• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi madidihang yang didaratkan kapal long line dan kapal pancing tonda di PPN Palabuhanratu

lengkapan nelayan,

ot madidihang

kapal penangkap madidihang merupakan masalah yang dapat ditimbulkan akibat dari kelalaian/

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor: 264/DPT.0/PI.540.S4/I/09, pembongkaran yang ideal adalah pembongkaran yang dilakukan dengan memenuhi beberapa kriteria berikut:

1) Pembongkaran ikan dilakukan dengan hati-hati, cepat dan menghindari sinar matahari langsung;

2 Suhu ikan di dalam palka sesuai dengan persyaratan rantai dingin.

3) Pada saat pembongkaran, ikan diletakkan pada tempat/wadah yang bersih dan higienis;

4) Suhu ikan, setelah di bongkar dari kapal dan diletakkan di tempat/wadah penampung masih memenuhi persyaratan rantai dingin;

5) Tempat/wadah penampungan ikan setelah pembongkaran, melindungi ikan dari kontaminasi dan tidak merusak ikan;

6) Perlengkapan yang digunakan saat pembongkaran ikan dalam kondisi baik dan tidak mengakibatkan kontaminasi produk ikan;

7) Peralatan, kendaraan yang digunakan selama proses muat ikan harus dapat mempertahankan suhu sesuai dengan yang dipersyaratkan serta tidak mengkontaminasi produk ikan.

Pada saat kapal long line dan kapal pancing tonda berlabuh, ABK kapal biasanya melakukan persiapan untuk kegiatan melaut berikutnya. ABK kapal membersihkan dek kapal, palka, mengisi BBM, logistik, per

air tawar, umpan, mengecek alat tangkap dan mengisi palka dengan es pada kapal pancing tonda. Kapal long line dan kapal pancing tonda akan kembali melaut kembali setelah semua persiapan telah lengkap.

3 Kondisi madidihang yang didaratkan kapal long line dan kapal pancing tonda di PPN Palabuhanratu

Madidihang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu memiliki kondisi yang berbeda-beda, kondisi yang sering terjadi di laut setelah penangkapan dan penanganan dilakukan seperti masalah (cacat) yang sering timbul dari kondisi madidihang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu adalah bob

kurang dari 17 kg, warna daging coklat kemerahan, dan tekstur daging kurang kenyal. Setiap cacat pada hasil tangkapan yang yang didaratkan

dapat

ng tidak

diketa permu

mend edalaman pancing yang diturunkan dari

masing-masing kapal perlu diperhatikan. Kapal long line di PPN Palabuhanratu

line hauler

dari d emudahkan ABK dalam menarik

an menggunakan tenaga nusia tidak dim

menurunkan pancing pada kedalaman seperti kapal long line tetapi menurunkan

namun pena enggunakan tenaga manusia.

sedik ng berukuran kecil

permukaan perairan, sedangkan m endiami laut dalam, namun

tertangkap dekat dengan perm

kurang dari 17 kg tidak lepas dari

laut, sehingga kem angkap oleh nelayan yang menggunakan

kurang cermatnya ABK dalam penanganan awal saat berada di kapal dan juga berasal dari madidihang sendiri.

Madidihang dengan bobot kurang dari 17 kg merupakan kendala ya

dapat dihindari dalam penangkapan, namun dapat dicegah. Hal tersebut dapat hui dari habitat madidihang yang berukuran kecil yang sering mendiami kaan perairan jika dibandingkan dengan madidihang dewasa yang sering iami lautan dalam sehingga k

biasanya mampu menurunkan pancing sampai kedalaman 50 m dan menggunakan sebagai alat yang digunakan untuk menarik pancing serta madidihang alam air, penggunaan line hauler sangat m

pancing dan madidihang jika mengingat kedalaman pancing yang diturunkan sampai kedalaman 50 m yang dirasakan sangat berat dengan ditambah tekanan yang diberikan madidihang hidup sehingga penarik

ma ungkinkan untuk diterapkan. Pada kapal pancing tonda tidak

pancing sampai kedalaman 10 m karena pada kapal pancing tonda tidak menggunakan line hauler sebagai alat pembantu penarikan madidihang dari air,

rikan hanya m

Menurut Schultz (2004), pola hidup madidihang yang berukuran kecil it berbeda dengan madidihang dewasa, madidihang ya

hidup secara bergerombol membentuk schooling ikan yang besar dan mendekati adidihang dewasa m

terkadang mereka juga hidup pada permukaan perairan, dan madidihang sering ukaan perairan menggunakan pancing.

Tertangkapnya madidihang yang berukuran kecil terutama memiliki bobot

swimming layer yang dekat dengan permukaan

ungkinan besar tert

pancing. Pada Tabel 15 berikut terdapat pola swimming layer beberapa spesies tuna yang mendiami laut lepas.

mutu, warna daginnya menjadi coklat eme

amaan dengan penurunan Swimming Layer (m)

Tabel 15 Swimming layer beberapa jenis tuna

No Jenis Tuna

1 Bluefin 50 – 300

2 Bigeye 50 – 400

Sumber : Endroyono, 1983

3 Madidihang 0 – 200

Pada Tabel 15 menjelaskan bahwa kedalaman lautan yang menjadi habitat madidihang berada pada 0 m sampai 200 m yang mana bagian terdalam dari 50 m sampai 200 m menjadi habitat madidihang dewasa dan bagian permukaan menjadi habitat madidihang yang belum dewasa (berukuran kecil).

Cacat dominan berikutnya pada kapal long line adalah warna daging coklat kemerahan, hal tersebut merupakan reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh madidihang akibat perubahan pigmen darah. Menurut Endroyono (1983) warna daging tuna yang berkualitas bagus adalah merah cerah, namun pada beberapa tuna yang mengalami kemunduran

k rahan. Warna daging tuna dibentuk oleh pigmen yang terdapat di dalam tubuh tuna. Pigmen merah pada daging tuna cenderung beroksidasi dengan udara sehingga warna daging menjadi coklat kemerahan. Pigmen daging tuna adalah myoglobin dan berada di dalam daging sebagai oxymyoglobin dan metmyoglobin. Metmyoglobin inilah yang menghasilkan disklorisasi kecoklatan. Kadar metmyoglobin meningkat sesuai dengan peningkatan waktu sesudah ikan mati. Tuna yang bermutu tinggi memiliki kandungan metmyoglobin tidak boleh lebih dari 30 % dari myoglobin seluruhnya. Reaksi disklorosi berlangsung cepat pada daging ikan tuna yang sedang membeku dan sangat dipengaruhi oleh keasaman (pH). Pada pH yang lebih rendah reaksi disklorisasi akan berlangsung lebih cepat.

Pada kapal pancing tonda cacat dominan setelah bobot kurang dari 17 kg adalah tekstur daging kurang kenyal. Proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protase dan lipase) yang terdapat di dalam daging disebut proses autolisis. Hal ini disebabkan di dalam daging ikan mengandung protein, maka proses ini dapat disebut proteolisis. Enzim-enzim ini sebenarnya sudah aktif sejak ikan masih hidup, akan tetapi ketika aktivitasnya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan pemeliharaan tubuh. Autolisis dimulai bers

pH. Mula-mula protein terpecah menjadi molekul makro, yang menyebabkan peningkatan dehidrasi lalu terpecah menjadi pepton, polipeptida, dan akhirnya

menjadi asam amino. Disamping asam amino, autolisis menghasilkan pula

sejum irim rin, basa yang dibebas asam

nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak mengh sam lemak

adidihang,

ari beberapa madidihang yang didaratkan kapal ancing tonda masih seperti aslinya sehingga diberikan nilai penuh. Pengamatan adidihang yang didaratkan kapal long line memiliki kisaran ing perut madidihang pada kapal ersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa perut adid

ang didaratkan kapal

lah kecil p idin dan pu kan pada pemecahan

asilkan a

gliserol. Autolisis akan mengubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun (Dwiari et al., diacu dalam Wangsadinata, 2009).

Pengamatan terhadap fisik madidihang jika didasari oleh uji organoleptik, maka pengamatan akan terfokus pada beberapa pengujian pada tubuh m

diantaranya adalah mata, dinding perut, konsistensi, dan bau. Pada keempat komponen tersebut dapat menunjukkan kesegaran yang dimiliki madidihang. Parameter mata madidihang yang didaratkan kapal long line memiliki kisaran dari 7 sampai 8, dan kisaran yang dimiliki madidihang yang didaratkan kapal pancing tonda yaitu 7 sampai 9, mata d

p

pada dinding perut m

yang sangat baik yaitu 8-9, dan kisaran dind pancing tonda yaitu 7-8, hal t

m ihang yang lembek dan bau isi perut yang netral. Pengujian konsistensi pada tubuh madidihang yang didaratkan kapal long line menunjukkan hasil yang sangat baik, yaitu 9, hal tersebut disebabkan tekstur dagingnya yang sangat padat, pengamatan pada konsistensi pada tubuh madidihang y

pancing tonda agak padat, sehingga nilai yang diberikan yaitu 8. Bau yang tercium pada tubuh dan isi perut madidihang yang didaratkan kedua kapal masih tergolong baik, yaitu 8. Pengujian pada keempat komponen yang digunakan pada uji organoleptik pada kedua kapal memiliki rataan yang tidak jauh berbeda, 8,25 untuk kapal long line sedangkan 7,82 untuk kapal pancing tonda, nilai yang didapatkan dari kedua rataan tersebut menunjukkan bahwa madidihang yang didaratkan masih dalam keadaan segar jika mengacu pada Dewan Standardisasi Nasional tahun 1992.

Pengamatan yang dilakukan pada sejumlah madidihang di PPN Palabuhanratu yang didaratkan oleh kapal long line memiliki tampilan lebih cemerlang pada bagian tubuh, mulus dan bebas goresan. pada madidihang yang didaratkan kapal pancing tonda, madidihang yang didaratakan kapal pancing

h aik.

tonda memiliki tubuh kurang cemerlang serta kulit madidihang mudah terkelupas dan goresan yang tampak jelas pada beberapa tempat dibagian tubuh madidihang, namun beberapa diantaranya terdapat pada bagian mendekati ekor, dibawah tutup insang dan dekat sirip dada serta sirip lengan (renang).

Penanganan yang baik pada kapal long line dan sarana yang mendukung membuat madidihang memililki tampilan dan kesegaran yang baik, namun bukan berarti madidihang yang didaratkan kapal pancing tonda memiliki kualitas yang buruk. Beberapa madidihang yang didaratkan kapal pancing tonda memiliki mata sangat jernih dan pupil masih seperti aslinya, hal tersebut disebabkan oleh penyimpanan di dalam palka yang tidak begitu lama (3-4 hari) jika dibandingkan dengan waktu penyimpanan pada kapal long line (7-10 hari) dan madidihang tidak terendam dalam air seperti madidihang pada kapal long line, sehingga mata tetap jernih dan hal tersebut tidak ditemukan pada madidihang yang didaratkan kapal

long line, namun indikator mata sering tidak digunakan dalam penentuan grade

madidihang yang akan diekspor, cenderung pada tampilan tubuh dan kualitas daging. Bagian seperti dinding perut, dagingnya masih utuh, bau segar, konsistensi pada hasil tangkapan kedua kapal masi b

Berdasarkan pengamatan menggunakan peta kendali np, didapatkan bahwa, pergerakan fluktuatif pada diagram peta kendali np berasal dari jumlah cacat madidihang yang didaratkan pada masing-masing kapal. Jumlah cacat pada setiap ulangan mempengaruhi pergerakan garis (fluktuatif) pada diagram peta kendali np, jika jumlah cacat melebihi batas atas maka penanganan tersebut berada diluar batas pengendalian. Diagram peta kendali np menunjukkan bahwa suatu penanganan berada pada pengendalian atau tidak, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah ulangan yang digunakan, jumlah sampel yang diambil dan jumlah cacat madidihang yang didaratkan. Tiga hal tersebut sering digunakan dalam pengujian pengendalian suatu proses penanganan, sehingga dari ketiga hal tersebut jika diolah lebih lanjut berdasarkan perhitungan peta kendali np dapat diketahui bahwa apakah suatu proses penanganan berada dalam pengendalian atau tidak. Pengamatan yang dilakukan pada kapal long line dan kapal pancing tonda menunjukkan pergerakan garis dari jumlah cacat yang tidak seragam, memiliki

kisar 4,17, rata-rata ini didapatkan dari rasio total cacat

acat pada kapal long line

g line dengan 25 GT

kecenderungan pergerakan yang berbeda-beda, namun masih berada pada tahapan yang aman dalam pengendalian.

Pada kapal long line jumlah cacat madidihang adalah 50 ekor, sampel yang

digunakan pada tiap ulangan adalah 91 ekor dengan 12 ulangan dan kapal pancing tonda memiliki madidihang yang cacat berjumlah 16 ekor, sampel yang digunakan pada tiap ulangan adalah 5 ekor dan menggunakan ulangan yang sama yaitu 12. Hasil yang didapatkan pada kapal long line jika mengacu pada rata-rata cacat madidihang ber

dengan jumlah ulangan. Rata-rata cacat berhubungan dengan batas atas pengendalian, semakin tinggi rata-rata cacat (4,17) maka semakin tinggi pula batas atas pengendaliannya (10,14). Hal tersebut dikuatkan dengan rata-rata cacat madidihang pada kapal pancing tonda, nilai rata-rata cacatnya yaitu 1,33 dan batas atas pengendaliannya 4,33. Nilai rata-rata cacat dan batas atas pengendalian) yang didapatkan pada masing-masing kapal masih berada pada batas pengendalian karena jumlah cacat dari masing-masing ulangan dari total 12 ulangan tidak melewati nilai dari batas atas pengendalian. Proporsi c

dan kapal pancing tonda dipengaruhi oleh perbandingan (rasio) jumlah cacat yang didapatkan dengan jumlah sampel yang digunakan, kedua hal tersebut saling mempengaruhi secara linear, sehingga didapatkan bahwa nilai proporsi semakin mengecil jika rasio pada jumlah cacatnya lebih kecil daripada jumlah sampel yang digunakan. Proporsi cacat pada pada kapal long line lebih kecil (0,05) jika dibandingkan pada kapal pancing tonda (0.27), hal tersebut disebabkan penggunaan jumlah sampel yang digunakan pada pengujian madidihang di kapal

long line lebih besar (91) daripada pengujian madidihang pada kapal pancing

tonda (5), hal tersebut tidak terlepas dari hubungan antara total hasil tangkapan yang didaratkan pada masing-masing kapal dengan waktu yang dilaksanakan selama penelitian.

Kapal long line dan kapal pancing tonda memiliki perbedaan yang

mencolok dalam bobot kapal/Gross Ton (GT), kapal lon

dapat mengangkut ratusan ekor dalam setiap trip, sedangkan kapal pancing tonda dengan 10 GT dapat mengangkut puluhan ekor dalam setiap trip. Pengumpulan data yang dihimpun selama tujuh hari di kapal long line menghasilkan 1092 ekor

N Palabuhanratu dapat menentukan harga yang dengan bobot sekitar 42.696,8 kg, sedangkan data dari kapal pancing tonda yang diperoleh selama 25 hari menghasilkan 60 ekor dengan bobot sekitar 2.370 kg, sehingga berdasarkan perhitungan matematis pada halaman Lampiran 14 menunjukkan bahwa setiap satu GT pada kapal long line akan menghasilkan 243,98 kg atau mendekati 244 kg setiap harinya, sehingga jika bobot madidihang yang terpancing sekitar 50 kg, maka kapal long line dapat menangkap 4-5 ekor madidihang dalam sehari. Berbeda dengan kapal pancing tonda pada setiap satu GT akan menghasilkan 9,48 kg atau mendekati 9,5 kg atau hanya satu ekor pada setiap harinya yang mana merupakan bobot madidihang yang belum dewasa. Berdasarkan masalah di atas dapat menunjukkan bahwa setiap satu GT kapal dapat menghasilkan sejumlah madidihang pada setiap harinya.

Berdasarkan hasil wanwancara dengan pihak terkait, seperti petugas pelabuhan, bobot ikan tuna di PP

akan di pasarkan. Harga berkisar dari Rp 14.000 sampai Rp 32.000 tergantung bobot dan tampilan tuna yang didaratkan. Bobot tuna diatas 30 kg dan memiliki tampilan yang baik dihargai Rp 30.000 - Rp 32.000, sedangkan bobot tuna di bawah 30 kg walaupun memiliki tampilan yang baik tetap dihargai dari harga Rp 14.000 – Rp 20.000. Harga yang berlaku di PPN Palabuhanratu tidak semahal yang berlaku di negara tujuan ekspor, hal tersebut disebabkan adanya perlakuan yang ketat mengenai pengecekan kualitas daging, tampilan tuna, bobot, tekstur daging, dan lain-lain, sehingga harga yang diterapkan menjadi lebih mahal di negara pengimpor. Menurut Tragistina (2011) harga ikan tuna di pasar Jepang berkisar antara ¥ 800 sampai ¥ 1000 per kilogram, harga tersebut jika dikonversikan ke dalam rupiah dengan asumsi satu yen adalah Rp 100, maka satu kilogram tuna berkisar Rp 80.000 - Rp 100.000. Ikan tuna yang diekspor ke Jepang memiliki permintaan dan harga yang tinggi daripada di dalam negeri, hal tersebut didukung dengan kebiasaan masyarakat Jepang yang makanan sehari-harinya tidak terlepas dari tuna, sehingga tuna di pasar Jepang sangat digemari jika dibandingkan dengan Amerika dan Uni Eropa.