• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan PHBM dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di wilayah KPH Cepu

5.3. Peranan PHBM dalam Pengendalian Kebakaran Hutan

Mengenai maraknya kasus kebakaran hutan yang terjadi di wilayah pengelolaannya, pihak Perum Perhutani KPH Cepu pun tidak tinggal diam. Sebagai pengelola, porsi tanggung jawab terbesar untuk mengatasi problem kebakaran hutan jati di wilayah Cepu dipegang oleh Perum Perhutani KPH Cepu. Untuk itulah upaya penanggulangan dirancang dan juga diaplikasikan di lapangan. Beberapa upaya yang telah dilakukan antara lain :

a. Melakukan kegiatan preventif berupa patroli hutan, terutama pada bulan-bulan rawan kebakaran atau musim kemarau panjang.

b. Memasang papan-papan peringatan dan larangan melakukan pembakaran hutan.

c. Mengadakan pendekatan kepada masyarakat melalui ramah tamah.

d. Pemadaman dini, yakni ketika api maupun luas area masih kecil, walau dengan keterbatasan sarana dan prasarana. Metode yang digunakan yaitu dengan memukul-mukul api menggunakan gepyokan dan membuat ilaran api

Gambar 11 Papan peringatan larangan membakar hutan.

Dalam pelaksanaannya, upaya pengendalian kebakaran hutan di KPH Cepu berdasar pada pedoman yang ada berupa ”Buku Saku Pengendalian Kebakaran Hutan” yang diadakan oleh Direktorat Perlindungan Hutan Ditjen PHPA yang bekerjasama dengan FAO tahun 1995/1996. Pengadaan pedoman dan distribusi ke tiap unit-unit pengelolaan lapangan (KPH) dilakukan oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada Mei 1997.

Setelah terbangunnya hubungan kerjasama yang lebih erat dengan masyarakat sekitar hutan melalui PHBM maka penanganan kebakaran hutan tidak hanya dilakukan oleh pihak Perhutani saja, tetapi juga mendapat dukungan dan bantuan dari masyarakat.

Wujud nyata peranan program PHBM terhadap kegiatan pengelolaan hutan terlihat dari kegiatan-kegiatan LMDH yang dijalankan oleh pengurus serta anggotanya yaitu seluruh masyarakat desa. LMDH sebagai jembatan antara Perhutani dan masyarakat, menjadi gugus depan dalam pelaksanaan kegiatan serta menjadi motor untuk meningkatkan partisispasi masyarakat sekitar hutan di dalam wilayah hutan pangkuan mereka.

Dalam ruang lingkup kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), kegiatan pengendalian kebakaran hutan sendiri merupakan bagian dari bidang perlindungan hutan. Bidang ini termasuk ke dalam jenis kegiatan Dalam Kawasan Hutan, tepatnya Kegiatan Pengusahaan Hutan (PT Perhutani Unit I Jawa Tengah 2002).

Pelaksanaan kegiatan ini merupakan tanggung jawab utama dari salah satu divisi yang dimiliki LMDH, yaitu divisi atau seksi Keamanan. Secara umum, tugas dari seksi ini yaitu membantu menjaga serta meningkatkan keamanan hutan dengan tetap mengacu pada arahan dan komando dari pihak Perhutani (Asper, Mantri, penyuluh PHBM, dll). Namun, sesuai kinerja dari Perhutani, penanganan kebakaran hutan belum ada suatu divisi khusus (semacam Brigdalkarhut), sehingga kegiatan pengendalian kebakaran ini dilakukan beriringan dengan pencegahan gangguan hutan lainnya. Untuk patroli hutan misalnya, kegiatan tersebut tidak dilakukan semata-mata untuk antisipasi kebakaran hutan saja, sebagai wujud deteksi dini, melainkan dilakukan juga guna mencegah terjadinya pencurian kayu.

Berdasarkan hasil wawancara kepada pihak Pehutani (6 BKPH) dan 6 LMDH contoh dari setiap BKPH tersebut, baik terhadap ketua lembaga juga anggota seksi keamanan, diketahui bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh LMDH maupun masyarakat di lapangan sebagai peran serta dalam upaya perlindungan kebakaran hutan, yang meliputi :

a. Deteksi dini dan pelaporan kejadian kebakaran hutan.

Pengendalian kebakaran hutan yang efektif memerlukan deteksi dan pelaporan yang baik. Deteksi menunjukkan lokasi kebakaran dan informasi tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dalam pengendalian kebakaran hutan melalui mekanisme pelaporan kejadian kebakaran. Kalau deteksi tidak efisien, kerusakan akibat kebakaran bisa menjadi demikian besar oleh karena terlambatnya upaya-upaya penanggulangan (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 1997).

Masyarakat sekitar hutan, dimana keberadaannya paling dekat dengan hutan, merupakan subjek yang paling kompeten sebagai sumber informasi untuk kegiatan deteksi dan pelaporan kejadian kebakaran. Masyarakat yang dulu sering dianggap ancaman, sehingga pengawasan hutan diperketat, kini dijadikan mitra Perhutani yang dapat saling membantu dalam suasana kerjasama yang menjunjung azas kekeluargaan.

Di wilayah KPH Cepu, selama ini banyak kegiatan harian masyarakat yang berlokasi dekat dengan hutan atau bahkan di dalam kawasan hutan tersebut, namun bukan berupa interaksi negatif, seperti mengambil tunggak jati atau daun- daun jati. Dengan demikian, masyarakat dapat turut berperan mengawasi keadaan hutan, melakukan deteksi dini dan segera melapor kepada aparat apabila sewaktu- waktu terjadi gangguan hutan, salah satunya kebakaran hutan.

Perubahan paradigma manajemen Perhutani seperti yang tercantum dalam Prinsip PHBM PLUS Pasal 6 No.1, yaitu :

Pelaksanaan PHBM PLUS diawali dengan perubahan pola pikir mindset pada semua jajaran di Perum Perhutani dari yang birokratif, sentralistik, kaku, ditakuti, menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan dicintai.

(Direksi Perum Pehutani 2007)

menjadikan para petugas Perhutani, khususnya yang berada di lapangan kini lebih dekat dan bersahabat terhadap masyarakat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak lagi takut terhadap aparat. Masyarakat kini memiliki keberanian untuk bermitra dengan para petugas Perhutani dan dengan sukarela bekerja sama, misalnya melaporkan bila terjadi kebakaran hutan di suatu area kepada petugas.

Namun kolaborasi tersebut tetap dilandasi rasa segan dan hormat antar kedua pihak dan diperkuat dengan adanya pengayoman melalui LMDH.

Dalam melakukan pelaporan, masyarakat yang mengetahui titik kejadian kebakaran segera menghubungi petugas dengan mengunjungi pos-pos penjagaan yang tersebar di wilayah hutan, karena bila tak berkeliling petugas berjaga-jaga di pos. Metode pelaporan juga berkembang sesuai perkembangan teknologi. Beberapa peralatan komunikasi yang digunakan sebagai sarana pelaporan antara lain radio, HT, serta handphone (HP). Bagi warga yang sudah memiliki sarana komunikasi tersebut (umumnya HP) dapat menghubungi petugas lebih cepat dan mudah. Laporan dari masyarakat kemudian ditindaklanjuti oleh petugas. Bila kapasitas petugas untuk menangani kebakaran tersebut terbatas maka petugas akan meminta bantuan masyarakat.

b. Patroli lapangan/hutan rutin

Adapun bentuk patroli ini ada dua macam, yaitu patroli berkeliling hutan baik dengan kendaraan atau berjalan menyisir hutan, atau dengan berjaga-jaga di pos pengawasan hutan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pengamanan lapangan. Petugas Perhutani maupun LMDH, tetap melakukan patroli rutin ini sesuai jadwal untuk wilayah pangkuan mereka. Kegiatan ini terkadang dilakukan secara bersama-sama antara petugas Perhutani dengan anggota LMDH yang bertugas, namun terkadang tidak.

Gambar 12 Kegiatan patroli hutan rutin (berjaga di pos keamanan).

Petugas Seksi Keamanan di setiap LMDH biasanya sudah memiliki jadwal patroli masing-masing. Ada yang pembagiannya seminggu sekali, atau 5 hari

sekali. Untuk LMDH ”Wana Bhakti” Desa Cabak, patroli dilakukan setiap 5 hari sekali per satu petugas, sedangkan di LMDH ”Wana Lestari” Desa Kedewan jadwal sama hanya dilakukan oleh tiga orang anggota seksi keamanan. Pada LMDH ”Alas Rejo” Desa Sambongrejo jadwal tugas patroli setiap petugas yaitu seminggu sekali. Adapun jadwal patroli lengkap dari ketiga LMDH tersebut diatas terdapat pada Lampiran 9. Sistem pelaksanaan patroli LMDH ”Wana Tani Makmur” Desa Nglebur di siang hari dilaksanakan oleh petugas LMDH saja, sedangkan untuk malam hari dilakukan bersama-sama dengan petugas Perhutani. Sedangkan pada LMDH ”Wana Jati Lestari” Desa Nglobo, patroli dilaksanakan secara berselang satu hari untuk setiap petugas.

Dalam kegiatan patroli bersama biasanya antara petugas Perhutani dengan petugas LMDH bertemu pada pos-pos penjagaan. Pos ini terdapat di beberapa titik di dalam areal hutan, baik di dalam tegakan, atau yang dekat dari aksesibilitas umum, pada tepi jalan raya misalnya. Berjaga-jaga pada pos baik siang atau malam hari, biasanya dilakukan bila kondisi dianggap tidak terlalu rawan.

(a) (b)

Gambar 13 Pos Penjagaan Hutan di BKPH Pasarsore (a) dan BKPH Cabak (b).

Kegiatan patroli ke dalam kawasan hutan dilakukan secara rutin, namun khusus untuk antisipasi kejadian kebakaran, intensitas kegiatan lebih ditingkatkan pada bulan-bulan yang rawan terjadi kebakaran yaitu ketika mulai memasuki musim kemarau, diantaranya mulai dari pertengahan Juli hingga Oktober. Pada bulan-bulan rawan kasus kebakaran tersebut, patroli yang digunakan yaitu dengan berjalan menyusuri hutan, mengamati bilamana di suatu tegakan terdapat benda- benda yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan, seperti obat nyamuk bakar

yang sudah disulut atau dinyalakan, juga segera melakukan pemadaman bila menemukan titik api/lokasi yang terbakar.

c. Penyuluhan kebakaran hutan terhadap masyarakat

Untuk kegiatan ini, petugas LMDH yang terlibat yaitu petugas seksi humas yang bekerjasama dengan seksi keamanan. Anggota seksi humas biasanya melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui ramah tamah atau ikut terlibat dalam rapat-rapat desa, kumpul RT atau RW, dan ikut berbicara dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian keberadaan hutan serta manfaatnya yang dapat diperoleh masyarakat sendiri, dampak negatif akibat gangguan hutan salah satunya kebakaran hutan, serta kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan bersama dengan Perhutani, baik sistem kerjanya, peraturan, maupun keuntungan yang dapat diperoleh masyarakat. Metode ini selain untuk bidang keamanan hutan, juga digunakan dalam sosialisasi saat penerapan PHBM.

Gambar 14 Kegiatan penyuluhan kebakaran di Desa Cabak.

Selain itu, pendekatan juga dilakukan oleh petugas seksi keamanan ketika mereka patroli, yakni dengan berbincang-bincang dengan penduduk yang sedang masuk hutan, atau juga terhadap penggembala, yang kebanyakan anak-anak dan akan masuk ke hutan, agar mereka tidak menyalakan api yang dapat menyebabkan kebakaran hutan atau juga melakukan tindak pengrusakan hutan lainnya. Pendekatan personal juga dilakukan secara non-formal, seperti saat mengobrol di warung atau saat berkumpul santai antar warga.

Walau terkadang mendapat tanggapan kurang enak, seperti sindiran- sindiran, namun hal ini tidak menyurutkan semangat anggota LMDH. Para petugas tetap melakukan sosialisasi tersebut sehingga secara perlahan namun pasti mampu mengubah pandangan warga. Banyak masyarakat yang kemudian menjadi segan atau malu bila hendak masuk hutan untuk mencuri kayu, melakukan pembakaran, atau tindak kejahatan terhadap hutan lainnya.

d. Pemadaman kebakaran hutan bersama karyawan Perhutani

Walaupun upaya pengawasan dan pencegahan telah diupayakan sedemikian rupa, kejadian kebakaran hutan dapat tetap saja muncul di hutan wilayah pemangkuan. Biasanya kondisi ini terjadi pada bulan-bulan dengan tingkat kekeringan tinggi, sehingga rawan terjadi kebakaran hutan.

Apabila terjadi kebakaran, maka dilakukan pemadaman kebakaran hutan secepatnya agar luas kebakaran hutan tidak besar. Pemadaman dilakukan menggunakan peralatan sederhana, seperti pemukul api tradisional atau yang sering disebut gepyokan (istilah bahasa setempat), yaitu pemukul api yang terbuat dari ranting-ranting berdaun lebar dan tahan api, membuat ilaran api, atau dengan menyingkirkan bahan-bahan bakar, serasah-serasah dedaunan jati misalnya, agar api tidak menjalar dan meluas. Di wilayah Cepu, gepyokan yang sering digunakan yaitu ranting daun ploso, karena daunnya lebar dan cukup tahan terhadap api.

Pemadaman ini dilakukan oleh para petugas Perhutani yang berada dekat dengan lokasi kejadian kebakaran. Apabila kapasitas tenaga dinilai kurang, maka petugas mengajak pengurus LMDH untuk ikut serta, dan apabila masih dibutuhkan tambahan tenaga lagi maka pengurus akan mengerahkan masyarakat. Banyaknya tenaga yang diperlukan tergantung pada besarnya kebakaran yang dipengaruhi keadaan lapangan seperti ada angin atau tidak, atau dekat sungai atau sekat alami lainnya.

Keterlibatan LMDH atau masyarakat sekitar dalam pemadaman kebakaran hutan tercantum dalam Laporan Kebakaran Hutan yang dibuat oleh KRPH dan diketahui KBKPH setiap terjadi kasus kebakaran hutan, contohnya dapat dilihat pada Lampiran 10.

Dalam pelaksanaan kegiatannya, seksi keamanan hutan LMDH tak hanya didukung oleh pihak Perhutani saja, melainkan juga pemerintah daerah setempat, dalam hal ini kepala desa. Contoh dukungan ini tercermin dari adanya Surat Keputusan bagi 10 anggota seksi keamanan LMDH ”Tunggak Semi” Desa Temengeng dari ketua lembaga, pihak Perhutani serta Kepala Desa Temengeng.

Dalam surat tersebut (Lampiran 11) tercantum tugas dan tanggung jawab para petugas seksi keamanan, luas areal pangkuan hutan, nama-nama para petugas, serta keterangan keikutsertaan seluruh masyarakat Desa Temengeng Kecamatan Sambong dalam menjaga kawasan hutan. Melalui surat ini, selain memperkuat hubungan kerjasama antara LMDH, Perhutani serta pemerintah Desa, juga menjamin adanya dukungan dan perlindungan bagi aparat oleh pihak desa juga Perhutani, apabila ada suatu masalah yang melibatkan pihak luar desa.

Keberadaan LMDH tentunya membantu pihak Perhutani selaku pengelola hutan jati dalam mengelola kawasan hutannya, mulai dari kegiatan awal berupa pengadaan bibit, pemeliharaan serta perlindungan tegakan, hingga pemanenan. Dalam hal perlindungan hutan, khususnya kebakaran hutan, penerapan PHBM dengan berbagai bentuk kegiatan nyatanya di lapangan seperti yang sudah dijelaskan di atas, sedikit banyak tentu berperan positif terhadap kondisi hutan.

Berdasar pada data pada Tabel 8, juga data sejumlah kejadian kebakaran hutan per petak dari 6 BKPH di KPH Cepu (Lampiran 5), terlihat bahwa setelah tahun 2002, luas kebakaran hutan yang terjadi di wilayah KPH Cepu mengalami

Tabel 8 Data Rekapitulasi Gangguan Hutan : Kebakaran Hutan Tahun 2000 -

2006 KPH Cepu

Kejadian Kebakaran Hutan Tahun Luas (ha) Kerugian (x Rp 1.000) Penurunan luas tahunan (ha) 2000 276 42.886 2001 400 72.957 -124 2002 867 163.483 - 467 2003 765 140.676 102 2004 516 105.890 249 2005 114 29.177 402 2006 528 114.780 -414 TOTAL 3.486 669.829

Sumber : Bagian PSDH KPH Cepu (2007)

Terkait hal tersebut, maka dilakukan pula penghitungan penurunan luasan tersebut kemudian dilakukan scoring sesuai standar evaluasi PHBM (Direksi Perum Perhutani 2003). Perhitungan dilakukan setiap tahun, karena evaluasi PHBM oleh Perhutani juga dilakukan setiap tahun. Dalam hal ini menilai pengaruh pelaksanaan PHBM terhadap dampak ekologi hutan akibat gangguan keamanan hutan dimana kebakaran merupakan bagian di dalamnya.

Luas areal terbakar untuk tahun 2002 yaitu sebesar 867 Ha, untuk tahun 2003 luasan mengalami penurunan sebesar 102 Ha yaitu menjadi 765 Ha. Pada tahun 2004 luas areal yang terbakar yaitu sebesar 516 Ha, yang berarti turun sebesar 249 Ha dari tahun 2003. Pada tahun 2005, luas areal yang terbakar yaitu 114 Ha, mengalami penurunan sebesar 402 Ha dari luas kebakaran hutan di tahun 2004. Adapun dari ketiga tahun tersebut, laju penurunan luas areal terbakar rata- rata dari ketiga tahun tersebut yaitu 251 ha

Untuk penilaian kebakaran hutan dilihat dari penurunan luas areal terbakarnya (Lampiran 13). Untuk tahun 2003, dengan penurunan luas sebesar 11,76 % (102 Ha) memperoleh skor 1 dari standar evaluasi. Kebakaran tahun 2004, penurunaan luas kebakaran sebesar 32,55 % (249 Ha) memperoleh skor 1 dari standar yang sama, sedangkan untuk kebakaran hutan tahun 2005, luas areal yang terbakar mengalami penurunan 77,91 % (402 Ha) memperoleh skor 5, yang merupakan skor tertinggi dalam standar evaluasi.

Kejadian kebakaran hutan di wilayah KPH Cepu memang diakibatkan oleh aktivitas manusia yang menggunakan api, namun juga sangat dipengaruhi kondisi cuaca. Dari ketiga tahun yang mengalami penurunan kejadian kebakaran hutan, tahun 2005 merupakan tahun dengan laju penurunan terbesar, dan hal ini merupakan prestasi yang baik antara Perhutani maupun masyarakat di wilayah KPH Cepu dalam hal penanggulangan kebakaran hutan. Namun, pencapaian prestasi ini juga tak luput terkait dengan faktor alam.

Kondisi cuaca pada masa itu yang terbilang normal, tidak ada pengaruh El- Nino melainkan terdapat fenomena badai tropis Tim yang membuat pemampatan awan cukup tinggi sehingga potensi terjadinya hujan tinggi. Namun, kondisi berbeda terjadi di tahun 2006, dimana terjadi fenomena angin monsoon dari timur yang bersifat kering dan telah menyebabkan kekeringan ekstrem hampir di 80%

wilayah Jawa Tengah, bahkan untuk wilayah Jateng bagian timur yang langganan kekeringan seperti Blora, Rembang, Pati, Grobogan, Klaten, Wonogiri, dan Sragen tidak akan ada hujan (Kompas 2006). Kondisi inilah yang mengakibatkan kasus kebakaran hutan besar-besaran kembali melanda wilayah hutan Cepu, sehingga total luas areal terbakar tahun 2006 kembali meningkat.

Analisa peranan PHBM terkait pengendalian kebakaran hutan ini juga diujicoba secara uji statistik terhadap data luas kebakaran hutan antara tahun- tahun sebelum pelaksanaan dengan tahun setelah pelaksanaan PHBM di KPH Cepu dengan metode Paired sample T-test dan diperoleh hasil berupa p-value sebesar 0,811.

Nilai tersebut (p-value) lebih besar dari 0,05, maka asumsi Ho diterima, yang berarti adanya PHBM tidak berpengaruh nyata terhadap upaya pengendalian kebakaran hutan di KPH Cepu. Berdasarkan uji tersebut diperoleh juga perbedaan rata-rata sebesar -3,34. Perbedaan ini masih termasuk dalam range nilai, yaitu nilai terendah : -33,32 dan nilai tertinggi : 26,65. Namun karena dari hasil uji probabilitas (p-value) hubungan keduanya tidak nyata, maka dapat dikatakan bahwa penerapan PHBM tidak berpengaruh nyata dalam upaya mengendalikan kasus kebakaran hutan di KPH Cepu.

Walaupun setelah tahun 2002 luas kebakaran hutan memang berkurang, hanya saja dari hasil uji menggunakan two sample paired t-test keefektifan peranan PHBM tidak berpengaruh nyata. Hal ini disebabkan nilai hasil rata-rata luas areal terbakar pada tahun-tahun sebelum pelaksanaan PHBM tetap lebih kecil dibandingkan luas area terbakar di tahun-tahun setelah pelaksanaan. Berdasarkan nilai, terlihat bahwa luas kebakaran hutan tidak mengalami penurunan tetapi meningkat, sehingga membuat peran serta masyarakat melalui LMDH/PHBM seakan tidak ada atau tidak terlihat jelas.

Dari hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa prestasi Perhutani dengan pelaksanaan PHBM dalam penanganan gangguan keamanan hutan berupa kasus kebakaran/pembakaran hutan belum sangat optimal. Kondisi tersebut tidak seperti pengaruh kegiatan terhadap kasus gangguan hutan lainnya, seperti pencurian kayu. Ada beberapa hal yang diduga mempengaruhi terjadinya hal tersebut, diantaranya :

a. Keterbatasan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan

Walaupun kasus kebakaran hutan marak terjadi di wilayah hutan KPH Cepu, namun kondisi ini sepertinya belum dinilai menjadi permasalahan utama bagi perusahaan pengelola hutan ini. Hal ini terlihat dari penanganan kebakaran hutan yang ada selama ini. Selama ini belum dibentuk tim khusus terkait masalah kebakaran hutan, baik patroli maupun pemadam kebakaran hutan. Kegiatan keamanan masih dilakukan secara bersamaan dan gabungan, baik untuk menangani pencurian juga kebakaran. Selain itu sarana dan prasarana untuk penanggulangan kebakaran kurang memadai, bahkan tidak ada. Sebagai contoh sarana pengawas berupa menara pengawas (menara api). Sarana ini pernah ada, namun karena pemanfaatannya kurang maka kini kondisinya kurang terawat. Salah satu menara pengawas yang kondisinya masih baik dan masih digunakan yaitu menara pandang yang terdapat di Gubug Payung. Pemanfaatan menara inipun kini lebih mengarah sebagai sarana pariwisata.

Gambar 15 Menara pengawas hutan di Gubug Payung, BKPH Pasarsore.

Bila terjadi kebakaran hutan, upaya pemadaman hanya sebatas menggunakan alat-alat yang ada di lapangan, seperti ranting-ranting daun yang tebal dan tahan api, seperti tanaman ploso atau membuat ilaran api.

Pelatihan kebakaran hutan pernah diadakan pada tahun 2004, namun hanya sekali dan tidak ditindaklanjuti. Pada saat pelatihan tersebut, ada beberapa desa yang memperoleh alat-alat pemadaman kebakaran, namun kini kondisi alat sudah tidak memadai untuk digunakan sesuai fungsinya.

Contoh kasus di Desa Nglebur, alat pemukul api yang sudah rusak lalu dialih fungsikan dengan memanfaatkan pegangan alat tersebut sebagai patok untuk membuat papan peringatan. Walau demikian, pengurus LMDH desa tersebut berinisiatif untuk mengupayakan pengadaan alat pemadam kebakaran (Yamato Sprayer-30L), yang pengadaannya tidak khusus untuk kebakaran hutan saja tetapi lebih kepada pengamanan industri tunggak yang dikelola oleh pengurus LMDH desa tersebut (LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur).

Gambar 16 Alat pemadam kebakaran milik pengurus LMDH.

b. Kebersamaan kerja antara aparat dan masyarakat belum terjalin utuh.

Pelaksanaan patroli kebakaran hutan masih dilakukan terpisah antara petugas dan masyarakat. Bila memungkinkan, baru terkadang diadakan patroli bersama. Belum tercipta sinergitas seutuhnya dalam pelaksanaan dan pembagian tugas. maupun penyusunan jadwal kegiatan patroli belum disusun secara bersama antara petugas dari Perhutani dan masyarakat (LMDH). Penyusunan jadwal hendaknya dilakukan menjelang musim kemarau, dan patroli kolaboratif tersebut dilakukan secara intensif saat musim kemarau atau bulan-bulan rawan kebakaran. Dengan pembagian peran tersebut diharapkan kendala keterbatasan tenaga untuk patroli pencegahan kebakaran hutan dapat diantisipasi.

c. Pandangan petugas Perhutani mengenai kebakaran hutan.

Secara umum penilaian kerugian dalam pengelolaan hutan jati oleh Perhutani yaitu hanya bila perusahaan kehilangan kayu atau pohon. Dampak dari kebakaran hutan jati di Cepu secara ekonomis memang tidak terlalu nampak.

Dampak lebih terhadap sektor ekologis lingkungan walaupun secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan maupun kondisi pohon dan tegakan.

Kejadian kebakaran hutan di hutan jati yang merupakan kebakaran permukaan tentu jarang bahkan tidak sampai mematikan pohon-pohon secara langsung, namun tetap berpengaruh dan kelak akan merugikan. Apabila ada batang pohon yang terluka baik karena terkena api atau terkena alat saat pemadaman, hal ini merupakan jalan masuknya penyakit atau hama yang dapat menyebabkan kebusukan pada batang, atau rapuh, sehingga saat dipanen kondisi batang tidak utuh/cacat. Kondisi tersebut tentunya akan menurunkan kualitas dan nilai jual dari batang tersebut.

Namun dampak-dampak kebakaran hutan seperti tersebut di atas dinilai tidak terlalu berdampak signifikan terhadap perusahaan. Sepanjang tidak mematikan pohon suatu gangguan dianggap tidak terlalu membahayakan, sehingga kebakaran hutan seakan dianggap bukanlah ancaman besar bagi tegakan jati. Anggapan ini khususnya ditujukan bagi tegakan tua, sehingga membuat kebakaran di tegakan tua terkadang tidak diantisipasi. Bahkan, saat diskusi dengan

Dokumen terkait