• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi

BAB V PEMBAHASAN

5.2 Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi

Kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi yang dibahas pada bagian ini meliputi kondisi pemertahanan bahasa berdasarkan kelompok umur, ranah dan hubungan peran.

5.2.1 Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi Berdasarkan Kelompok Umur

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada tiap-tiap kelompok sudah tidak bertahan, baik pada kelompok remaja, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua. Tingkat pemertahanan pada masing masing kelompok tidak mencapai skalabilitasnya, yakni ≥85 (lihat tabel 4.8). Tingkat pemertahanan bahasa Pakpak Dairi berdasarkan kelompok umur diperoleh dari jumlah frekuensi pada tiap kategori

dibagi jumlah seluruh frekuensi pada tiap kategori, hubungan peran pada setiap ranah, dan peristiwa bahasa.

Tingkat pemertahanan bahasa Pakpak Dairi rendah pada kelompok remaja disebabkan beberapa faktor. Jendra (2010:145-146) mengatakan bahwa faktor- faktor yang mempertahankan bahasa adalah jumlah penutur, tempat tinggal, identitas, dan kebanggaan budaya, dan kondisi ekonomi yang baik. Selanjutnya, Sumarsono (2004:235-238) mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa adalah kedwibahasaan, migrasi, ekonomi, dan sekolah. Beberapa dari faktor yang disebutkan para ahli di atas ditemukan di dalam penelitian ini. Pertama, konsentrasi tempat tinggal. Dalam hal ini jika masyarakat Pakpak Dairi bertempat tinggal terpisah dengan suku lain, mereka cenderung mempertahankan penggunaan bahasa daerahnya (bahasa Pakpak Dairi). Sebaliknya, jika mereka bertempat tinggal campur dengan suku lain, mereka mulai menggeser penggunaan bahasa mereka. Misal, masyarakat Pakpak Dairi yang tinggal di Tiga Lingga, mereka cenderung menggunakan bahasa Karo dan bahasa Indonesia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, jumlah penutur. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, mayoritas penduduk di Kabupaten Dairi adalah suku Batak Toba. Kebanyakan dari penutur Bahasa Batak Toba tidak bisa menggunakan bahasa Pakpak Dairi. Keadaan ini membuat mereka mulai menggeser bahasa mereka. Ketiga, sekolah. Penggunaan bahasa nasional di sekolah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pemertahanan bahasa Pakpak Dairi sehingga menyebabkan pergeseran bahasa. Keempat, dilihat dari pemerolehan bahasa pertama responden pada kelompok

remaja adalah bahasa Indonesia (lihat tabel 45). Hal ini diduga dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

Selanjutnya, rendahnya tingkat pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa dan orang tua disebabkan oleh pilihan bahasa. Sumarsono (2004:201-204) mengatakan bahwa ada tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yakni alih kode, campur kode dan variasi bahasa yang sama (variation within the same language). Alih kode, campur kode, dan variasi bahasa dalam bahasa yang sama (variation within the same language) merupakan pilihan bahasa yang dapat menimbulkan pergeseran dan kepunahan. Dari tiga pilihan bahasa tersebut, alih kode mempunyai konsekuensi yang paling besar. Dalam tuturan masyarakat Pakpak Dairi (kelompok dewasa dan kelompok orang tua) ditemukan alih kode dan campur kode ketika mereka berinteraksi. Mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba ketika mereka berkomunikasi dengan teman-teman sesuku dan dihadiri pihak ketiga (lihat lampiran data observasi, data 6, data 14, data 23, dan data 28). Mereka juga akan beralih bahasa ketika mereka mengetahui lawan bicaranya tidak bisa menggunakan bahasa Pakpak Dairi (lihat lampiran data observasi, data 20). Pilihan bahasa yang mereka lakukan inilah membuat bahasa Pakpak Dairi tidak bertahan. Selanjutnya, kelompok dewasa dan orang tua mulai memasukkan/mencampur bahasa lain dalam percakapan mereka, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba (lihat lampiran data observasi, data 7, data 8, data 9, data 12, data 13, data 28 dan data 33).

Dapat disimpulkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi tidak bertahan berdasarkan kelompok umur disebabkan oleh konsentrasi tempat

tinggal, migrasi, jumlah penutur, sekolah, alih kode, campur kode, dan pemerolehan bahasa pertama diduga mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

5.2.1.1 Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi di Ranah Rumah

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada tiap-tiap kelompok (kelompok remaja, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua) sudah tidak bertahan di ranah rumah (lihat tabel 4.9, tabel 4.10, dan tabel 4.11). Rendahnya tingkat pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok remaja disebabkan mereka sudah menggunakan bahasa Indonesia di ranah rumah seperti dengan ayah dan ibu mereka (lihat lampiran data observasi, data 1, data 2, data 3, dan data 4). Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka menggunakan bahasa Indonesia sehingga menyebabkan kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi rendah. Beberapa faktor-faktor yang ditemukan dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok remaja di ranah rumah; Pertama, konsentrasi tempat tinggal. Masyarakat Pakpak Dairi yang tinggal terpisah dengan suku lain, mereka cenderung menggunakan bahasa Pakpak Dairi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tetapi masyarakat Pakpak Dairi khususnya kelompok remaja yang tinggal bersama-sama dengan suku lain cenderung beralih bahasa. Konsentrasi tempat tinggal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa (Romaine (2000); Jendra (2010)). Kedua, jumlah penutur. Masyarakat Pakpak Dairi merupakan masyarakat minoritas di Kabupaten Dairi. Tentunya jumlah penutur sangat mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi. Hal ini disebabkan banyaknya penutur

penutur Pakpak Dairi khususnya kelompok remaja mulai beralih bahasa. Jumlah penutur merupakan faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa dalam suatu daerah (Romaine (2000:44-67); Jendra (2010:145-146)). Masyarakat mayoritas cenderung akan menggunakan bahasa daerahnya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan masyarakat minoritas cenderung beralih bahasa. Namun, tidak menutup kemungkinan masyarakat minoritas akan mempertahankan penggunaan bahasa daerah mereka. Pemertahanan bahasa dapat mereka lakukan apabila mereka memiliki ideologi yang tinggi terhadap bahasa daerah mereka (Fishman, 1972:97). Ketiga, sekolah. Sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa (Romaine (2000:44-67); Holmes (2001:52- 64). Sekolah sangat membawa pengaruh terhadap pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Hal ini disebabkan bahasa pengantar yang digunakan di sekolah adalah bahasa Indonesia. Pemerolehan bahasa kedua tentunya sangat mempengaruhi penggunaan bahasa daerah (Romaine, 2000:56). Dan hal ini ditemukan di dalam penelitian ini. Kelompok remaja sudah menggunakan bahasa Indonesia dan memasukkan unsur-unsur bahasa lain ketika mereka berkomunikasi dengan ayah/ibu, kaka/adik dan lainnya di ranah rumah. Keempat, diduga pemerolehan bahasa pertama juga mempengaruhinya.

Selanjutnya, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa tidak bertahan disebabkan oleh pilihan bahasa. Sumarsono (2004:201- 204) mengatakan bahwa ada tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yakni alih kode, campur kode dan variasi bahasa yang sama (variation within the same language). Alih kode, campur kode, dan variasi bahasa dalam bahasa yang sama (variation within the same language) merupakan pilihan

bahasa yang dapat menimbulkan pergeseran dan kepunahan. Dari tiga pilihan bahasa tersebut, alih kode mempunyai konsekuensi yang paling besar. Campur kode dan alih kode ditemukan dalam tuturan masyarakat Pakpak Dairi (kelompok dewasa) di ranah rumah.

Kelompok dewasa mulai memasukkan unsur-unsur bahasa lain dalam tuturannya, yakni bahasa Indonesia (lihat lampiran data observasi, data 9). Percakapan menunjukkan bahwa interlokutor „anak‟ sudah memasukkan bahasa Indonesia dalam tuturannya, yakni kata „bapak‟. Kelompok dewasa akan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah lain ketika mereka berbicara dengan lawan bicara yang tidak bisa menggunakan bahasa Pakpak Dairi (lihat lampiran data observasi, data 6). Mereka akan menggunakan bahasa Pakpak Dairi ketika mereka berbicara dengan anak mereka (lihat lampiran data observasi, data 5), kakak/adik (lihat lampiran data observasi, data 7), teman-teman sesuku di rumah (lihat lampiran data observasi, data 8 dan data 9).

Sejalan dengan uraian di atas, Sumarsono (1990) dalam disertasi „Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan‟ mengatakan bahwa alih kode juga terjadi di ranah rumah. Alih kode itu terjadi ketika ada penghuni lain di rumah, guyup Loloan akan menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi guyup loloan masih menggunakan bahasa Melayu Loloan jika mereka berinteraksi antara anggota keluarga di ranah rumah.

Selanjutnya, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok orang tua di ranah rumah juga sudah tidak bertahan dan mulai bergeser. Mulai bergesernnya penggunaan bahasa Pakpak Dairi disebabkan oleh pilihan bahasa.

Sumarsono (2004:201-204) mengatakan bahwa ada tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yakni alih kode, campur kode dan variasi bahasa yang sama (variation within the same language). Alih kode, campur kode, dan variasi bahasa dalam bahasa yang sama (variation within the same language) merupakan pilihan bahasa yang dapat menimbulkan pergeseran dan kepunahan. Dari tiga pilihan bahasa tersebut, alih kode mempunyai konsekuensi yang paling besar. Campur kode dan alih kode ditemukan dalam tuturan masyarakat Pakpak Dairi (kelompok orang tua).

Kelompok orang tua mulai memasukkan unsur-unsur bahasa lain dalam tuturannya, yakni bahasa Indonesia (lihat lampiran data observasi, data 12) dan bahasa Batak Toba (lihat lampiran data observasi, data 14). Percakapan (data 12) menunjukkan bahwa interlokutor „orang tua 2‟ sudah memasukkan bahasa Indonesia dalam tuturannya, yakni kata „kakak‟. Sedangkan percakapan (data 14) menunjukkan bahwa interlokutor „orang tua 1‟ sudah memasukkan bahasa Batak

Toba dalam tuturannya, yakni kata „ito‟. Selanjutnya, kelompok orang tua akan

menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah lain ketika mereka berbicara dengan lawan bicara yang tidak bisa menggunakan bahasa Pakpak Dairi (lihat lampiran data observasi, data 14). Mereka akan menggunakan bahasa Pakpak Dairi ketika mereka berbicara dengan anak maupun orang tua mereka (lihat lampiran data observasi, data 10 dan data 11), teman-teman sesuku di ranah rumah (lihat lampiran data observasi, data 12 dan data 13).

Sejalan dengan uraian di atas, Sumarsono (1990) dalam disertasi „Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan‟ mengatakan bahwa alih kode juga terjadi di ranah rumah. Alih kode itu terjadi ketika ada penghuni lain di ranah rumah,

guyup loloan akan menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi guyup loloan masih menggunakan bahasa Melayu Loloan jika mereka berinteraksi antara anggota keluarga di ranah rumah.

Dapat disimpulkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok remaja tidak bertahan di ranah rumah disebabkan oleh konsentrasi tempat tinggal, migrasi, jumlah penutur, sekolah, dan pemerolehan bahasa pertama diduga mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Selanjutnya, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa dan orang tua tidak bertahan di ranah rumah disebabkan oleh alih kode, campur kode, dan secara tidak langsung interlokutor juga dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

5.2.1.2 Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi di Ranah Luar Rumah Berdasarkan hasil penelitian, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi di ranah luar rumah sudah tidak bertahan pada tiap-tiap kelompok, baik kelompok remaja, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua. Kelompok remaja sudah mulai beralih bahasa. Kelompok remaja sudah menggunakan bahasa Indonesia ketika mereka berbicara dengan teman-teman sesuku (lihat lampiran data observasi, data 16 dan data 17) maupun tidak sesuku (lihat data lampiran observasi, data 15). Percakapan (data 15) menunjukkan bahwa „Aisyah‟ sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan lawan bicaranya walaupun dia tidak mengetahui bahwa lawan bicaranya tidak bersuku Pakpak Dairi. Hal yang serupa terjadi pada percakapan antara Pratiwi Sinamo dan Elisabeth Anakampun (data 16 dan data 17). Mereka bersuku Pakpak Dairi, tetapi mereka sudah menggunakan

bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yang pada akhirnya faktor ini yang membuat kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok remaja melemah. Beberapa faktor-faktor yang ditemukan dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok remaja di ranah luar rumah; Pertama, konsentrasi tempat tinggal. Masyarakat Pakpak Dairi yang tinggal terpisah dengan suku lain, mereka cenderung menggunakan bahasa Pakpak Dairi dalam kehidupan mereka sehari- hari. Tetapi masyarakat Pakpak Dairi khususnya kelompok remaja yang tinggal bersama-sama dengan suku lain cenderung beralih bahasa. Konsentrasi tempat tinggal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa (Romaine (2000); Jendra (2010)). Kedua, jumlah penutur. Masyarakat Pakpak Dairi merupakan masyarakat minoritas di Kabupaten Dairi. Tentunya jumlah penutur sangat mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi. Hal ini disebabkan banyaknya penutur non Pakpak Dairi yang berdiam di Kabupaten Dairi. Sehingga, beberapa dari penutur Pakpak Dairi khususnya kelompok remaja mulai beralih bahasa. Jumlah penutur merupakan faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa dalam suatu daerah (Romaine (2000:44-67); Jendra (2010:145-146)). Masyarakat mayoritas cenderung akan menggunakan bahasa daerahnya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan masyarakat minoritas cenderung beralih bahasa. Namun, tidak menutup kemungkinan masyarakat minoritas akan mempertahankan penggunaan bahasa daerah mereka. Pemertahanan bahasa dapat mereka lakukan apabila mereka memiliki ideologi yang tinggi terhadap bahasa daerah mereka (Fishman, 1972:97). Ketiga, sekolah. Sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa

(Romaine (2000:44-67); Holmes (2001:52-64). Sekolah sangat membawa pengaruh terhadap pemertahanan bahasa Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi. Hal ini disebabkan bahasa pengantar yang digunakan di sekolah adalah bahasa Indonesia. Pemerolehan bahasa kedua tentunya sangat mempengaruhi penggunaan bahasa daerah (Romaine, 2000:56). Dan hal ini ditemukan di dalam penelitian ini. Kelompok remaja sudah menggunakan bahasa Indonesia dan memasukkan unsur- unsur bahasa lain ketika mereka berkomunikasi dengan teman-teman yang sesuku dengan mereka di ranah luar rumah. Keempat, diduga pemerolehan bahasa pertama juga mempengaruhinya.

Selanjutnya, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi rendah pada kelompok dewasa disebabkan pilihan bahasa. Sumarsono (2004:201-204) mengatakan bahwa ada tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yakni alih kode, campur kode dan variasi bahasa yang sama (variation within the same language). Alih kode, campur kode, dan variasi bahasa dalam bahasa yang sama (variation within the same language) merupakan pilihan bahasa yang dapat menimbulkan pergeseran dan kepunahan. Dari tiga pilihan bahasa tersebut, alih kode mempunyai konsekuensi yang paling besar. Campur kode dan alih kode ditemukan dalam tuturan masyarakat Pakpak Dairi (kelompok dewasa) di ranah luar rumah. Kelompok dewasa akan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah lain ketika mereka berbicara dengan lawan bicara yang tidak bisa menggunakan bahasa Pakpak Dairi (lihat lampiran data observasi, data 21). Mereka akan menggunakan bahasa Pakpak Dairi ketika mereka berbicara dengan teman-teman sesuku (lihat lampiran data observasi, data 18, data 19, dan data 20).

Hal yang serupa juga terjadi pada kelompok orang tua. Penggunaan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok orang tua tidak bertahan karena alih kode. Alih kode itu terjadi ketika kelompok orang tua berbicara dengan teman-teman sesuku dihadiri pihak ketiga atau lawan bicaranya tidak bisa menggunakan bahasa Pakpak Dairi (lihat data observasi, data 25).

Sejalan dengan uraian di atas, Sumarsono (1990) dalam disertasi „Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan‟ mengatakan bahwa alih kode juga terjadi di ranah ketetanggaan. Alih kode itu terjadi ketika guyup loloan mengetahui kalau tetangganya bukan warga guyup Loloan. Tetapi mereka akan menggunakan bahasa Melayu Loloan ketika mereka berinteraksi dengan guyup Loloan juga.

Jika dikaitkan, hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Sumarsono (1990) dan sejalan dengan teori yang ada. Dapat disimpulkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi (kelompok remaja, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua) tidak bertahan di ranah luar rumah disebabkan oleh konsentrasi tempat tinggal, migrasi, jumlah penutur, sekolah, alih kode, campur kode, dan pemerolehan bahasa pertama diduga mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

5.2.1.3 Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi di Ranah Gerejadan Ranah Mesjid

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok remaja sudah tidak bertahan. Sedangkan kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa dan kelompok orang tua masih bertahan. Jika sesama remaja berkomunikasi di ranah gereja/mesjid, mereka selalu

menggunakan bahasa Indonesia, baik sesuku maupun tidak sesuku (lihat lampiran data observasi, data 23, data 24, data 25 dan data 26). Penggunaan bahasa Indonesia disebabkan konsentrasi tempat tinggal, jumlah penutur, sekolah dan diduga pemerolehan bahasa pertama, yakni bahasa Indonesia (lihat tabel 4.5). Selanjutnya, penggunaan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa dan kelompok orang tua masih bertahan. Dalam hal ini ranah dan interlokutor sangat mempengaruhi pemertahaanan bahasa. Di ranah gereja khusus GKPPD, mayoritas masyarakat yang beribadah adalah bersuku Pakpak Dairi walaupun ada juga yang bersuku lain. Tentunya hal ini juga mempengaruhi tingkat pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah penutur juga mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Keadaan inilah yang membuat penggunaan bahasa Pakpak Dairi masih bertahan di ranah gereja.

Sejalan dengan uraian di atas, Sumarsono (1990) dalam disertasinya „Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan‟ mengatakan bahwa faktor interlokutor juga menentukan pemertahanan bahasa Melayu Loloan dalam ranah agama. Dalam pengajian, bahasa Melayu Loloan masih sangat dominan digunakan di tempat anak-anak Loloan belajar mengaji karena boleh dikatakan tidak ada anak non-Loloan. Sebaliknya, penggunaan bahasa Melayu Loloan surut ketika santrinya berasal dari warga Loloan dan bukan Loloan. Hal itu menyebabkan penggunaan bahasa Melayu Loloan terbatas pada interaksi antar santri-santri sesama Loloan dan santri-ustad sesama Loloan. Santri dan ustad Loloan akan menggunakan bahasa Indonesia jika interlokutornya santri dan ustad non-Loloan; bahkan didalam proses belajar mengajar pun ustad menggunakan Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi

tidak bertahan di ranah gereja/mesjid disebabkan oleh konsentrasi tempat tinggal, migrasi, jumlah penutur, sekolah, dan pemerolehan bahasa pertama diduga mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Sedangkan kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa dan kelompok orang tua tidak bertahan disebabkan interlokutor, alih kode dan campur kode.

5.2.1.4 Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi di Ranah Sekolah

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok remaja di ranah sekolah sudah tidak bertahan. Tingkat pemertahanan bahasa Pakpak Dairi sangat rendah (lihat tabel 4.18). Mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia ketika mereka berinteraksi dengan teman-teman sesuku (lihat lampiran data observasi, data 38) , tidak sesuku (lihat lampiran data observasi, data 36 dan data 37) ataupun dengan guru yang sesuku dengan mereka (lihat lampiran data observasi, data 35). Hal ini disebabkan bahasa pengantar yang digunakan di sekolah adalah bahasa Indonesia. Kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia juga akan mempengaruhi pemertahanan bahasa (Fishman, 1968:76). Keadaan itu disebabkan banyaknya siswa yang tidak sesuku dengan mereka yang membuat mereka harus menggunakan bahasa nasional ketika mereka berkomunikasi dengan yang lain.

Sumarsono (1990) dalam disertasi „Pemertahanan bahasa Melayu Loloan‟ mengatakan bahwa pemertahanan bahasa Melayu Loloan terhadap bahasa Indonesia lemah, meskipun lokalnya tidak di dalam kelas. Hal itu terjadi di sekolah seperti Tsanawiyah Putri, Tsanawiyah Putra-Putri, Aliyah dan PGA, dan sekolah-sekolah non –Islam (SMP Swastika Karya, SMP Negeri 1, SMA Ngurah

Rai, SMA PGRI). Hal itu terjadi karena pada sekolah-sekolah tersebut terdapat anak-anak non-Loloan, yang berturut-turut jumlahnya makin banyak. Namun, pemertahanan bahasa Melayu Loloan terjadi hanya di SD Islam yang seluruh muridnya warga Loloan atau Islam non-Loloan yang sudah menguasai bahasa Melayu Loloan, interaksi antara murid-murid dan murid-guru di luar kelas masih didominasi oleh bahasa Melayu Loloan.

Dapat disimpulkan bahwa jumlah penutur sangat mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi di sekolah.

5.2.1.5 Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi di Ranah Pekerjaan Berdasarkan hasil penelitian, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa dan kelompok orang tua sudah tidak bertahan di ranah pekerjaan. Hal itu disebabkan oleh banyaknya penutur yang bersuku lain di tempat mereka bekerja, seperti di SMK Negeri 1 Sitinjo, BPS Kabupaten Dairi dan lain sebagainya, sehingga menyebabkan mereka harus memilih bahasa yang mereka gunakan. Sumarsono (2004:201-204) mengatakan bahwa ada tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yakni alih kode, campur kode dan variasi bahasa yang sama (variation within the same language). Alih kode, campur kode, dan variasi bahasa dalam bahasa yang sama (variation within the same language) merupakan pilihan bahasa yang dapat menimbulkan pergeseran dan kepunahan. Dari tiga pilihan bahasa tersebut, alih kode mempunyai konsekuensi yang paling besar. Alih kode ditemukan dalam tuturan masyarakat Pakpak Dairi (kelompok dewasa dan kelompok orang tua).

Kelompok dewasa dan orang tua cenderung menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Batak Toba ketika mereka berkomunikasi dengan rekan kerjanya (lihat lampiran data observasi, data 39, data 40, dan data 43). Tetapi penutur Pakpak Dairi akan menggunakan bahasa Pakpak Dairi dengan teman sesukunya (lihat lampiran data observasi, data 41, data 44 dan data 45). Dapat disimpulkan bahwa kelompok dewasa dan orang tua sudah memilih bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba ketika mereka berbicara dengan penutur bukan Pakpak Dairi.

Sejalan dengan uraian di atas, Sumarsono (1990) dalam disertasi „Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan‟ mengatakan bahwa faktor interlokutor menentukan pemertahanan bahasa Melayu Loloan di ranah transaksi. Penutur Loloan akan menggunakan bahasa Melayu Loloan jika penutur Loloan jelas-jelas mengenali lawan bicaranya sebagai orang Loloan. Jika interlokutor dikenali sebagai orang Bali, sebagian penutur golongan tua menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu Loloan. Sebaliknya, penutur golongan muda pada umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Para penutur muda juga menggunakan bahasa Indonesia kalau berurusan dengan pegawai di kantor-kantor pemerintah, termasuk kantor lurah yang sebagian besar pegawainya orang Loloan.

Dapat disimpulkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi tidak bertahan di ranah pekerjaan disebabkan alih kode dan interlokutor.

5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor intralinguistik dan ekstralinguistik.

5.3.1 Faktor Intralinguistik

Faktor intralinguistik adalah faktor yang berasal dari dalam bahasa. Beberapa faktor intralinguistik yang dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi adalah sebagai berikut.

1. Alih Kode

Berdasarkan hasil penelitian, alih kode merupakan salah satu faktor yang

Dokumen terkait