• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.2 Kondisi Raskin dan Pendapat Masyarakat Mengenai Rasa dari Raskin

Raskin yang diterima oleh masyarakat memiliki kondisi fisik seperti warna beras yang putih bersih, butirannya tidak banyak yang patah dan tidak berkutu. Namun, beras tersebut memiliki bau yang agak menyengat seperti bau bahan kimia kaporit. Dapat terlihat bahwa kondisi fisik tersebut memiliki ciri-ciri seperti beras yang mengandung klorin.

Beras yang baik adalah beras yang berwarna putih kecoklatan atau agak kekuningan. Namun, banyak masyarakat menganggap bahwa beras yang baik adalah beras yang berwarna putih bersih. Padahal beras yang berwarna putih bersih sudah

banyak kehilangan zat gizi akibat proses penggilingan dan penyosohan. Selain itu, beras yang berwarna putih bersih mengkilap, perlu diwaspadai adanya kandungan zat pemutih. Adapun ciri-ciri beras yang mengandung pemutih yaitu warnanya putih bersih, mengkilap, tercium bau bahan kimia, dan jika beras dicuci, air cuciannya agak putih bersih (Salim, 2008).

Raskin yang diterima oleh masyarakat memiliki tampilan fisik yang bagus bahkan hampir sama dengan beras-beras yang dijual di pasar, berwarna putih bersih. Masyarakat tentu saja menyukai kondisi beras yang seperti itu. Dalam memilih beras, masyarakat cenderung memilih beras yang berwarna putih. Namun, dari segi rasa, raskin memiliki rasa yang tidak enak jika dibandingkan dengan beras yang dijual di pasar. Rasa tidak enak yang dirasakan adalah karena setelah dimasak raskin masih memiliki rasa seperti butiran beras. Padahal dari tampilan fisik, kedua beras ini memiliki tampilan yang hampir sama. Hanya saja raskin memiliki bau yang sedikit menyengat.

Nasi yang dihasilkan dari raskin, setelah dimasak akan menghasilkan nasi yang keras. Masyarakat merasa nasi yang keras ini menjadikan rasa nasi menjadi tidak enak. Raskin memiliki tekstur yang keras yang menjadikan masyarakat ketika memasak raskin menambahkan air yang lebih banyak jika dibandingkan dengan memasak beras yang dijual di pasar. Dalam memasak raskin, masyarakat memilih manambahkan bahan pangan lain ketika memasak raskin untuk mengurangi rasa raskin yang kurang enak akibat tekstur yang keras. Bahan yang dapat ditambahkan sebenarnya cukup beragam seperti beras ketan, ubi, agar-agar, ataupun beras lain yang dibeli di pasar. Namun, masyarakat lebih memilih mencampurkan beras lain

ataupun beras ketan ke dalam raskin ketika memasak raskin. Dengan perbandingan raskin lebih banyak dibandingkan bahan yang dicampurkan.

Masyarakat juga banyak yang memasak nasi untuk sekali makan saja karena apabila nasi dibiarkan dalam waktu yang lama, nasi akan menjadi keras. Sehingga mereka hanya memasak nasi ketika akan makan saja agar nasi tidak menjadi keras. Selain itu, nasi juga tidak tahan lama. Tidak seperti nasi pada beras yang dibeli di pasar, nasi yang berasal dari raskin lebih cepat basi, hanya bertahan sekitar 10 jam saja.

Masyarakat merasa bahwa semakin banyak raskin dicuci, maka nasi yang dihasilkan tidak akan cepat basi. Nasi dapat basi bisa dikarenakan cara penyimpanan nasi, kandungan air pada nasi, kelembaban udara, dan lain-lain. Dalam hal ini, klorin tidak memiliki peran dalam membuat nasi menjadi cepat basi. Klorin tidak membuat nasi menjadi tahan lama ataupun cepat basi.

Nasi yang diolah dari beras organik dapat tahan selama 24 jam tanpa dimasukan ke dalam pemanas nasi elektrik. Sebaliknya, nasi non-organik hanya tahan disimpan selama 12 jam. 24 jam adalah batas maksimum lama penghangatan nasi dengan magic com untuk menjamin nasi yang dikonsumsi selalu masih memiliki kandungan gizi yang memadai, relatif segar, tidak menyebabkan bau tak sedap, serta tentunya hemat energi listrik (Parnata, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian, ibu yang memiliki pendidikan terakhir SD dan SMP, mencuci beras sebanyak 2 kali sedangkan ibu yang berpendidikan terakhir SMA mencuci beras sebanyak 1 kali.

Menurut Green (2000) bahwa semakin terdidik keluarga maka semakin baik pengetahuan keluarga tentang kesehatan. Kebanyakan keluarga kelas menengah dan keluarga pekerja mencari informasi mengenai pendidikan kesehatan dengan menggabungkan sumber-sumber dari dokter dan media massa.

Ibu-ibu yang memiliki pendidikan SMA, memiliki pengetahuan dan informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidkan SD dan SMP. Ibu-ibu tersebut memilih untuk mencuci beras tidak sampai airnya jernih. Mencuci beras memang dianjurkan sebanyak 1 kali apabila berasnya sudah terlihat bersih dari kotoran. Hal tersebut baik apabila dilihat dari hal kandungan gizi, namun apabila beras yang diperoleh mengandung zat tambahan berbahaya seperti klorin, dianjurkan untuk mencuci beras sebanyak-banyaknya.

Apabila beras yang diperoleh sudah bersih dari kotoran ataupun kutu, sebaiknya mencuci beras hanya perlu dilakukan satu kali saja. Pencucian beras sebaiknya hanya untuk menghilangkan benda-benda asing yang terikut seperti sisa bekatul dan debu. Mencuci cukup satu kali saja, tidak perlu diulang-ulang sampai air pencucinya menjadi bening agar tidak membuang zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Sediaoetama, 2009).

Pekerjaan Ibu rumah tangga (IRT) lebih banyak mencuci beras sebanyak 1 kali (42,86%) dan ibu yang bekerja sebagai wiraswasta lebih banyak mencuci beras sebanyak 3 kali (40%). Ibu-ibu yang memiliki perkerjaan diluar rumah tentu memiliki informasi yang cukup luas. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga menjadikan seorang ibu memiliki lebih banyak waktu di rumah. Ibu rumah tangga biasanya terbatas akan informasi yang berasal dari luar rumah. Ibu-ibu yang bekerja sebagai wiraswasta

mungkin mendapatkan informasi kesehatan lebih banyak dibandingkan ibu rumah tangga.

Berdasarkan hal diatas, ibu-ibu yang memiliki pendidikan tinggi dan bekerja tidak ada kecenderungan yang menunjukkan bahwa semakin baik pendidikan semakin baik pula pengetahuannya mengenai mencuci beras yang baik. Sebab, masyarakat tidak memiliki kecurigaan terhadap adanya klorin pada raskin. Masyarakat hanya mencuci beras berdasarkan pengalaman yang mereka alami. Sebagian ibu-ibu yang mencuci beras 3 sampai 4 kali mengatakan semakin banyak beras dicuci maka nasi tidak akan cepat basi. Sebagian ibu-ibu yang lain mencuci beras sampai air terlihat jernih dan ada pula yang sudah merupakan kebiasaan hanya 1 atau 2 kali saja.

Masyarakat masih cenderung mencuci beras sesuai dengan kebiasaan mereka karena mereka tidak curiga atau mengetahui adanya klorin pada beras. Mereka mencuci beras cenderung agar nantinya nasinya dapat dimakan dan cukup untuk sehari-hari. Mereka tidak memikirkan mengenai kualitas beras yang sebenarnya memiliki risiko terhadap bahaya kesehatan.

5.3 Kebiasaan Pencucian Raskin di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan

Dokumen terkait