1997 .. 92
54. Sebaran vertikal rerata permusim perairan barat Sumatera dari data buoy fase IODM positif kuat berasosiasi El Niño kuat 1997 .. 93
xxii
57. Sebaran vertikal rerata suhu permusim dari data buoy fase IODM positif lemah berasosiasi La Niña lemah tahun 2002, 2003 dan 2007 ... 96
58. Sebaran SPL pengukuran in-situ perairan barat Sumatera Juni 2003 (Sumber: survei K/R Baruna Jaya VIII LIPI) ... 97
59. Sebaran menegak suhu dan salinitas berdasarkan kedalaman di perairan barat Sumatera Juni 2003 (Sumber: survei K/R Baruna Jaya VIII LIPI) ... 97
60. Grafik sebaran vertikal rerata suhu permusim dari data buoy fase IODM negatif berasosiasi ENSO normal tahun 1996, 1998 dan 2005 ... 98
61. Profil suhu vertikal stasiun 19, 20, 21, 22 and St 23 (stasiun lepas pantai) perairan barat Aceh Post Tsunami Expedition R/V Bawal Putih, Juli – Agustus 2005 ... 99
62. Profil suhu vertikal pada stasiun dekat pantai perairan barat
Aceh Post Tsunami Expedition R/V Bawal Putih, Juli – Agustus
2005 ... 99
63. Profil selinitas vertikal pada stasiun 19, 20, 21, 22 and St 23 (stasiun lepas pantai) perairan barat Aceh Post Tsunami
Expedition R/V Bawal Putih, Juli – Agustus 2005 ... 100
64. Profil salinitas vertikal pada stasiun dekat pantai perairan barat
Aceh Post Tsunami Expedition R/V Bawal Putih, Juli – Agustus
2005 ... 100
65. Grafik sebaran vertikal rerata bulanan suhu permusim dari data
buoy fase IODM normal berasosiasi La Niña lemah tahun 1995 .... 101
66. Grafik sebaran vertikal rerata bulanan suhu permusim dari data
buoy fase IODM normal berasosiasi La Niña sedang tahun 1998 ... 101
67. Grafik sebaran vertikal rerata bulanan suhu permusim dari data
buoy fase IODM normal berasosiasi La Niña lemah tahun 2000 ... 101
68. Sebaran vertikal suhu dan salinitas bulan September-Agustus
(sumber: survei Pre-JIGSE 2000, BPPT) ... 102
69. Grafik sebaran vertikal rerata bulanan suhu permusim dari data
buoy fase IODM normal berasosiasi ENSO normal tahun 2001 ... 103
70. Grafik sebaran vertikal rerata bulanan suhu permusim dari data
buoy fase IODM normal berasosiasi El Niño lemah 2004 ... 103
xxiii 73. Citra SSC IODM Positif kuat in-phase El-Nino kuat 1997 ... 111
74. Citra SSC IODM Positif kuat in-phase El-Nino lemah 2006 ... 111
75. Citra SSC IODM positif lemah in-phase El-Nino lemah 2002 ... 112
76. Citra SSC IODM positif lemah in-phase ENSO normal 2003 ... 113
77. Citra SSC IODM positif lemah in-phase La-Nina lemah 2007 ... 113
78. Citra SSC IODM positif lemah in-phase ENSO normal 2008 ... 113
79. Citra SSC IODM negatif sedang in-phase La-Nina sedang 1998 ... 114
80. Citra SSC IODM negatif sedang in-phase ENSO normal 2005 ... 114
81. Citra SSC IODM normal in-phase La-Nina sedang 1999 ... 116
82. Citra SSC IODM normal in-phase La-Nina lemah 2000... 116
83. Citra SSC IODM normal in-phase ENSO normal 2001 ... 116
84. Citra SSC IODM normal in-phase El-Nino lemah 2004 ... 117
85. Citra SSC IODM normal in-phase El-Nino lemah 2009 ... 117
86. Variasitemporal sebaran rata-rata mingguan klorofil-a
berdasarkan waktu (1997-2009) di barat Sumatera dan selatan
Jawa Barat terkait intensitas IODM dan ENSO ... 119
87. Pengkayaanklorofil-a IODM negatif sedang in-phase La-Nina
kuat 1998 di perairan pantai yang terdapat muara sungai ... 120
88. Puncakupwelling 1997 berdasarkan sebaran SPL dan puncak
pengkayaan klorofil-a ... 121
89. Puncakupwelling 2006 berdasarkan nilai sebaran SPL dan
puncak pengkayaan klorofil-a... 122
90. Luasan massa air pengkayaan klorofil-a di barat Sumatera
IODM positif kuat in-phase El-Nino kuat 1997 ... 122
91. Grafik luasan massa air pengkayaan klorofil-a berdasarkan nilai
sebarannya di barat Sumatera 1997 ... 123
92. Luasan massa air pengkayaan klorofil-a dan luasannya di selatan
Jawa Barat IODM positif kuat in-phase El-Nino kuat 1997 ... 124
93. Grafikluasan massa air pengkayaan klorofil-a berdasarkan nilai
sebarannya di selatan Jawa Barat 1997 ... 125
94. Luasan massa air pengkayaan klorofil-a di barat Sumatera fase
IODM positif kuat in-phase El-Nino lemah 2006 ... 126
95. Prosentaseluasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember) berdasarkan nilai sebarannya di barat Sumatera 2006
xxiv
97. Grafikluasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
berdasarkan nilai sebarannya di selatan Jawa Barat 2006 ... 128
98. Luasan massa air pengkayaan klorofil-a di barat Sumatera
IODM positif lemah in-phase El-Nino lemah 2002 ... 129
99. Grafik luasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
berdasarkan nilai sebarannya di barat Sumatera 2002 ... 130
100. Luasan massa air pengkayaan klorofil-a dan luasannya di selatan Jawa Barat IODM positif lemah in-phase El-Nino lemah
2002 ... 130
101 Grafik luasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
berdasarkan nilai sebarannya di selatan Jawa Barat 2002 ... 131
102 Luasan massa air pengkayaan klorofil-a di selatan Jawa Barat
IODM positif lemah in-phase El-Nino sedang 2007 ... 132
103. Grafik luasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
berdasarkan nilai sebarannya di barat Sumatera 2007 ... 133
104 Luasan massa air pengkayaan klorofil-a (%: kiri) dan (km2: kanan) di selatan Jawa Barat fase IODM positif lemah
berasosiasi El Niño sedang 2007 ... 134
105. Grafik luasan massa air pengkayaan klorofil-a (Juni-Desember)
berdasarkan nilai sebarannya di selatan Jawa Barat 2007 ... 135
106. Perbandinganluasan massa air pengkayaan klorofil-a IODM positif kuat dengan IODM positif lemah berikut asosiasinya
dengan ENSO di barat Sumatera... 136
107. Perbandinganluasan massa air pengkayaan klorofil-a IODM positif kuat dengan IODM positif lemah berikut asosiasinya
dengan ENSO di dan selatan Jawa Barat ... 136
108. Fishing ground konvensional dan lokasi rumpon nelayan Aceh
di barat Sumatera... 141
109. Daerah penangkapan ikan (DPI) pukat cincin Sibolga ... 142
110. Lokasifishing ground nelayan tonda Sumatera Barat ... 149
111. Lokasi pemasangan rumpon nelayan tonda Sumatera Barat
(Sumber: DKP Sumater Barat, 2006) ... 149
112. Hasiltangkapan layang biru per tahun dan per bulan di perairan
Aceh1995-1997 ... 152
113. Hasiltangkapan rata-rata bulanan layang biru di perairan Aceh
1995-1997 ... 153
114. Hasiltangkapan layang (layang biru dan layang deles)
xxv 116. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan ikan pelagis jenis layang,
kembung dan lemuru di PPI Lampulo 2005-2009 ... 155
117. Produksituna, cakalang dan tongkol di pantai barat Sumatera
LhokNga dan Lampulo 2002-2008 ... 156
118. Perkembangan jumlah produksi ikan pelagis besar di Aceh
Besar 2000-2008 (Sumber: Hufiadi et al, 2010) ... 157
119. Perkembangan jumlah produksi ikan pelagis besar di Banda
Aceh 2000-2008 (Hufiadi et al, 2010) ... 157
120. CPUE purse seine Aceh Besar 2000-2008 (Hufiadi et al, 2010) ... 158
121. CPUE pancing tonda Aceh Besar 2000-2008 (Hufiadi et al,
2010) ... 158
122. CPUE purse seine Banda Aceh 2000-2008 (Hufiadi et al, 2010) .... 159
123. CPUE pancing tonda Banda Aceh 2000-2008 (Hufiadi et al,
2010) ... 159
124. Hasiltangkapan total pelagis kecil di barat Sumatera (Sibolga)
1990-1994 ... 162
125. Komposisi jenis hasil tangkapan total tahunan (%) 1990-1994 ... 163
126. CPUEtahunan berdasarkan jenis ikan pelagis kecil 1990-1994 ... 163
127. CPUEbulanan ikan pelagis kecil hasil tangkapan nelayan
Sibolga 1992-1994 ... 164
128. Hasiltangkapan total ikan pelagis nelayan Sibolga dan Tapanuli
Tengah 1998-2002 ... 165
129. Grafik hasil tangkapan ikan pelagis pukat rapat Sibolga 2003 ... 166
130. CPUE ikan pelagis kecil pukat rapat Sibolga 2003 ... 166
131. Komposisijenis hasil tangkapan total (%) ikan pelagis pukat
rapat Sibolga 2003 ... 167
132. Komposisi jenis hasil tangkapan per bulan pukat rapat 2003... 168
133. Grafik hasil tangkapan ikan pelagis besar pukat jarang Sibolga
2003 ... 168
134. CPUE ikan pelagis besar pukat jarang Sibolga 2003 ... 169
135. Prosentase total hasil tangkapan pukat jarang Sibolga 2003 ... 170
136. Komposisi hasil tangkapan pukat jarang Sibolga 2003 ... 170
137. Fluktuasi hasil tangkapan pukat rapat dan pukat jarang 2003 ... 171
138. Indeks kelimpahan ikan pelagis kecil barat Sumatera 2003 ... 171
139. Fluktuasihasil tangkapan pelagis besar pukat jarang Sibolga
xxvi
141. Komposisi jenis hasil tangkapan ikan pelagis pukat jarang
Sibolga tahun 2003 dan 2005 ... 173
142. Estimasi hasil tangkapan total pukat rapat Sibolga 2007 ... 174
143. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan jenis-jenis ikan pelagis kecil
pukat rapat Sibolga 2007 ... 174
144. Komposisi jenis ikan pelagis hasil tangkapan pukat rapat 2003 .... 175
145. Perbandingan hasil tangkapan pelagis kecil dan besar (tongkol)
pukat rapat Sibolga 2007 ... 175
146. Estimasi hasil tangkapan total ikan pelagis pukat rapat Sibolga
2008 ... 176
147. CPUE (estimasi) ikan pelagis kecil hasil pukat rapat Sibolga
2008 ... 176
148. Komposisi jenis ikan pelagis pukat rapat Sibolga 2008 ... 176
149. Perbandingan trip pukat rapat dan pukat jarang Sibolga
2007-2008 ... 177
150. Komposisi hasil tangkapan bagan perahu di Sibolga tahun
2000-2008 (Hariati, et al., 2010) ... 178
151. Jumlah trip bagan perahu Sibolga tahun 2000-2008 (Hariati, et
al., 2010) ... 179
152. CPUEbagan perahu Sibolga 2004-2008 ... 179
153. a-b-c. Komposisi hasil tangkapan ikan pelagis bagan perahu
Sibolga 2000-2007 ... 180
154. Kurva logistik ukuran ikan pelagis kecil : ikan layang (Decapterus russelli dan Rastrelliger kanagurta ) yang tertangkap pukat cincin sedang dari perairan pantai barat
Sumatera tahun 2003 ... 183
155. Kurvalogistik ukuran jenis-jenis ikan pelagis kecil yang
tertangkap pukat cincin besar di barat Sumatera 2003 -2004 ... 183
156. Kurva logistik ukuran ikan pelagis kecil yang tertangkap bagan
perahu di Sibolga Maret, Agustus dan November 2008 ... 184
157. Hasil tangkapan total ikan pelagis TPI Air Bangis ... 186
158. Hasiltangkapan ikan pelagis TPI Air Bangis 1986 ... 187
159. Hasiltangkapan total per bulan ikan pelagis TPI Air Bangis 1987 .. 188
160. Hasiltangkapan ikan pelagis TPI Air Bangis 1991 ... 188
161. Jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan berdasarkan alat tangkap
TPI Air Bangis 1991 ... 189
xxvii 165. Hasiltangkapan ikan pelagis TPI Air Bangis tahun 2003 ... 191
166. Hasiltangkapan ikan pelagis TPI Air Bangis tahun 2004 ... 192
167. Hasiltangkapan ikan pelagis TPI Air Bangis tahun 2005 ... 193
168. Hasil tangkapan total per tahun PPS Bungus 1994-2009 ... 193
169. Hasiltangkapan per hari PPS Bungus 1994-2009 ... 194
170. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan PPS Bungus 1994-2009 ... 194
171. Prosentase tangkapan berdasarkan alat tangkap PPS Bungus ... 195
172. Prosentase jenis ikan hasil tangkapan PPS Bungus ... 195
173. Produksi berdasarkan alat tangkap PPS Bungus ... 196
174. Hasiltangkapan total tuna per tahun PPS Bungus 1994-2009 ... 196
175. CPUEtuna perairan Sumatera Barat 1994-2003 (Lutfi, 2005) ... 197
176. Komposisi hasil tangkapan kelompok tuna (PPS Bungus, 2010
dan Andhika et al., 2011) ... 198
177. Prosentase hasil tangkapan jenis tuna ... 198
178. Indeksmusim penangkapan (IMP) tuna di perairan Sumatera
Barat (Andhika, et.al., 2011) ... 198
179. Hasil tangkapan total cakalang PPS Bungus 1999-2009 ... 199
180. CPUE cakalang 1999-2009 PPS Bungus ... 199
181. Hasiltangkapan bulanan cakalang 1999-2009 PPS Bungus ... 200
182. Fluktuasi hasil tangkapan setiap bulan cakalang 1999-2009 PPS
Bungus ... 200
183. Tangkapan total per tahun tongkol PPS Bungus 1999-2009 ... 201
184. CPUE tongkol 1999-2009 PPS Bungus ... 201
185. Hasiltangkapan bulanan tongkol 1999-2009 PPS Bungus ... 201
186. Fluktuasitangkapan bulana tongkol 1999-2009 PPS Bungus ... 202
187. Produksi ikan pelagis kecil Kab. Pesisir Selatan (DKP Prov.
Sumatera Barat) ... 202
188. Produksi ikan pelagis besar Kab. Pesisir Selatan (DKP Prov.
Sumatera Barat) ... 203
189. Hasil tangkapan total per tahun ikan pelagis kapal bagan PPI
Carocok 2004-2010 ... 203
190. CPUE dan trip kapal bagan PPI Carocok tahun 2004-2010 ... 204
191. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan ikan pelagis kapal bagan PPI
xxviii
193. Komposisijenis hasil tangkapan ikan pelagis per bulan kapal
bagan PPI Carocok Januari-Oktober 2010 ... 205
194. Totalproduksi ikan pelagis kecil Bengkulu 1992-1998 ... 206
195. Komposisijenis hasil tangkapan ikan pelagis kecil Bengkulu ... 206
196. CPUE ikan kembung, tembang, teri dan selar 1992-1998 ... 207
197. Hasiltangkapan total per jenis ikan 1996-2003 PPI Pulau Baai .... 207
198. Tangkapan bulanan selar, tongkol dan tenggiri di PPI P. Baai ... 208
199. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan layang PPI Pulau Baai ... 208
200. Tangkapan total per bulan ikan pelagis PPI Pulau Baai
2009-2010 ... 209
201. Komposisi hasil tangkapan tuna PPI Pulau Baai 2009-Juni 2010 ... 209
202. Grafik SPL dan Indeks DMI 1994-2009 ... 213
203. Grafik sebaran SPL dan Klorofil-a 1997-2009 ... 215
204. Plot musim ikan di perairan barat Sumatera hasil wawancara
dengan nelayan ... 218
205. Plot produksi perikanan tangkap dengan fase IODM dan
asosiasinya dengan ENSO 1995-2008 ... 218
206. Hasil tangkapan ikan total tahunan berdasarkan fase IODM ... 219
207. Grafik rerata SPL dengan hasil tangkapan ikan layang biru di
perairan Aceh 1995-1997 ... 220
208. Grafik SPL (atas) dan klorofil-a (bawah) dengan hasil tangkapan
ikan layang deles di perairan Aceh 2005-2009 ... 220
209. Grafik hubungan hasil tangkapan layang deles dengan cakalang
di perairan Aceh 2005-2009 ... 222
210. Grafik rerata SPL dengan hasil tangkapan ikan pelagis di
perairan Air Bangis 2003-2005 ... 223
211. Grafik hubungan rerata klorofil-a dengan hasil tangkapan ikan
pelagis di perairan Air Bangis 2003-2005 ... 224
212. Grafik hasil tangkapan ikan teri dengan tongkol di perairan Air
Bangis 2003-2005 ... 224
213. Grafik rerata SPL (atas) dan klorofil-a (bawah) dengan hasil
tangkapan ikan layang di perairan Painan 2004-2010 ... 226
214. Grafik rerata SPL (atas) dan klorofil-a (bawah) dengan hasil
tangkapan ikan teri di perairan Painan 2004-2010 ... 227
215. Grafik hasil tangkapan ikan teri (Stelophorus indicus) dengan
xxix Halaman
1. Posisi stasiun pengukuran CTD ... 247
2. Nilai sebaran, rata-rata dan standar deviasi SPL di barat
Sumatera dan Selatan Jawa fase IODM positif kuat ... 248
3. Nilai sebaran, rata-rata dan standar deviasi SPL di barat
Sumatera dan Selatan Jawa fase IODM positif kuat ... 249
4. Nilai sebaran, rata-rata dan standar deviasi SPL di barat
Sumatera dan Selatan Jawa fase IODM positif kuat ... 250
5. Nilai sebaran, rata-rata dan standar deviasi SPL di barat
Sumatera dan Selatan Jawa fase IODM positif kuat ... 251
6. Jenis-jenis ikan pelagis kecil di perairan barat Sumatera ... 252
Latar Belakang
Penyimpangan atau anomali iklim di Indonesia berupa kemarau panjang
atau sebaliknya curah hujan tinggi, selama ini selalu dikaitkan dengan El Niño dan
La Niña. Setelah tahun 1999 dipahami ada gejala lain yang berperan cukup besar
selain El Niño dan La Niña sebagai penyebab penyimpangan iklim, khususnya di
Samudera Hindia, yaitu Indian Ocean Dipole Mode (IOD/IODM). IODM tidak
hanya mempengaruhi iklim regional tetapi juga global (Masumoto, 2008).
Dampak terbesarnya dirasakan di kawasan sekitar Samudera Hindia (Saji et al,
1999; Webster et al, 1999).
Saji et al, (1999) mendefinisikan IODM sebagai gejala penyimpangan
iklim akibat interaksi laut dan atmosfer pada waktu-waktu tertentu yang
menunjukkan pola variabilitas penyimpangan suhu di bagian barat dan timur
Samudera Hindia disertai penyimpangan arah angin dan presipitasi. Struktur
dipole mode dicirikan anomali suhu permukaan laut (SPL) yang lebih hangat dari
biasanya di bagian barat Samudera Hindia (timur Afrika) dan lebih dingin dari
biasanya di bagian timur Samudera Hindia (barat Sumatera). Pada saat ini, di
timur wilayah tropik Afrika (barat Samudera Hindia) curah hujan meningkat,
sedangkan di wilayah kepulauan Indonesia (timur Samudera Hindia) terjadi
kekeringan (Saji et al, 1999). Kondisi dipole mode yang demikian ini disebut
dipole mode“positif”, kejadian sebaliknya disebut dipole mode “negatif” dicirikan
menghangatnya SPL di bagian timur dan menurun di bagian barat Samudera
Hindia (Vinaychanran et al, 2001).
Untuk wilayah Indonesia, dampak IODM secara langsung dirasakan di
wilayah bagian barat khususnya Sumatera dan Jawa. Pengaruhnya mencakup
berbagai aspek, baik di daratan maupun lautan. Salah satu dampak IODM positif
di daratan, selain kebakaran hutan adalah terjadinya kegagalan panen hasil-hasil
pertanian akibat kekeringan. Pada bidang peternakan, mempengaruhi produksi
daging, telur dan susu, akibat sulitnya mendapatkan pakan dan air. Pada saat
juga terjadi pergeseran pola dan periode musim tanam yang berpengaruh kepada
ketersediaan dan ketahanan pangan (Subagyono, 2007).
Pengaruh IODM terhadap laut, pada saat IODM positif, SPL mengalami
anomali negatif (lebih rendah dari normalnya) dan terjadi peningkatan intensitas
upwelling (Saji et al, 1999; Webster et al, 1999). Anomali negatif SPL saat IODM
positif umumnya terjadi di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa (Jamstec,
2008). Upwelling saat IODM positif dipicu oleh penguatan anomali angin selatan
di sepanjang pantai Jawa dan Sumatera dan angin timur di sepanjang ekuator.
Penguatan angin ini mendorong massa air menjauhi pantai atau ekuator, sehingga
terjadi kekosongan massa air di sepanjang pantai barat Sumatera dan selatan Jawa.
Massa air lapisan permukaan yang kosong diisi massa air dari lapisan bawah
yang naik ke permukaan (terjadi upwelling), ditandai menurunnya SPL dan
oksigen terlarut.
Upwelling yang intensif saat IODM positif, sangat menguntungkan,
karena membawa massa air kaya nutrien ke permukaan, sehingga meningkatkan
kesuburan perairan (produktifitas primer) ditandai meningkatnya sebaran klorofil.
Di laut, klorofil lebih identik dengan fitoplankton, karena merupakan pigmen
fotosintesis pada fitoplankton. Oleh karena itu, produktivitas primer juga dapat
dikatakan ukuran kandungan fitoplankton. Sistem rantai makanan yang terbentuk
di daerah upwelled menurut Ryther (1969) dalam Parson et al (1984) sangat
pendek, dimana ikan planktivor bisa langsung memakan fitoplankton. Dalam
system rantai makanan ini, semua konsumen adalah pemakan plankton, baik fito
maupun zooplankton sehingga perilaku makannya dilakukan dengan cara grazing
(pemangsaan).
Secara umum dapat dijelaskan kaitan antara peningkatan produktivitas
primer akibat upwelling dengan sumberdaya ikan, diawali terjadinya peningkatan
kesuburan perairan akibat pengkayaan nutrien yang kemudian memacu
pertumbuhan fitoplankton sebagai sumber pakan zooplankton, selanjutnya
zooplankton tersebut akan menjadi bahan makanan utama bagi jenis-jenis ikan
kecil, yang akan diikuti dengan proses makan memakan oleh ikan berukuran
sedang, ikan berkuran besar, dan seterusnya. Dengan demikian, pada lokasi-lokasi
Fenomena IODM dapat diamati dan dianalisa dari data pengukuran
langsung maupun tidak langsung. Hasil pengukuran langsung (in-situ) selain
berasal dari cruise kapal riset juga dapat diperoleh dari pengukuran bouys.
Adapun data pengukuran tidak langsung, berasal dari pantauan sejumlah sensor
satelit penginderaan jauh. Informasi tentang laut yang direkam oleh sensor satelit,
ditujukan untuk mempelajari SPL, warna laut (ocean color), ketinggian
permukaan dan kekasaran permukaan laut (Cracknell, 1982). Jenis sensor satelit
yang dimanfaatkan untuk pengamatan SPL adalah sensor thermal satelit
NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very
High Resolution Radiometer). Penginderaan jauh warna laut menitikberatkan pada
penggunaan sensor visible seperti SeaWiFS (Sea Viewing Wide Field of View
Sensor) dan MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) untuk
mengukur sifat-sifat optik harian air laut, menghasilkan citra Sea Surface
Chlorophyll (SCC) dalam hal ini sebaran klorofil-a.
1.2. Perumusan Masalah
Saat terjadi perubahan musim dan iklim global, kondisi oseanografi turut
berubah, diduga berpengaruh terhadap keberadaan sumber daya ikan, khususnya
ikan pelagis. Hasil penelitian di berbagai perairan menemukan bahwa keberadaan
sumberdaya ikan berhubungan dengan perubahan suhu, salinitas, kandungan
oksigen terlarut dan juga tingkat kesuburan perairan. Perubahan suhu perairan
dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan. Pada perairan dengan
kandungan zat hara tinggi, seperti di daerah upwelling, produksi planktonnya
hampir selalu melimpah dan biasanya diikuti dengan produksi ikan yang cukup
tinggi (Nybaken, 1992). Stok ikan pelagis juga sangat peka terhadap perubahan
penyebaran spasial salinitas.
Pada kasus penyimpangan iklim berupa El Niño, pengaruh ENSO terhadap
peningkatan kesuburan perairan dan kelimpahan hasil tangkapan ikan sudah
dibuktikan memiliki kaitan positif. Kajian-kajian yang pernah dilakukan di
Indonesia (Ghofar 1995, 2001; Ghofar & Mathews, 1996; Ghofar et al, 2000;
Mathews et al, 2001) menunjukkan bahwa kerentanan (sensitivitas) sumber daya
lokalitas setempat. Perikanan lemuru (Sardinella lemuru) di Selat Bali sensistif
terhadap ENSO, dengan produksi tangkapan melimpah pada tahun-tahun El Niño
dan merosot pada tahun anti El Niño (Ghofar et al, 2000; Mathews et al, 2001).
Samsudin et al, (2003) mengkaji perubahan iklim regional dan global dengan El
Niño, La Niña serta peran gelombang kelvin di Samudera Hindia kaitannya
dengan fluktuasi tangkapan ikan tongkol di Selat Sunda. Gaol (2003) mengamati
pengaruh ENSO dan IODM terhadap hasil tangkapan tuna mata besar (Thunnus
obesus) di Samudera Hindia bagian timur (SHBT). Mersac et al, (2007)
mengamati hasil tangkapan tuna (CPUE/catch per unit effort) kaitannya terhadap
kelimpahan klorofil-a di Samudera Hindia bagian barat/SHBB, membuktikan
tingginya CPUE purse seine (PS) tuna pada perairan yang kaya klorofil-a.
Berdasarkan uraian di atas, maka pemahaman kaitan IODM dengan
kesuburan perairan dan pengaruhnya terhadap sumberdaya perikanan pelagis di
barat Sumatera sangat penting dilakukan, karena dibutuhkan dalam pengelolaan
sumber daya perikanan secara berkelanjutan. Beberapa pertanyaan mendasar yang
akan dijawab dengan tuntas dan mendalam terkait perumusan masalah seperti di
atas adalah:
1. Bagaimana dinamika pola kesuburan perairan saat event IODM (positif,
negatif, normal) dan bagaimana pengaruhnya terhadap intensitas upwelling,
kelimpahan klorofil-a dan sumber daya ikan ?
2. Berapa lama time lag (waktu tenggat/jeda) antara peningkatan kesuburan
perairan dengan kelimpahan sumber daya ikan? Adakah jenis (spesies) ikan
spesifik pada masing-masing event IODM? Adakah perbedaan signifikan
trend produksi ikan dan faktor apa yang berpengaruh?
3. Dari aspek iklim, apakah IODM berpengaruh terhadap aktivitas
penangkapan ikan? Apakah IODM positif menjadikan musim kemarau lebih
panjang dan IODM negatif menjadikan musim hujan lebih panjang yang
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksploratif dan betujuan:
1) Mengkaji dinamika kesuburan perairan di perairan barat Sumatera terkait
fenomena IODM berdasarkan nilai sebaran klorofil-a dan variasi karakter
oseanografi yang menyertainya (sebaran SPL).
2) Mengkaji hubungan kesuburan perairan dengan hasil tangkapan ikan pelagis
yang didaratkan di beberapa lokasi pendaratan ikan utama sepanjang pantai
barat Sumatera (Aceh, Sibolga, Air Bangis, Padang/Bungus. Painan dan
Bengkulu).
1.4. Manfaat Penelitian
Pemahaman kaitan IODM dengan kesuburan perairan dan hasil tangkapan
ikan pelagis ini sangat dibutuhkan, karena:
1. Data dan informasi yang dihasilkan akan bermanfaat:
- Bagi pemerintah (pusat dan daerah), dapat digunakan sebagai landasan
dalam menyusun kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di bagian
barat wilayah Indonesia, khususnya Samudera Hindia;
- Bagi investor, bermanfaat dalam pengambilan keputusan saat melakukan
investasi bidang perikanan;
- Untuk keilmuan, merupakan referensi dalam melakukan kajian
kesuburan perairan yang berkaitan dengan kelimpahan sumber daya ikan
menggunakan teknologi inderaja dipadukan dengan data in-situ.
2. Untuk jangka panjang, pengetahuan yang diperoleh dari penelitian ini dapat
dijadikan dasar forecasting (peramalan) pengelolaan sumber daya perikanan
tangkap secara berkelanjutan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Dinamika kesuburan perairan yang digambarkan oleh kelimpahan
klorofil-a (produktivitklorofil-as primer) pklorofil-adklorofil-a mklorofil-asing-mklorofil-asing kondisi IODM sertklorofil-a pengklorofil-aruhnyklorofil-a
terhadap kelimpahan sumberdaya ikan, menjadi fokus dalam studi ini.
Perubahan berbagai parameter oseanografi pada saat masing-masing
data hasil pantauan sejumlah sensor satelit penginderaan jauh maupun data hasil
pengukuran langsung in-situ (data cruise kapal riset dan data buoys). Kaitannya
terhadap sumberdaya ikan pelagis, dapat didekati dari tingkah laku ikan yang unik
terhadap kondisi oseanografi. Ada jenis ikan yang sensitif terhadap perubahan
suhu dan ada juga yang sensitif terhadap salinitas. Terjadinya perubahan kondisi
oseanografi menyebabkan perpindahan (migrasi ikan) dimana ikan akan mencari
kondisi yang sesuai untuk kehidupannya. Ketersediaan makanan (kesuburan
perairan) merupakan faktor penting bagi keberadaan ikan di suatu perairan.
Kerangka pemikiran yang mendasari studi ini ditampilkan dalam diagram alir
(Gambar 1).
1.6. Kebaharuan (Novelty)
Penelitian dampak IODM di Indonesia belum banyak dilakukan
dibandingkan dengan penelitian sejenis seperti halnya pada kasus El Niño
(ENSO), mengingat gejala IODM relatif baru dipahami. Referensi yang ada
tentang IODM umumnya membahas aspek teknis dan empiris proses terjadinya
IODM, sementara kajian dampaknya terhadap berbagai aspek oseanografi masih
terbatas pada parameter tertentu saja.
Nilai kebaharuan (novelty) dari penelitian ini pada aspek kajian kesuburan
perairan berdasarkan tiga kondisi fase IODM (positif, negatif dan normal), yang
dikaitkan dengan kelimpahan hasil tangkapan ikan pelagis di lokasi spesifik
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 572 Samudera Hindia barat Sumatera.
Dinamika kesuburan perairan selain dianalisa dari nilai sebaran klorofil-a juga
dilakukan pengitungan luasan massa air upwelled berdasarkan (SPL) dan luasan
area sebaran klorofil-a hasil pengkayaan dari peristiwa upwelling. Respon
sumberdaya ikan pelagis terhadap kondisi oseanografi dan kesuburan perairan,
Positif
Negatif Normal INDEKS
DMI
Operasional Penangkapan
DATA PERIKANAN DATA
KLIMAT
Tingkah Laku Ikan
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis
Curah Hujan
Kondisi Musim Variasi Oseanografi:
Spasial dan Temporal DATA OSEANOGRAFI
NOAA
Citra SPL Citra Satelit
Menegak, Mendatar
Temperatur Salinitas
Pengukuran In-Situ
Termoklin Front Front Upwelling
Kondisi Habitat
DATA KESUBURAN
Upwelling SeaWiFs
Citra Klorofil-a Citra Satelit
Ketersediaan Makanan Kesuburan
Perairan
Gambar 1. Kerangka Alur Pemikiran
2.1. Indian Ocean Dipole Mode (IODM)
Indian ocean dipole mode (IOD/IODM/DM) adalah anomali iklim akibat
interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia, pertama kali dikemukan Saji et al.
(1999) dan Webster et al. (1999), merupakan fenomena perpindahan kolam air
hangat arah zonal di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia yang mirip dengan
fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) di Samudera Pasifik. Fenomena
ini ditemukan dari hasil analisis EOF (empirical orthogonal function) dan analisis
komposit data SPL selama 40 tahun, didapat mode dominan pertama sebesar 30%
dan kedua sebesar 12% dari total keragamannya. Kedua mode inilah oleh Saji et
al, (1999) dinamakan kejadian dipole mode event.
Struktur dipole mode dicirikan anomali SPL lebih hangat dari biasanya di
bagian barat (perairan timur Afrika) dan lebih dingin dari biasanya di bagian timur
Samudera Hindia (perairan barat Sumatera). Pada saat ini, curah hujan meningkat
di bagian barat (wilayah tropik timur Afrika), sedangkan di wilayah kepulauan
Indonesia terjadi kekeringan (Saji, et al, 1999). Kondisi dipole mode seperti yang
dikemukan di atas, oleh Vinaychanran et al, (2001) disebut dipole mode“positif”
(IODM positif). Kejadian sebaliknya disebut dipole mode “negatif” (IODM
negatif) dicirikan menghangatnya SPL di perairan timur Samudera Hindia (barat
Sumatera) dan menurunnya SPL di bagian barat Samudera Hindia (Gambar 2).
Gambar 2. Diagram skematik anomali SPL fase dipole mode positif (kiri) dan
dipole mode negatif (kanan). Warna merah SPL lebih hangat dan
Munculnya fenomena IODM terkait dengan pola pergerakan angin yang
bergerak dari arah tenggara menuju barat laut di timur Samudera Hindia,
kemudian ketika sampai di ekuator angin tersebut berbelok ke arah barat. Angin
tersebut mendorong massa air hangat ke arah barat ekuatorial Samudera Hindia
sampai ke perairan sebelah timur benua Afrika. Pada kondisi normal kolam air
hangat ini berada di sebelah timur Samudera Hindia, akibat adanya anomali angin
timur mendorong massa air hangat ini ke arah barat seiring dengan peningkatan
zona konveksi dengan membawa uap air di atasnya yang berpotensi terjadinya
hujan selama bergeraknya massa air hangat tersebut. Menurut Saji et al, (1999)
proses berkembangnya IODM sedikit berbeda dengan El Niño-La Niña. Jika El
Niño-La Niña mencapai puncak event-nya akhir/awal tahun (Desember-Februari),
maka evolusi IODM mulai terjadi pada bulan Juni dan mencapai puncaknya bulan
September-Oktober (Gambar 3). Tahapan siklus IODM adalah sebagai berikut:
1. Muncul anomali SPL negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada
bulan Mei-Juni, bersamaan terjadi anomali angin tenggara yang lemah di
sekitar Jawa dan Sumatera.
2. Anomali terus menguat (Juli-Agustus) dan meluas sampai ke ekuator di
sepanjang pantai selatan Jawa hingga pantai barat Sumatera. Kondisi di atas
dibarengi munculnya anomali positif SPL di Samudera Hindia bagian barat.
Adanya dua kutub di Samudera Hindia ekuator ini, semakin memperkuat
anomali angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera.
3. Siklus mencapai puncaknya pada bulan Oktober, dan selanjutnya menghilang
dengan cepat pada bulan November-Desember.
Pola spasial SPL sangat jelas berbeda di perairan barat dan timur
ekuatorial Samudera Hindia, sehingga Saji et al. (1999) mendefinisikan sebuah
indeks yang disebut dipole mode index (DMI). DMI diperhitungkan berdasarkan
nilai rata-rata SPL antara “kotak” wilayah barat Samudera Hindia Western
Temperature Indian Ocean/WTIO (50°-70°BT; 10°LS-10°LU) berada di perairan
timur Afrika dan “kotak” pengukuran di wilayah timur bagian tenggara
Southeastern Temperature Indian Ocean/SETIO (90°-110°; 10°LS - Ekuator)
yang berada di perairan Indonesia yaitu di perairan barat daya/selatan Sumatera
Composite dipole mode event (SSTA & Wind anomaly)
(Saji et al., 1999, Nature)
Gambar 3. Evolusi IODM dari analisis komposit SPL (Saji et al., 1999). (a), (b),
(c) dan (d) berturut-turut komposit SPL (°C) pada bulan Mei-Juni, Juli-Augustus, September-Oktober dan November-Desember. Warna biru menunjukkan SPL lebih rendah dan merah SPL lebih tinggi
Gambar 4. Posisi penghitungan anomali SPL di WTIO dan SETIO untuk
mendapatkan indeks DMI (Saji, et al, 1999)
Indeks DMI positif mengindikasikan nilai rata-rata sebaran SPL di kotak
WTIO lebih tinggi dibanding di SETIO. Dengan kata lain, pada saat tersebut
terjadi anomali SPL negatif (SPL lebih dingin dari kondisi normal) di perairan
Indonesia (barat Sumatera). Sebaliknya, Indeks DMI negatif menunjukkan bahwa
nilai rata sebaran SPL di WTIO lebih rendah dibanding SETIO. Dengan kata lain
terjadi anomali SPL positif (lebih tinggi dari nilai normal) di perairan Indonesia
(barat Sumatera). Semakin besar nilai indeks DMI, semakin kuat sinyal IODM
yang muncul dan semakin dahsyat akibat yang ditimbulkan.
Masih terdapat perdebatan mengenai teori pemicu IODM dan proses
dinamika interaksi laut-atmosfer yang menyertainya. Jika dikelompokan, teori
pemicu IODM yang berkembang dibagi menjadi dua yaitu pertama, IODM dipicu