• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo

Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)

NOVITA RANDAN I34070095

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

ABSTRACT

NOVITA RANDAN. IMPACT ANALYSIS OF MARINE CONSERVATION

AREAS ESTABLISHMENT ON THE FISHERS SOCIO ECONOMIC

CONDITION (In Case of Marine Protected Areas (MPAs) Saporkren Village, Waigeo Selatan District, Raja Ampat Regency, West Papua ). Under supervision by ARIF SATRIA.

Damage to coastal and marine resources in Indonesia leads to a conservation effort for ecosystem sustainability. Marine Protected Areas (MPAs) are established with the aim to protect marine ecosystems within and ensure the welfare of fishers living around the area. When MPAs are formed it will have an impact on limiting the rights of fishers and fishers fishing area changes, and also affect on the catch of fishers and their income.

The goals of this research are to, (1) analyze the impact of MPA establishment against bundles of fishers’s rights, (2) analyze the impact of MPA establishment towards the income level of fishers. Results show that, (1) the establishment of MPA causes a change in the second type rights of fishers which is utilization type, while the access rights, management rights, and exclusion rights are retained by the fishers, (2) The establishment of marine protected areas give a positive effect on the income of fishers . Most of the fishers stated that the catch and their income increased since the establishment of MPA, caused by major increase of the fish quantity, which allowed fisherscatches fish more easily.

Keywords: Marine Protected Areas (MPAs), bundles of rights, fishers response,

(3)

RINGKASAN

NOVITA RANDAN. ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat) (Di bawah bimbingan ARIF SATRIA)

Indonesia dikenal dengan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki sumberdaya laut dan pesisir yang melimpah. Jutaan penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut yang ada. Kesejahteraan masyarakat terjamin apabila kelestarian pesisir dan laut tetap dijaga, tetapi akan mengancam jika sumberdaya yang dimiliki rusak. Salah satu upaya yang dianggap dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya tersebut adalah penetapan suatu kawasan konservasi laut.

Kabupaten Raja Ampat adalah salah satu kabupaten bahari yang wilayahnya terdiri dari ratusan pulau besar dan kecil. Posisinya pada jantung segitiga karang dunia menjadikan kabupaten ini termasuk dalam salah satu kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut tropis terkaya (CII 2004 dikutip DKP Raja Ampat 2009). Kekayaan keanekaragam hayati yang dimiliki Kabupaten Raja Ampat menjadi salah satu pendorong upaya perlindungan sumberdaya laut. Salah satu kegiatan konservasi yang dilakukan adalah pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan yang menjadi zona ini dari KKLD disebut Daerah Perlindungan Laut (DPL). Tujuan pembentukan suatu kawasan konservasi, dalam hal ini Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah menjaga ekosistem di dalam laut baik itu karang, ikan, megabenthos, dan hasil laut lainnya. Jika semua hasil laut dilindungi maka dapat menjamin kesejahteraan nelayan sebagai pihak yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem tersebut. Selain itu, ketika DPL dibentuk tentu saja akan berpengaruh pada kondisi sosial maupun perekonomian para nelayan, untuk mengetahui dampak yang terjadi maka perlu dilakukan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak penetapan DPL terhadap seperangkat hal (bundles of right) nelayan, dan dampaknya terhadap tingkat pendapatan para nelayan.

(4)

DPL Yenmangkwan merupakan salah satu DPL yang dikembangkan oleh Kabupaten Raja Ampat melalui sistem pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), dan berada di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Kondisi karang dan ikan karang diharapkan dapat terjaga bahkan meningkat dengan upaya konservasi melalui pembentukan DPL. Disamping untuk keberlanjutan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain berdampak positif terhadap kesejahteraan nelayan.

Penelitian ini diawali dengan mengumpulkan data dari responden dengan menggunakan kuesioner. Peneliti melakukan survai pada 39 responden terkait respon mereka terhadap pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Yenmangkwan. Survai menunjukkan bahwa hampir seluruh nelayan memiliki respon yang positif terhadap DPL, artinya nelayan menyetujui adanya pembentukan kawasan tersebut. Hal ini didukung dengan minimnya konflik sejak pembentukan DPL diantara masyarakat dengan pihak penanggung jawab DPL.

Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Yenmangkwan dilakukan pada akhir Tahun 2007, dan sejak saat itu segala aktivitas khususnya aktivitas menangkap ikan atau hasil laut lainnya. Perubahan tersebut terlihat pada perubahan hak nelayan, dimana pada tipe hak nelayan yakni hak pemanfaatan mengalami perubahan, sedangkan hak akses, pengelolaan, dan hak ekslusi tetap dimiliki para nelayan. Segala aktivitas yang terkait dengan pengambilan hasil laut dan berenang ataupun penyelaman sangat ditentang untuk dilakukan oleh siapapun. Hal yang menarik disini adalah walaupun hak pemanfaatan nelayan mengalami perubahan tetapi tidak menimbulkan konflik skala besar terkait kepemilikan sumberdaya laut diantara para aktor yang terlibat. Hal ini didasarkan pada beberapa hal yaitu: 1) sifat pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berbasis pada masyarakat lokal; 2) dukungan pemerintah daerah dan kampung melalui penglegitimasian Perkam DPL Yenmangkwan No.001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat; 3) adanya kompensasi dari DKP melalui Coremap II bagi kampung untuk mendukung penyediaan sarana-prasarana kampun; 4) pengalaman sistem pengelolaan laut tradisional yakni Sasi yang telah diterapkan masyarakat lokal.; 5)

(5)

dukungan positif oleh tokoh-tokoh masyarakat termasuk tokoh agama sebagai penanggung jawab dari sistem pengelolaan Sasi.

Salah satu tujuan dari pembentukan DPL adalah meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat sekitar. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari lokasi penelitian, hampir seluruh responden menyatakan bahwa sejak pembentukan DPL, hasil tangkapan dan pendapatan mereka pun bertambah. DPL dianggap sebagai tempat tabungan ikan, artinya DPL menjadi tempat seluruh ikan datang untuk berkembang biak dan kemudian akan keluar dari lokasi tersebut menuju daerah laut di luar zona DPL. Ikan-ikan yang keluar dari lokasi tersebut kemudian ditangkap oleh para nelayan, dan dinyatakan oleh responden bahwa ikan di sekitar kawasan DPL mengalami peningkatan kuantitasnya. Artinya bahwa pembentukan DPL Yenmangkwan di Kampung Saporkren memberikan dampak positif terhadap hasil tangkapan dan pendapatan nelayan.

(6)

ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo

Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)

Oleh :

NOVITA RANDAN I34070095

SKRIPSI

Sebagai Prasyarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(7)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Novita Randan

NIM : I34070095

Judul Proposal Skripsi

: ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN

(Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198 103 1 003 Tanggal Lulus Ujian :

(8)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (KASUS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT KAMPUNG SAPORKREN, DISTRIK WAIGEO SELATAN, KABUPATEN RAJA AMPAT, PAPUA BARAT)“ BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

BOGOR, AGUSTUS 2011

NOVITA RANDAN I34070095

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Novita Randan atau sering dipanggil Novi, dilahirkan di Nabire, Papua pada tanggal 03 November 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Yohanis Randan dan ibu Ruth. Pendidikan yang telah ditempuh adalah taman kanak-kanak selama satu tahun di TK Maranatha Nabire pada Tahun 1994 -1995, sekolah dasar selama enam tahun di SDN Inpres Oyehe Nabire pada Tahun 1995-2001, sekolah menengah pertama selama tiga tahun di SMPN 01 Nabire pada Tahun 2001-2004, dan sekolah menegah atas selama tiga tahun di SMAN 01 Nabire pada Tahun 2004-2007. Kemudian pada Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah IPB (BUD). Penulis merupakan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).

Penulis mulai mengikuti kegiatan organiSasi diantaranya OSIS dan Pramuka sejak berada di sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas. Kemudian selama di bangku kuliah, penulis juga aktif dalam UKM Kristen dan OMDA Papua serta pernah mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis juga pernah meraih prestasi sebagai juara pertama olimpiade kimia SMA tingkat Kabupaten, juara harapan dua lomba menyanyi tingkat Kabupaten, dan mendapat juara dua kategori solo dalam acara festival musik PMK-IPB Tahun 2011.

Penulis memiliki hobi membaca, traveling, dan bernyanyi. Penulis juga memiliki minat yang besar pada isu-isu pengembangan masyarakat serta kajian sosial pesisir dan kelautan.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan penyertaan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi berjudul ”ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penetapan kawasan konservasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan. Tujuan lainnya ialah untuk menganalisis pengaruh DPL terhadap tingkat pendapatan nelayan.

Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2011

Novita Randan NIM I34070095

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis naikkan pada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan penyertaan-NYA, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah membimbing, memberikan saran, koreksi, pemikiran, dan bantuan materiil sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan .

2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen ujian petik yang telah memberikan saran dalam penulisan skripsi penulis.

3. Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, Ms dan. Ir. Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji dalam sidang skripsi penulis yang telah memberikan saran dan kritikan bagi penulisan skripsi penulis.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah mengajar dan mendidik penulis. 5. Orangtua tercinta yang telah memberikan dukungan, doa, kasih sayang, dan

perhatian bagi penulis. Sangat mencintai kalian.

6. Seluruh sanak saudara (k’ Markus sekeluarga, k’ Ida sekeluarga, k’ Panus sekeluarga, k’ Mesak, k’ Feri, k’ Tina sekeluarga, dek Ima, dek Nolin, dek Silva, om Gunadi sekeluarga) yang telah memberikan dukungan, doa, kasih sayang, dan perhatian penuh bagi penulis.

7. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menuntut ilmu di IPB.

8. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat (Bpk. Manuel), Koordinator COREMAP II Raja Ampat (Ibu Meidi), Kabag Litbang Bappeda, seluruh staff Litbang Bappeda, staff DKP, staff COREMAP II, Kepala Kampung dan aparat Kampung Saporkren yang telah memberikan informasi selama penulis melakukan penelitian.

(12)

9. K’ Esma, k’ Maurits, k’ Adi, k’ Herlin, k’ Bun, k’ Yuni, k’ Carla, dan k’ Daud sekeluarga yang telah memberikan pertolongan, dukungan, dan informasi selama penulis melakukan pengumpulan data.

10. Tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh masyarakat Saporkren yang bersedia memberikan informasi dan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian.

11. Bapak Pdt. Daniel S. Koamesakh sekeluarga, Bpk. A. Sinaga sekeluarga, Bpk. Jeksen Simanjutak sekeluarga, Bpk. Shandy sekeluarga, Bpk. Suhendra sekeluarga, beserta tim pengerja GBI Ciomas yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang senantias memberi dukungan doa dan memotivasi penulis. 12. Rekan pelayan GBI Ciomas (k’ Nofa, k’ Isak, k’ Dial, k’ Jefri, k’ Rini, k’

Sarah, k’ Bagus, k’ Rheiner, David, Bensa, Connie, Angeline, Glory, Eka, Beatrick, Ikral, Well, Aftian, Andreas, Anna, Angel, Markus, Frisca, Versi, Helen, Ovie, Puyun, Dewi, Horas, Devi, Desi, Putri, Susi, dan semua yang belum sempat disebut satu persatu) yang tak pernah lelah memberikan motivasi, semangat, kritikan yang membangun, dan doa. Sangat menyayangi kalian.

13. Sahabatku, Reni dan Leni yang memberikan motivasi, dukungan doa, dan mau menjadi teman berbagi perasaan dan pengetahuan saat suka maupun duka. Tak akan pernah terlupakan kebersamaan kita.

14. Teman sepembimbingan (Helmi, Diah, Ume, Yochan, Maya, k’ Ratna) yang memberi saran dan mau bertukar pikiran dengan penulis.

15. Semua teman KPM 44 yang kurang lebih tiga tahun telah bersama dalam suka dan duka menjalani aktifitas sebagai mahasiswa yang saling memberikan semangat, dan kerjasamanya selama ini.

16. Christin dan Vlorent yang mau menjadi sahabat dan tempat mencurahkan isi hati selama di KPM.

17. Semua teman-teman BUD dari Nabire yang memberikan semangat dan doa. 18. Teman-teman kosan perwira 77 yang mau memberikan dukungan buat

(13)

19. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua yang membaca dan semoga kesuksesan saya dapat membanggakan bagi Tuhan, keluarga, dosen, agama, teman, dan sahabat-sahabatku.

Bogor, Agustus 2011 PENULIS

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Masalah Penelitian ... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 3 1.4 Kegunaan Penelitian ... 3

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 5

2.1 Tinjauan Pustaka ... 5

2.1.1 Konservasi ... 5

2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi ... 5

2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi ... 6

2.1.2 Daerah Perlindungan Laut ... 8

2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL ... 8

2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) ... 9

2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ... 10

2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL ... 12

2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat ... 12

2.1.4 Hak Kepemilikan ... 13

2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir ... 15

2.1.5.1 Pendapatan ... 17 2.1.6 Sikap ... 17 2.2 Kerangka Pemikiran ... 18 2.3 Hipotesis ... 21 2.4 Definisi Konseptual ... 21 2.5 Definisi Operasional ... 22

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ... 25

3.1 Lokasi dan Waktu ... 25

3.2 Teknik Pengumpulan Data... 25

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 28

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ... 30

4.1 Kondisi Geografis ... 30

4.1.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat ... 30

4.1.2 Konteks Kampung ... 31

4.2 Kondisi Demografi ... 33

4.2.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat ... 33

(15)

4.3 Kondisi Ekonomi... 34

4.4 Kondisi Sosial ... 36

4.4.1 Tingkat Pendidikan ... 36

4.4.2 Budaya/Tradisi ... 37

4.4.3 Kelembagaan Desa ... 38

4.5 Potensi Pesisir dan Kelautan ... 39

4.5.1 Perhubungan ... 39

4.5.2 Sarana dan Prasarana ... 39

4.5.3 Sumberdaya Perikanan Tangkap ... 40

4.5.4 Terumbu Karang... 41

4.6 Karakteristik Responden ... 41

4.6.1 Jenis Kelamin Responden ... 41

4.6.2 Tingkat Usia Responden ... 42

4.6.3 Tingkat pendidikan Formal Responden ... 43

BAB V KAWASAN KONSERVASI LAUT ... 44

5.1 Keanekaragaman Hayati Raja Ampat ... 44

5.1.1 Terumbu Karang... 45

5.1.2 Ikan Karang ... 46

5.1.3 Hutan Mangrove ... 48

5.1.4 Padang Lamun ... 48

5.1.5 Hutan Rawa ... 49

5.1.6 Bahan Galian Tambang ... 49

5.1.6.1 Nikel ... 49

5.1.6.2 Minyak Bumi dan Gas ... 49

5.2 Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat ... 50

5.2.1 KKLD Kepulauan Kofiau-Boo ... 51

5.2.2 KKLD Misool Timur Selatan... 52

5.2.3 KKLD Selat Dampier ... 53

5.2.4 KKLD Kepulauan Ayau-Asia ... 54

5.2.5 KKLD Kawe/ Sayang Wayag ... 55

5.2.6 KKLD Teluk Mayalibit ... 56

5.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL) ... 57

5.3.1 Sosialisasi Awal Pembentukan DPL ... 58

5.3.2 Survei Lokasi Calon DPL dan Penentuan Lokasi DPL ... 59

5.3.3 Penetapan DPL ... 59

5.4 Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ... 60

5.4.1 Batasan Wilayah (Territorial Boundary) ... 60

5.4.2 Peraturan (Rules) ... 61

5.4.3 Hak (Rights) ... 62

5.4.4 Kewenangan (Authority) ... 62

5.4.5 Pengawasan (Monitoring) ... 63

5.4.6 Sanksi (Sanctions) ... 64

BAB VI DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI SOSIAL NELAYAN ... 65

6.1 Analisis Stakeholder ... 65

(16)

6.1.2 Coremap ... 66

6.1.3 Masyarakat ... 69

6.2 Sikap Masyarakat Terhadap Penetapan DPL ... 71

6.3 Dampak DPL terhadap Seperangkat Hak (Bundles of right) Nelayan ... 73

6.3.1 Sebelum adanya DPL ... 74

6.3.2 Setelah adanya DPL... 75

6.4 Konflik ... 79

BAB VII DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI EKONOMI NELAYAN ... 81

7.1 Pola Produksi Nelayan... 81

7.1.1 Armada dan Peralatan Tangkap ... 81

7.1.2 Musim Penangkapan Ikan ... 83

7.1.3 Lokasi Penangkapan Nelayan ... 84

7.1.4 Jenis-jenis Hasil Tangkapan... 85

7.2 Biaya Investasi ... 86

7.3 Biaya Tetap ... 87

7.4 Biaya Variabel ... 88

7.5 Pendapatan dan karakteristik usaha ... 89

7.6 Hubungan Penetapan DPL Terhadap Pendapatan Nelayan ... 91

7.6.1 Sebelum Penetapan DPL ... 92

7.6.2 Setelah Penetapan DPL ... 93

BAB VIII PENUTUP ... 98

8.1 Kesimpulan ... 98

8.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... xxi

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di

Indonesia……… 14

Tabel 2. Status Hak Kepemilikan………. 15

Tabel 3. Jenis Data Primer dan Sekunder yang dikumpulkan di

Lapangan………. 26

Tabel 4. Luas dan Persentase Wilayah di Kabupaten Raja Ampat

menurut Distrik……….. 31

Tabel 5. Jumlah Penduduk menurut Distrik dan Jenis Kelamin di

Kabupaten Raja Ampat Tahun 2009……… 33

Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Saporkren menurut

Jenis Kelamin……… 34

Tabel 7. Jumlah dan Kondisi Sarana-Prasarana di Kampung

Saporkren………... 39

Tabel 8. Persentase Tutupan Karang menurut Jenis Karang di

DPL Yenmangkwan Tahun 2009……….. 41

Tabel 9. Total Spesies Terumbu Karang menurut Lokasi di

Kabupaten Raja Ampat……… 46

Tabel 10. Jumlah Ikan Karang Raja Ampat menurut Hasil Survai

CI, TNC, WWF Tahun 2001 dan 2002……….. 46 Tabel 11. Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja

Ampat………. 50

Tabel 12. Luas Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Raja

Ampat………... 57

Tabel 13. Peranan Stakeholders DPL Yenmangkwan Kampung

Saporkren……… 70

Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden menurut Respons

Responden Terhadap Pembentukan DPL………... 72 Tabel 15. Perbandingan Model Pengelolaan Sasi dan Model

Pengelolaan DPL di Kampung Saporkren………. 77 Tabel 16. Jumlah Armada Responden menurut Jenis Perahu dan

Status……….. 81

(18)

Saporkren ………..

Tabel 18. Kalender Musim Tangkap Nelayan Saporkren………….. 83 Tabel 19. Harga Jual Ikan menurut Jenisnya………. 85 Tabel 20. Rataan Biaya Investasi Perikanan Responden menurut

Jenisnya………... 87 Tabel 21. Rataan Biaya Tetap Responden menurut

Jenisnya……….. 88

Tabel 22. Rataan Biaya Variabel Responden menurut Jenisnya

Saporkren………... 89

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut……… 9

Gambar 2. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir………... 11

Gambar 3. Kerangka Pemikiran………. 20

Gambar 4. Komponen Analisis Data : Model Interaktif………… 28 Gambar 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Saporkren……….. 35 Gambar 6 Jumlah Responden menurut Golongan Usia……. 42 Gambar 7 Tingkat Pendidikan Formal Responden………... 43 Gambar 8. Grafik Dominasi Jenis Famili Ikan di Raja Ampat….. 47 Gambar 9. Tahapan Pembentukan DPL Yenmangkwan Kampung

Saporkren……….. 58

Gambar 10. Perubahan Wilayah Tangkap Nelayan Saporkren…… 60 Gambar 11. Penangggung Jawab Pengelolaan DPL Raja Ampat…. 66 Gambar 12. Struktur Kelembagaan Coremap Dewan

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir………. 68 Gambar 13. Seperangkat Hak Nelayan Sebelum dan Setelah

Penetapan DPL Saporkren……….... 78

Gambar 14. Penggolongan Responden menurut Tingkat

Pendapatan Rata-rata Kampung Saporkren………….. 91 Gambar 15. Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan……... 93 Gambar 16. Konsep Ekologis DPL Raja Ampat……….. 95 Gambar 17. Grafik Hasil Tangkapan Per bulan Kampung

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Lokasi Penelitian………. xxv

Lampiran 2. Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi Laut di

Indonesia Tahun 2009………. xxvi

Lampiran 3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011…… xxviii

Lampiran 4. Kerangka Sampling………. xxix

Lampiran 5. Daftar Responden……… xxx

(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Data Kelautan dan Perikanan Tahun 2009 menunjukkan luas daratan Indonesia adalah 1,9 juta km persegi, sedangkan luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km persegi. Luasan ini terdiri dari luas perairan kepulauan sebesar 2,3 juta km persegi, luas perairan teritorial 0,8 juta km persegi, dan luas perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar 2,7 juta km persegi. Selain itu terdapat pula 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (KKP 2009), beserta kekayaan sumberdaya di dalam laut maupun kawasan pesisir. Kekayaan sumberdaya laut dan pesisir yang dimiliki negara kita Indonesia pun mendapat tantangan bagi keberlanjutan di masa mendatang, akankah tetap terjaga kelestariannya atau justru mengalami penurunan atau kerusakan ekosistem di dalam laut dan pesisir.

Keindahan dan kekayaan sumberdaya baik sumberdaya yang dapat pulih dan sumberdaya tak dapat pulih yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini menjadi salah satu pendukung adanya penetapan kawasan konservasi laut. Hal ini diperkuat dengan salah satu tujuan dari penetapan kawasan konservasi yakni melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses ekologi. Ketika kelestarian sumberdaya alam tercapai dan terjadi keseimbangan ekosistem maka dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Undang-Undang Konservasi Hayati Tahun 1990 pasal 3 dikutip oleh Hardjasoemantri 1991). Selain itu, menurut Bengen (2000) dikutip Putra (2001), tujuan konservasi yaitu melindungi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologi di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan tetap dipertahankannya produksi bahan makanan dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan. Demi tercapainya kelestarian sumberdaya alam laut, maka salah satu langkah yang dianggap tepat adalah penetapan Kawasan Konservasi Laut (KKL), dengan anggapan bahwa ketika para pengguna sumberdaya laut dibatasi hak dan wewenangnya atas potensi laut dan

(22)

pesisir, maka upaya memperkecil terjadinya kerusakan sumberdaya laut dapat tercapai.

Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan kawasan perairan yang dilindungi, dikelola melalui sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Sistem KKL di Kabupaten Raja Ampat adalah sistem Kawasan Konservasi Laut Daerah yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang KKLD Raja Ampat dan salah satu zona inti dari KKLD ini adalah Daerah Perlindungan Laut (DPL). DPL adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya laut (Coremap II 2009). Namun menjadi hal penting yang harus diperhatikan adalah dampak dari penetapan kawasan konservasi laut, dalam hal ini yakni DPL terhadap masyarakat atau nelayan yang berada di sekitar kawasan tersebut. Masyarakat pesisir atau nelayan telah menggantungkan hidup mereka pada sumberdaya laut di sekitar mereka dan telah berlangsung turun temurun. Artinya bahwa mereka berhak pula mengatur dan mengelola sumberdaya pesisir dan laut di kawasan konservasi.

Kebijakan penetapan kawasan konservasi yaitu DPL terkadang mengundang kontroversi, terutama berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan. Pro dan kontra di kalangan masyarakat pesisir pun terjadi. Sebagian nelayan beranggapan bahwa dengan adanya Daerah Perlindungan Laut (DPL) akan berdampak terhadap menurunnya pendapatan nelayan karena tertutupnya sebagian area penangkapan ikan (fishing ground) mereka dan hak-hak mereka menjadi terbatas untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Tetapi ada pula yang mendukung penetapan kawasan ini, dengan asumsi akan terjadi keberlanjutan bagi ekosistem pesisir dan laut, serta akan berpengaruh terhadap kesejahteraan nelayan. Hal inilah yang akan diteliti dalam penelitian ini, dengan menganalisis bagaimana dampak yang dirasakan oleh nelayan sekitar kawasan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan, apakah terjadi peningkatan pendapatan setelah ditetapkannya DPL ini atau justru mengalami penurunan karena keterbatasan hak, dan apakah terjadi perubahan hak-hak nelayan atas sumberdaya yang ada.

(23)

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, disusunlah dua rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan?

2. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan.

2. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya adalah :

1. Bagi akademisi

Tulisan ini dapat menambah literatur bagi akademisi dalam mengkaji masalah pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berkelanjutan dan dampaknya bagi seperangkat hak nelayan dan tingkat pendapatan nelayan. 2. Bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan

Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsi dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang relevan terhadap penetapan Daerah Perlindungan Laut dan pengelolaan yang menjamin keberlanjutannya serta secara jelas mengetahui berdasarkan data kuantitatif tentang manfaat ekonomi keberadaan KKL bagi masyarakat nelayan setempat.

(24)

3. Bagi Masyarakat Pesisir

Penelitian ini diharapkan menjadi pedoman bagi nelayan dalam mengelola Daerah Perlindungan Laut (DPL) dengan kemampuan dan potensi masyarakat setempat.

(25)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konservasi

Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk dilakukan dalam melindungi ekosistem dan sumberdaya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi yang bertujuan melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses ekologi. Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi; Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan (SP). Tujuan dari penetapan kawasan konservasi yang tertera dalam pasal 3 Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH Tahun 1990) yang dikutip oleh Hardjasoemantri (1991) adalah sebagai berikut:

“Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”.

Hingga Tahun 2009, jumlah KKL di Indonesia berjumlah 89 dengan luas keseluruhan adalah 22.175.609 ha. Jumlah dan luasan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Indonesia Tahun 2009 secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2.

2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001):

1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem.

2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

(26)

3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika.

4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir dan laut, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas menusia terhadap keanekaragaman hayati laut. 5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan

konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Pada pasal empat dari UUKH Tahun 1990 dinyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Artinya bahwa pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk masyarakat. Namun dalam kenyataannya, yang lebih berwenang adalah pihak pemerintah baik pusat maupun daerah yang menyatakan dirinya sebagai pihak yang mencetuskan dan pemilik kawasan konservasi sedangkan masyarakat terbatas dalam hal pengelolaan. Mengingat pentingnya kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara khusus masyarakat lokal maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi. Hal ini nantinya akan berimplikasi dalam penerapan proses konservasi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring.

2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi

Sistem zonasi kawasan konservasi adalah pembagian wilayah di dalam kawasan menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka mencapai tujuan

(27)

pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya (DEPHUT 1995 dikutip Manoppo 2002).

Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Bengen (2001), secara umum zona-zona di kawasan konservasi dikelompokkan menjadi tiga zona yaitu:

1. Zona inti atau zona perlindungan: habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi oleh karena itu zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas manusia khususnya mengeksploitasi.

2. Zona penyangga: zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang mengganggu dan melindungi kawasan dari pengaruh eksternal.

3. Zona pemanfaatan: lokasi ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi.

Penetapan zonasi di atas hampir berlaku di seluruh kawasan konservasi di Indonesia walaupun ada kawasan yang memiliki batas zonasi lebih dari ketiga zona di atas. Ketika penetapan zonasi dilakukan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan adalah komunitas lokal atau masyarakat pesisir yang beroperasi di zona-zona tersebut. Banyak kasus dilapangan membuktikan, area yang sering dilalui nelayan lokal harus di ambil dan dijadikan zona terlindungi bahkan nelayan tersebut tidak boleh melintas atau beroperasi di area tersebut. Padahal area yang termasuk zona terlindungi merupakan area yang sudah sejak lama mereka manfaatkan dan kelola. Hal ini lah yang justru menimbulkan konflik, sehingga ketika penetapan zonasi harus melibatkan peran masyarakat lokal guna meminimalisir konflik yang akan terjadi.

(28)

2.1.2 Daerah Perlindungan Laut

2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL

Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai area larang ambil (no take zone area) dan dikelola oleh masyarakat lokal (Coremap II 2009). Daerah Perlindungan Laut yang yang dikelola oleh masyarakat lokal disebut DPL-BM (Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat). DPL-BM merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Demikian pula kegiatan manusia di dalam kawasan DPL-BM diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan, dan larangan kegiatan tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan kampung (Coremap II 2009).

Prinsip dasar dari DPL adalah zona larang ambil bersifat permanen dan tidak untuk dibuka pada waktu-waktu tertentu. Daerah Perlindungan Laut dimaksudkan untuk :

1. Mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya bagi terumbu karang dan mangrove (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010)

2. Melindungi spesies langka dan habitatnya, serta mempertahankan produksi perikanan (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 3. Dapat merehabilitasi/menjaga sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak

(Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)

4. Mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan

perekonomian/pendapatan bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)

5. Mendidik masyarakat lokal dalam hal perlindungan laut/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat (Coremap II 2009)

DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin

(29)

mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan kepada terumbu karang dan organisme laut lainnya yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Nantinya kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi, menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan-ikan untuk hidup, makan, tumbuh, dan berkembang biak.

Sumber : DKP Raja Ampat (2009)

Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut

2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL)

COREMAP II (2008) menyatakan bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari Daerah Perlindungan Laut diantaranya adalah, (i) meningkatkan hasil tangkapan perikanan lokal, (ii) keuntungan ekonomis karena pemeliharaan ikan yang lebih baik, (iii) menciptakan kesempatan kerja, dan (iv) membantu penegakan aturan.

DPL harus memiliki zona inti, yaitu suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya lainnya sama sekali tidak diperbolehkan (no take zone area). Begitu juga kegiatan yang dapat merusak terumbu karang di zona inti seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta penggunaan galah untuk mendorong perahu di atas terumbu karang juga dilarang. Aturan larang ambil sangat penting di zona inti. Namun demikian, keputusan pelarangan tersebut tergantung pada keinginan masyarakat itu sendiri.

(30)

Pada umumnya, DPL-BM memiliki zona inti dan zona penyangga. Zona penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan, termasuk penangkapan ikan. Penangkapan yang diperbolehkan adalah dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing, memanah, dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan menggunakan scuba dan snorkeling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan secara komersil seperti penggunaan perahu berlampu, dan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap dilarang dalam zona penyangga ini (Coremap II 2009).

2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL)

Daerah Perlindungan Laut ditetapkan dengan tujuan menjamin keberlanjutan dari sumberdaya laut dan memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pengelola utama. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) dibuat dan ditetapkan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat melalui suatu peraturan yang disepakati bersama atau kesepakatan kampung. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pembentukan DPL adalah sebagai berikut (Coremap II 2009):

1. Pengenalan masyarakat dan identifikasi isu

Langkah ini merupakan upaya mengajak masyarakat memahami peran DPL-BM dan manfaat yang diperoleh. Kemudian mengidentifikasi isu dengan mengumpulkan data dasar mengenai kondisi desa dan mengidentifikasi isu utama.

2. Persiapan program DPL-BM

Pada langkah kedua, kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan lingkungan hidup terhadap masyarakat lokal, pelatihan yang bertujuan membangun kapasitas masyarakat, pemetaan terumbu karang, dan pembentukan kelompok pengelola DPL-BM.

3. Konsultasi dan pembuatan aturan

Langkah ini dilakukan secara formal dan informal demi mendapatkan kesepakatan terhadap, lokasi DPL, zona DPL, ukuran atau luasan DPL,

(31)

hal-hal yang dilarang dan diperbolehkan dalam zona yang ditetapkan, sanksi dan kewajiban pengelola, serta rancangan peraturan desa.

4. Persetujuan aturan

Ketika masyarakat dan pihak yang berkepentingan telah bersepakat untuk membentuk DPL maka selanjutnya adalah membuat persetujuan aturan yang telah didiskusikan. Aturan desa tentang DPL-BM ditetapkan secara formal melalui peraturan desa yang didukung mayoritas masyarakat setempat, ditandatangani oleh pemerintah desa dan lembaga-lembaga perwakilan di desa dan diteruskan kepada Kepala Kecamatan dan Bupati .

5. Pelaksanaan dan pemantauan

Langkah terakhir yang dilakukan adalah pemasangan tanda batas permanen; pemasangan papan peraturan dan informasi; peresmian DPL; patroli dan pemantauan secara rutin; pelaksanaan dan penegakan peraturan DPL; serta evaluasi.

Secara umum, konsep yang diterapkan oleh Coremap dalam proses pembentukan DPL-BM adalah mengikuti siklus pengelolaan sumberdaya pesisir, mulai dari identifikasi isu, persiapan perencanaan, pendanaan dan adopsi formal, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

Sumber : DKP Raja Ampat (2009)

(32)

2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL

Adapun beberapa syarat penentuan lokasi dan ukuran Daerah Perlindungan Laut yang digunakan oleh Coremap II Kabupaten Raja Ampat, antara lain adalah (Coremap II 2008):

1. Kondisi tutupan karang hidup (karang keras dan lunak) dalam kondisi yang baik (tutupan karang di atas 50 persen)

2. Kepadatan ikan dan keanekaragaman organisme laut lainnya cukup tinggi 3. Merupakan terumbu karang “sumber” (source reef)

4. Mencakup 10 persen-20 persen dari keseluruhan habitat terumbu karang yang ada di wilayah suatu desa

5. Habitat terumbu karang yang mencakup rataan dan kemiringan karang dan secara ideal memiliki lamun dan habitat mangrove (tetapi tidak harus selalu memiliki lamun dan mangrove)

6. Suatu kawasan yang diketahui merupakan tempat ikan bertelur

7. Lokasinya masih berada dalam jangkauan penglihatan masyarakat sehingga mudah diamati dan memudahkan pemantauan serta penerapan aturan yang berlaku

2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat

Melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan laut yang dimiliki Indonesia tentunya memerlukan strategi pengelolaan yang dapat secara efektif meningkatkan kuantitas di segala bidang, baik ekonomi masyarakat maupun konservasi dan kelestarian sumberdaya alam. Upaya tersebut dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa pendekatan dari atas (top down) yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran utama, terbukti tidak efektif. Menurut Perez (1995) seperti dikutip oleh Saad (2003), proses pengelolaan tersebut mengakibatkan hilangnya sistem masyarakat dan tata nilai yang sudah berlaku secara turun temurun.

Hal tersebut mendorong para ahli untuk merekomendasikan pengembangan pengelolaan bersama atau pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (community based fisheries management). Saad (2003) mendefinisikan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat sebagai pembagian tanggung jawab dan otoritas antara

(33)

pemerintah setempat dan sumberdaya setempat (local community) untuk mengelola sumberdaya perikanan. Secara formal dan informal, pengelolaan model ini diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas sumberdaya perikanan kepada masyarakat. Selain itu menurut Ruddle (1999) seperti dikutip oleh Ruddle dan Satria (2010), unsur-unsur pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat antara lain :

1. Territorial Boundary (batasan wilayah) 2. Rules (peraturan)

3. Authority (kewenangan) 4. Monitoring (pengawasan) 5. Sanctions (sanksi)

2.1.4 Hak Kepemilikan

Ketika berbicara pemanfaatan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi ataupun sumberdaya alam secara umum, maka tidak terlepas dari konteks hak kepemilikan para pengguna terhadap sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan. Dengan adanya kejelasan akan hak milik seseorang maka akan menentukan dan membatasi sejauh mana ia dapat mengambil dan mengelola sumberdaya dan juga dapat menjauhi terjadinya konflik kepentingan atas sumberdaya alam yang menjadi objek. Hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan seseorang atau kelompok atas sumberdaya.

Menurut Ostrom dan Schlager yang dikutip Satria (2009), terdapat lima tipe hak-hak dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu:

1. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif.

2. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya.

3. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam pengelolaan sumberdaya.

(34)

4. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. 5. Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual atau

menyewakan sebagian atau seluruh hak kolekif tersebut di atas.

Terkait dengan hak kepemilikan atas sumberdaya, maka penting untuk diketahui rezim-rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private property), dan masyarakat (communal property).

Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia Rezim

kepemilikan

Keterangan

Akses terbuka (open access)

Akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya persaingan bebas. Pada rezim ini, tragedy of the commons sering terjadi. Selain itu kerusakan sumberdaya, konflik antara pelaku, dan kesenjangan ekonomi pun mengikutinya. Negara (state

property)

Hak kepemilikan berada di tingkat daerah hingga pusat dan berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Pada rezim ini sering terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah atau dengan pihak lainnya. Swasta (private

property)

Hak kepemilikan lebih bersifat temporal atau dalam jangka waktu tertentu karena izin pemanfaatan yang diberikan pemerintah. Rezim ini sangat berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi.

Komunal atau masyarakat

Rezim ini ditandai oleh hak kepemilikan yang sifatnya sudah turun temurun, lokal, dan spesifik. Peraturan yang ada dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Kekurangan rezim ini adalah lemahnya legitimasi secara formal dari pemerintah atas aturan-aturan lokal yang ada.

Sumber : Satria (2009)

Hak-hak di atas dikategorikan berdasarkan dimiliki atau tidaknya hak tersebut oleh setiap pemangku kepentingan. Orang yang memiliki hak tersebut juga diklasifikasikan ke dalam lima kategori, seperti tertera pada tabel dibawah ini:

(35)

Tabel 2. Status Hak Kepemilikan

Hak Milik Owner Proprietor Claimant Authorized user Authorized entrant Access x x x x x Withdrawal x x x x Management x x x Exclusion x x Alienation x

Sumber : Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009)

2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal atau berada di wilayah pesisir, dan sebagian besar hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Secara turun temurun mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang antar pulau, dan lain-lain. Nikijuluw (2005) menggolongkan masyarakat pesisir dalam dua tipe kelompok yaitu kelompok non-perikanan (penjual jasa pariwisata, jasa transportasi, dan yang memanfaatkan sumberdaya non hayati laut dan pesisir) dan kelompok perikanan (nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan, dan pedagang ikan).

Secara umum, yang menjadi pembeda masyarakat pesisir dengan masyarakat desa dan kota adalah dari aspek kondisi sosial dan ekonomi mereka yang umumnya terbelakang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003). Penyebab dari kemiskinan masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya adalah :

1. Tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, dan akses terhadap pasar (Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).

2. Pendapatan yang relatif rendah (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Satria 2002).

3. Kurangnya kelembagaan penunjang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003).

4. Lemahnya insfrastruktur baik sosial, fisik, maupun ekonomi (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).

(36)

5. Rendahnya tingkat pendidikan dan status kesehatan (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).

6. Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada produksi sehingga menyebabkan tangkap lebih (over fishing) (Tindjbate 2001 dikutip Karim 2005).

Kemiskinan dapat dibedakan berdasarkan ukurannya menjadi dua macam yaitu kemiskinan tetap (absolute) dan kemiskinan relatif. Kemiskinan tetap (absolute) merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan (Satria 2002;Ibrahim 2007). Garis kemiskinan pun bermacam-macam bergantung pada institusi yang mengeluarkan ukurannya, diantaranya :

1. Menurut BPS, kemiskinan dapat diukur dengan cara membandingkan total pengeluaran penduduk per kapita per bulan terhadap garis kemiskinan yang berlaku yakni tingkat pengeluaran untuk makanan kurang dari 2100 kalori (Satria 2002; Ibrahim 2007).

2. Selain itu, Sajogjo menggunakan ukuran pengeluaran konsumsi beras untuk mengukur kemiskinan. Menurut garis kemiskinan Sajogjo, kategorinya berdasarkan tingkat pengeluaran setara kilogram beras perkapita pertahun adalah sebagai berikut (Sajogjo dikutip Satria 2002; Sajogjo 1977 dikutip Kamarijah 2003) :

a. Sangat miskin : untuk desa adalah 180 kg beras/tahun sedangkan penduduk dikota adalah 270 kg beras/tahun.

b. Miskin sekali : untuk daerah pedesaan setara dengan 240 kg beras/tahun, sedangkan penduduk perkotaan setara dengan 360 kg beras/tahun.

c. Miskin : untuk pedesaan adalah 320 kg beras/tahun, sedangkan perkotaan setara dengan 480 kg beras/tahun.

Ukuran kemiskinan kedua adalah kemiskinan relatif, dimana pengukurannya dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan lainnya (Satria 2002) atau didasarkan pada pertimbangan individual untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan (Raharto dan Romdiati 2002 dikutip Ibrahim 2007).

(37)

Kesejahteraan masyarakat dapat dianalisis berdasarkan data kependudukan, kesehatan masyarakat, pendidikan, tingkat kelahiran atau fertilitas, kriminalitas, serta perumahan dan lingkungan (BPS 2001). Sedangkan karakteristik sosial ekonomi penduduk yang lebih spesifik diperoleh berdasarkan:

1. Konsumsi/pengeluaran/pendapatan.

2. Kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pemukiman.

3. Sosial budaya, kesejahteraan rumah tangga, dan kriminalitas.

2.1.5.1 Pendapatan

Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang digunakan dalam usaha, serta besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha. Keuntungan usaha diperoleh dari selisih antara total penerimaan (total revenue) dan total biaya (total cost). Apabila penerimaan total lebih besar dibandingkan dengan biaya total maka usaha tersebut dikatakan untung, jika sebaliknya usaha tersebut dikatakan merugi (Djamin 1984 dikutip Lee Won Jae 2010). Adapun formula yang digunakan untuk menghitung keuntungan usaha adalah :

Keterangan : µ = Keuntungan (rupiah) TR = Total Penerimaan (rupiah) TC = Total Biaya (rupiah)

2.1.6 Sikap

Merujuk kepada Thurstone, Rokeach, Baron & Byrne, Myres, dan Gerungan seperti dikutip Walgito (2003), sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu:

(38)

1. Komponen kognitif (komponen perseptual)

Yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.

2. Komponen afektif (komponen emosional)

Yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.

3. Komponen konatif (komponen perilaku)

Yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

2.2 Kerangka Pemikiran

Konservasi adalah salah satu upaya atau tindakan yang ditujukan untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya hayati. Penetapan suatu wilayah untuk menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL) dilandasi dua faktor pendorong. Pertama, adanya kerusakan ekosistem pesisir dan laut seperti kerusakan terumbu karang, erosi pantai, kerusakan ekosistem mangrove, dan lain-lain. Menurunnya keanekaragaman hayati pesisir dan laut dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya di masa depan sehingga dibutuhkan upaya untuk menetapkan kawasan konservasi guna melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001). Faktor kedua yang menjadi pendorong penetapan DPL adalah sumberdaya alam yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia telah diakui, khususnya di daerah Timur Indonesia, oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan kelimpahan sumberdaya tersebut, konservasi diyakini sebagai upaya yang efektif.

Selain tujuan konservasi laut untuk melindungi ekosistem sumberdaya pesisir dan laut, tujuan lainnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir atau nelayan (Agardy dan Barr et al. 1997 dalam Bengen 2001). Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam

(39)

mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini juga dipertegas dalam Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) pasal 3 Tahun 1990 tentang tujuan dari penetapan kawasan konservasi adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun bagaimana kenyataan di lapangan, itulah yang menjadi fokus penelitian ini khususnya dampak penetapan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan sebagai pihak yang telah turun temurun bergantung pada sumberdaya tersebut.

Nelayan sebagai bagian dari Daerah Perlindungan Laut tentu saja memiliki hak-hak untuk memasuki kawasan, mengambil, mengolah, menjaga, dan mendapatkan hasil dari sumberdaya yang ada di dalam DPL. Seperangkat hak nelayan meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right). Hak-hak tersebut telah dimiliki sejak sebelum wilayah pesisir dan laut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana seperangkat hak tersebut setelah ditetapkan DPL, apakah mengalami perubahan atau tidak. Respon masyarakat mengenai keberadaan DPL dan sistem zonasi, dampak bagi seperangkat hak nelayan dan keuntungan yang didapatkan akan menjadi pengukuran bagaimana pengaruh penetapan DPL terhadap seperangkat hak yang dimiliki mereka.

Penetapan DPL tentu saja membentuk sistem zonasi pengelolaan sumberdaya laut dan akan mempengaruhi hak nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Ketika sistem zonasi ditentukan, maka akan terjadi perubahan seperangkat hak tersebut, dan akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan dan pendapatan nelayan. Bagaimanakah respon nelayan terhadap keberadaan DPL dan perubahan sistem zonasi akan menjadi salah satu fokus dari penelitian ini. Secara umum keterkaitan antar variabel-variabel dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut :

(40)

Keterangan : Hubungan Pengaruh Fokus aspek yang dikaji

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

Penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya pesisir

dan laut

Kekayaan sumberdaya pesisir dan laut

Kondisi sosial ekonomi nelayan

Sebelum Sebelum Sesudah Sesudah Kondisi ekonomi Tingkat Pendapatan Nelayan Kondisi Sosial

Seperangkat hak nelayan (bundles Of right) Hak akses (access right) Hak pemanfaatan

(withdrawal right) Hak pengelolaan

(management right)

Hak ekslusi (exclusion right)

Respon nelayan

Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi

Tingkat afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi

Penetapan Daerah Perlindungan Laut

(DPL) Perubahan Zonasi

(41)

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap perubahan seperangkat hak (bundles of right) nelayan.

2. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan.

2.4 Definisi Konseptual

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut yaitu:

1. Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah sebuah areal yang berada di wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan berbagai bentuk kebudayaan, yang telah ditetapkan oleh aturan hukum yang berlaku maupun oleh cara-cara lain yang efektif, dilindungi baik sebagian maupun keseluruhannya.

2. Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat.

3. Pengelolaan kawasan konservasi adalah pengelolaan yang dikelola oleh pemerintah tetapi tidak menutup kemungkinan dikelola oleh masyarakat untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Pengelolaan ini mencakup kegiatan memanfaatkan kawasan atau mengambil sumberdaya dalam DPL secara adil dan lestari.

4. Nelayan adalah penduduk lokal yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di Daerah Perlindungan Laut (DPL).

(42)

5. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right).

2.5 Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu:

1. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right).

a. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan :

Nelayan tidak dapat melintas di lokasi DPL = skor 1= rendah Nelayan dapat melintas di lokasi DPL = skor 2 = tinggi

b. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan:

Nelayan tidak dapat mengambil sumberdaya di DPL = skor 1 = rendah Nelayan dapat mengambil sumberdaya secara bebas = skor 2 = tinggi c. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam

pengelolaan sumberdaya. Hak pengelolaan dapat diukur dari keterlibatan masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring, serta mendapatkan hasil. Pengukuran :

Nelayan tidak terlibat dalam penjagaan DPL dan tidak berhak melarang siapapun untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 1 = rendah Nelayan terlibat dalam penjagaan DPL dan berhak melarang siapapun untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 2 = tinggi

(43)

d. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. Pengukurannya:

Tidak ada = skor 1 Ada = skor 2

2. Respons nelayan adalah tanggapan nelayan atas penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibuat. Pengukurannya melalui aspek kognitif (pengetahuan) dan aspek afektif nelayan akan keberadaan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk.

a. Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL adalah pemahaman nelayan akan keberadaan Daerah Perlindungan Laut dan sistem zonasi. Tingkat pengetahun nelayan dapat diukur dengan pertanyaan :

i) Nelayan tahu pengertian DPL

ii) Nelayan tahu manfaat dan tujuan DPL

iii) Nelayan tahu aturan dan larangan yang dibuat terkait DPL

iv) Nelayan tahu sanksi-sanksi yang diberikan bagi yang melanggar aturan-aturan di DPL

Pengukurannya : Tidak = skor 1 Iya = skor 2

b. Aspek afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi adalah respon nelayan yang berhubungan dengan rasa setuju atau tidak setuju terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk. Tingkat afeksi nelayan terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi dapat diukur dengan pernyataan :

i) Penetapan DPL penting untuk keberlanjutan sumberdaya laut

ii) Penetapan DPL tidak membuat nelayan terbatas untuk masuk keluar kawasan

iii) Penetapan DPL tidak membuat jumlah tangkapan nelayan berkurang iv) Penetapan DPL tidak membuat perubahan sistem zonasi nelayan Pengukurannya: Tidak= skor 1

(44)

Pengukuran tingkat respons nelayan adalah skor total dari aspek kognitif dan aspek afeksi responden :

Skor di bawah skor rata-rata = Respons nelayan negatif terhadap penetapan DPL

Skor di atas skor rata-rata = Respons nelayan positif terhadap penetapan DPL

3. Pendapatan (TI) nelayan adalah total penerimaan nelayan (TR) dari sektor perikanan dikurangi total pengeluaran (TC) untuk menunjang kegiatan perikanan. Ukuran pendapatan ditentukan berdasarkan rata-rata pendapatan responden dari sektor perikanan di tempat penelitian.

Pendapatan < rata-rata pendapatan = skor 1 = rendah Pendapatan > rata-rata pendapatan = skor 2 = tinggi

4. Tingkat penerimaan (TR) nelayan adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan di laut. Skala pengukuran :

Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi

5. Tingkat pengeluaran nelayan adalah jumlah pengeluaran secara keseluruhan untuk kegiatan melaut. Skala pengukuran :

Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi

(45)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat (lampiran satu). Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa (1) lokasi ini merupakan salah satu lokasi yang menjadi kawasan konservasi laut yakni DPL dengan potensi terumbu karang kampung dalam kategori “sedang”, (2) kampung ini merupakan kampung penyuplai iklan terbanyak ke daerah pusat administrasi Raja Ampat yaitu Waisai. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan April 2011. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal dan instrumen penelitian, kolokium, pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Adapun rangkaian kegiatan penelitian tertera pada lampiran tiga.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan metode survai dengan instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data penelitian dari sejumlah sampel dalam sebuah populasi (Singarimbun 2006) terkait pengaruh penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan dan respon masyarakat terhadap keberadaan DPL. Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi atau data kualitatif dari subyek penelitian berdasarkan pengalaman sosial mereka terkait keberadaan DPL. Data deskripif yang berupa kata-kata dari subyek penelitian dikumpukan dan kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif ataupun bagan dan grafik. Data kualitatif yang diperoleh dikumpulkan dengan pengamatan langsung, wawancara mendalam, dan menggunakan dokumen tertulis.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui pengumpulan data secara langsung di lapangan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner

Gambar

Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut
Tabel 1.  Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia  Rezim
Tabel 2.  Status Hak Kepemilikan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penurunan kuantitas dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

adalah menjelaskan mekanisme dan efektivitas minuman kopi instan dalam penurunan kantuk mahasiswa Program Studi Biologi Angkatan 2014 Universitas Surya.. Untuk

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Penyusunan basis data berbasis SIG dalam penentuan zonasi rawan bencana longsor menggunakan data

[r]

Berdasarkan observasi dalam penelitian awal yang tertera pada tabel di atas bahwa aktivitas fisik dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dengan menggunakan metode

Untuk menyelesaikan permasalahan dalam diagram lingkaran atau diagram batang maka hal pertama yang harus dikuasai adalah bagaimana kita bisa membaca data dalam

Penelitian menggunakan desain Studi Komparasi pendekatan cross sectional.Terdiri dari dua kelompok sampel yaitu yang diberikan ASI Eksklusif berjumlah 16 responden dan

14  Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (&gt;1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai

30 Tahun 2010 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, untuk itu judul skripsi ini adalah “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah