• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISA DATA

KASUS INFORMAN I 5.1 Identitas Informan I

5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Informan I

Pertemuan dengan informan diawali pada bulan Maret 2009, ketika penulis sedang melaksanakan praktikum di sebuah LSM di kota Medan. Saat itu penulis mengajar pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kelurahan Kota Bangun Kecamatan Medan Deli, tepatnya di lingkungan I. Selesai mengajar penulis

biasanya melepas kepenatan dan dahaga di warung seorang warga yang bernama ibu Erni, ia memulai pembicaraan kepada penulis:

“ ...adek dari mana?”,

penulis menjelaskan kepada ibu Erni tentang tugas yang sedang dikerjakan yaitu melaksanakan praktikum di PAUD di lingkungan I Kota Bangun

Ibu Erni berkata:

“enak lah ya dek! kalian mahasiswa nanti udah tamat bisa mendapat pekerjaan yang enak”.

penulis pun hanya menanggapi dengan senyuman dan mengaminkan kata-kata Ibu Erni.

“Tidak seperti anak saya ga bisa kuliah karena ga ada duit”, kata Ibu Erni.

Kemudian pertemuan penulis dilanjutkan di bulan April 2009, pada saat itu penulis sengaja berkunjung ke rumah Ibu Erni untuk menanyakan bagaimana dampak krisis ekonomi, apakah perusahaan– perusahaan di Kawasan Industri Medan banyak yang melakukan PHK? Ibu Erni pun menjawab:

“ wah disini banyak sekali yang di PHK, dulu asal sore sudah banyak anak gadis di warung ibu yang membeli gorengan tetapi sekarang mereka sudah banyak yang di PHK dan pulang kampung, dulu kos-kosan disini penuh semua tapi semenjak PHK sekarang sudah sepi dan suami saya juga korban PHK”

Penulis pun meminta kesediaan Ibu Erni agar keluarganya bisa dijadikan sebagai informan dalam memperoleh informasi tentang kondisi kehidupan sosial ekonomi Ibu Erni, kemudian ia bertanya.

“memang ini untuk apa?”

Penulis menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan dan membutuhkan rumah tangga korban PHK, karena penulis ingin menulis skripsi

tentang strategi adaptasi rumah tangga korban PHK dalam mempertahankan sosial ekonomi keluarga.

Raut wajah Ibu Erni menandakan bahwa ia mengerti tentang apa yang sedang dikerjakan penulis, ia menuturkan bahwa suaminya di siang hari biasanya jarang berada dirumah karena suaminya bekerja. Hal ini disebabkan karena pekerjaan suaminya yang tidak menetap, jika ada proyek maka ia bekerja. Penulis meminta Ibu Erni yang akan diwawancarai sebagai informan karena Ibu Ernilah yang lebih tahu tentang keadaan keuangan keluarga tersebut.

Dalam melakukan wawancara penulis melakukan wawancara tidak berstruktur untuk mendapatkan data yang lebih lengkap, kemudian Ibu Erni mengatakan:

“wah disini banyak kali yang di PHK dek! abang ipar saya juga di PHK”.

Ibu Erni pun menunjukkan beberapa rumah tetangganya yang jadi korban PHK. Saya semakin tertarik menanyakan keadaan para tetangganya yang jadi korban PHK karena dari pengamatan penulis Ibu Erni termasuk orang yang disenangi di lingkungannya. Hal ini terbukti ketika berlangsungnya wawancara dengan informan, banyak tetangganya yang berkumpul di warungnya. Seorang penarik ojek yang mendengar pembicaraan kami berkata:

” sebelum ada PHK di sini dek, anak gadis disini banyak kali. Enaklah buka pintu belakang dan buka pintu depan selalu ada anak gadis”

hal ini menandakan bahwa di Kota Bangun sebelum terjadi PHK banyak buruh yang in the kost di lingkungan I sehingga dapat menambah pendapatan warga setempat, mereka juga dapat membuka usaha kecil seperti warung kopi, jualan gorengan dan sebagainya. Tetapi terjadinya PHK semuanya berubah banyak

kos-kosan yang ditinggalkan penghuninya, warung yang biasanya dipenuhi pembeli sekarang sudah sepi.

Keesokan harinya pertemuan dengan informan terasa berbeda karena informan menawarkan makanan kepada penulis, dari makanan yang ditawarkan oleh informan penulis menyadari makanan yang ditawarkan bisa dikatakan makanan mahal, pada saat itu lauknya adalah ayam rendang. Informan menuturkan biasanya keluarga mereka mengkonsumsi daging 2 kali seminggu selainnya ikan basah, ikan gembung. Ternyata setelah dan sesudah PHK tidak ada perbedaan makanan yang dikonsumsi oleh keluarga informan.

Seminggu kemudian penulis berkunjung kerumah informan dengan tujuan observasi, saat itu anak bungsunya sedang makan siang. Menu makanannya adalah ikan gembung gulai dengan sayur wortel dicampur dengan kentang, cukup lezat ini menandakan bahwa keluarga ini tidak melakukan pengontrolan konsumsi keluarga.

Proses pendekatan penulis dengan informan tidak sulit karena sifat informan yang terbuka. Akhirnya penulis dapat bertemu dengan suami informan yaitu Pak Jarmin sekilas dilihat Pak Jarmin orangnya seram tetapi ketika informan memperkenalkan diri kepada penulis Pak Jarmin adalah orang yang baik walaupun ngomongnya agak ketus. Wawancara ini dilakukan pada bulan Juni 2009, proses wawancara terjadi selama 3 jam. Ini adalah pertemuan pertama penulis dengan suami informan, setelah itu beberapa kali penulis bertemu dengan suami informan. Sering juga penulis membantu informan dalam membuat gorengan seperti memotong pisang dan mencampurnya kedalam tepung. Penulis

masih sering berkunjung kerumah informan walaupun hanya untuk menikmati secangkir teh manis dingin, es dewer dan goreng pisang panas buatan informan.

Obeservasi yang penulis lakukan terhadap keluarga informan, dapat dikatakan keluarga ini adalah keluarga yang harmonis mereka dikarunia 5 orang anak. Anak pertama bernama Rijal Fahlepi yang berumur 21 Tahun, anak kedua bernama Susi Hertati berumur 19 Tahun, sementara anak ketiga bernama Novita Sari berumur 15 Tahun dan anak keempat bernama Elda madani berumur 9 Tahun sementara yang paling bungsu berumur 6 Tahun.

Latar belakang pendidikan Pak Jarmin tidaklah tinggi. Dia tidak tamat dari sekolah dasar (SD) sedangkan informan lulusan dari sekolah menengah atas (SMA). Suami informan awalnya bekerja di perusahan pembuat panel listrik dan istrinya sebagai ibu rumah tangga, suami informan bekerja sebagai buruh di perusahaan panel listrik mulai dari masa mudanya, sehingga dia memperoleh skill meskipun dia tidak tamat sekolah dasar dengan skill yang dimiliki suami informan akhirnya dipercaya perusahaan menjadi mandor dan menjadi salah satu karyawan kepercayaan.

Informan menceritakan bahwa suaminya pernah dibawa perusahaan ke Myanmar dalam proyek merakit panel listrik. Pada tahun 2000 upah minimum buruh hanya mencapai Rp 700.000,- tetapi suami informan sudah mendapat gaji pokok sebesar Rp 1.500.000,-. Gaji ini belum termasuk tunjangan dan upah lemburnya sehingga kehidupan perekonomian keluarga dapat terpenuhi. Merekapun dapat membangun rumah permanen dengan lantai keramik, dinding

beton dan juga dapat membeli sebidang tanah yang kemudian dijadikan sebagai rumah kontrakan.

Jatuhnya nilai rupiah terhadap nilai mata uang dolar menyebabkan terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian dan melakukan PHK. Perusahaan tempat suami informan juga menjadi salah satu yang mengalami krisis ekonomi dan suami informanpun menjadi salah satu korban PHK.

Suami informan di PHK pada tahun 2000 dan mendapat pesangon sebanyak Rp 5.400.000,- karena melihat kondisi suaminya yang telah di PHK informan memanfaatkan uang pesangon tersebut. Pada tahun 2001 informan membuka warung kecil-kecilan seperti gorengan dan es dewer. Informan mengharapkan dari usaha ini dapat membantu perekonomian keluarga karena suami informan tidak bekerja lagi.

Setelah di PHK suami informanpun membuka usaha botot, dia menampung bahan bekas dan menjualnya kepada perusahaan. Awalnya usaha ini berjalan lancar namun lama kelamaan usaha ini pun tidak dapat mengatasi perekonomian rumah tangga sehingga usaha yang dirintis oleh suami informan pun ditutup. Perekonomian keluarga pun dibantu oleh anak sulung dan anak keduanya, dari gaji yang diperoleh oleh anaknya informan memperoleh tambahan pendapatan.

Pada tahun 2007 anak informan yang paling besar ingin merubah nasip dari buruh menjadi lebih baik, anaknya ingin menjadi anggota tentara nasional Indonesia (TNI), kontrakan yang dipunyai keluarga akhirnya dijual. Malang tak

dapat tolak untung tak dapat diraih subuah pepatah yang menggambarkan situasi yang dihadapi keluarga informan karena hari terakhir anaknya bekerja di pabrik, ia mendapat kecelakaan dalam menjalankan pekerjaannya, padahal besok harinya ia harus berangkat ke Aceh karena disanalah tempat tujuannya melamar TNI, tetapi karena kecelakaan tersebut semuanya jadi tertunda, uang yang telah disediakan akhirnya dipergunakan untuk berobat. Meskipun uang berobat anaknya ditanggung perusahaan tetapi pelayanannya sangat buruk mengakibatkan kaki anak informan hampir diamputasi. Keluarga informan memilih berobat menggunakan biaya sendiri, uang yang disedikan untuk kebutuhan melamar TNI sudah berkurang karena pekerjaan suami informan yang tidak tetap lagi, jika ada proyek bekerja dan jika tidak ada proyek ia memilih untuk menarik ojek.

Kehidupan keluarga informan berjalan normal kembali suami informan menuturkan jika dia ingin masuk pabrik dia masih diterima bahkan dia diminta untuk bekerja di pabrik kembali. Tapi dia tidak menerimanya karena gaji sebagai buruh di pabrik hanya pas–pasan dan harus mengejar target perusahaan. Suami informan bercerita setelah di-PHK, dia dapat bebas memilih pekerjaannya karena tawaran untuknya silih berganti dengan skill yang dia miliki dan bekerja dengan jujur sehingga orang percaya dengannya. Suami informan menceritakan ketika terjadi Tsunami pada tahun 2005 ia menjadi relawan untuk memasang listrik kerumah warga. Suami informan mempunyai relasi yang cukup banyak dengan orang Cina, ketika pengusaha membutuhkan teknisi, maka suaminyalah yang pertama dipanggil. Suami informan bercerita ketika itu ada orang Cina yang menawarkan pekerjaan di Pekan Baru disana dia mendapat posisi sebagai

pengawas dan diberikan fasilitas – fasilitas seperti rumah. Tetapi ia menolak karena tidak bisa jauh dengan keluarga, dari penuturan suami informan banyak juga proyek – proyek borongan yang memintanya dijadikan sebagai kepala teknisi ia juga menolak dengan alasan yang sama, suami informan berkata

“ngapain ngambil proyek di luar kota kalau gajinya tidak sama dengan di medan”.

Suami informan juga mempunyai kebiasaan buruk dimana 2 kali dalam seminggu ia memancing, dalam 1 hari ia dapat menghabiskan Rp 75.000 ,- mulai dari uang masuk, makan siang, rokok, dan taruhan, jadi jika dikalkulasi dalam 1 bulan dia dapat menghabiskan Rp 400.000 – 600.000 ,- padahal pengeluarannya tersebut dapat digunakan membayar cicilan sepeda bermotor karena mereka juga masih membayar kredit sepeda motor. Penghasilan suami informan dapat mencapai rata-rata 1,5 jt / bulan tapi jika dikurangin dengan pengeluarannya, maka sisanya hanya tinggal sedikit, lain lagi dengan biaya kebutuhan sekolah. Informan mengatakan uang jajan dan ongkos anaknya yang masih duduk di bangku SMP rata – rata Rp 10.000 /hari. Sementara informan hanya membiarkan kebiasaan buruk suaminya hal ini mungkin disebabkan karena suami informan selalu memberikan biaya rumah tangga mereka dan uang sekolah, mereka mempunyai prinsip orang dibawah tetap saja dibawah dan pemerintah tidak perduli. Suami informan berkata:

“ Dari pada awak mabuk – mabukan dan maen perempuan lebih baik awak memancing karena bisa menghilangkan stress”.

Masalah konsumsi keluarga, informan jarang melakukan suatu upaya penghematan. Keluarga ini pun tidak dapat menabung karena pendapatan hasil

jualan dari warung hanya mendapat untung Rp 20.000,- /hari, hanya cukup untuk uang jajan anaknya. Mereka pun tidak dapat menyekolahkan anak mereka ke perguruan tinggi karena biaya pendidikan untuk perguruan tinggi membutuhkan dana yang cukup tinggi. Jadi apa yang didapatkan hari ini cukup untuk dikonsumsi hari ini.

Dokumen terkait