• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

4.4 Kondisi Sosial

Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Saporkren tergolong relatif rendah karena sebagian besar penduduk yang termasuk usia kerja hanya menempuh pendidikan hingga tingkat SD. Berdasarkan data terbaru dari balai kampung dan hasil pengumpulan data di lapangan terhadap responden, golongan dewasa yang bekerja sebagai nelayan merupakan lulusan SD dan SMP, walaupun ada beberapa yang merupakan tamatan SMA. Sedangkan anak-anak sekolah di Kampung Saporkren hingga Tahun 2011 tercatat anak-anak yang menempuh pendidikan di SMP sebanyak lima orang, pendidikan di SMA sebanyak tiga orang, bangku kuliah sebanyak dua orang, dan anak-anak lainnya masih menempuh pendidikan di tingkat SD.

Rendahnya pendidikan di kampung ini disebabkan oleh dua faktor utama, pertama karena ketidakmampuan orangtua dari segi ekonomi untuk menyekolahkan hingga jenjang pendidikan yang tinggi. Kedua adalah minimnya fasilitas pendidikan di zaman dahulu yang kemudian menyebabkan para guru tidak optimal dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan juga minimnya tenaga kerja yaitu guru. Hingga kini, kampung ini hanya memiliki satu gedung Sekolah Dasar (SD) dan satu gedung pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai fasilitas anak-anak Kampung Saporkren untuk menuntut ilmu. Gedung PAUD baru saja didirikan dengan bantuan dana dari pemerintah yaitu dana bantuan PNPM, dan sebagian perlengkapan Sekolah Dasar (SD) juga diperlengkapi dengan dana tersebut. Sedangkan anak-anak Kampung Saporkren yang menuntut ilmu hingga tingkat SMP dan SMA harus keluar kampung dan menuntut ilmu di Distrik atau di ibukota Kabupaten yaitu Waisai dengan waktu tempuh dua jam menggunakan perahu tradisional.

3

Jenis alat tangkap yang berbentuk seperti tombak panjang dengan ujung runcing dan sering digunakan saat menangkap di malam hari

4

4.4.2 Budaya/Tradisi

Kampung Saporkren didominasi oleh etnik asli Raja Ampat, dan hanya sebagian yang merupakan penduduk pendatang karena adanya ikatan pernikahan yang membuat mereka menjadi penduduk kampung tersebut. Proses komunikasi diantara masyarakat berjalan harmonis dan dinamis yang ditandai penggunaan bahasa lokal (bahasa suku Raja Ampat) sebagai bahasa komunikasi sehari-hari oleh penduduk baik asli maupun pendatang, tetapi tidak menutup kemungkinan penggunaan bahasa Indonesia.

Masyarakat di Kampung Saporkren hampir seluruhnya menganut agama Kristen Protestan, dan hanya satu warga menganut agama Islam. Walau kuantitas yang tidak seimbang, kampung ini memiliki tenggang rasa yang sangat tinggi antara kedua agama dan kegotongroyongan yang begitu kuat diantara masyarakat. Hal ini dapat dilihat ketika ada salah satu warga yang meninggal kemudian warga yang lainnya datang dan memberi beberapa sumbangan bagi keluarga yang ditinggalkan seperti gula, kopi, beras, minyak, ikan, uang, dan lain-lain.

Gotong royong dan kerjasama yang sifatnya tradisional sangat melekat di dalam diri masyarakat Saporkren. Ketika peneliti melakukan penelitian, saat itu sedang diadakan pembuatan pagar di depan rumah semua warga dengan menggunakan dana PNPM. Masyarakat bekerjasama untuk melakukannya dan terkesan menarik karena anak muda dan orangtua hingga lansia ikut bekerjasama. Kebiasaan lainnya yang menarik dari masyarakat Saporkren adalah ketika akan mengumpulkan masyarakat. Jika kepala kampung hendak mengumpulkan semua warganya, cukup dengan meniupkan bia atau kerang besar sebagai tanda kepada warga untuk berkumpul di rumah kepala kampung. Jika yang akan mengumpulkan warga adalah pihak gereja maka tanda yang digunakan adalah membunyikan lonceng gereja, sedangkan rapat dan acara Sosialisasi berkaitan dengan program lain akan dikumpulkan di pondok informasi dengan menggunakan bel. Masing-masing berbeda cara dan alat yang digunakan untuk mengumpulkan masyarakat.

Kampung ini juga memiliki aturan yang kuat terkait kegiatan di hari sabtu dan hari minggu. Masyarakat yang pekerjaannya sebagai nelayan hanya bisa menangkap dari hari senin hingga sabtu, dan pada hari minggu semua kegiatan

dihentikan, begitu pula dengan yang berkegiatan selain sebagai nelayan. Larangan ini berlaku untuk semua usia dari anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat harus sudah berada dikampung pada hari sabtu pukul tujuh malam atau 19.00 WIT, artinya tidak boleh ada yang keluar kampung khususnya untuk melaut maupun ke kampung lain. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan diri beribadah di hari minggu. Jika ada yang melanggar maka pihak pengurus gereja akan memberikan teguran, tetapi larangan ini dilonggarkan bagi warga yang ingin berobat ke rumah sakit di Waisai.

4.4.3 Kelembagaan Desa

PengorganiSasian masyarakat dan proses-proses pembangunan lainnya di tingkat kampung difasilitasi oleh sebuah lembaga pemerintah kampung/desa yang terdiri dari kepala kampung dan dibantu oleh aparat yang lain. Disamping itu terdapat pula LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang), Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dimana pembentukan ketiga lembaga ini diinisiasi oleh Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang Tahap II (Coral reef Rehabilitation and Management Program Phase II/COREMAP II) dan dikelola oleh masyarakat lokal. Program Coremap II merupakan program pemerintah dibawah tanggung jawab Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan di kampung ini dibawah Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat.

LPSTK secara umum memiliki fungsi dan peran dalam mengkoordinasikan kegiatan kelompok-kelompok masyarakat (Pokmas) di kampung/desa dengan pengelola program Coremap II tingkat kabupaten dibawah koordinasi DKP Kabupaten Raja Ampat. Sedangkan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur-unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan, dan pemerhati lingkungan/terumbu karang. Pokmaswas memiliki peran untuk melakukan pengawasan terhadap daerah Perlindungan Laut (DPL). Pokmaswas dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur seorang anggota masyarakat dalam Pokmaswas yang berfungsi sekaligus sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah atau petugas. Siapapun di dalam

masyarakat bisa menjadi anggota Pokmaswas, asalkan mereka dipilih secara bersama.

4.5 Potensi Pesisir dan Kelautan

Dokumen terkait