• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lanskap

Lanskap merupakan wajah dan karakter lahan bagian dari muka bumi ini dengan segala kegiatan kehidupan dan apa saja yang ada di dalamnya. Hal ini dapat bersifat alami, non alami atau keduanya, yang merupakan bagian atau total lingkungan hidup manusia beserta mahluk lainnya. Sejauh mata memandang, sejauh segenap indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat membayangkan.

Lanskap menurut Simonds (1983), adalah suatu bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indera yang dimiliki manusia. Lanskap merupakan suatu lahan yang memiliki elemen pembentuk, komposisi dan karakteristik tertentu sebagai pembedanya. Dikenal adanya lanskap alami (natural landscape) dan lanskap binaan (man made landscape) sebagai dua bentuk lanskap utama yang dipilih berdasarkan intensitas intervensi manusia ke dalam lanskap tersebut. Lanskap binaan merupakan satu bentukan lanskap yang menerima campur tangan, masukan, atau binaan, pengelolaan dari manusia, mulai dari tingkatan intensitas yang kecil sampai yang tinggi sekali.

Lanskap Budaya

Lanskap budaya (cultural landscape) merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat, yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya, yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola pemukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur serta lainnya (Simonds, 1983).

Plachter dan Rossler (1995) mengungkapkan bahwa lanskap budaya mencerminkan interaksi antara manusia dengan lingkungan alami mereka melalui ruang dan waktu yang merupakan suatu fenomena yang kompleks dengan identitas, baik dapat atau tidak dapat disentuh. Komponen yang tidak dapat disentuh muncul dari ide dan interaksi yang berdampak pada persepsi dan bentukan dari suatu lanskap. Contohnya adalah suatu kepercayaan yang dianggap suci atau keramat yang terkait sangat erat dengan lanskap.

Philips (dalam Malahayani, 2004) mengungkapkan bahwa lanskap budaya dapat ditemukan di setiap bagian dunia yang memiliki populasi. Mereka mewakili berbagai bagian dari warisan leluhur yang kaya dan tidak terbatas. Walaupun banyak terjadi perubahan dari bentuk alami mereka, lanskap budaya penting untuk konservasi alam dan keaneka-ragaman hayati karena banyak dari ekosistem yang berada di dalamnya dapat terus bertahan hidup melalui campur tangan manusia. Menurut McNeely dan Keeton (dalam Malahayani, 2004), banyaknya lanskap budaya yang hilang berarti manusia kurang mampu beradaptasi terhadap kondisi lokal tertentu, walaupun mereka mungkin mampu untuk lebih berkontribusi dalam ekonomi global. Sedangkan Tishler (1979) mendefinisikan lanskap budaya ini sebagai suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu pola kebudayaan tertentu. Lanskap ini memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya, dan juga nilai serta tingkat estetika, termasuk kejadian-kejadian kesejarahan yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Dinyatakannya bahwa kebudayaan merupakan agen atau perantara dalam proses pembentukannya, dan lanskap budaya merupakan hasil atau produknya yang dapat dilihat dan dinikmati keberadaannya baik secara fisik maupun psikis.

Lanskap budaya merupakan aspek berwujud dari budaya yang tidak dapat berhenti dalam suatu waktu seperti struktur sejarah (Ingerson, 1999). Konsep tradisional dalam pelestarian sejarah harus diperbaharui untuk memasukkan lanskap budaya. Menurut Mynors (1984), merupakan kewenangan perencanaan lokal dari waktu ke waktu dalam menentukan bagian mana dari wilayah mereka yang merupakan wilayah dengan bangunan arsitektural khusus, karakter bersejarah, atau penampakan yang diinginkan untuk dijaga, dikembangkan, dan dinyatakan sebagai wilayah konservasi.

Pemukiman

Pemukiman adalah kelompok unit kediaman orang-orang atau kelompok-kelompok manusia pada suatu wilayah termasuk kegiatan-kegiatan serta fasilitas-fasilitas sebagai akibat dari proses terbentuknya pemukiman ini (Wayong 1981). Menurut Ashihara (1986), ruang pada dasarnya terbentuk oleh perhubungan di antara suatu benda (objek) dan seorang manusia yang merasakan benda tersebut. Ruang arsitektural interior (ruang dalam) dibatasi oleh tiga buah bidang yaitu lantai, dinding dan langit-langit, sedangkan ruang eksterior (ruang luar) adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam hanya pada bidang alas dan dinding, sedang atapnya dapat dikatakan tidak terbatas. Berdasarkan tata ruang dan bentuk bangunannya, rumah tradisional Betawi dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis bangunan (khususnya Jakarta Selatan dan Timur) : Rumah Gudang, Rumah Joglo, dan Rumah Bapang.

Menurut Harun, et. al (1999), keadaan lingkungan tempat rumah-rumah tradisional Betawi berada, dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu pemukiman di bagian dalam (hinterland) dan pemukiman di bagian pesisir. Pemukiman di bagian dalam umumnya didominasi oleh kebun dan hunian dengan pekarangan yang ditumbuhi oleh pohon buah-buahan. Suasana pedesaan dengan pertanian kebun (agricultural-rural) terasa sekali di wilayah ini. Pemukiman di bagian pesisir memiliki suasana dan karakteristik pedesaan nelayan yang kuat. Hal ini tidak saja disebabkan oleh keadaan alamnya, tetapi juga oleh kegiatan masyarakatnya yang sebagian besar sebagai nelayan.

Harun, et. al (1999) mengemukakan bahwa di dalam tata letaknya, rumah-rumah yang berada di bagian hinterland dibedakan menjadi rumah yang berada agak jauh dari jalan (di bagian dalam) dan yang dekat atau yang langsung menempel pada jalan (di bagian luar). Pada bagian dalam, rumah-rumah yang dibangun berada di tengah kebun atau bidang lahan yang kering sehingga memiliki pola yang terpencar. Pada bagian luar, rumah-rumah memiliki pola yang mengelompok padat atau berjejer di sepanjang jalan dan hanya dikelilingi oleh pekarangan yang sempit. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa pemilik rumah memiliki lahan yang sempit, namun seringkali kebun buah-buahan atau lahan kering yang dimilikinya terdapat di lokasi lain.

Rumah tradisional Betawi, secara geografis, umumnya berada di lingkungan yang berdekatan dengan air, baik pantai ataupun daerah aliran sungai. Tata letak rumah Betawi tidak berorientasi terhadap arah mata angin tetapi lebih mengutamakan alasan-alasan praktis, seperti bentuk dan orientasi pekarangan serta fungsi-fungsinya (Ruchiat, et. al 2000). Tidak ada suatu kepercayaan tertentu yang harus diikuti dalam menentukan arah mata angin mana suatu rumah harus menghadap. Selain itu, tidak ada bangunan atau ruang tertentu yang menjadi pusat perkampungan yang berfungsi sebagai pusat orientasi rumah-rumah yang ada (Harun, et. al 1999).

Pekarangan

Pekarangan adalah areal yang mengitari tempat mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang berkenaan dengan pengelolaan lanjutan hasil pertanian seperti menjemur kayu bakar dan padi, menumbuk padi serta dapat pula berfungsi sebagai tempat bermain anak-anak (Nasoetion, 1989). Sedangkan Kim (1998) mengemukakan bahwa pekarangan merupakan suatu batas fisik guna menjaga privasi yang secara keseluruhan diartikan sebagai simbol kesinambungan suatu keluarga.

Menurut Brownrigg (1984), pekarangan di Indonesia merupakan salah satu tipe taman Timur yang mempunyai ciri berlokasi di sekitar rumah. Selanjutnya dikemukakan bahwa pekarangan merupakan sumber sekitar 40 % dari total kalori, 30 % dari total protein dan 65 % dari total bahan bakar yang dibutuhkan oleh keluarga. Selain itu, pekarangan memberikan sumbangan pendapatan sekitar 7 sampai 44 % dan pada saat paceklik pekarangan menyediakan bahan makanan untuk konsumsi keluarga.

Pendapat ini didukung oleh Kim (1988) yang menyatakan pekarangan sebagai sumber sayur-sayuran atau lauk pauk. Selain itu Penny dan Ginting (1984), menguraikan fungsi pekarangan sebagai sumber kebutuhan sehari-hari dengan aneka ragam tanaman, ternak, ikan, air sumur dan yang lainnya. Pekarangan dengan ciri khas tersebut berguna dalam menjaga keseimbangan alami.

Brownrigg (1985) mengungkapkan ketentuan dari suatu pekarangan adalah besarnya jumlah tanaman tertentu serta dilengkapi dengan sistem daur ulang misalnya pembuatan kompos. Di pekarangan ini dapat pula dipelihara ternak seperti bebek, ayam, kambing, kuda, domba, dan ternak lainnya. Namun pada umumnya lahan yang langsung berada di depan rumah dalam keadaan bersih dan dilindungi pepohonan, dapat digunakan untuk bermain oleh anak-anak serta tempat berkumpul maupun untuk pengolahan lanjutan hasil pertanian, yang sering disebut sebagai halaman rumah. Selain itu Nasoetion (1989) mengungkapkan bahwa pekarangan di sekitar rumah umumnya ditanami pohon yang menghasilkan buah seperti manggis, rambutan, duku, durian, bisbul, gandaria, gowok, kecapi, lobi-lobi; pohon yang menjadi sumber sayuran teman nasi seperti nangka, keleuwih, dan melinjo; pohon yang menghasilkan rempah seperti pala dan cengkeh. Di bawah pepohonan tersebut ditanami perdu yang lebih pendek yang dapat menghasilkan buah seperti jeruk, jambu, nam-nam dan salak; perdu sebagai sumber rempah-rempah seperti jahe, lengkuas, kunir, sereh, dan lada serta pada lapisan terendah biasanya ditanami sayur-sayuran seperti cabai, pandan, bayam, bayam merah dan kangkung darat. Susunan jenis tumbuhan yang ditanam umumnya berbeda untuk setiap tempat tergantung dari kondisi iklim dan tanahnya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pekarangan

Penny dan Ginting (1984) mengemukakan bahwa keberadaan elemen dalam pekarangan dipengaruhi oleh adat atau kebiasaan melakukan upacara-upacara yang berlaku di daerah tersebut. Elemen dalam pekarangan terdiri dari manusia sebagai pemilik, pengguna dan pengelola pekarangan, vegetasi sebagai tanaman dalam pekarangan dan bangunan. Contohnya bagi masyarakat Hindu di Bali, pekarangan merupakan bagian dari ruang terbuka pemukiman desa yang memiliki keindahan panorama alamiah karena diatur dalam pola ruang berdasarkan berbagai filosofi Hindu yang berorientasi keintiman dan interaksi sosial. Pekarangan di Bali berisi berbagai tanaman untuk upacara adat, tanaman buah-buahan, dan rempah-rempah (Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, 1989).

Fungsi Pekarangan

Fungsi pekarangan dapat digolongkan menjadi dua bagian, yakni fungsi ekonomis dan fungsi non ekonomis atau rohani. Fungsi ekonomis berarti hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan fungsi non ekonomis dimaksudkan bahwa hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan secara tidak langsung. Menurut Kristyono (1983), masing-masing fungsi pekarangan adalah sebagai berikut : 1. Untuk dipetik hasilnya

Pekarangan dikenal terdiri dari berbagai macam tanaman dan hasilnya dapat dipetik setiap waktu sepanjang tahun sehingga pekarangan sering disebut “lumbung hidup” atau “taman gizi”. Selain itu pekarangan juga disebut “apotek hidup” jika tanamannya terdiri dari tanaman obat-obatan.

2. Melindungi rumah dan keluarga serta sebagai paru-paru

Dengan penanaman sistem bertingkat seperti di hutan, kerimbunan pekarangan oleh beberapa mahkota daun tanaman dapat diwujudkan. Pada siang hari, kerimbunan ini akan melindungi rumah dari kerusakan yang diakibatkan oleh terik matahari dan hujan angin.

Mahkota dedaunan tanaman pekarangan dapat berfungsi sebagai “paru-paru” karena menyerap kebisingan, debu, gas asam arang, dan gas beracun lainnya sedangkan sistem perakaran yang berada dalam tanah dapat menghancurkan sampah atau limbah rumah tangga.

3. Penyejuk pemandangan

Arti pekarangan untuk masyarakat desa tentunya berlainan dengan masyarakat kota. Di kota, pekarangan banyak ditujukan untuk memberikan keindahan, kesegaran dan kesejukan pemandangan. Kerimbunan pekarangan oleh mahkota dedaunan memberikan pemandangan yang menyejukkan.

4. Sebagai tempat bersantai keluarga

Fungsi non ekonomis lain dari pekarangan ialah sebagai tempat bersantai keluarga. Pekarangan dapat menjadi sebuah wadah untuk membina hubungan antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam.

5. Sebagai arena pendidikan dan bermain anak

Anak-anak dapat belajar mengenai alam melalui pekarangan seperti mengenal tumbuh-tumbuhan dan satwa yang ada di dalamnya. Selain itu telah menjadi naluri anak-anak untuk berinteraksi dengan sesamanya melalui permainan. Pekarangan sebagai wadah untuk permainan yang dapat memberikan dampak positif bagi anak-anak.

Menurut Soemarwoto (1991) pekarangan mempunyai fungsi : hidro-orologi, pencagaran sumber daya gen, efek iklim mikro, sosial, produksi, dan estetis. Fungsi hidro-orologi dapat terlihat dari sedikitnya erosi yang umumnya terjadi di pekarangan, karena keadaan pekarangan yang datar dan tajuk tanaman yang berlapis. Fungsi pencagaran sumber daya gen terwujud dengan adanya banyak jenis yang ditanam di pekarangan. Efek iklim mikro terjadi karena naungan kanopi pepohonan.

Soemarwoto (1991) mengungkapkan bahwa fungsi sosial terlihat karena pekarangan merupakan simbol status. Orang yang tidak memiliki pekarangan dan membuat rumahnya di pekarangan orang lain, dianggap mempunyai status yang rendah. Pekarangan banyak yang tidak berpagar. Jika berpagar, tidak tertutup rapat sekeliling, dengan demikian orang dapat dengan bebas melewati pekarangan orang lain. Hasil pekarangan juga mempunyai fungsi sosial, orang lain dengan tidak membayar dapat memperoleh bagian tanaman untuk keperluan obat atau upacara.

Fungsi produksi meliputi baik produksi subsisten, yaitu untuk keperluan sendiri, maupun keperluan komersial. Fungsi estetis pekarangan tampak dari tanaman hias dan hewan-hewan tertentu (Soemarwoto 1991).

Perkampungan Betawi

Secara historis perkampungan Betawi yang khas mulai tampak ketika pemerintah kolonial Belanda membangun kota Jakarta, yang mirip kota-kota di Belanda (Malahayani, 2004). Di sisi lain, pemerintah kolonial mulai melakukan pemetaan peruntukan lahan pemukiman dengan berbagai aturan. Salah satu peraturan tersebut adalah penduduk pribumi hanya diperkenankan membangun rumah di daerah pedalaman atau pesisir yang berjauhan dengan

rumah-rumah penjajah. Dengan adanya pembedaan ini, maka mulailah timbul istilah kampung dan kota. Perbedaan ini bukan hanya menunjukkan teritorial, tetapi juga corak dan kekhasan bangunan yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya.

Malahayani (2004) mengungkapkan bahwa antara pemukiman pribumi tersebut, juga terdapat perbedaan yang mendasar dan cukup mencolok. Perbedaan ini didasarkan pada lingkungan sosial dan alam sekitar permukiman. Penduduk di sekitar pantai membangun rumahnya dengan bentuk rumah panggung untuk menghindari gempuran ombak sementara penduduk di pedalaman membangun pemukiman dengan mengandalkan fungsi halaman sebagai lahan perkebunan maupun untuk memanfaatkan kerindangan pepohonan sebagai peneduh.

Orang Betawi

Orang Betawi merupakan perpaduan biologis (asimilasi) dan akulturasi unsur-unsur budaya antar suku dan bangsa (Wangrea, et. al. 1985). Mereka merupakan masyarakat yang memiliki ciri-ciri adat istiadat yang khas dan sangat terikat pada adat istiadat tersebut dan etika agama Islam. Hal ini juga didukung oleh Harun, et. al. (1999) yang mengungkapkan bahwa penduduk asli Betawi adalah pemeluk agama Islam yang taat. Mereka menyukai kesenian yang bernafaskan Islam dan tampak pula dalam proses religi mendirikan bangunan. Menurut Budiaman, et. al. (2000), hampir seluruh adat masyarakat Betawi diwarnai oleh unsur agama Islam, sehingga sukar memisahkan antara tradisi yang menurut adat dan yang berdasarkan agama, karena keduanya telah berpadu dalam setiap aspek kehidupannya.

Menurut Biro Bina Penyusunan Program Propinsi DKI Jakarta (2001), berdasarkan wilayahnya, orang Betawi dapat dibedakan dalam beberapa tipe. Tipe-tipe tersebut adalah Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi Udik. Orang Betawi yang berada di Srengseng Sawah termasuk dalam kelompok masyarakat Betawi Pinggir dan Betawi Udik. Betawi Udik terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat Betawi yang tinggal di daerah bagian utara Jakarta, bagian barat Jakarta, dan Tangerang, dan dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Kelompok kedua adalah masyarakat Betawi yang tinggal di sebelah timur

dan selatan Jakarta, Bekasi, dan Bogor yang sangat dipengaruhi kebudayaan Sunda.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan Situ Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Pengamatan kondisi tapak dan pengumpulan data tapak serta pengolahan data dilakukan pada bulan September 2005 sampai Januari 2006.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dan metode historik. Metode historik untuk mengetahui awal dan sebab-sebab terbentuknya pekarangan. Semua data yang telah dikumpulkan, dianalisis untuk memperoleh pola pekarangan tradisional yang khas Betawi.

Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara dengan pemilik pekarangan.

MO HA MM AD K AH FI II DE SA PU TR A

KEBEMBEM

Dokumen terkait