• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.9. Kondisi Tanah

Berdasarkan pada peta jenis tanah yang ada, diketahui bahwa kawasan Gunung Baung tersusun atas dua jenis tanah yang berbeda. Bagian timur kawasan termasuk ke dalam jenis tanah Latosol coklat kemerahan, dan bagian Barat termasuk ke dalam jenis tanah Mediteran kemerahan dengan kedalaman tanah berkisar antara 60-90 cm. (BKSDA Jawa Timur 2011).

Tanah latosol termasuk ke dalam kelompok tanah vulkanik yang terbentuk dari pelapukan dari abu vulkanik. Tanah latosol memiliki ciri antara lain mengandung kadar liat > 60%, remah sampai gumpal, gembur dengan warna yang seragam, memiliki solum yang dalam namun dengan batas horizon tanah yang tidak jelas, serta memiliki nilai kejenuhan basa < 50%. Umumnya tanah latosol adalah tanah subur sehingga cocok untuk kegiatan pertanian intensif.

Tanah mediteran termasuk ke dalam kelompok tanah kapur yang terbentuk dari pelapukan batu kapur dan batuan sedimen. Umumnya tanah ini bersifat tidak

67

subur. Tanah mediteran memiliki karakter yang serupa dengan tanah podsolik, yaitu memiliki horizon penimbunan liat (horizon argilik) dengan nilai kejenuhan basa > 50% (Hardjowigeno 2010).

Keberadaan Syzygium di TWA Gunung Baung ternyata tidak dipengaruhi oleh jenis tanah yang ada. Syzygium dijumpai tumbuh pada lokasi dengan kedua jenis tanah baik latosol maupun mediteran. Meskipun demikian, dari 5 lokasi blok pengamatan ternyata Syzygium lebih banyak dijumpai pada blok yang terdapat di lokasi dengan jenis tanah latosol (blok 1 dan blok 2). Total individu Syzygium yang tercatat di kedua blok tersebut sebanyak 223 individu. Sedangkan pada 3 blok lainnya (Blok 3, 4 dan 5) yang terletak pada lokasi dengan jenis tanah mediteran jumlah total individu Syzygium yang tercatat sebanyak 111 individu.

Dengan hasil ini dapat diduga bahwa Syzygium lebih banyak dijumpai pada lokasi-lokasi yang memiliki kesuburan tanah yang baik. Berdasarkan jenis tanahnya, maka keberadaan Syzygium di TWA Gunung Baung lebih banyak dijumpai pada lokasi dengan jenis tanah latosol dari pada lokasi yang memiliki jenis tanah mediteran.

Sifat kimia tanah pada setiap lokasi blok pengamatan umumnya relatif sama (Gambar 24). Nilai kandungan bahan organik serta kandungan liat yang terlihat berbeda di antara keduanya. Kandungan bahan organik lapisan tanah atas lebih tinggi (1,49%) dibandingkan lapisan tanah bawah (0,69%). Kandungan liat pada lapisan tanah bawah lebih tinggi (50,00%) dibandingkan lapisan tanah atas (36,40%).

Tekstur tanah bervariasi dari lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, lempung berliat, lempung liat berdebu, liat berdebu, dan liat (berurut dari tekstur kasar ke tekstur halus). Tekstur tanah menunjukkan tingkat kasar atau halusnya tanah dari fraksi tanah halus (< 2 mm). Dari sampel yang diambil yang paling banyak dijumpai adalah tanah dengan tekstur liat (7 sampel dari 19 sampel yang dianalisis).

Gambar 24 Kondisi kimia tanah pada tiap blok pengamatan di TWA Gunung Baung

Tanah dengan tekstur liat memiliki luas penampang permukaan yang lebih besar sehingga memiliki kemampuan untuk menahan air dan menyediakan unsur hara yang lebih baik dibandingkan dengan tanah yang bertekstur pasir. Kemampuan ini dikarenakan sifatnya yang lebih aktif dalam reaksi kimia. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tukar kationnya. Tanah bertekstur liat umumnya memiliki nilai KTK (kapasitas tukar kation) yang tinggi. Kemampuan KTK dari sampel tanah yang diambil juga menunjukkan kategori yang sedang – sangat tinggi dengan nilai KTK 18,59 – 51,13 (Hardjowigeno 2010). Berdasarkan sifat ini maka tanah di lokasi penelitian memiliki kemampuan yang baik dalam pengikatan air serta penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan vegetasi yang ada.

Nilai pH tanah hasil pengukuran di lapangan berkisar antara 4,2 sampai dengan 7,1. Nilai rata-ratanya berkisar antara 5,3 – 6,2. Sifat pH tanah secara umum masuk dalam kategori masam-agak masam. Hardjowigeno (2010) mengemukakan bahwa umumnya tanah di Indonesia bereaksi masam dengan pH 4,0 - 5,5 untuk itu tanah dengan pH 6,0-6,5 sudah dikatakan cukup netral.

Beberapa nilai kandungan kimia tanah yang dianalisis dibandingkan dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (2010). Persentase kandungan C dan N termasuk ke dalam kategori rendah sampai dengan sedang. Nilai C/N termasuk ke dalam kategori rendah (rata-rata 7,47). Hal ini mengindikasikan bahwa tanah mengandung bahan organik halus. Bahan organik halus tersusun atas hancuran

69

bahan organik kasar serta senyawa lainnya yang terbentuk akibat kegiatan mikroorganisme tanah. Bahan organik halus sering pula disebut dengan humus. Humus merupakan senyawa yang tidak mudah hancur serta memiliki kemampuan untuk menahan air dan unsur hara. Humus termasuk ke dalam koloid organik tanah. Koloid tanah adalah bahan mineral dan bahan organik tanah yang sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi per satuan beratnya.

Sifat koloid tanah akan berkaitan dengan kemampuan tukar kationnya. Humus memiliki KTK yang tinggi jika dibandingkan dengan mineral liat. Hasil analisis tanah yang dilakukan menujukan bahwa nilai KTK umumnya tinggi (rata- rata 32,14 me/100g). Tanah dengan KTK yang tinggi dapat mengindikasikan kesuburan tanah yang baik apabila didominasi oleh kation basa berupa Ca, Mg, K, dan Na, atau dengan kata lain memiliki sifat kejenuhan basa yang tinggi. Nilai rata-rata tingkat kejenuhan basa (KB) di lokasi penelitian sebesar 42,26% (termasuk ke dalam kategori sedang).

Kandungan K termasuk dalam kategori tinggi, dengan nilai rata-rata sebesar 0,88. Rata-rata kandungan P sebesar 0,81, tergolong ke dalam kriteria sangat rendah. Kategori kandungan Na, Ca dan Mg rata-rata masuk dalam kategori sedang sampai sangat tinggi. Kandungan K,Ca, Na dan Mg menunjukkan nilai yang tinggi.

Berdasarkan pada kondisi tanah di lokasi penelitian, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman cukup baik. Hal ini dapat tergambar dari sifat tekstur tanah, nilai KTK, kejenuhan basa, dan kandungan hara makro lainnya. Lokasi Blok 2, 3 dan 5 sebagai lokasi yang paling banyak dijumpai spesies Syzygium menunjukan nilai sifat kimia dan fisik tanah yang serupa dengan blok 1 dan 4. Data lengkap mengenai hasil analisis sifat kimia tanah ditampilkan dalam lampiran.

Nilai C/N rasio dan KTK dapat menjadi indikasi kesuburan tanah. Nilai C/N rasio pada semua lokasi blok pengamatan menunjukkan nilai yang rendah. Sedangkan nilai KTK-nya menunjukan hasil yang tinggi pada semua lokasi blok pengamatan. Kedua nilai ini mengindikasikan bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan hara bagi tanaman cukup baik di semua lokasi. Jika dikaitkan

dengan populasi Syzygium pada setiap lokasi blok pengamatan, maka kedua parameter kondisi tanah ini tidak berpengaruh. Blok 1, dimana dijumpai individu Syzygium terbanyak (125 individu) memiliki nilai rata-rata C/N sebesar 5,25 (kategori rendah) dan nilai KTK sebesar 27,74 (kategori tinggi). Blok 4, sebagai lokasi yang paling sedikit dijumpai Syzygium memiliki nilai rata-rata C/N sebesar 7,33 (kategori rendah) dan nilai KTK sebesar 31,03 (kategori tinggi).

Keberadaan spesies Syzygium dapat pula tumbuh pada lokasi dengan ketersediaan unsur hara yang miskin. Salah satunya adalah hutan kerangas. Kissinger (2002) mengemukakan bahwa salah satu spesies yang kehadirannya cukup penting dalam ekosisten kawasan hutan kerangas di Kabupaten Barito Urata, Kalimantan Tengah adalah spesies Eugenia inophylla. Spesies ini memiliki sinonim Syzygium inophyllum. Hal ini berdasarkan pada nilai Indeks Nilai Pentingnya yang termasuk ke dalam lima tertinggi pada tingkatan semai, tiang dan pohon.

Hasil analisis tanah menunjukkan secara umum kandungan Fe dalam tanah di lokasi penelitian termasuk dalam kondisi yang normal pada kisaran 2-150 mg kg-1 (Purwadi 2011). Rata-rata kandungan Fe tertinggi (90,60 mg kg-1) dijumpai pada lokasi blok 4, dimana pada lokasi tersebut paling sedikit dijumpai Syzygium. Sedangkan pada blok 1, dimana dijumpai Syzygium terbanyak, nilai rata-ratanya sebesar 75,81 mg kg-1. Kandungan Fe yang tinggi dalam tanah dapat menjadi racun bagi beberapa spesies tumbuhan (Hardjowigeno 2010). Hanya spesies yang mampu beradaptasi saja yang dapat tumbuh pada kondisi tanah semacam ini. Kandungan Fe berkaitan dengan pH tanah. Dibandingkan dengan lokasi lainnya, Blok 4 memiliki nilai rata-rata pH yang paling rendah (pH 5,07) dan bersifat masam. Tanah dengan sifat masam umumnya mengandung unsur Fe yang tinggi. Kemungkinan sifat tanah yang masam serta kandungan Fe yang tinggi yang mengakibatkan Syzygium secara umum tidak dijumpai di lokasi pengamatan blok 4.

Dokumen terkait