• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Sosial Politik Indonesia Era Orde

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Obyek dan Profil Informan

4.1.4 Kondisi Sosial Politik Indonesia Era Orde

Akibat adanya pemberontakan Gerakan 30 September timbullah reaksi dari berbagai Parpol, Ormas, Mahasiswa dan kalangan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 partai politik seperti IPTKI, NU, Partai Kristen Indonesia, dan organisasi massa lainnya melakukan apel kebulatan tekad untuk mengamankan Pancasila dan menuntut pembubaran PKI serta ormas – ormasnya. Pada tanggal 23 Oktober 1965 parpol yang anti komunis membentuk Front Pancasila dan diikuti oleh pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), dan lain – lain. Pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI mencetuskan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yang berbunyi, Bubarkan PKI dan

ormas – ormasnya, bersihkan kabinet dari unsur PKI, dan turunkan

harga – harga.”.

B. Kebijakan Politik Orde Baru

Rezim Orde Baru memiliki kekuasaan penuh mengendalikan kehidupan politik masa itu. Kebijakan politik yang diterapkan dalam masa Orde Baru dapat dilihat dari awal lahirnya Orde Baru.

Pemberangusan hak – hak berpolitik bagi eks anggota PKI dan keluarganya, merupakan salah satu kebijakan yang mengundang kontroversi dari masyarakat. Pemerintah Orde Baru memberikan kesempatan politik hanya kepada golongan tertentu saja. Menjelang dilaksanakannya pemilu pada tahun 1997, jumlah partai yang menjadi peserta, tidak sebanyak partai politik di tahun 1955. Dari hasil pemilu tersebut para wakil – wakil partai menduduki 360 kursi ditambah 100 kursi lagi yang anggota – anggotanya diangkat oleh Presiden sehingga anggota DPR berjumlah 460 orang. Dari susunan kursi DPR yang semacam ini maka DPR selalu mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Untuk pemiliu – pemilu selanjutnya.

C. Menguatnya Peran Negara dan Dampaknya

Pemegang pemerintahan di Orde Baru adalah kalangan militer. Kekuasaan sentralistik yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru menunjukkan berbagai akibatnya di akhir pemerintahan Orde Baru. Kekuasaan militer hampir di seluruh bidang pembangunan. Pada akhir tahu 90-an dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan seiring dengan era reformasi terbuka kesempatan bagi rakyat untuk menentang kekuasaan yang otoriter itu. Operasi militer mengerikan yang selama 10 tahun tertutup rapat dari pengetahuan publikpun terbongkar. Presiden Soeharto dan rezimnya menyadari bahwa, kemenangan mereka dapat tercapai antara lain berkat dukungan

tokoh – tokoh Islam termasuk ormas – ormasnya simpatisan masyumi. Tetapi ketika muncul tuntutan dari tokoh – tokoh masyumi yang baru bebas dari tahanan rezim Orde Lama, untuk merehabilitasi partainya, Soeharto tegas menolak dengan alasan ”yuridis, ketatanegaraan, dan psikologi “. Bahkan Soeharto dengan nada yang agak marah, mengaskan, Ia menolak setiap keagamaan dan akan menindak setiap usaha eksploitasi masalah agama untuk maksud-maksud kegiatan politik yang tidak pada tempatnya. Dalam kata lain, pemerintahan Orde Baru yang didominasi militer tidak menyukai kebangkitan politik islam.

D. Kondisi Sosial Politik Indonesia Tahun 1989

Penghujung 1980-an adalah saat rezim Orde Baru dibawah Presiden Soeharto mencapai puncak kekuatannya. Pemerintah Soeharto menjadikan ekonomi sebagai panglima dan seluruh elemen masyarakat dimobilisasi dibawah panji ”pembangunan” (development). Konsep utama pembangunan seharusnya adalah perbaikan mutu kehidupan rakyat. Dalam pembangunan, seharusnya tercakup unsur perubahan yang berdimensi sosial kultural dan ekonomi, serta bersifat kualitatif dan kuantitatif. Namun, seperti dibanyak negara berkembang lain, pembangunan di Indonesia telah direduksi makna-nya menjadi pertumbuhan ekonomi (economic

pertumbuhan pendapatan setiap orang didaerah yang secara ekonomis terbelakang.

Harus diakui, pembangunan ekonomi yang substansial memang pernah berjalan di Indonesia. Pada tahun 1966, pendapatan perkapita tahunan di Indonesia sekitar US$ 75. Ekonomi ini terus tumbuh lewat utang luar negeri dan sumbangan sektor migas. Pertumbuhan ekonomi riil selama tahun 1980-an dan 1990-an hampir selalu berkisar antara 6 sampai 7 persen per tahun. Inflasi rata – rata masih dapat ditekan dibawah level 10 persen. Berbagai hasil ini mendorong Bank Dunia untuk menjadikan Indonesia sebagai contoh ”model sukses” pembangunan. Indonesia diajukan sebagai tolak ukur kinerja negara – negara berkembang lain dalam Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 1990, yang disusun oleh Bank Dunia.

Namun, ada harga yang harus dibayar dari kesuksesan ekonomi itu. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah memerlukan kestabilan politik di dalam negeri. Selanjutnya, dengan dalih perlunya stabilitas politik ini, pemerintah bersikap represif dan memberlakukan sejumlah aturan otoriter. Pers dan media massa dikontrol ketat. Media yang kritis di breidel dan dilarang terbit. Jumlah partai politik dibatasi, dan mereka tidak boleh masuk ke desa –desa. Sementara pegawai negeri dan anggota

keluarga ABRI dipaksa memilih Golkar, partainya penguasa. Lewat para pejabat, Golkar justru leluasa masuk ke desa – desa.

Tokoh – tokoh oposisi yang kritis dipenjarakan atau disingkirkan. Sedangkan, kebebasan berekspresi di bidang seni juga ditindas, khususnya kalangan seniman yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim. Jika diperlukan, pemerintah juga tidak segan – segan menggunakan cara represif demi menjaga ketertiban masyarakat dan melancarkan jalannya roda pembangunan. Karena yang dinomor satukan adalah pertumbuhan ekonomi, sementara distribusi ekonomi atau pemerataan kesejahteraan tidak menjadi prioritas, maka terjadilah kesenjangan antara kelompok elite atau mereka yang diuntungkan oleh pembangunan dan rakyat banyak yang tertinggal atau ditinggalkan dalam proses pembangunan.

Ada sejumlah konglomerat, pengusaha, birokrat, dan pejabat yang menikmati kue pembangunan. Sebaliknya, banyak rakyat kecil yang hidupnya tertekan. Teori bahwa kemakmuran dikalangan atas pada akhirnya akan mengalir ke bawah (trickle – down – effect) dan

dinikmati kalangan bawah, ternyata tidak terbukti. Presiden yang menjabat pada masa Orde Baru saat itu pun diduga memiliki kekayaan miliaran dollar pada tahun 1989. Keakuratan angka ini mungkin bisa diperdebatkan, tetapi fakta bahwa Presiden beserta keluarga dan kroni – kroninya telah menumpuk kekayaan dengan

memanfaatkan kekuasaan, tampaknya disepakati oleh banyak pengamat.

Strategi politik dan ekonomi Presiden kita saat Orde Baru telah ditanamkan di I‟ndonesia sejak akhir tahun 1960-an. Sayangnya, sistem politik Indonesia yang otoriter menyulitkan berjalannya pengawasan yang efektif terhadap pihak – pihak yang ingin menggunakan kekayaan negara untuk keuntungan pribadi.

Kesenjangan semacam inilah yang dilihat Iwan Fals dalam interaksinya sebagai seniman dengan masyarakat sehari – hari. Gambaran suram dan memprihatinkan inilah yang memberi inspirasi pada karya – karya Iwan Fals yang bercorak kritik sosial. Pihak yang kaya dan berkuasa dengan ambisi dan kenikmatan hidupnya sendiri, sementara rakyat kecil yang seharusnya disejahterakan ternyata nasibnya malah diabaikan.

Dokumen terkait