• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan PHBM dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di wilayah KPH Cepu

5.2. Kondisi Pelaksanaan PHBM di KPH Cepu

Pelaksanaan PHBM di Jawa Tengah, KPH Cepu khususnya, didasari oleh beberapa peraturan terkait, diantaranya:

a). Keputusan Direksi Perum Perhutani No.136/Kpts/Dir/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat.

b). Keputusan Gubernur Jawa Tengah No.24 Tahun 2001 tanggal 22 September 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Bersama Masyarakat di Propinsi Jawa Tengah.

c). Keputusan Kepala PT. Perhutani (Persero) Unit I Jawa Tengah No. 2142 / KPTS / I /2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat di Unit I Jawa Tengah, yang ditetapkan 13 Desember 2002 di Semarang, sebagai pedoman dalam aplikasi program.

d). Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/Dir/2007 tanggal 8 Maret 2007 mengenai PHBM Plus, yang juga dilaksanakan di wilayah KPH Cepu.

Di KPH Cepu penerapan PHBM di lapangan dimulai tahun 2002. Pelaksanaannya berada di bawah Divisi PHBM dan Bina Lingkungan yang dikepalai oleh seorang Kepala (KSS PHBM dan Bina Lingkungan), yaitu Bapak Zaenal Abidin, yang sering disapa Pak SupLap (Supervisor Lapangan). Jabatan Kepala PHBM dan Bina Lingkungan setingkat dengan Asper. Divisi ini berkedudukan di kantor pusat KPH.

Sosialisasi ketetapan atau kegiatan PHBM bagi masyarakat desa dilakukan oleh mandor penyuluh PHBM. Sebelum tahun 2004, hanya terdapat 4 mandor penyuluh untuk seluruh BKPH di Cepu, tetapi kini telah ada seorang mandor untuk setiap BKPH, sehingga diharap kinerja serta pendekatan kepada masyarakat akan jauh lebih efektif. Penyuluhan juga dibantu oleh TPM (Tenaga Pendamping Masyarakat) berjumlah 2 orang yang berasal dari LSM Obor, Blora.

Pelaksanaan PHBM di tingkat masyarakat desa (masyarakat sekitar hutan) dimulai dengan sosialisasi terhadap anggota masyarakat desa tersebut untuk membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lembaga yang berkekuatan hukum melalui akte notaris ini merupakan kepanjangan tangan dari pihak Perhutani dalam memasyarakatkan PHBM kepada masyarakat, serta ujung tombak pelaksana dari program tersebut. Dari 12 BKPH di wilayah KPH Cepu, minimal terdapat satu (LMDH) untuk satu BKPH. Hingga bulan Juni 2007 di wilayah KPH Cepu tercatat terdapat 37 LMDH yang sah karena sudah memiliki akte notaris. Data lengkap mengenai LMDH yang terdapat di KPH Cepu terdapat pada Lampiran 6.

Dalam penelitian ini, LMDH yang diamati hanya satu LMDH per BKPH untuk 6 BKPH pilihan, namun tetap memperhatikan keterwakilan area Cepu, sehingga LMDH diambil dari BKPH contoh dari paling ujung Timur maupun ujung Barat wilayah KPH Cepu.

Tabel 7 Deskripsi kondisi beberapa LMDH di wilayah KPH Cepu No Nama

LMDH

Desa BKPH Legalitas Luas pangkuan

Sharing

1. Tunggak Semi

Temengeng Pasarsore Akta No.614,

(27/06/2003)

868.9 Ha sudah

2. Wana Jati

Lestari

Nglobo Nglobo Akta No.262,

(27/12/2002) 1.821,5 Ha (4 BKPH) sudah 3. Wana Lestari

Kedewan Kedewan Akta No.314

(19/03/2003)

545 Ha sudah

4. Alas Rejo Sambongrejo Kendilan Akta No. 496

(19/10/2004)

1,939.4 Ha sudah

5. Wana Bhakti

Cabak Cabak Akta No. 82

(16/12/2002)

1,288.5 Ha sudah

6. Wana Tani

Makmur

Nglebur Nglebur Akta No. 263

(27/10/2002)

3.008,2 Ha (4 BKPH)

sudah

Sumber : Divisi PHBM dan Bina Lingkungan KPH Cepu (2007)

Mengenai pelaksanaan PHBM, KPH Cepu memilki kelebihan yang menguntungkan yaitu keberadaan desa-desa sekitar hutan yang saling berdekatan, sehingga akses untuk menjangkauanya cukup mudah dan cepat. Keadaan ini sangat menolong pihak petugas PHBM KPH saat proses sosialisasi dan pembentukan lembaga di awal waktu pelaksanaan program dan hingga kini yaitu dalam hal pemantauan kinerja lembaga.

Salah satu aspek yang berpengaruh besar terhadap keberadaan LMDH yaitu kondisi hutan di sekitar desa tersebut karena terkait erat dengan sharing yang dapat diperoleh masyarakat. Dari sejumlah LMDH di wilayah KPH Cepu, baru 19 desa yang telah memperoleh sharing melalui LMDH.

Bila kondisi hutan di wilayah pangkuan desa masih baik tentu lembaga yang dibentuk dapat memperoleh hasil dari hutan setelah mereka juga berperan aktif menjaga dan memelihara kondisi hutannya. Namun, bila hutannya sudah rusak, tentu bila masyarakat mengerjakan tugas LMDH (menjaga hutan), apa yang mereka akan peroleh belum jelas, tidak ada sharing. Kondisi inilah yang menyebabkan masih ada 6 desa lagi yang belum mendirikan LMDH. Pihak Perhutani pun tidak menyanggupi apabila harus memberi insentif terlebih dahulu

hingga tegakan di desa tersebut baik. Namun di tahun 2007 ini, divisi PHBM berencana agar 6 desa tersebut dapat dibentuk LMDH, dengan bentuk-bentuk kerjasama lain yang terbaik dan saling menguntungkan, seperti penanaman tebu.

Keenam lembaga yang dikaji dalam penelitian ini telah memperoleh sharing dari Perhutani. Berdasarkan wawancara, pemanfaatan dana tersebut umumnya dibagi berdasarkan persentase tertentu sesuai hasil kesepakatan lembaga, aparat desa dan FK, dan dimanfaatkan untuk pengembangan dan kinerja lembaga sendiri, pembangunan fasilitas maupun sarana dan prasarana desa, maupun kegiatan yang manfaatnya dapat langsung dirasakan masyarakat (membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat). Beberapa bentuk pemanfaatan dana sharing antara lain untuk :

a. Pembangunan gapura desa maupun papan-papan keterangan jalan-jalan desa. (LMDH Alas Rejo, Desa Sambongrejo, BKPH Kendilan dan LMDH Wana Bhakti, Cabak).

b. Perbaikan jalan desa, jalan antar desa, maupun sarana desa lain.

(LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur; LMDH Wana Bhakti, Cabak; dan LMDH Wana Lesatari, Kedewan).

c. Pembangunan kantor sekretariat serta Koperasi simpan pinjam LMDH.

(LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur dan LMDH Tunggak Semi, Desa Temengeng, BKPH Pasarsore).

d. Pembelian hewan ternak (umumnya sapi), untuk dikelola bersama warga. (LMDH Wana Jati Lestari, Nglobo; LMDH Wana Bhakti, Cabak; LMDH Wana Lestari, Kedewan).

e. Kerjasama pengolahan hasil hutan, berupa kerajian meubel tunggak jati.

(LMDH Wana Jati Lestari, Nglobo dan LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur).

f. Dana kinerja pengurus lembaga (salah satunya dana kegiatan patroli hutan). g. Pengadaan sarana dan prasarana kerja LMDH.

h. Pembangunan sarana ibadah masyarakat desa, seperti musholla desa, perbaikan masjid, maupun fasilitas desa lainnya.

Keberhasilan suatu LMDH diukur berdasarkan besarnya sharing yang diperoleh. Semakin besar sharing yang diterima maka lembaga dinilai semakin

berhasil atau maju sehingga semakin banyak pula kegiatan yang dapat dilakukan oleh lembaga tersebut untuk pengembangan baik kinerja lembaga itu sendiri maupun untuk pembangunan fasilitas desa. Untuk tahun 2006 LMDH Wana Tani Makmur, Desa Cabak, BKPH Nglebur, merupakan LMDH dengan perolehan sharing terbesar yaitu Rp 596.533.169.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 9 Kegiatan LMDH terkait pemanfaatan dana sharing Perhutani: (a). Perangkat kerja di Sekretariat LMDH Wana Bhakti, Cabak; (b). Pembangunan kantor LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur; (c). Bengkel kerja meubel tunggak jati di LMDH Wana Jati Lestari, Desa Nglobo; (d). Pemeliharaan sapi, bentuk peningkatan kesejahteraan warga melalui LMDH

Pengurus LMDH tersusun dalam struktur organisasi LMDH. Tugas pengurus sesuai dengan jabatannya dalam struktur tersebut. Susunannya yaitu Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris (I dan II) dan Bendahara (I dan II), juga seksi- seksi yang terdiri atas ketua beserta anggotanya. Susunan pengurus dari beberapa LMDH terdapat pada lampiran 8. Untuk seksi-seksi ini terkait kegiatan pengelolaan hutan, dalam lembaga terdapat 5 seksi dengan tugasnya masing- masing, yaitu :

1. Seksi Usaha : mengembangkan usaha lembaga, modal, maupun kegiatan yang dapat dijalankan oleh anggota baik melalui intern maupun dari luar lembaga, misalnya koordinasi pengangkutan tunggak jati oleh masyarakat.

2. Seksi SDH : ikut mengamati, melihat dan menjaga kekayaan atau potensi hutan: ikut serta dalam risalah tegakan/sensus kayu.

3. Seksi Keamanan: terlibat langsung dalam usaha menjaga keamanan hutan, melalui patroli atau kegiatan lainnya di bawah komando pihak Perhutani.

4. Seksi Humas: sebagai mediator dan komunikator lembaga kepada masyarakat. Humas mensosialisasikan ketetapan-ketetapan Perhutani, LMDH,

kepada masyarakat, juga sebagai jembatan aspirasi maupun respon warga terhadap LMDH dan Perhutani agar hubungan semua pihak terjalin baik. 5. Seksi Produksi : ikut menghitung produksi Perhutani per tahunnya di wilayah

pangkuan tersebut, seperti hasil tebangan, juga besar sharing untuk lembaga.

Gambar 10 Pengangkutan tunggak, bentuk usaha LMDH dan warga.

Evaluasi kinerja setiap LMDH desa dilakukan oleh Forum Komunikasi PHBM (FK PHBM) tingkat desa. Umumnya FK PHBM di KPH Cepu dari

LMDH yang diamati beranggotakan sekitar 10 orang. Keterlibatan FK dalam kegiatan LMDH yaitu melalui pertemuan rutin atau rapat pleno bersama yang diadakan 3-4 bulan sekali.

Sebelum tahun 2006, masih ditemukan jabatan rangkap, dimana pengurus LMDH juga sebagai anggota FK. Kondisi ini menyebabkan penilaian kurang objektif karena hasil pelaksanaan kegiatan dinilai oleh pelaksana itu sendiri. Namun kini hal tersebut tidak ditemukan lagi. Dengan sosialisasi lebih intensif maka pemahaman masyarakat mengenai evaluator mulai baik, sehingga pihak- pihak yang seharusnya berperan sebagai FK mulai menjalankan tugasnya dan pengurus LMDH semata-mata sebagai badan legislatif, murni bertugas sebagai pengkoordinasi juga pelaksana kegiatan.

Sejauh ini kendala utama pelaksanaan PHBM adalah kurangnya pemahaman dan sosialisasi program, tak hanya kepada masyarakat, bahkan bagi kalangan aparat Perhutani sekalipun. Pelaksanaan PHBM belum sepenuhnya mendapat dukungan dari aparat Perhutani, masih ada sejumlah oknum yang tidak suka dengan terbukanya sistem pengelolaan hutan juga adanya sistem berbagi terhadap masyarakat sekitar hutan. Untuk itu, kini semakin digiatkan bentuk-bentuk sosialisasi. Penerapan sistem PHBM Plus merupakan bentuk perbaikan mekanisme sikap aparat Perhutani terhadap masyarakat. Hal ini terlihat dari persyaratan pertama dalam Bab IV Pasal 4 Pedoman PHBM Plus 2007, yaitu: harus ada perubahan pola pikir (mindset) pada semua aparat Perum Perhutani dari penguasa menjadi fasilitator, dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dari ditakuti menjadi dicintai. Sehingga masyarakat tidak lagi antipati terhadap aparat maupun program-program Perhutani, melainkan mau turut serta terlibat karena kini Perhutani lebih membuka diri bagi masyarakat sekitar hutan yang dikelolanya.

Selain itu, belum adanya kolaborasi antar LMDH membuat perkembangan antar LMDH sangat terlihat perbedaannya. Bila ada model kerjasama berupa investasi dana dari LMDH dengan sharing besar terhadap LMDH dengan sharing kecil, atau kerjasama pengolahan potensi desa maka pemerataan kemajuan masyarakat maupun LMDH dalam satu wilayah KPH tersebut jauh lebih baik.

Dokumen terkait