• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2.3. Pengaruh Perlakuan Panas Terhadap Stabilitas Santan

Semakin tinggi perlakuan panas semakin rendah stabilitas santan, karena semakin tinggi perlakuan panas semakin tinggi denaturasi protein santan tersebut. Denaturasi protein menyebabkan perubahan pada struktur protein, terbuka atau sekurang–kurangnya suatu perubahan pada strukturnya yang tertutup tanpa memecahkan ikatan peptidanya yang kovalen (Aurand dan Woods, 1973). Pemanasan juga dapat menyebabkan koagulasi protein. Koagulasi protein kelapa dumulai pada suhu sekitar 79°C (Hagenmaier, 1978). Sedangkan Samson et al. (1971), Hagenmaier et al. (1974), Gonzales dan Tanchuco (1977) dan Muir et al.

(1978) melaporkan bahwa koagulasi protein kelapa terjadi antara suhu 75°C dan 80°C.

Perubahan dalam struktur protein juga dapat mempengaruhi tekstur makanan yang mengandung protein (Aurand dan Woods, 1973). Pada santan protein yang terkoagulasi mengekrim pada permukaan karena memiliki afinitas dengan butir- butir minyak lebih besar. Sifat mengkrim itu lebih besar dengan naiknya tingkat denaturasi protein (Monera, 1980).

2.3. Proses Pemanasan

Proses pemanasan merupakan metode yang berperan penting berkaitan dengan umur simpan bahan pangan. Metode ini ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi jumlah mikroorganisme atau enzim yang akan berkembang biak selama penyimpanan dan mengakibatkan kerusakan bahan pangan tersebut atau bahkan membahayakan kesehatan konsumen (Lund, 1977). Proses panas atau proses termal dikenal sebagai ilmu yang telah berkembang sejak termokopel digunakan untuk mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk mengawetkan makanan sudah sangat berkembang, sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan beberapa bulan bahkan sampai hitungan tahun. Menurut Hariyadi (2000) ada beberapa keuntungan dari proses pemanasan atau pemasakan ini yaitu :

(i) Terbentuknya tekstur dan citarasa yang khas dan disukai

(ii) Rusaknya atau hilangnya beberapa komponen anti gizi (misalnya inhibitor antitripsin pada kedelai)

(iii) Peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat

(iv) Terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan, dan

(v) Menyebabkan tidak aktifnya enzim–enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan

Adapun kerugian yang mungkin diakibatkan oleh proses pemanasan ini antara lain adalah kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu organoleptik seperti tekstur, warna dan lain–lain)

terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol dengan baik. Kontrol terpenting dalam proses pemanasan adalah kontrol terhadap suhu dan waktu. Lund (1977) membagi proses pemanasan menjadi tiga yaitu : (i) proses blanching (blansir); (ii) pasteurisasi; dan (iii) sterilisasi komersial. Sterilisasi komersial adalah proses untuk menginaktifkan mikroorganisme dan sporanya. Sterilisasi komersial biasanya dibarengi dengan penggunaan kemasan anaerobik, kemasan konvensional yang banyak digunakan antara lain gelas dan kaleng, namun dewasa ini plastik dan alumunium foil pouch juga sedang dikembangkan.

Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu buah dan sayuran sebelum dikenai proses sterilisasi. Menurut Fardiaz et al. (1980) blansir adalah pemanasan pendahuluan yang bertujuan menginaktifkan enzim–enzim didalam bahan pangan. Enzim dapat menyebabkan perubahan cita rasa,warna, tekstur dan sifat–sifat lain dari bahan pangan. Jika enzim tidak diinaktifkan kemungkinan akan terjadi pembusukan. Menurut Latif (1998) blansir adalah proses pemanasan awal untuk mendapatkan tingkat keseragaman produk yang sama.

Sterilisasi adalah proses termal pada suhu diatas 100°C dalam waktu yang cukup untuk membunuh spora bakteri (Syarief et al., 1989). Istilah sterilisasi berarti membebaskan bahan dari semua mikroba, karena beberapa spora bakteri relatif lebih tahan terhadap panas, sterilisasi biasanya dilakukan pada suhu yang tinggi misalnya 121°C (250°F) selama 15 menit. Ini berarti bahwa setiap partikel dari makanan tersebut harus menerima jumlah panas yang sama. Selama proses sterilisasi dapat terjadi perubahan terhadap makanan yang dapat menurunkan mutunya. Oleh karena itu, jumlah panas yang diberikan harus dihitung sedemikian rupa sehingga tidak merusak mutu makanan tersebut. Proses sterilisasi merupakan metode yang banyak digunakan dalam proses pengawetan bahan pangan yang bertujuan untuk membunuh mikroba yang ada di dalamnya, sehingga dapat mencegah pembusukan selama penyimpanan dan bahan pangan tersebut tidak membahayakan bagi kesehatan konsumen. Pengertian steril menunjukkan suatu kondisi yang suci hama yaitu kondisi yang bebas dari mikroba.

Menurut Seehafer (1967) Amerika Serikat menggunakan metode konvensional untuk sterilisasi susu sapi adalah 115,6°C selam 15 menit.

Hagenmeier (1973) menambahkan proses pateurisasi 65°C selama 15 menit terhadap produk skim santan dapat mereduksi jumlah mikroba. Suherly (1984) membuat produk santan pasteurisasi dengan suhu pasteurisasi 75°C selama 20 menit. Namun daya simpan produk masih sekitar 1 bulan atau kurang. Kondisi sterilisasi komersial tergantung pada berbagai faktor antara lain (i) kondisi produk pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal dan lain–lain), jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan; (ii) karakteristik pindah panas pada bahan pangan; (iii) wadah yang digunakan; (iv) medium pemanas; serta (iv) kondisi penyimpanan setelah sterilisasi (Winarno, 1994).

Produk dalam kemasan disterilisasi dengan menggunakan ketel uap (retort). Retort yang disebut juga autoclave atau sterilizer, berbentuk bejana tertutup dan tahan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang berasal dari sumber di luar retort. Sumber uap panas tersebut dapat berbentuk boiler atau steam generator (Winarno, 1994).

Proses sterilisasi komersial dengan menggunakan panas di disain untuk melindungi kesehatan konsumen dan untuk melindungi produk dari mikroba pembusuk yang dapat menyebabkan kerugian secara ekonomis (Schmidt, 1957). Bila sterilisasi komersial telah tercapai berarti makanan yang dimaksud telah mengalami pamanasan yang mengakibatkan makanan tersebut bebas dari mikroba hidup yang dapat membahayakan kesehatan manusia.

2.3.1. Pasteurisasi

Pasteurisasi adalah salah satu cara pengawetan dengan panas dimana dilakukan secara minimum untuk membunuh semua mikroorganisme patogen (Herro, 1980). Prinsip dari pasteurisasi adalah produk dipanaskan secara singkat sampai mencapai kombinasi suhu dan waktu tertentu yang cukup untuk membunuh semua mikroorganisme patogen, tetapi menyebabkan kerusakan sekecil mungkin terhadap produk akibat panas (Woodroof, 1975). Penambahan gula dan lemak dapat meningkatkan kebutuhan pemanasan dari produk (Harper dan Hall, 1981). Contoh produk pasteurisasi adalah susu dan juice buah–buahan seperti juice jeruk, anggur, apel dan lain–lain (Woolrich dan Hallowell, 1970).

Pasteurisasi biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak bila dipanaskan atau tidak dapat disterilisasi secara komersial (Desroiser, 1983). Pasteurisasi membunuh bakteri psikrofilik, mesofilik dan sebagian yang bersifat termofilik. Biasanya perlakuan pasteurisasi dipadukan dengan sistem penyimpanan produk pangan dalam suhu rendah yang bertujuan untuk mencegah timbulnya tumbuhnya mikroorganisme termofilik yang suhu minimumnya cukup tinggi.

Penyimpanan suhu rendah adalah penyimpanan di atas titik beku dari produk, biasanya digunakan untuk menyimpan buah–buahan dan sayur–sayuran, produk sterilisasi atau daging yang siap dikonsumsi dalam fase chilling dengan tujuan untuk mencegah kerusakan produk (Woolrich, 1970). Penyimpanan pada suhu rendah ini biasanya dilakukan pada suhu 5–15°C. Prinsip penyimpanan suhu rendah pada buah dan sayur–sayuran adalah dengan memperlambat metabolisme dari produk, sedangkan untuk produk pasteurisasi yang dihambat adalah metabolisme dari mikroorganisme penyebab kerusakan (Heid, 1963).

Dokumen terkait