• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3.3. Kondisi Pengemasan

Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan yang kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminan. Kondisi pengemasan yang kedap udara ini menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang bersifat aerob dan bakteri tidak akan tumbuh pada produk pangan tersebut. Umumnya proses pengemasan bagi bahan pangan yang disterilisasi dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi anaerobik. Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan antara lain mikroba tidak tahan panas lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi selama proses pemanasan dan selama penyimpanan setelah proses. Untuk mempertahankan kondisi anaerobik ini bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan kedap udara (Winarno, 1994).

Peterson (1969) menyatakan bahwa kondisi vakum dalam kemasan dapat dibuat dengan cara pemindahan mekanis udara dari produk. Teknik ini dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan menggunakan alat vaccum sealer, menyapu uap air keluar dari headspace dengan penyemprotan steam serta secara manual. Pada penelitian ini digunakan cara manual. Teknik manual adalah pengisian produk kedalam kemasan dengan suhu awal yang tinggi dan segera dikelim pada headspace tertentu.

Kondisi vakum atau hampa udara terbentuk karena sewaktu pemanasan molekul–molekul produk berkontraksi melepas molekul udara dan pada proses pendinginan terjadi pemindahan molekul udara dalam headspace dengan uap air yang segera mengalami kondensasi. Semakin tinggi suhu produk yang diisikan dalam kemasan, semakin tinggi kondisi vakum yang terbentuk. Semakin besar headspace dalam kemasan maka kondisi vakum makin menurun. Oleh karena itu, dilakukan pengisian produk pada suhu awal yang optimum dengan headspace minimum untuk menghasilkan kondisi vakum secara manual dengan baik (Peterson, 1969).

2.4. Antioksidan

Antioksidan dalam industri bahan pangan mempunyai berbagai kegunaan, diantaranya memperpanjang umur simpan dari bahan pangan, mengurangi kehilangan nutrisi seperti vitamin yang larut dalam minyak, misalnya vitamin A yang rentan terhadap oksidasi. Selain itu, antioksidan dapat memberikan peluang penggunaan lemak dan minyak yang lebih besar dalam teknologi pangan (Coppen, 1983). Menurut Winarno (1992), adanya antioksidan dalam lemak akan menghambat dan mengurangi kecepatan reaksi oksidasi. Nawar (1985) menjelaskan bahwa antioksidan dapat menunda terjadinya reaksi oksidasi atau memperlambat kecepatan reaksi oksidasi yang terjadi pada bahan yang dapat teroksidasi. Akan tetapi antioksidan tidak dapat memperbaiki minyak yang telah mengalami ketengikan karena antioksidan ini bekerja pada saat terjadinya ketengikan (Coppen, 1983).

Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari (i) senyawa endogonous dari satu atau lebih komponen bahan pangan; (ii) substansi yang terbentuk dari reaksi selama pengolahan; dan (iii) bahan tambahan yang diisolasi dari sumber alami. Beberapa sumber alami yang umum diantaranya alga, macam- macam lada, rempah-rempah dan tanaman bumbu, bawang merah dan bawang putih, leguma, zaitun, biji-bijian berminyak, dan lain-lain (Pratt dan Hudson, 1990). Salah satu tanaman yang mengandung antioksidan alami adalah rempah- rempah. Menurut Schuler (1983), rempah-rempah mempunyai nilai komersil sebagai antioksidan. Pengaruh yang menguntungkan dari rempah-rempah tersebut terhadap lemak telah diketahui sejak bertahun-tahun yang lalu. Efektivitas antioksidan dari rempah-rempah tidak hanya tergantung pada jenis dan kualitas rempah-rempah, tetapi juga pada kondisi penyimpanan. Berbagai laporan penelitian menyebutkan bahwa aktivitas antioksidan dari rempah-rempah bervariasi pada rentang yang lebar. Keberadaan cahaya mempengaruhi sebagian besar rempah-rempah sehingga akan merubah efek antioksidannya menjadi prooksidan.

Kochar dan Rossel (1990) yang dikutip oleh Darmini (1998) menjelaskan bahwa tidak kurang dari 30 jenis tanaman rempah-rempah menunjukkan sifat antioksidan. Beberapa senyawa antioksidan, terutama fenolik dari ekstrak

berbagai rempah-rempah telah teridentifikasi. Selain mengandung senyawa antioksidan, rempah-rempah juga mengandung senyawa antimikroba. Menurut Web dan Tanner (1945) yang dikutip oleh Triana (1998), aktivitas antimikroba rempah-rempah tergantung pada satu atau beberapa senyawa yang merupakan komponen minyak atsirinya. Secara umum senyawa aktif yaitu senyawa yang mempunyai khasiat tertentu baik antioksidan, antimikroba ataupun yang lain, disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Senyawa aktif beberapa jenis rempah

Jenis rempah Senyawa aktif Sumber pustaka

Bawang merah Bawang putih Jahe SeraiLengkuas Allin, allisin Dialilsulfida, dialil trisulfida, alil propel disulfide, dan sejumlah kecil dietilsulfida, dialil polisulfida, allinin, allisin Zingiberen, kurkumin, filandren, gingerol, shogaol Sitral, geraniol Kamfer, galangi, galangol, eugenol, kurkumin Sumarjono dan Soedono (1983) Farrel (1990)

Muchtadi dan Sugiyono (1992)

Farrel (1990)

Muchtadi dan Sugiyono (1992)

Antioksidan sintetik yang sering ditambahkan kedalam lemak bahan pangan untuk mencegah ketengikan adalah Butylated hydroxyanisole (BHA), Butylated hydroxytoluene (BHT), propylgallate (PG) dan Nordihidroquairetic acid (NDGA), (Winarno, 1986). Pemakaian bahan antioksidan sintetik harus memenuhi persyaratan tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, efektif pada konsentrasi rendah, larut dalam lemak, mudah didapat dan ekonomis. Semakin tinggi penambahan antioksidan dalam minyak akan

menyebabkan semakin tingginya kandungan oksigen terlarut (Min dan Wen, 1983). Hal ini berarti reaksi oksidasi semakin diperlambat. Pengaruh penambahan BHT sebagai antioksidan terhadap kandungan oksigen terlarut dalam minyak kedelai dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh penambahan BHT terhadap kandungan oksigen terlarut dalam minyak kedelai (a)

BHT (ppm) Kandungan oksigen terlarut (ppm) b)

200 150 100 50 0 6,48 5,95 5,00 4,50 3,95 (kontrol)

a) Min dan wen (1983)

b) Rata–rata kandungan O2 terlarut dalam minyak kedelai setelah penyimpanan

0, 24, 48, 72, 120, 144, 192, dan 240 jam

2.5. Kemasan

Kemasan didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Dari segi komersial pangan dipandang sebagai teknik di industri dan pemasaran untuk mengemas, melindungi, untuk identifikasi, serta mempermudah penjualan dan distribusi produk pertanian, industri dan produk konsumen. The Packaging Institute International mendefinisikan kemasan sebagai menutup suatu produk, item atau mengemas dalam kantong pembungkus, kotak, cangkir, baki, kaleng, tube, botol atau bentuk kontainer lain untuk melaksanakan salah satu atau lebih fungsi berikut menyimpan, proteksi atau pengawetan, komunikasi dan kegunaan atau kinerjanya. Jika kontainer berfungsi menurut salah satu atau lebih dari fungsi tersebut maka dianggap sebagai suatu pengemas (Agoes, 2004).

The UK Institute of Packaging memberikan 3 definisi kemasan : (i) sistem terkoordinasi dalam pembuatan barang untuk transport, distribusi, pentimpanan, perdagangan eceran dan penggunaan akhir; (ii) suatu sarana untuk menjamin sistem penghantaran yang aman kepada konsumen terakhir dalam kondisi yang baik dengan biaya seminimal mungkin; (iii) suatu fungsi tekno ekonomi dengan tujuan agar biaya semurah mungkin, dan memaksimalkan perdagangan (atau

dengan kata lain keuntungan). Secara teoritis, kemasan yang ideal adalah apabila secara kimia inert total, dan memungkinkan bahan makanan mempertahankan karakteristik aslinya. Dalam kenyataannya jarang sekali bahan pengemas yang betul–betul inert, beberapa reaksi tidak dapat dihindari atau dicegah tergantung dari sifat–sifat bahan pengemas dan tipe makanan yang (Agoes, 2004). Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 1996 (7/1996) tentang Pangan, bab Ketentuan Umum Pasal 1 no.10, disebutkan bahwa kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.

Kemasan dapat ditinjau berdasarkan bahan dasar, konstruksi, bentuk dan fungsinya. Berdasarkan bahannya, kemasan yang semula dari bahan tradisional (pelepah, kelobot jagung, daun pisang) kini telah banyak berkembang dari bahan– bahan modern berupa metal baja, alumunium, kaca, karton/kertas, plastik. Sedangkan berdasarkan konstruksinya, kemasan dapat berupa lapis tunggal (hanya satu jenis bahan plastik), lapis ganda (dua atau lebih jenis bahan plastik), dan lapis majemuk (terdiri dari campuran berbagai jenis bahan alumunium–plastik; plastik– kertas). Berdasarkan bentuknya, kemasan dapat berbentuk kaleng, tube, sachet, botol, gelas, mangkuk, kotak, karton, karung dan drum (Soekarto et al., 2004).

Beberapa persyaratan untuk kemasan makanan yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: (i) permeabilitas terhadap udara; (ii) tidak dapat menyebabkan penyimpangan warna produk; (iii) tidak bereaksi sehingga tidak merusak bahan maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor; (iv), tahan panas; (v) mudah dikerjakan; dan (vi) harganya murah (Winarno dan Jenie, 1983). Kerusakan yang terjadi dalam bahan pangan dapat terjadi secara spontan dan hal ini sering disebabkan oleh pengaruh keadaan dari luar. Pengemasan juga digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al., 1987).

Menurut Syarief dan Irawati (1983), pengemasan pada umumnya bertujuan untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba, fisik, kimia, biokimia, perpindahan uap air dan gas, sinar UV dan perubahan suhu. Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan

pangan dapat juga mempengaruhi mutu produk antara lain perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemasan. Selain itu juga perubahan aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi uap air dan oksigen (Syarief et al., 1989). Jenis kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah wadah gelas, kertas, plastik dan kaleng (Ketaren, 1986).

2.5.1. Kemasan Gelas

Gelas adalah padatan amorf dari suatu larutan silika oksida, kalsium, natrium dan elemen lain. Bahan mentah gelas terutama adalah pasir, soda abu, dan batu kapur yang dipilih secara hati-hati. Dalam pembuatan wadah gelas, bahan adonan termasuk pasir, soda abu, batu kapur dan bubuk gelas (yang dimasukan ke dalam adonan untuk menurunkan titik lebur), diukur jumlahnya secara teliti dan dipanaskan sampai suhu melebihi 2600°F. Setelah gelas melebur dan dibersihkan, wadah gelas dibentuk dengan cara memasukan gelas cair kedalam mesin pencetak dimana pembentukan wadah gelas dimulai. Kemudian dipindahkan kedalam mesin pencetak terakhir untuk ditiup menjadi bentuk akhir, didinginkan sebentar dan akhirnya dilepaskan dari mesin (Muchtadi, 1995).

Wadah gelas yang terbentuk disusun pada suatu konveyor yang masuk kedalam terowongan yang disebut ”Lehr”, dimana gelas tersebut dipanaskan kembali pada suhu 1200°F, kemudian secara berangsur-angsur didinginkan. Hal ini dimaksudkan untuk mempertinggi daya tahan gelas. Wadah gelas untuk bahan pangan dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu : gelas bermulut lebar (wide mouth) dan gelas bermulut sempit (narrow neck). Wadah gelas bermulut lebar digunakan untuk produk makanan bayi, susu bubuk, buah-buahan, mentega kacang, kopi, teh, jam, jelly, acar, mayonais. Sedangkan wadah gelas berleher sempit digunakan untuk produk-produk seperti kecap, sari buah, sirup, bumbu cair, saus, cuka (Muchtadi, 1995). Komposisi kimia wadah gelas komersial dapat dilihat pada Tabel 5.

Gelas merupakan salah satu bentuk kemasan tertua yang banyak digunakan sebagai pengemas produk pangan. Sebagai bahan kemasan, gelas mempunyai berbagai sifat yang menguntungkan, seperti sifatnya yang kedap terhadap gas sehingga bahan kemasan gelas cocok untuk mengemas minuman karbonat, barier

yang baik terhadap benda padat, cair dan gas yang dapat berfungsi sebagai pelindung terhadap kontaminasi bau dan cita rasa, serta mempunyai sifat tidak bereaksi (inert) sehingga produk dalam kemasan gelas dapat lebih awet dan tidak mengalami perubahan cita rasa. Selain memiliki berbagai sifat yang menguntungkan, kemasan gelas juga mempunyai beberapa kelemahan, seperti sifatnya yang mudah pecah dan sifatnya yang kurang baik bagi produk-produk yang peka terhadap penyinaran (ultraviolet) (Muchtadi, 1995).

Tabel 5. Komposisi kimia wadah gelas komersial

Komponen Jumlah (%)

Silika oksida (SiO2)

Alumunium oksida (Al2O3)

Besi oksida (FeO) Kalsium oksida (CaO) Barium oksida (BaO) Natrium oksida (NaO) Kalium oksida (K2O)

Belerang oksida (SO3)

Flour (F2) 72,7 2,0 0,06 10,4 0,5 13,6 0,4 0,3 0,2 Anonim, (1953).

Permeabilitas gas suatu kemasan merupakan kemampuan gas tersebut untuk melewatkan suatu gas misalnya oksigen, karbondioksida dan nitrogen. Oksigen merupakan faktor pemicu terjadinya reaksi oksidasi karena oksigen akan bereaksi dengan lipid tidak jenuh pada bahan pangan berlemak yang ada dalam kemasan. Reaksi oksidasi tersebut akan menyebabkan terjadinya ketengikan yang akan mempengaruhi umur simpan bahan pangan. Menurut Syarief et al., (1989) kemasan gelas kedap terhadap semua gas. Jenis penutup pada kemasan gelas yang dipakai adalah plastik HDPE yang memiliki permeabilitas gas oksigen sebesar 11 (cc/cm/cm2/cmHg)1011.

Faktor yang cukup menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya ruang udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada saat setiap botol diisikan dengan suatu bahan. Ruang udara ini diberikan untuk mengantisipasi terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi. Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada ujung botol dan bila

terlalu kecil maka tutup dan ujung botol dapat pecah (Winarno dan Laksmi, 1974). Besarnya head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas. Pada umumnya berkisar antara 3%-5%. Namun untuk produk-produk yang menghasilkan gas seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar 10% (Adcock, 1997).

Proses penutupan merupakan bagian yang cukup penting dalam penggunaan gelas jar. Penutupan yang rapat dapat dihasilkan karena konstruksi leher botol memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan tutup secara kuat, sedangkan tutup botol memiliki bibir pengunci yang cocok dengan leher botol tersebut (Adcock, 1997). Penutupan wadah gelas dalam industri memperhatikan tiga elemen penting yaitu : (i) bagian finish wadah; (ii) gasket atau lapisan karet yang membuat penutupan rapat; (iii) tutup wadah yang dapat berupa jenis ”pry off”, ”srew”, ”lug”, ”crimpon” atau ”shaker disc”. Tutup yang terbuat dari logam dapat berupa kaleng atau alumunium yang dilapisi bahan organik. Tutup yang paling banyak digunakan dalam pengalengan makanan adalah ”screw cap”. Tutup ini terbuat dari plastik tertentu dan dilapisi lagi oleh kertas berlapis film tipis yang terbuat dari plastik tertentu tergantung dari jenis pangan yang akan disimpan (Muchtadi, 1995).

Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis bahan berasam rendah ataupun berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk mengemas sayuran. Perbedaan suhu di dalam dan di luar kemasan tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu proses pengemasan terhadap kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan untuk menghindari keretakan (Syarief et al., 1989). Keuntungan menggunakan kemasan gelas adalah (i) gelas bersifat inert sehingga tidak akan bereaksi dengan bahan yang dikemas; (ii) gelas bersifat kedap dan tidak berpori; (iii) tidak berbau dan bersih; (iv) bersifat transparan sehingga memungkinkan produk didalamnya dapat diperiksa baik oleh konsumen maupun produsen; (v) wadah gelas mudah dibuka dan ditutup kembali dan wadah bekasnya dapat digunakan kembali; (vi) wadah gelas dapat dibuat dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna. Kelemahan utama wadah gelas adalah sifat yang mudah pecah (Muchtadi, 1995).

2.5.2. Kemasan Plastik

Penggunaan plastik sebagai bahan kemasan dapat berupa kemas bentuk (fleksibel) atau sebagai bahan kemas baku. Makanan padat umumnya memiliki umur simpan pendek atau makanan yang tidak memiliki perlindungan yang hebat dibungkus dengan kemas bentuk. Akan tetapi, makanan cair dan makanan padat yang memerlukan perlindungan yang kuat perlu dikemas dengan wadah kaku dalam bentuk botol, jerigen, kotak atau bentuk lainnya (Syarief et al., 1989). Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastik dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO2 dan O2

(Winarno, 1987). Kelemahan bahan kemasan plastik adalah adanya zat–zat monomer dan molekul kecil lain yang terkandung dalam plastik yang dapat melakukan migrasi ke bahan makanan terkemas (Winarno, 1994).

Permeabilitas terhadap uap air dan udara tersebut menyebabkan peran plastik dalam memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Sifat terpenting bahan kemasan yang digunakan meliputi pemeabilitas gas dan uap air, bentuk dan permukaannya. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang baik dan luas permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno, 1987).

Plastik adalah senyawa polimer dari turunan-turunan monomer hidrokarbon yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi polimerisasi adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat tergantung jumlah molekul dan susunan atom molekul. Plastik dalam bentuk produk akhir terdiri dari polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi (filler), pigmen, stabilisator, dan bahan pelunak (Harper, 1975). Dalam plastik juga terkandung beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat–sifat fisiko kimia plastik. Bahan aditif yang ditambahkan tersebut disebut komponen non plastik yang berupa senyawa anorganik atau organik yang memiliki berat molekul rendah. Bahan aditif tersebut dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap sinar UV, antilekat dan masih banyak lagi (Winarno, 1994).

Jenis plastik lain yang digunakan dalam pengemasan sop daun Torbagun ini adalah Crystallized Polyethylene Terephthalat (CPET). CPET merupakan plastik

dengan ketahanan panas yang baik, yaitu berkisar antara 200-225oC. Plastik ini kuat, kaku, namun bersifat rapuh, sehingga harus ditambahkan bahan aditif tertentu. CPET memiliki sifat penghalang yang hampir sama dengan PET, yaitu sifat penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik untuk produk berlemak. Plastik CPET ini dapat digunakan untuk produk yang akan dikemas dengan teknik hot filling atau teknik pengemasan biasa. Sifat fisik CPET jika dibandingkan dengan bahan lain tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6. Perbandingan sifat bahan kemasan microwavable

Ketahanan terhadap Material Temperatur maksimum (oC) Oksigen Uap air lemak Kemampuan keliman panas (heat seal) Dual ovenability CPET 220 +++ ++ +++ ++ √ PP 110 + +++ +++ +++ - PS 80 +++ ++ +++ + - LDPE 75 + +++ ++ +++ - Keterangan : +++ : Baik - : Ya ++ : Sedang √ : Tidak + : Buruk (Anantheswaran, 2001) 2.5.3. Kemasan Kaleng

Pelat kaleng merupakan bahan baku yang ideal untuk digunakan sebagai wadah makanan. Kaleng dibuat dari pelat baja yang mengandung timah yang tipis. Kaleng yang sekarang banyak digunakan untuk pengalengan makanan mengandung kurang dari 25% timah. Dalam makanan kaleng yang tertutup hermetis, korosi wadah merupakan suatu proses yang terjadi bertahap. Baja yang digunakan untuk membuat kaleng makanan mengandung kadar karbon yang rendah. Penelitian telah membuktikan bahwa komposisi baja merupakan faktor penting untuk memperoleh umur pakai yang memadai bagi bahan pangan yang korosif. Kadar fosfor dan silika sangat menentukan, tetapi kadar mineral lain seperti tembaga , nikel dan molibdat dapat juga mempengaruhi daya tahan kaleng terhadap korosi (Muchtadi, 1995).

Kemasan kaleng baik bagian luar maupun bagian dalamnya harus memenuhi beberapa persyaratan daya tahan korosi. Korosi oleh suatu produk disebabkan adanya hubungan atau kontak langsung antara produk dan permukaan

kaleng serta cara pengalengan. Keadaan korosi dapat disebabkan oleh dua faktor utama yaitu detinning, berupa terkelupasnya atau hilangnya lapisan timah putih sehingga terjadi evolusi hidrogen dan kebocoran atau perforasi, serta terjadinya reaksi kimia produk dengan bahan kaleng (Muchtadi, 1995).

Karatan adalah pembentukan lapisan longgar dari feroksida yang berwarna merah kecoklatan sebagai hasil proses korosi produk pada permukaan dalam kaleng. Pembentukkan karat membutuhkan banyak oksigen, oleh karena itu karat terjadi biasanya pada bagian head space. Proses korosi dapat terus berlangsung sehingga menimbulkan lubang dan mengakibatkan kebocoran kaleng. Adanya dan terjadinya karat kadang-kadang tidak nampak karena mungkin saja bagian yang berkarat sudah jatuh membaur ke dalam produk (Muchtadi, 1995).

Spesifikasi kaleng ditentukan oleh dua kebutuhan yaitu : (i) kebutuhan akan kekuatan yang dimiliki wadah; (ii) daya simpan yang dimiliki oleh produk dalam kaleng. Kebutuhan akan kekuatan kaleng perlu disesuaikan dengan beberapa hal yaitu kecepatan jalur pengolahan keadaan dan kondisi alat penutup kaleng, kevakuman yang banyak mempengaruhi pendinginan dengan tekanan (pressure cooling), serta cara penanganan pasca proses. Sedangkan kebutuhan terhadap daya simpan isi kaleng ditentukan oleh daya korosif produk, lapisan timah putih, sifat basic-steelnya, plate surface treatment dan jenis organic coating (Winarno, 1994).

Pada industri pembuatan wadah, wadah kaleng diproduksi secara mekanis dengan kecepatan tinggi. Pertama dilakukan pelapisan enamel pada bagian dalam, setelah itu pelat kaleng dipotong-potong berdasarkan ukuran tertentu untuk pembuatan badan kaleng. Potongan kaleng ini kemudian dimasukkan kedalam alat pembentuk badan kaleng dimana bagian-bagian sambungan akan saling mengunci. Sambungan ini diratakan dengan cara dipress kemudian disolder hingga membentuk kerangka silindris. Langkah berikutnya adalah pelekukan badan kaleng bagian atas dan bawah yang nantinya berguna untuk menempelkan tutup kaleng. Tutup kaleng dibuat dari pelat kaleng yang dilapisi enamel yang dipotong membentuk lingkaran kemudian ditekuk sambil dipres. Pada bagian tutup kaleng terbentuk alur pada sisi yang ditekuk untuk diberi gasket. Gasket ini akan memberikan penutupan yang hermetis (Muchtadi, 1995).

Keuntungan menggunakan wadah kaleng adalah (i) dapat menjaga bahan pangan yang ada didalamnya karena wadah ditutup secara hermetis dan terjaga dari kontaminasi mikroba yang dapat membuat kebusukan atau penyimpangan penampakan dan citarasa; (ii) kaleng juga dapat menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang tidak diinginkan; (iii) kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas lain, bau-bauan dan dari partikel radioaktif yang terdapat di atmosfer; (iv) untuk beberapa bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, kaleng dapat menjaga bahan tersebut terhadap cahaya (Muchtadi, 1995).

2.6. Umur Simpan

Hine (1997), menyatakan bahwa istilah umur simpan mengandung pengertian tentang waktu antara saat produk mulai dikemas sampai dengan mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ellis (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan akan umur simpan pada produk pangan sangatlah penting. Termasuk pula pada penanganan akan bahan pangan tersebut. Hal ini berarti pertumbuhan, pemasok bahan–bahan tambahan, produsen, seluruh penjual, retail, dan konsumen termasuk didalamnya. Umur simpan pada produk pangan dapat diartikan sebagai waktu antara produksi dan pengemasan produk dengan waktu saat produk mencapai titik tertentu yang tidak dapat diterima dibawah kondisi lingkungan tertentu.

Arpah (2001), menyatakan bahwa penyimpangan mutu produk dari mutu awalnya disebut sebagai deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dari persinggungan produk dengan

Dokumen terkait