• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2.1. Kondisi umum faktor oseanografi perairan Pulau Panjang

Pengukuran beberapa parameter oseanografi perairan dimaksudkan untuk melihat kualitas perairan sebagai habitat terumbu karang. Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan menunjukkan bahwa suhu, salinitas, kecepatan arus dan kecerahan dalam kondisi normal, sedangkan nilai rerata laju sedimentasinya sangat tinggi, yaitu : 39,58 g/m2/hari. Tingginya nilai laju sedimentasi ini disebabkan waktu peletakan sediment trap dilakukan pada waktu musim barat hampir mencapai puncaknya. Sehingga sedimen yang tertampung di

sediment trap berasal dari substrat dasar perairan yang teraduk oleh arus atau

gelombang.

Suhu rerata permukaan perairan adalah 29,5oC, menurut Coles et al. (1976), menyatakan bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan karang adalah 25

-ST. 1 ST. 5 ST. 6 ST. 3 ST. 4 ST. 7 ST. 2

29oC, terutama untuk karang di daerah dangkal yang mempunyai potensi peningkatan suhu yang dapat menyebabkan kematian dari karang. Menurut Suryono dan Irwani (1999) perairan Jepara telah mengalami peningkatan suhu lebih kurang 1 - 2oC yang mengakibatkan koral di kedua tempat penelititan yaitu Pulau Panjang dan Bandengan mengalami bleaching 15% dan 30,5%. Kenaikan 0,5oC dari suhu optimal maka pertumbuhan terumbu karang masih dapat dikatakan normal, karena terumbu karang dapat mentolerasi suhu sampai kisaran 16 - 40oC (Nybakken, 1988).

Kecepatan arus dan kecerahan masih dalam kondisi normal. Pada Stasiun Pengamatan 5 dan 6 kondisi perairan sangat keruh hampir sepanjang hari, dikarenakan kedua stasiun tersebut terletak dibagian utara pulau, yang berhadapan langsung dengan lautan bebas, sehingga kemungkinan teraduknya sedimen dasar perairan sepanjang hari sangatlah besar.

Adanya arus sangat penting bagi kehidupan karang, karena dengan adanya arus maka jasad renik dan O2 akan tersedia bagi karang. Dengan adanya arus pula, sirkulasi nutrien terutama Pospor dan Nitrogen yang mengontrol aktivitas fotosintesis dan produksi primer akan berjalan normal. Perputaran nutrien anorganik sangat diperlukan untuk proses metabolis biota simbion binatang-tumbuhan, seperti karang, sponge, moluska, coraline alga dan sebagainya (Tomascik et al., 1997). Salinitas pada ketujuh Stasiun Pengamatan adalah bekisar antara 30 - 31o/oo. Menurut Veron (1986), karang hermatipik tidak dapat bertahan pada salinitas yang terlalu menyimpang dari salinitas air laut yang normal, yaitu 32 - 35o/oo.

4.2.2. Komposisi dan tutupan karang keras di Pulau Panjang

Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Panjang menurut klasifikasi Gomez dan Yap (1988) dalam Edinger dan Risk (2000) termasuk ke dalam kondisi jelek, dengan persentase penutupan karang rata-rata sebesar 19,08%. Pengamatan dari ke-7 stasiun pengamatan menunjukkan bahwa, hanya satu stasiun pengamatan yang mempunyai kondisi penutupan karang dengan kategori sedang (38,75%) (Stasiun Pengamatan 1). Enam stasiun pengamatan yang lain mempunyai penutupan terumbu karang dengan kondisi yang jelek.

Hasil persentase penutupan karang pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Haryono (2001), dengan menggunakan transek garis 10 m yang diletakkan sejajar garis pantai, mulai ditemukan karang hingga puncak terumbu, menunjukkan persentase penutupan karang rata-rata sebesar 49,46% atau dengan kategori sedang. Perbedaan ini disebabkan perbedaan jumlah total panjang transek, jumlah stasiun pengamatan dan perbedaan lokasi. Total transek garis pada penelitian sebelumnya adalah 610 m, sedangkan pada penelitian ini adalah 1860 m. Akan tetapi bukanlah perbedaan yang dipermasalahkan namun dari penelitian-penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa kondisi terumbu karang di perairan Pulau Panjang pada umumnya dalam kondisi jelek-sedang, dan hingga saat ini mempunyai kecenderungan terus mengalami degradasi.

Penurunan persentase penutupan karang di perairan Pulau Panjang ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu manusia dan alam. Kerusakan yang

disebabkan oleh faktor manusia adalah adanya kegiatan wisata bahari di pulau ini, yang membawa dampak negatif bagi terumbu karang. Kegiatan pengambilan karang keras untuk cinderamata dan hiasan akuarium masih marak dilakukan oleh wisatawan, juga kegiatan pencarian ikan dan moluska pada saat air surut terendah (meting) banyak dilakukan oleh nelayan atau penduduk setempat, sehingga banyak karang mengalami fraktasi (patah) karena terinjak-injak.

Sedangkan faktor dari alam yang membatasi terumbu karang menurut Veron (1986) adalah : cahaya, kedalaman, gelombang, sedimentasi, salinitas, kisaran pasang surut, nutrien, suhu dan substrat. Setiadi dan Edward (1995) menyatakan bahwa kecilnya persentase penutupan karang tidak lepas dari pengaruh faktor oseanografi perairan pantai. Kondisi oseanografi perairan pantai dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari darat, perairan bebas dan iklim global. Sedangkan Salm (1984) menambahkan, suhu, salinitas, sirkulasi air, nutrien turbulesi dan kekeruhan adalah faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, pembentukan, dan bentuk terumbu.

Laju sedimentasi yang sangat tinggi di perairan Pulau Panjang yakni, berkisar antara 27,28 – 45,7 g/m2/hari (pengambilan data pada akhir Desember 2002 - akhir Februari 2003), akan mengganggu pertumbuhan karang. Tingginya nilai sedimentasi akan terlihat secara nyata ketika musim barat tiba (Desember-Mei), dimana perairan akan sangat keruh dan berwarna coklat. Pengaruh sedimen terhadap karang keras (hermatipik) dapat secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sedimen dapat mematikan karang apabila kecepatan sedimentasi melebihi kemampuan karang untuk membersihkan diri dari sedimen, sehingga

permukaan tubuh karang termasuk polip karang tertutup sedimen. Tertutupnya polip oleh sedimen akan mengganggu proses penangkapan makanan (Suharsono, 1998). Pengaruh tidak langsung yang ditimbulkan, yaitu mengurangi penetrasi cahaya matahari, sehingga proses fotosintesis akan terganggu dan banyak energi yang dialokasikan karang untuk membersihkan sedimen (Pastorok dan Billyard, 1985 dalam Supriharyono, 2000).

Faktor pembatas lain yang mungkin berpengaruh langsung adalah adanya pasang-surut, dimana rentang pasut di Pulau Panjang adalah 44 - 182 cm (Lampiran 6). Pada daerah back-reef hingga reef-flat pada waktu surut terendah akan terdedah dengan udara terbuka. Apabila surut terendah terjadi pada siang hari saat matahari terik maka suhu perairan akan naik dan apabila surut terendah diikuti dengan hujan yang lebat dapat menyebabkan penurunan salinitas secara drastis, sehingga akan mematikan karang karena polip karang kehilangan alga simbiotik (zooxanthella) (Suharsono, 1998).

4.2.3. Indeks keanekarangaman, keseragaman, dan dominansi karang keras di P. Panjang

Nilai rata-rata indeks keanekarangaman (H’) di Pulau Panjang, adalah 3,28 dengan kisaran 2,4 - 4, termasuk dalam kondisi sedang dengan nilai tekanan ekologi sedang. Semakin banyak spesies pada suatu komunitas maka keanekarangamannya semakin besar pula (Odum, 1993). Pada daerah reef-flat hanya sedikit ditemukan jenis karang apabila dibandingka dengan zona reef crest

dan reef slope. Hal ini disebabkan pada zona reef flat mempunyai kondisi lingkungan yang tidak menentu, ketika terjadi pasang terendah volume air sangatlah sedikit bahkan banyak karang keras yang terdedah udara. Salinitas yang naik tajam selama pasang terendah dimungkinkan juga turut membatasi jenis karang keras yang dapat tumbuh zona ini. Kurangnya arus dan ombak yang menyuplai nutrien juga merupakan faktor penghambat pertumbuhan karang keras di zona reef flat. Mudjiono (1995) menyatakan bahwa pada daerah rataan terumbu (reef flat) yang tersedia cukup makanan (nutrien) umumnya mempunyai nilai keanekarangaman tinggi.

Nilai indeks keseragaman (E) karang hermatipik mendekati 1 yaitu 0,71. Berarti jumlah setiap jenis karang di perairan Pulau Panjang tidak jauh berbeda tidak ada dominasi dan tekanan terhadap ekosistem. Nilai indeks dominansi (C) karang hermatipik berkisar 0,003–0,022, berarti komposisi jenis di perairan Pulau Panjang tidak ada spesies dominan, komunitas stabil. Dari 44 jenis karang keras yang ditemukan di perairan Pulau Panjang, tidak semua jenis karang keras berada di stasiun pengamatan yang sama.

4.2.4. Zonasi dan distribusi karang keras di Pulau Panjang, Jepara

Bentukan zonasi terumbu karang yang terjadi di perairan Pulau Panjang merupakan representasi dari geomorfologi dan ekologi dari lingkungan. Seperti pada daerah back-reef dan reef flat, dimana di kedua daerah ini, bentuk pertumbuhan karang sangat dipengaruhi oleh subaerial exposure, yaitu bila air surut sekali banyak terumbu karang yang muncul di permukaan air. Tanda spesifik subaerial exposure adalah karang yang berbentuk mikro atol (Suprapto,

2002). Mikro atol di hasilkan oleh lebih setengah lusin genus karang dengan berbagai bentuk pertumbuhan yang menciptakan suatu ekosistem yang kaya dan habitat yang bervariasi dari terumbu karang (Sumich, 1992).

Secara umum bentuk karang yang berada di ke-2 zona ini adalah karang bercabang seperti jenis Acropora aspera (ACB), hingga karang dengan bentuk

massive, seperti Favites abdita, Favia speciosa, dan Porites lutea. Genus porites

dan Favites yang berukuran kecil-kacil (kurang 10 cm) dengan jumlah yang sangat melimpah di daerah ini. Loya (1972) menyatakan jumlah karang akan berkurang secara signifikan dengan kedalaman air, dan rata-rata ukuran spesies koloni karang di daerah reef flat lebih kecil bila dibandingkan dengan daerah reef

crest. Hal ini diduga karang yang berada di daerah yang lebih dangkal akan

mengalami kematian secara alami ketika mencapai ukuran tertentu, dikarenakan keadaan lingkungan yang tidak menentu.

Energi gelombang adalah faktor lingkungan yang mencirikan daerah puncak terumbu (zona reef crest) hingga zona reef slope. Sifat karang pada daerah ini biasanya bersifat memonopoli ruangan, dengan bentuk pertumbuhan bercabang dan tabulate (Tomascik et al., 1997). Karang dari genus porites dengan berbagai bentuk pertumbuhan banyak ditemukan disini, seperti Porites cylindrica (CB), P.

lutea (CM) dan P. rus (CE). Menurut Mapstone (1990) Porites dengan ukuran

koloni besar banyak terdapat di zona ini. Jenis karang yang bersifat soliter dan bertentakel banyak terdapat di reef slope, seperti Symphyllia recta, Goniopora

lobata, Pectinia paeonia, Podabacia crustacea dan Galaxea fascicularis.

dengan substrat dasar perairan, memaksa jenis-jenis karang yang berbentuk

massive mempunyai cara tersendiri untuk membersihkan sedimen dari permukaan

tubuhnya. Bersimbiosis dengan jenis cacing pipa (tube worm) atau dengan menggerak-gerakkan tentakel sesering mungkin di seluruh permukaan tubuh adalah cara yang sering dilakukan oleh karang massive. Marshall dan Orr, (1931); dan Yonge (1935) dalam Loya (1972) menyatakan Platygira lamellina, yang berbentuk massive membersihkan polipnya dengan mukus dan silia (tentakel) serta memperbesar ukuran polipnya.

Zona fore-reef slope adalah zona setelah reef slope yang tidak terlalu miring, bahkan relatif mendatar. Substrat dasar di zona ini kebanyakan lumpur berpasir, sehingga banyak jenis karang jamur hidup di daerah ini. Polyphyllia

talpina dan Podabacia crustacea adalah contoh jenis karang yang berada di zona front-reef slope.

Dokumen terkait