• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi pemukiman eksisting RW 08 Status dan Kondisi :

Keterangan : Tanpa Skala

4. Kondisi pemukiman eksisting RW 08 Status dan Kondisi :

• Status kepemilikan lahan dan bangunan merupakan milik warga setempat.

• Banyak ditemukan lahan tanpa perkerasan. Pemanfaatan Lahan :

• Ditanami dengan pohon-pohon besar yang mengakibatkan sebagian jalur sirkulasi terasa lebih jauh.

Kerapatan Bangunan :

• Masih ada yang memiliki pekarangan rumah yang cukup luas dikarenakan kerapatan bangunan yang cukup longgar.

Orientasi :

• Orientasi tetap pada jalan.

3. Kondisi pemukiman eksisting RW 07 Status dan Kondisi :

• Status kepemilikan lahan adalah milik warga.

• Ditemukan banyak lahan tanpa perkerasan. Pemanfaatan Lahan :

• Terdapat banyak pohon besar pada lahan penduduk, sehingga sebagian jalur sirkulasi terasa lebih teduh.

Kerapatan Bangunan :

• Pekarangan rumah lebih luas yang menunjukkan bahwa kerapatan bangunan cukup longgar yang dapat digunakan untuk keperluan lain. Orientasi :

• Walaupun orientasi tetap pada jalan, namun tidak lagi memiliki kesamaan atas jarak antara batas depan rumah dengan batas pekarangan. Posisi warung misalnya tidak selalu berada tepat di sisi jalan (dapat saja masuk sedikit ke pekarangan rumah).

4. Kondisi pemukiman eksisting RW 08 Status dan Kondisi :

• Kondisi fisik jalan beragam. Umumnya dapat dilewati oleh kendaraan motor dan telah mengalami perkerasan beton.

Pemanfaatan Lahan :

• Batas lahan tidak terlalu jelas.

• Terdapat cukup banyak lahan kosong berupa kebun. Kerapatan Bangunan :

• Bangunan cukup rapat karena banyak rumah deret pada RW tersebut. Orientasi :

• Pada RW 08, banyak tipe rumah deret akibat orientasi mata pencaharian berupa penyewaan kamar kost. Tidak lagi berorientasi pada jalan. Pola sangat tidak teratur.

Mayoritas penduduk di Perkampungan Budaya Betawi adalah Islam (90,82 %) dan selebihnya beragama Kristen Protestan (3,17 %), Kristen Katolik (4,65 %), Hindu (0,75 %) dan Budha (0,62 %). Fasilitas peribadatan yang tersedia adalah Mesjid 4 buah, 10 Musholah dan 1 Gereja.

Pendidikan

Perkembangan budaya dari waktu ke waktu menyebabkan perubahan yang cukup berarti dalam pendidikan masyarakat Perkampungan Budaya Betawi, khususnya pada perubahan pola pekarangannya. Sebanyak 64,2 % penduduk PBB memiliki pendidikan hanya sebatas lulusan SLTA dan selebihnya adalah lulusan dibawahnya atau bahkan tidak memiliki pengalaman pendidikan formal.

Banyak pengunjung yang memberi masukan terhadap warga sekitar yang memiliki pekarangan sehingga warga tidak lagi mengikuti peletakan semua elemen-elemen seperti dulu lagi. Penduduk juga lebih mengenal cara memperbanyak bibit tanaman secara efisien dalam jumlah yang banyak untuk tujuan komersil seperti yang terdapat pada salah satu pekarangan warga yang menjadikan pekarangannya sebagai tempat nursery atau pembibitan tanaman. Hal ini menumbuhkan minat untuk memperoleh pendidikan dari lembaga-lembaga lain seperti mengikuti studi banding ke beberapa nursery di Jawa (hasil wawancara dengan salah satu pemilik pekarangan).

Kusuma Putra (1986) mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, dapat diharapkan semakin memadai dalam pemanfaatan tanah pekarangannya untuk meningkatkan gizi keluarga. Pendidikan melatarbelakangi pemilihan tanaman yang akan ditanam di pekarangan, untuk memenuhi gizi keluarga ataupun sebagai obat untuk keluarga. Pekarangan seperti ini dapat dilihat pada pekarangan yang ditanami tanaman obat-obatan tradisional atau Toga (Tanaman Obat Keluarga).

Ekonomi

Sebagian besar masyarakat PBB bekerja sebagai petani kebun, pencari ikan di danau, pedagang buah-buahan dan tanaman hias. Untuk meningkatkan kesejahteraan, mereka berhimpun dalam beberapa kelompok tani. Penghasilan yang berhubungan langsung dengan yang dihasilkan oleh pekarangan yaitu dengan menjual hasil tanaman pekarangan ataupun tanaman hias yang ada. Hasil tanaman yang diolah menjadi minuman juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat PBB dan menjadi minuman khas Betawi seperti bir pletok yang berbahan dasar jahe, kayu secang, daun pandan, daun jeruk, lada hitam dan biji pala serta produk olahan sirup belimbing (Imron, et. al. 2002). Kemudian pohon melinjo yang sangat khas ditemukan pada pekarangan budaya Betawi ditanam karena penduduk Betawi sangat menyukai melinjo untuk dibuat menjadi sayur asem dan sayur lodeh yang menjadi makanan khas Betawi.

Dengan semakin berkembangnya permintaan akan wisata, warga sekitar mengubah pekarangannya sebagai sarana wisata agro yang dapat menghasilkan pemasukan bagi penduduk. Wisata Agro adalah salah satu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha-usaha pertanian (agro) sebagai obyek wisata dengan tujuan rekreasi, keperluan pengetahuan, memperkaya pengalaman dan memberikan peluang usaha di bidang pertanian (Imron, et. al. 2002). Jika musim buah datang, ranumnya buah di halaman rumah menggiurkan para wisatawan untuk singgah di rumah-rumah penduduk, dan biasanya pemilik rumah akan mempersilahkan tamunya memetik buah untuk dibawa pulang dan tentunya akan menjadi pemasukan ekonomi bagi pemilik rumah. Namun hal ini dapat tercapai dengan bantuan pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang bertugas untuk

mempromosikan wisata agro tersebut kepada pengunjung. Mereka bertugas sebagai fasilitator antara penduduk dengan pengunjung, serta penduduk dengan pemerintah. Hal tersebut akan lebih berjalan dengan baik jika ada kepedulian pemerintah terhadap kemajuan penduduk seperti memberikan bantuan berupa materi dan tenaga ahli untuk melatih warga setempat dalam bidang yang berkaitan. Namun berubahnya pekarangan sebagai tempat wisata agro menyebabkan banyak pekarangan yang tadinya ditanami pohon-pohon khas budaya Betawi berubah menjadi tempat perbanyakan tanaman hias yang lebih komersil.

Berdasarkan Harun, et. al. (1999), masyarakat Perkampungan Budaya Betawi juga menggunakan pohon dari pekarangan mereka untuk dijadikan bahan bangunan rumah atau yang lainnya. Kayu mereka pergunakan berasal dari kayu pohon Nangka, kayu Durian, kayu Kecapi, kayu Cempaka, kayu Jengkol. Khusus untuk bahan-bahan bangunan ini, dipilih pohon-pohon yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Pemanfaatan tanaman pekarangan ini dapat menghemat biaya untuk membeli bahan bangunan.

Adat Istiadat

Pengaruh pekarangan terhadap adat istiadat Betawi terlihat secara langsung. Penduduk Perkampungan Budaya Betawi memilih tanaman yang ditanam di pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan, kebutuhan ekonomis dan upacara adat istiadat. Contoh tanaman yang berfungsi untuk budaya yaitu daun sirih (Piper betle) yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Betawi, dan daun kelor yang dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat. Hal ini sama seperti pada budaya masyarakat Bali yang memakai tanaman kamboja untuk upacara-upacara adat. Bagi masyarakat Hindu di Bali, pekarangan merupakan bagian dari ruang terbuka pemukiman desa yang memiliki keindahan panorama alamiah karena diatur dalam pola ruang berdasarkan berbagai filosofi Hindu yang berorientasi keintiman dan interaksi sosial. Pekarangan di Bali berisi berbagai tanaman untuk upacara adat, tanaman buah-buahan, dan rempah-rempah (Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, 1989). Contoh lain juga dapat dilihat pada acara nujuh bulan yang mewajibkan adanya kembang dan rujak tujuh rupa (Imron, et. al. 2002). Kembang dan

buah-buahan untuk acara tersebut biasanya diperoleh dari hasil tanaman pekarangan yang ada.

Dokumen terkait