• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBARAN SPASIAL KARANG KERAS (SCLERACTINIA) DI PERAIRAN PULAU PANJANG, JEPARA S K R I P S I. Oleh : OKTIYAS MUZAKY LUTHFI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEBARAN SPASIAL KARANG KERAS (SCLERACTINIA) DI PERAIRAN PULAU PANJANG, JEPARA S K R I P S I. Oleh : OKTIYAS MUZAKY LUTHFI"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Oleh :

OKTIYAS MUZAKY LUTHFI

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2003

(2)

ii SKRIPSI

Oleh :

OKTIYAS MUZAKY LUTHFI K2D 098 235

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat Sarjana S1 Pada Progam Studi Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan

Universitas Diponegoro

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2003

(3)

iii

di Perairan Pulau Panjang, Jepara

Nama : Oktiyas Muzaky Luthfi

NIM : K2D098235

Jurusan/Program Studi : Ilmu Kelautan/ Ilmu Kelautan

Mengesahkan :

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Munasik, M.Sc Ir. Chrisna Adhi Suryono, M.Phill

NIP. 132 046 689 NIP. 131 958 814

Dekan Fakultas Perikanan Ketua Jurusan

dan Ilmu Kelautan Ilmu Kelautan

Universitas Diponegoro

Prof. Dr. Ir. Johannes Hutabarat, M. Sc Ir. Agus Indardjo, M.Phill

(4)

iv

di Perairan Pulau Panjang, Jepara

Nama : Oktiyas Muzaky Luthfi

NIM : K2D098235

Jurusan/Program Studi : Ilmu Kelautan/ Ilmu Kelautan

Skripsi ini telah disidangkan dihadapan Tim Penguji pada tanggal 24 Desember 2003

Mengesahkan :

Ketua Penguji Anggota Penguji

Ir. Munasik, M.Sc Ir. Chrisna Adhi Suryono, M.Phill

NIP. 132 046 689 NIP. 131 958 814

Anggota Penguji

Ir. Dwi Haryo Ismunarti, M.Si NIP. 131 993 342

Anggota Penguji

Ir. R. Ario, M.Sc NIP. 131 675 260

Anggota Penguji

Ir. Agus Indardjo, M.Phill NIP. 131 675 940

Panitia Ujian Akhir Ketua

Dr. Agus Sabdono, M.Sc NIP. 131 471 174

(5)

v

diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata satu (S1) dari Universitas Diponegora maupun perguruan tinggi lain.

Semua informasi yang dimuat dalam karya ilmiah ini yang berasal dari penulis lain baik yang dipublikasikan atau tidak telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar dan semua isi dari karya ilmiah / skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.

Semarang, Desember 2003 Penulis,

Oktiyas Muzaky Luthfi K2D 098 235

(6)
(7)

vii Suryono)

Pulau Panjang yang terletak di sebelah Barat Kabupaten Jepara merupakan salah satu pulau kecil yang memiliki karang yang cukup bagus. Salah satu pembentuk terumbu karang yang utama di Pulau ini adalah karang keras (scleractinia). Pulau Panjang merupakan zona pemanfaatan yang sangat bagus, dikarenakan pulau ini merupakan salah satu tujuan wisata bahari di Jepara, serta sebagai laboratorium alam yang dimanfaatkan banyak pihak sebagai tempat penelitian, sehingga terumbu karang di perairan Pulau Panjang berada dalam ancaman tekanan dan kerusakan, meskipun alam juga dapat berperan menimbulkan ancaman yang sama pula.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran spasial karang keras berdasarkan karakteristik lingkungan dan struktur komunitas karang keras di perairan Pulau Panjang, Jepara.

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari - Juni 2003 di perairan Pulau Panjang, Jepara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survey/deskriptif. Materi penelitian adalah karang keras yang diidentifikasi sampai tingkat jenis. Pengumpulan data menggunakan transek garis 10, dengan jarak antar transek adalah 5 meter, serta diletakkan sejajar garis pantai, mengikuti kontur dasar perairan, dan dimulai dari pertama kali karang keras ditemukan sampai kedalaman tidak ditemukan karang. Posisi geografis penelitian ditentukan dengan GPS.

Total luas Pulau Panjang adalah 19,73 ha, dengan luas daerah terumbu karang sebesar 31,2 ha dimana 23,8 ha berupa karang hidup, dan 7,4 ha berupa karang mati. Karang keras di Pulau Panjang tersebar pada zona, back-reef, reef

flat, reef crest, reef slope dan fore-reef slope. Analisa Faktorial Koresponden

memperlihatkan 4 kelompok spasial, Kelompok I (St. 1 dan 7) dicirikan kecerahan dan berarus sedang, berasosiasi dengan Acropora aspera, Porites

cylindrica, Favia pallida, Goniopora stokesi, Pectinia paeonia dan Platygira verweyi. Kelompok II (St. 3) dicirikan dengan adanya sedimentasi, berasosiasi

dengan Porites lutea, Galaxea fascicularis dan Cyphastrea chalcidicum. Kelompok III (St. 2 dan 4) dicirikan arus dan kedalaman, berasosiasi dengan

Hydnophora rigida, Montipora venosa, Podabacia crustacea, Porites lobata dan Acropora minuta. Kelompok IV (St. 5 dan 6 ) dicirikan kecerahan rendah, berarus

dan berombak besar dengan karang penciri Symphyllia recta, Acropora humilis

Favites abdita dan Platygira sinensis. Nilai H’ adalah 3,28; nilai E adalah 0,71

dan nilai C adalah 0.01.

Secara umum, variabel fisik lingkungan yang menentukan sebaran spasial karang adalah, kedalaman, sedimentasi, kecerahan dan arus.

(8)

viii

Panjang Island located in West of Jepara has good coral reef. Primarily hermatypic corals of order Scleractinia build coral reefs in Panjang Island. During the time, this island function as recreation place and as natural laboratory, that exploited by many people. Those activities made coral reefs in the Panjang Island under threat and damage, although natural factor can cause damage too.

Objective of this research are to find out spatial distribution of stony corals based on environmental characteristic and community structure of hermatypic corals at Panjang Island, Jepara.

This research was done in January - June 2003 at Panjang Island, Jepara. This research use survey / descriptive method and the research items are stony coral which identified until species classification. The line transects were run under water with SCUBA apparatus, at seven stations. A total of 186 transects were surveyed at Panjang island. Each transect was 10m long, i.e., 1860m of reef were measured and recorded. The transects were run along depth contours parallel to the shore, started from first time found stony coral until deepness not be found corals, at fixed interval of 5m. Geographical position determined with GPS.

Result shows that total wide of Panjang Island is 19, 73 ha with 31, 2 ha is coral reef area consist of 23, 8 ha life corals, and 7, 4 ha is dead corals. Stony coral habitat in Panjang Island spread over zones, back-reef, reef flat, reef crest, reef slope and fore-reef slope

Analysis with Correspondence Analysis (CA) shows 4 groups of spatial. Group I (St. 1 and 7) are distinguished by visibility and medium speed current, have association with Acropora aspera, Porites cylindrica, Favia pallida,

Goniopora stokesi, Pectinia paeonia and Platygira verweyi. Group II (St. 3) is

distinguished by sedimentation, have association with Porites lutea, Galaxea

fascicularis and Cyphastrea chalcidicum. Group III (St. 2 and 4) are distinguished

by depth and current, have association with Hydnophora rigida, Montipora

venosa, Podabacia crustacea, Porites lobata and Acropora minuta. Group IV (St.

5 and 6) are distinguished by low visibility, rapidly current and big wave, have association with Symphyllia recta, Acropora humilis, Favites abdita and Platygira

sinensis. The average of value coral diversity index (H') is 3, 28; coral evenness

index (E) is 0, 71; and coral dominant index (C) is 0.01.

In generally environmental physical variable those influence spatial distributions of stony coral are: depth, sedimentation, current and visibility.

(9)

ix

laporan skripsi yang berjudul “Sebaran Spasial Karang Keras (Scleractinia) di

Perairan Pulau Panjang, Jepara” ini dengan baik. Pengelompokan spasial

spesies-spesies karang keras yang ada di Pulau Panjang didasarkan atas kesamaan variabel fisik-biologi, seperti kecepatan arus, laju sedimentasi, kecerahan, keragaman dan persen kover dari karang. Hasil pengelompokan ini didukung dengan dibuatnya peta sebaran karang hidup dan karang mati di perairan Pulau Panjang.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ir. Munasik, M.Sc dan Ir. Chrisna A. S, M.Phill, selaku pembimbing I dan II, yang selama ini telah memberi arahan kepada penulis sehingga laporan skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Ir. Dwi Haryo Ismunarti, M.Si, Ir. R. Ario, M.Sc dan Ir. Agus Indardjo, M.Phill selaku penguji.

3. Kedua orang tua beserta adik yang selalu memberikan motivasi dan semangat

4. Rery Siskawan, S. Sos, yang mengharuskan lulus 5. MDC atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan

6. Rahmat Tri A. N, Wahyu Sigit dan Diki Hermansyah, satu tim proyek

‘eksploitasi karang’

Penulis menyadari bahwa laporan ini sangat sederhana dan masih jauh dari sempurna, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua kritik dan saran demi perbaikan tulisan ini. Sebagai akhir kata, mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, Desember 2003

(10)

x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv BAB I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar belakang ... 1 1.2. Pendekatan masalah... 3 1.3. Tujuan penelitian ... 4 1.4. Manfaat penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Terumbu Karang ... 5

2.1.1. Ekosistem Terumbu Karang ... 5

2.1.2. Anatomi Karang ... 6

2.1.3. Biologi Karang ... 7

2.1.4. Ciri-ciri Genus Karang... 8

2.1.5. Faktor-Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang ... 12

2.2. Zonasi Karang ... 15

2.3. Pemetaan Jenis Karang Keras ... 16

BAB III. MATERI DAN METODE... 18

3.1. Waktu dan Tempat.Penelitian ... 18

3.2. Materi Penelitian ... 18

3.3. Metode Penelitian ... 18

3.3.1. Metode Pengambilan Data Karang ... 21

3.3.2. Metode Pengambilan Data Parameter Perairan ... 23

3.3.3. Metode Pemetaan Karang di Perairan Pulau Panjang, Jepara ... 24

3.3.4. Metode Analisa Data ... 24

3.3.4.1. Persentase Penutupan ... 25

3.3.4.2. Indek Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi ... 25

3.3.4.2.1. Indek keanekaragaman ... 25

3.3.4.2.2. Indek keseragaman ... 26

3.3.4.2.3. Indek dominansi ... 27

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Hasil ... 29

(11)

xi

4.1.4. Indek Keanekaragaman, Keseragaman, dan

Dominansi Karang Keras di Pulau Panjang ... 41

4.1.5. Zonasi dan Distribusi Karang Keras di Pulau Panjang, Jepara... 42

4.1.6. Variasi Spasial Karakteristik Fisik-Biologi ... 44

4.1.7. Sebaran Spasial Spesies Karang... 45

4.1.8. Similaritas Antar Stasiun Pengamatan ... 47

4.2. Pembahasan ... 47

4.2.1. Kondisi Umum Faktor Oseanografi Perairan Pulau Panjang... 47

4.2.2. Komposisi dan Tutupan Karang Keras di Pulau Panjang ... 49

4.2.3. Indek Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Karang Keras di Pulau Panjang ... 52

4.2.4. Zonasi Dan Distribusi Karang Keras di Pulau Panjang, Jepara... 53

4.2.5. Sebaran Spasial Spesies Karang Keras Berdasarkan Variabel Fisik-Biologi... 54

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1. Kesimpulan ... 59

5.2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 64

LAMPIRAN... 65

(12)

xii

1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian... 19 2. Kriteria Penilaian Kondisi Terumbu Karang Berdasarkan Prosentase

Penutupan Karang ... 25 3. Nilai Rerata Kondisi Oseanografi Perairan Pulau Panjang, Jepara ... 31 4. Sebaran Koloni Karang Keras pada Stasiun Pengamatan di Perairan

Pulau Panjang... 40 5. Habitat Karang Keras pada Setiap Zona, Back-Reef, Reef Flat, Reef

(13)

xiii

1. Klasifikasi Umum dari Cnidaria ... 13

2. Kenampakan Melintang Secara Umum Pada Karang Tepi yang Memperlihatkan Susunan Geomorfologi/Zona-Zona Ekologinya... 15

3. Peta Lokasi Penelitian ... 20

4. Bagan Alur Penelitian ... 28

5. Peta Sebaran Karang Keras di Perairan Pulau Panjang, Jepara ... 32

6. Profil Vertikal Topografi Dasar Perairan Stasiun Pengamatan 1, Beserta Karang Keras yang Menyebar pada Setiap Transek Pengamatan ... 33

7. Profil Vertikal Topografi Dasar Perairan Stasiun Pengamatan 2, Beserta Karang Keras yang Menyebar pada Setiap Transek Pengamatan ... 34

8. Profil Vertikal Topografi Dasar Perairan Stasiun Pengamatan 3, Beserta Karang Keras yang Menyebar pada Setiap Transek Pengamatan ... 35

9. Profil Vertikal Topografi Dasar Perairan Stasiun Pengamatan 4, Beserta Karang Keras yang Menyebar pada Setiap Transek Pengamatan ... 36

10. Profil Vertikal Topografi Dasar Perairan Stasiun Pengamatan 5, Beserta Karang Keras yang Menyebar pada Setiap Transek Pengamatan ... 37

11. Profil Vertikal Topografi Dasar Perairan Stasiun Pengamatan 6, Beserta Karang Keras yang Menyebar pada Setiap Transek Pengamatan ... 38

12. Profil Vertikal Topografi Dasar Perairan Stasiun Pengamatan 7, Beserta Karang Keras yang Menyebar pada Setiap Transek Pengamatan ... 39

13. Tutupan Karang Keras pada Setiap Stasiun Pengamatan di Perairan Pulau Panjang... 41

(14)

xiv

Perairan di 7 Stasiun Pengamatan ... 45 16. A, B, C Grafik Hasil Analisis Faktorial Koresponden Antara Spesies

Karang Dengan Stasiun... 46 17. Dendogram Pengelompokan Jumlah Spesies Koloni Karang Keras

(15)

xv

pada Perairan Pulau Panjang, Jepara... 64 2. Nilai Rerata Variabel Fisik-Biologi Perairan pada Setiap Stasiun

Penelitian yang Digunakan dalam Analisi Komponen Utama... 65 3. Hasil Analisis Komponen Utama Karakteristik Fisik-Biologi

Perairan ... 66 4. Hasil Analisis Faktorial Koresponden Antara Spesies Karang

dengan Stasiun ... 67 5. Hasil Penghitungan Nilai Indeks pada Setiap Stasiun Pengamatan.. 69 6. Variasi Duduk Tengah dan Tunggang Pasang Surut Harian Bulan

Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, dan Juli 2003 ... 76 7. Keberadaan Jenis Karang Keras yang Ditemukan pada Stasiun

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebaran luasan terumbu karang di Indonesia diperkirakan berkisar 7500 km2atau 750.000 ha, penghitungan luasan ini dengan cara mengasumsikan bahwa 45% dari garis pantai di seluruh Indonesia adalah dibatasi oleh terumbu karang (hanya fringing reef saja) dan diambil rata-rata lebar dari fringing reef adalah 200 m dari garis pantai. Namun sebenarnya banyak pulau-pulau di Indonesia yang mempunyai fringing reef berada beberapa kilometer dari tepi pantai, sebagai contoh Pulau Keramaian yang berada di sebelah timurlaut Laut Jawa mempunyai garis pantai sepanjang 15 km, akan tetapi fringing reef yang ada di pulau tersebut kebanyakan berada pada radius 4 km dari garis pantai pulau. Tentunya masih banyak lagi tipelogi pulau sejenis di Indonesia. Berdasarkan kendala atau kelemahan dari metode pengukuran yang diambil diatas maka Tomascik et al. (1997) membuat suatu metode penghitungan tertentu, sehingga mendapatkan angka pendekatan total luasan terumbu karang di Indonesia adalah 85.700 km2, atau kira-kira luasan ini setara dengan 14% dari luasan terumbu karang dunia.

Terumbu karang merupakan sumberdaya alam hayati yang sangat penting di Indonesia, baik dipandang dari aspek ekonomis maupun ekologis (Suharsono, 1996). Pulau Panjang yang terletak di sebelah Barat Kabupaten Jepara merupakan salah satu pulau kecil yang memiliki karang yang cukup bagus. Karang yang berada di pulau ini bertipe terumbu karang tepi atau fringing reef.

(17)

Keberadaan terumbu karang di pulau ini sangat menguntungkan, karena selain dapat mengurangi laju abrasi maka keberadaan terumbu karang di pulau ini juga berfungsi sebagai tempat tinggal berbagai jenis biota laut, seperti ikan dan biota asosiasi lainnya. Karang keras (scleractinia) adalah salah satu pembentuk terumbu karang yang utama. Scleractinia (Sclera = keras, actinia = sinar) pada umumnya mampu mendeposit kapur (CaCO3) yang berfungsi sebagai kerangka binatang karang. Polip scleractinia mempunyai septa yang mengikuti pola mesentari karang yang mempunyai siklus kelipatan 6 yaitu 6, 12, 24 dst.

Pulau Panjang termasuk pulau kecil yang mempunyai ciri perairan terbuka, sehingga adanya arus dan gelombang akan berpengaruh langsung terhadap masa daratan yang menyusun pulau tersebut. Secara ekologi adanya arus dan gelombang akan mempengaruhi sebaran sedimentasi di perairan tersebut. Adanya pola arus, pola pasang surut, dan sedimentasi diduga sebagai faktor penyebab terjadinya zonasi karang di perairan Pulau Panjang, sehingga karang akan beradaptasi terhadap lingkungannya agar tetap dapat bertahan hidup. Sebaran karang secara umum ada dua yakni secara vertikal dan horisontal, kedua pola sebaran ini dipengaruhi oleh faktor kedalaman.

Sebaran spasial karang keras ini adalah suatu upaya mengelompokkan spesies-spesies karang keras yang ditemui di perairan Pulau Panjang berdasarkan kesamaan-kesamaan variabel fisik-biologi, seperti jenis substrat, arus, topografi dasar perairan, jumlah spesies karang dan persen penutupan karang. Selanjutnya seberapa besar pengaruh variabel fisik terhadap variabel biologi dan terhadap sebaran alamiah karang keras di Pulau Panjang dapat dianalisa dan dijadikan

(18)

bahan dasar program rehabilitasi atau konservasi terumbu karang di perairan tersebut. Langkah awal program rehabilitasi karang adalah pemetaan jenis karang keras dan pencatatan luasan terumbu karang yang ada di perairan Pulau Panjang. Langkah ini akan memudahkan untuk melakukan kontrol kondisi terumbu karang dimasa yang akan datang.

1.2. Pendekatan Masalah

Pulau Panjang selama ini bisa dikatakan sebagai zona pemanfaatan yang sangat bagus, hal ini dikarenakan pulau ini merupakan salah satu pusat tujuan wisata bahari di Jepara, serta sebagai laboratorium alam yang dimanfaatkan banyak pihak sebagai tempat penelitian, sekaligus tempat penyelaman yang cukup bagus. Dampak dari segala aktivitas kegiatan tersebut tentunya akan mengakibatkan terumbu karang di perairan Pulau Panjang berada dalam ancaman tekanan dan kerusakan, meskipun alam juga dapat berperan menimbulkan ancaman yang sama pula.

Sebaran vertikal karang keras di Pulau Panjang sebenarnya mengikuti pola geologi dasar perairan, akibatnya akan timbul zonasi-zonasi pertumbuhan karang keras diperairan tersebut. Daerah perairan terumbu karang secara garis besar pada dua keadaan, yaitu lokasi yang selalu tergenang air (submerged), dan lokasi yang hanya sewaktu-waktu saja tergenang air (intertidal) (Atmadja, 1999).

Berdasarkan pemikiran tersebut perlu diadakan suatu penelitian yang dapat memberikan gambaran sebaran karang keras baik secara vertikal maupun horisontal serta interaksinya dengan variabel lingkungan yang secara fungsional

(19)

saling terkait. Pemetaan sebaran spesies karang keras diperlukan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi keberadaan karang keras diberbagai zona, sehingga penelitian ini difokuskan pada identifikasi jenis atau spesies karang keras, sebaran spasial karang keras dengan karakteristik habitatnya dan stuktur komunitas karang keras di perairan Pulau Panjang, Jepara.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui sebaran spasial karang keras berdasarkan karakteristik lingkungan di perairan Pulau Panjang, Jepara.

2. Mengetahui struktur komunitas karang keras di perairan Pulau Panjang, Jepara.

1.4. Manfaat Penelitian

Keluaran penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keberadaan karang keras di perairan Pulau Panjang, Jepara, berdasar karakteristik lingkungan yang ada di perairan tersebut. Penelitian ini diharapkan akan memberikan gambaran zonasi keberadaan karang keras yang dapat menjadi informasi dasar pembuatan data base dan pembuatan GIS, di Perairan Pulau Panjang, Jepara. Hasil dari GIS diharapkan akan mempermudah pemantauan keadaan terumbu karang oleh para pengambil kebijakan sehingga dapat dijadikan acuan dasar pengambilan kebijakan serta pemanfaatan Pulau Panjang kedepan, dengan terus mengacu pada kemampuan alami yang dimiliki oleh pulau tersebut.

(20)

Tekanan fisik non alami

Terumbu karang Pulau Panjang Karang keras

Tekanan fisik alami

Zonasi Karang Keras di Perairan Jepara

Ukuran koloni karang Bentuk pertumbuhan karang

Kondisi perairan : 1. Kecerahan 2. Kedalaman 3. Sedimen 4. Pasang surut 5. Bentuk topografi dasar perairan Identifikasi karang Analisa data Pengolahan data Kesimpulan

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terumbu Karang

2.1.1. Ekosistem terumbu karang

Layaknya hutan miniatur yang beraneka ragam, terumbu karang adalah sebuah komunitas mikrokosmos yang berbeda-beda, masing-masing terpisah, namun dihubungkan dengan interaksi ekologi oleh jaringan yang komplek. Komunitas ini berbeda karena pada setiap karang dibatasi oleh garis tipis yang masing-masing mempunyai tempat khusus sebagai satu kesatuan yang dapat merubah gradien lingkungan dengan cepat (Veron, 1986).

Kerangka kapur karang berupa endapan padat kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang dari filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporia (Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga mengandung kapur dan organisme-organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (Nybakken, 1992). Terbentuknya terumbu karang merupakan proses yang lambat dan komplek. Proses terbentuknya terumbu karang dimulai dengan penempelan biota penghasil kapur (Sub Filum Cnidaria), pembentuk utama terumbu karang adalah scleractinia atau karang batu kapur, dimana sebagian besar dari karang tersebut mempunyai alga bersel tunggal yang terletak didalam endodermnya. Biota tersebut adalah zooxanthela. (Suharsono, 1996).

Zooxanthelae yang hidup di dalam jaringan polip karang hermatipik

adalah spesies alga bersel tunggal yang melakukan fotosintesis. Karang dan

(22)

zooxanthela bersimbiosis mutualisme membentuk kapur sepanjang tahun. Barness dan Hughes (1988) menyatakan bahwa mekanisme zooxanthela yang memacu pembentukan CaCO3 belum diketahui jelas, akan tetapi ada sebuah pendekatan hipotesa mengenai reaksi terbentuknya kapur :

Ca2++ 2HCO3 Ca(HCO3)2 CaCO3+ H2CO3

2.1.2. Anatomi karang

Karang merupakan binatang yang berbentuk sederhana yang berbentuk tabung dengan mulut di bagian atas dan mulut ini juga berfungsi sebagai anus (Suharsono, 1996). Karang dengan bentuk tubuh sederhana namum mempunyai struktur skeleton yang sangat komplek dan ukuran dari polip karang sangatlah bervariasi dari yang berukuran milimeter hingga lebih dari 50 cm, tergantung dari spesiesnya. Polip dari karang soliter semisal, Heliofungia diameter polipnya mencapai lebih dari 50 cm (Veron, 1986).

Tubuh karang terdiri dari dua lapisan, ectoderm (epidermis) adalah jaringan yang berada di luar dinding dari polip dan endoderm (gastrodermis) merupakan jaringan yang berada di dalam dinding polip dan melapisi coelenteron (tubuh polip). Bagian rangka karang terdiri dari corallite yakni mangkok kecil yang merupakan kerangka kapur dan berfungsi sebagai penyangga agar jaringan dapat berdiri tegak. Bagian dari koralit berupa timbunan kapur di sekeliling dinding tubuh polip disebut theca, dan bagian punggung atas dengan bentuk terbuka disebut calice. Kerangka kapur berbentuk lempengan-lempengan yang tersusun secara radial, tegak lurus dengan lempeng dasar dinamakan septa, dan

(23)

septa yang menjalar keluar dinding dari koralit dan melingkupi coenosteum dikenali sebagai costae. Beberapa spesies mempunyai lubang yang berada dipusat koralit disebut sebagai columella.

2.1.3. Biologi karang

Secara umum binatang karang berkembang biak dengan dua cara yakni, secara seksual dan aseksual. Perkembangbiakan secara seksual dilakukan dengan dua cara yaitu, perkawinan di luar tubuh polip (spawning) dan perkawinan di dalam tubuh polip (brooding). Cara aseksual umumnya dengan jalan memperbanyak polip, fragmentasi, memproduksi koloni satelit, dan pada waktu stres dapat juga melakukan polyp bail out (Harrison dan Wallace, 1990). Selain itu menurut Nybakken (1992) perkembangbiakan aseksual dapat juga dilakukan dengan pembentukan tunas yang akan menjadi individu baru. Binatang karang melakukan perkembangbiakan secara seksual dengan tujuan memperluas penyebaran larva dan untuk perbiakan genetis atau cross breeding (Veron, 1986).

Ketergantungan karang terhadap seberapa besar cahaya untuk berfotosintesis adalah tergantung dari diameter polip karang itu sendiri. Hal ini dengan diasumsikan bahwa karang yang mempunyai polip besar lebih bersifat karnivor (lebih bersifar heterotropik) dari pada karang dengan polip kecil, yang diasumsikan lebih ototropik. Sebagai contoh karang Stylophora pistillata berfotosintesis lebih cepat, mempunyai laju metabolisme yang tinggi, dan mempunyai laju pertumbuhan yang sangat cepat dibandingkan dengan

(24)

karang, dimana S. pistillata mempunyai polip lebih kecil dibanding E. gammacea, sehingga plankton akan sulit masuk kedalam polip karang S. pistillata dan hal ini berdampak meningkatnya suplemen N dan P. Kebalikan dari S. pistillata karang

E. gammacea memiliki polip lebih besar sehingga dia lebih mudah menarik

plankton sebagai sumber nutrisinya (Al-Sofyani, 1991 dalam Tomascik et al., 1997).

Persaingan pada ekosistem terumbu karang biasanya terjadi di antara koloni-koloni karang untuk mendapatkan tempat atau cahaya. Persaingan tidak langsung, contohnya karang bercabang tumbuh lebih cepat daripada karang yang berbentuk tubular atau masif. Karang bercabang tersebut tumbuh keatas dan lebih tinggi, hal ini mengakibatkan karang masif mati karena kekurangan cahaya. Persaingan secara langsung terjadi pada spesies yang tumbuh lambat, mereka mempunyai kemampuan untuk menjulurkan filamennya keluar dari ruang gastrovaskuler sehingga apabila ada jaringan hidup dari koloni spesies karang lain yang mendekatinya akan dimakan (Nybakken, 1992).

2.1.4. Ciri-ciri genus karang

Koloni karang mempunyai beberapa bentuk morfologi antar lain :

massive (menggumpal, padat, pepat), columnar (kolom), encrusting (merayap

menyesuaikan dengan substrat), branching (bercabang, menjari), foliaceous (menyerupai daun) dan laminar (berbentuk plat, lembaran) (Veron, 1986).

Ciri-ciri beberapa genus (marga), yang umum dijumpai di Indonesia adalah :

(25)

1. Acropora

Bentuk percabangan sangat bervariasi dari korimbosa, aboresen, kapitosa dan lain-lainnya. Ciri khas dari marga ini adalah mempunyai axial koralit (pada ujung cabang) dan radial koralit (yang mengelilingi cabang). Bentuk radial koralit juga bervariasi dari bentuk tubular, nariform dan tenggelam.

2. Alveopora

Koloni massive atau bercabang dan kadang-kadang berbentuk pilar. Koloni sangat porous hampir seperti spon sehingga sangat ringan. Koralit dengan dinding yang berlubang-lubang dan septa hanya berupa tonjolan duri-duri. Bentuk dan warna polip dapat dipakai untuk identifikasi di lapangan.

3. Favia

Koloni massive dengan ukuran yang bervariasi. Koralit cederung berbentuk

plocoid dengan pertunasan intratentrakuler. Koralit cenderung membulat

dengan ukuran yang bervariasi. Septa berkembang baik dengan gigi-gigi yang teratur.

4. Favites

Koloni massive, membulat dengan ukuran yang relatif besar, koralit

berbentuk cerioid dengan pertunasan intratentrakuler dan cenderung berbentuk poligonal. Tidak terlihat adanya pusat koralit. Septa berkembang baik dengan gigi yang jelas.

5. Galaxea

Koloni submassive, memebentuk pilar atau merayap. Koralit silindris dengan dinding tipis dan septokosta terlihat merupakan lajur yang jelas. Kolumela

(26)

kecil atau tidak ada. Septa pertama besar atau menonjol dan keluar serta tajam.

6. Goniastrea

Koloni massive dan beberapa berupa lembaran atau merayap. Koralit cerioid dengan bentuk poligonal dengan sudut yang tajam, membulat atau memanjang cenderung meandroid. Septa selalu dengan pali yang nyata dan membentuk mahkota mengelilingi kolumela.

7. Goniopora

Koloni dibedakan menjadi tiga grup yaitu yang hidup bebas, berbentuk gada

massive, dan mendatar atau merayap. Koralit relatif besar dan tebal. Septa dan

kolumela bersatu membentuk srtuktur yang kompak. Koloni selalu mempunyai bentuk polip yang panjang dan warna yang berbeda-beda.

8. Lobophylia

Koloni paceloid atau flabello-meandroid dengan permukaan seperti kubah atau mendatar. Koralit dengan kosta yang nyata berupa ulur-ulur besar. Septa besar dengan gigi-gigi yang panjang dan tajam, dan sebagian lagi tumpul. Kolumela melebar dan kompak.

9. Montipora

Mempunyai koloni berebntuk lembaran, merayap, bercabang, dan submassive. Koralit kecil semuanya tenggelam dan tidak mempunyai septa. Konesteum mempunyai bentuk spesifik yang disebut retikulum. Retikulum dapat berbentuk bukit-bukit kecil, alur atau tonjolan-tonjolan, sehingga permukaan koloni selalu terlihat kasar dan porous.

(27)

10. Pavona

Koloni mempunyai bentuk morfologi massive atau lembaran yang tebal, merayap atau berbentuk daun yang tipis. Koralit tidak mempunyai dinding yang jelas. Septokosta antara koralit yang berdekatan saling bersatu dengan lainnya. Septokosta ini berkembang dengan baik menjadi kenampakan yang dominan.

11. Pectinia

Mempunyai bentuk koloni yang bervariasi yang meliputi lembaran, bercabang atau lembaran-lembaran yang tegak dengan dasar mendatar. Koralit tersebar tidak merata dengan berbagai posisi. Septokosta berkembang dengan baik dan beberapa berebntuk spiral.

12. Platygyra

Koloni massive, dengan ukuran besar. Koralit hampir semuanya meandroid dengan alur yang memanjang dan ukuran sedang. Pali tidak berkembang. Kolumela berada di tengah saling berhubungan dengan lainnya.

13. Pocillopora

Koloni bercabang submassive, koralit hampir tenggelam, septa bersatu dengan kolumela. Percabangan relatif besar dengan permukaan berbintil-bintil yang disebut verrucosae.

14. Porites

Koloni mepunyai bentuk morfologi submassive, merayap, bercabang, dan lembaran. Koralit kecil cerioid. Septa saling bersatu dan membentuk stuktur yang sangat khas yang dipakai untuk identifikasi jenis. Ciri khas ini antara

(28)

lain adanya tiga septa yang bergabung menjadi atu disebut triplet dengan satu pali.

15. Stylophora

Koloni bercabang dengan percabangan tumpul, kolumela menonjol dengan septa terlihat jelas, diantara koralit ditutupi duri-duri kecil. Stylophora hanya mempunyai satu jenis yaitu : Stylophora pistillata.

16. Symphylia

Koloni berbentuk massive dengan bentuk meandroid. Septa besar, tebal, kuat dengan gigi-gigi yang tajam. Alur dengan kolumela yang berupa lembaran yang berdiri tegak dengan alur. Antara mulut yang satu dengan yang lain sering dihubungkan oleh kolumela (Suharsono, 1996).

2.1.5. Faktor-faktor pembatas pertumbuhan karang

Veron (1986) mengemukakan terdapat beberapa faktor yang membatasi pertumbuhan terumbu karang di suatu daerah, adalah :

1. Cahaya, intensitas cahaya matahari yang cukup harus tersedia agar proses fotosintesa yang dilakukan oleh zooxanthela simbiotik dalam jaringan karang hermatipik dapan berjalan.

2. Kedalaman, faktor ini sangat berhubungan dengan ketersediaan cahaya dan tingkat kecerahan perairan. Karang hermatipik tumbuh pada kedalaman diatas 50 meter. Karang mempunyai toleransi kedalaman yang berbeda tergantung dari kebutuhan akan cahaya, hal ini yang menyebabkan adanya variasi dalam struktur komunitas terumbu karang.

(29)
(30)

3. Aksi gelombang, pada umumnya terumbu karang berkembang dengan baik pada daerah-daerah yang dilalui oleh gelombang besar. Gelombang-gelombang besar memberikan sumber air segar, oksigen, plankton baru untuk makanan koloni karang dan menghalangi terjadinya pengendapan pada koloni.

4. Sedimentasi, adalah faktor yang sering dihubungkan dengan aliran air tawar. Karang hermatipik tidak dapat bertahan terhadap endapan berat yang menutupi dan menyumbat struktur penerima makanan serta mengurangi intensitas cahaya yang diterimanya.

5. Salinitas, karang hermatipik tidak dapat bertahan pada salinitas yang terlampu menyimpang dari salinitas air laut normal yaitu 32 - 35o/oo.

6. Kisaran pasang surut, faktor ini menyebabkan adanya zonasi terumbu karang. Semakin besar kisaran pasang surut maka zona pertumbuhan karang semakin besar.

7. Makanan dan nutrien anorganik, makanan karang biasanya merupakan partikel tersuspensi pada air laut termasuk plankton. Karang menerima maupun menghasilkan nutrien anorganik. Karang memperoleh nutrien anorganik dari sungai, buangan dari darat atau sirkulasi di permukaan.

8. Suhu, karang hermatipik tumbuh pada perairan dengan suhu diatas 18oC. Perairan dengan suhu mencapai 33oC biasanya akan menyebabkan fenomena

coral bleaching (pemutihan karang), disebabkan hilangnya zooxanthela dari

jaringan binatang karang (Tomascik et al., 1997).

(31)

menempel. Terutama larva karang, planula, yang memerlukan substrat keras untuk tumbuh.

2.2. Zonasi Karang

Terbentuknya zonasi terumbu karang apakah termasuk dalam kategori karang tepi (fringing reef), terumbu penghalang (barrier reef) atau atol (atoll) dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik maupun abiotik, seperti batimetri, angin, energi gelombang, arus, ombak dan kedalaman (cahaya). Karena ketergantungan karang terhadap faktor-faktor lingkungan amatlah besar, maka tidak heran apabila terlihat berbedaan-perbedaan struktur atau bentuk pertumbuhan dari karang di berbagai zona karang. (Tomascik et al., 1997).

Gambar 2. Kenampakan melintang secara umum pada tipe karang tepi yang memperlihatkan susunan geomorfologi/zona-zona ekologinya.

Apabila dilihat secara umum ke arah vertikal maka zonasi dasar karang dibagi menjadi lima zonasi dasar : 1) fore-reef slope; 2) reef slope; 3) reef crest; 4) reef flat; dan 5) back reef (Gambar 2.). Fore-reef slope, merupakan zona paling dalam dari karang, arus adalah faktor lingkungan yang mendominasi selain

Island

Reef matrix

Back-reef Reef flat Reef

crest Reef slope Fore-reef slope 0 25 50

Distance from shore

Digambar ulang dari Tomascik, et al.(1997)

D

ep

th

(m

)

(32)

dari cahaya. Biota didominasi oleh gorgonian (Gorgonacea) dan akar bahar (Antipatharia) (Tomascik et al., 1997).

Karang yang umum didapatkan biasanya karang soliter, Faviidea, dan Fungia (Mapstone, 1990). Reef slope dan reef crest, merupakan daerah yang banyak terdapat karang masif atau bercabang, contoh Goniastrea astrea, G.

rotiformis, dan famili Acroporidea mewakili karang jenis bercabang. Reef crest

dan reef flat banyak didominasi oleh Acropora dan Porites. Diantara kedua daerah tersebut biasanya terdapat zona pecahan karang (rubble). Terjadinya daerah pecahan karang ini ada dua, yakni karena terkena dampak bom dan terbentuk oleh alam.

Atmadja (1999) menyatakan, perairan terumbu karang pada dasarnya berada pada dua keadaan, yaitu lokasi yang selalu tergenang air (submerged) dan lokasi-lokasi yang hanya sewaktu-waktu saja tergenang air (lokasi pasang surut atau intertidal. Lokasi-lokasi yang selalu tergenang antara lain adalah : reef

slopes, moats, lagoons, dan saluran-saluran penghubung atau kanal tempat keluar

masuknya air pada saat pasang dan surut.

Lokasi-lokasi yang mengalami kekeringan pada saat surut dan tergenang pada saat pasang antara lain adalah : reef flat, pantai batas rataan terumbu dan daratan, reef edges, dan rampart.

2.3. Pemetaan Jenis Karang Keras

Ekosistem terumbu karang pada peta dikelaskan atas : kelas terumbu karang hidup, dan atau mati, rumput laut atau lamun, rataan pasir dan karang mati

(33)

(Hantoro, 1999). Penggambaran atau pemetaan secara spesifik karang keras sangatlah jarang dilakukan. Pemetaan akan meliputi penentuan titik pengamatan, fisiografi dan terakhir identifikasi karang keras.

Identifikasi karang tidaklah semudah indentifikasi tumbuhan dan ikan dimana terminologi untuk kedua biota tersebut dapat berlaku umum dan kunci determinasi telah dibuatkan secara mapan. Kesulitan yang dihadapi dalam identifikasi karang adalah terminologi yang tidak dapat berlaku secara umum untuk semua jenis karang (Suharsono, 1996). Menurut Well (1954) dalam Suharsono (1996) ordo Scleractinia yang ada di Indo-Pasifik dibagi 5 subordo yang terdiri dari 16 suku 72 marga.

(34)
(35)

BAB III

MATERI DAN METODA

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari - Juni 2003 di perairan Pulau Panjang, Jepara. Identifikasi jenis karang keras dilakukan di Laboratorium Biologi Laut, Teluk Awur, Jepara.

3.2. Materi Penelitian

Materi penelitian adalah karang keras yang berada di perairan Pulau Panjang, Jepara. Pencatatan panjang dan bentuk pertumbuhan karang keras dilakukan selama penelitian dengan pendekatan ketelitian pengukuran sampai pada centimeter (Nishihira, 1988), kemudian dilakukan juga identifikasi karang keras sampai tingkat spesies pada setiap stasiun pengamatan. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini, baik di lapangan maupun pengamatan sampel di laboratorium tercantum dalam Tabel 1.

3.3. Metode Penelitian

Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survey/deskriptif, yaitu membuat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Nasir, 1992).

(36)

Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian.

No. Nama Alat Spesifikasi Kegunaan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Snorkel Set SCUBA Set

Sabak dan alat tulis Roll meter

Jaring kecil Palu dan tang Formalin Sediment trap Oven Aluminum foil Timbangan analitik Stop watch Bola duga Mikroskop binokuler Buku GPS Kompas darat/bidik Secchi disk Termometer Refraktometer TUSA Liberator US Diver Akrilik putih 100 m mesh size 1 cm -10% mg/m2/hari Listrik (oC) -0,001(mg) 1 detik 1 (m/detik) Nikon SMZ-2T

Coral of The World Vol. I,

II, III (Veron, 2000) Garmin e-Trex III Engineer

1 cm 0,1oC 0,1o/

oo

Snorkling untuk mengambil data Menyelam

Mencatat data di bawah air Transek garis

Tempat sampel

Mengambil sampel karang Mengawetkan sampel karang Mengukur laju sedimentasi Mengeringkan sampel sedimen Tempat sedimen waktu dioven Menimbang sedimentasi Menghitung waktu Mengukur laju arus Mengamati obyek Referensi dan alat bantu identifikasi karang

Tracking dan penentuan posisi

Orientasi arah

Mengukur kecerahan Mengukur suhu air Mengukur salinitas

(37)
(38)

3.3.1. Metode pengambilan data karang

Sebelum penelitian dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan kegiatan survey pendahuluan. Kegiatan survey adalah observasi bebas di lapangan, meliputi snorkling atau berenang bebas mengelilingi seluruh perairan Pulau Panjang dan kegiatan orientasi darat. Kegiatan survey pendahuluan bertujuan untuk mengetahui tentang gambaran umum keadaan fisik perairan dan kondisi terumbu karang yang berada di perairan Pulau Panjang. Orientasi darat juga berguna untuk mengetahui posisi geografis stasiun penelitian dengan bentang alam yang ada dan memberikan gambaran secara umum vegetasi serta morfologi daratan Pulau Panjang.

Guna memperoleh data dan informasi geografis maka dilakukan : penentuan/pengukuran posisi mutlak lintasan dengan cara mentracking Pulau Panjang dengan GPS (Global Positioning System). GPS juga memberikan informasi posisi geografis setiap stasiun pengamatan yang dilakukan. Tujuh titik stasiun pengamatan ditetapkan berdasarkan hasil survey pendahuluan, yang dianggap dapat mewakili kondisi geografis Pulau Panjang dan kebutuhan penelitian. Penetapan 7 stasiun pengamatan secara konseptual adalah berdasarkan luas habitat terumbu karang dan tingkat keanekaragaman jenis karang keras yang berada di perairan Pulau Panjang.

Pengamatan di setiap stasiun dilakukan berdasarkan metode transek garis (Loya, 1972), yang telah dimodifikasi sesuai dengan keadaan di lapangan. Yaitu menggunakan transek garis sepanjang 10 meter dengan jarak antar transek adalah 5 meter, serta diletakkan sejajar garis pantai, mengikuti kontur dasar perairan, dan

(39)

dimulai dari pertama kali karang keras ditemukan sampai kedalaman tidak ditemukan karang.

Metode transek garis digunakan untuk melihat penutupan linear karang dalam komunitas terumbu karang yang hidup di dasar perairan. Karang diidentifikasikan hingga jenisnya, yang memberikan gambaran morfologi dari komunitas terumbu karang tersebut (English et al., 1994). Data diperoleh dengan pengamatan langsung pada ekosistem terumbu karang. Aspek sebaran diutarakan menurut data kepadatan karang di setiap stasiun pengamatan yang akan diteliti. Sedangkan untuk mengidentifikasi karang dilakukan secara in situ dan di laboratorium. Hasil tersebut umumnya diperoleh dari penerapan metode berupa koleksi bebas dan pengambilan sampel melalui transek garis.

Jenis, panjang, dan bentuk pertumbuhan karang dicatat pada sabak dengan menelusuri transek sepanjang 10 meter. Koloni karang yang terletak di bawah tali transek diukur mengikuti pola pertumbuhan koloni karang. Pengukuran dilakukan menggunakan pendekatan centimeter (Loya, 1972). Kegiatan di laboratorium dilakukan berupa pengamatan visual secara makroskopis maupun mikroskopis terhadap morfologi sampel untuk mengidentifikasi jenis karang.

3.3.2. Metode pengambilan data parameter perairan

Data kondisi perairan yang meliputi : kedalaman, kecerahan, kecepatan arus, dan laju sedimentasi diambil langsung di lapangan (in situ), sesuai dengan stasiun yang ada. Waktu pengambilan data pada saat air laut surut (siang hair). Data pasang-surut diperoleh dari PT. (PERSERO) Pelabuhan Indonesia III Tg.

(40)

Emas, Semarang.

Data kedalaman diambil dari dasar perairan hingga permukaan air disetiap titik stasiun pengamatan. Untuk kedalaman perairan kurang dari 1,5 m digunakan meteran, sedangkan untuk selebihnya menggunakan depth gauge yang menjadi satu dengan SCUBA Set. Kecerahan perairan diukur dengan secchi disk, pada setiap kedalaman dimana karang keras sudah tidak dijumpai.

Pengukuran laju sedimentasi digunakan sediment trap, dengan

meletakkan tiga buah sediment trap di setiap stasiun di sela-sela karang keras. Sedimen yang tertampung selanjutnya disaring dan dijemur. Sedimen yang sudah kering diletakkan di atas aluminum foil yang sudah ditimbang terlebih dahulu, kemudian dioven pada suhu 105oC, selama 5 jam. Rumus yang dipergunakan untuk mengukur laju sedimentasi adalah sesuai dengan APHA, 1976 dalam Supriharyono, 1990. Yaitu :

Laju sedimentasi = gram m hari d b a / / 2 ) ( 000 . 10 2 2        ... (1) Dimana :

a = Berat akhir aluminum foil dan sedimentasi (gr) b = Berat awal aluminum foil (gr)

d = Diameter pipa sediment trap (cm)

3.3.3. Metode pemetaan karang di perairan Pulau Panjang, Jepara

Pengambilan data (input) posisi geografis Pulau Panjang, dilakukan dengan mentracking sekeliling pulau dengan bantuan GPS Garmin e-Trex III.

(41)

Pada setiap 10 langkah ketika mengelilingi Pulau Panjang, data posisi geografis disimpan di dalam GPS, juga dilakukan pencatatan posisi geografis lokasi stasiun pengamatan. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian diolah dengan bantuan

Surfer. 7.0 dan untuk memperoleh data luasan terumbu karang di Pulau Panjang

digunakan Map Info. 6.0.

3.3.4. Metode analisa data 3.3.3.1. Persentase penutupan

Persentase penutupan koloni karang ditentukan dengan rumus sebagai berikut (English et al., 1994) :

ni=

L

li

x 100 ... (2)

Dimana :

ni = Persentase penutupan koloni karang ()

li = Panjang koloni karang per panjang transek garis (cm) L = Panjang transek garis (10 m)

Persentase penutupan karang batu digunakan sebagai acuan dalam menentukan kondisi terumbu karang. Karang batu merupakan unsur paling dominan di dalam ekosistem terumbu karang sehingga persentase penutupannya digunakan untuk menentukan kondisi terumbu karang (Sukarno, 1994).

(42)

Tabel 2. Kriteria penilaian kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang (Sukarno, 1994).

Persentase penutupan karang (%) Kategori

0 – 25 Kritis/rusak sekali

26 – 50 Rusak

51 – 70 Sehat

71 – 100 Sehat sekali

3.3.3.2. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi

Perhitungan indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan

dominasi (C) dalam analisi karang, menggunakan rumus sebagai berikut (Legendre dan Legendre, 1983) :

3.3.3.2.1. Indeks keanekaragaman

Indeks keanekaragaman atau Indeks Shanon (H’) digunakan untuk menggambarkan hubungan antar kelimpahan jenis biota karng. Rumus indeks keanekaragaman : H’ = -

n i Pi 1 log2Pi ; Pi =ni/N ... (3) Dimana :

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

ni = Panjang koloni jenis karang ke-i pada transek garis N = Panjang koloni karang total pada transek garis

(43)

jika nilainya mendekati maksimum maka semua spesisies terdistribusi secara merata dalam komunitas.

Kisaran Indeks Shannon (H’) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

H’ < 3,20 = Keanekaragaman kecil dan tekanan ekologi sangat kuat

3,20<H’<9,97 = Keanekaragaman sedang dan tekanan ekologi sedang

H’> 9,97 = Keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekositem

3.3.3.2.2. Indeks keseragaman

Indeks keseragaman (E) digunakan untuk melihat keseimbangan individu di dalam komunitas terumbu karang. Nilainya merupakan perbandingan antara nilai keanekaragaman dengan keanekaragaman maksimumnya dan nilainya berkisar antara 0 hingga 1. Rumus indeks keseragaman :

E = max ' H H ; H’max= log2S ... (4) Dimana :

E = Indeks Keseragaman Evens

H’ = Indeks Keseragaman Shannon

S = Jumlah seluruh jenis karang

Kriteria nilai indeks keseragaman (E) adalah sebagai berikut, apabila E mendekati 0, spesies tidak banyak ragamnya, ada dominasi dari spesies tertentu dan menunjukkan bahwa adanya tekanan terhadap ekosistem. Bila E mendekati 1, jumlah individu yang dimiliki antar spesies tidak jauh berbeda, tidak ada dominasi dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem.

(44)

3.3.3.2.3. Indeks dominansi

Indeks dominasi (C) digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu kelompok biota karang mendominasi kelompok lain. Rumus indeks dominasi :

C =

n i 1 Pi2= ( ) 1

n i N ni 2 ... (5) Dimana : C = Indeks dominansi

ni = Panjang koloni jenis karang ke-i pada transek garis N = Panjang koloni karang total pada transek garis

Bila nilai C mendekati 0, di dalam komunitas tidak ada spesies yang dominan, komunitas dalam keadaan stabil, dan bila C mendekati 1, ada dominasi dari spesies tertentu, komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan pada ekosistem.

Untuk menganalisa variasi variabel fisik-biologi antar stasiun digunakan Analisis Komponen Utama (Legendre dan Legendre, 1983) dan untuk melihat sebaran spasial spesies karang keras antar stasiun, serta interakasinya dengan variabel fisik lingkungan digunakan Analisis Faktorial Koresponden.

(45)
(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kondisi umum lokasi penelitian

Pulau Panjang terletak disebelah Barat Kabupaten Jepara, yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Sebagai pulau kecil yang ditumbuhi terumbu karang, maka P. Panjang dapat memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas perairan di sekitarnya. Ikan-ikan ekonomis penting (ikan-ikan target), ikan demersal dan krustasea banyak ditemukan di wilayah ini. Contoh ikan-ikan ekonomis penting yaitu : ikan kerapu macan (Plectropomus leopardus), ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), ikan kerapu batu (Cephalopolis

boenak), dan ikan kakatua (Scarus sp), sedangkan contoh ikan demersal adalah

bandeng laut (Chanos chanos), ikan kakap (Later carcarifer), dan ikan petek (Apogon sp). Contoh dari krustasea yang paling sering dijumpai adalah rajungan. Sehingga pulau ini menjadi tujuan bagi nelayan sekitar maupun dari daerah lain sebagai daerah penangkapan ikan (fishing ground). Alat tangkap yang sering digunakan oleh nelayan umumnya berjenis gill-net, pancing dan bagan tancap yang tersebar di perairan sekitar pulau.

Secara geografis Pulau Panjang terletak pada posisi 458538-459264 dan 9272894-9273375, berjarak 2,5 km kearah barat laut LPWP (Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai), Jepara. Pada bagian sisi selatan Pulau Panjang, terdapat bangunan dermaga yang sudah tidak dipergunakan lagi dan sebagai

(47)

gantinya dibangun dermaga baru yang terletak di sebelah timur pulau. Total luas Pulau Panjang adalah 197.257,33 m2atau 19,73 ha, dan mempunyai luasan daerah terumbu karang sebesar 311.418,62 m2 atau 31,2 ha dimana 238.019,95 m2 atau 23,8 ha berupa karang hidup dengan penyusun terumbu karang lainnya, serta 73.398,67 m2 atau 7,4 ha berupa karang mati, pecahan karang dan komponen abiotik. Penyusun terumbu karang lainnya yang dapat ditemui adalah sponge, turf algae, makro algae, coraline algae dan anemon serta karang biru (Heliopora

coerulea). Hewan yang banyak dijumpi pada ekosistem karang, antara lain : lili

laut, bulu babi, kelinci laut, dan berbagai jenis ikan karang.

Pulau Panjang secara administratif masuk kedalam wilayah Kecamatan Jepara, dimana secara geologis wilayah ini mempunyai satuan morfologi dataran rendah, dengan kemiringan 0 - 2% dan ketinggian 0 - 50 dpl. Litologi Pulau Panjang disusun oleh sedikit humus dan satuan endapan alluvial. Endapan alluvial terdiri atas kerakal, kerikil, pasir, lempung, pecahan koral, dan batu apung. Satuan ini berupa endapan pantai dan endapan rawa. Endapan pantai didominasi oleh klastika lepas bercampur dengan pecahan cangkang moluska, batu gamping koral dan sisa tumbuhan berukuran butir kerakal hingga pasir berwarna putih hingga kuning keruh. Sedangkan endapan rawa terdiri dari lempung hitam, lumpur dan sisa tumbuhan berwarna hitam hingga coklat kotor.

Kondisi oseanografi perairan perairan Pulau Panjang dapat dilihat pada Tabel 3.

(48)

Tabel 3. Nilai rerata kondisi oseanografi perairan Pulau Panjang, Jepara.

Kondisi Perairan Stasiun Pengamatan

1 2 3 4 5 6 7

Suhu (oC) Salinitas (o/oo)

Kedalaman maks. karang (m) Kecerahan (%)

Kecepatan arus (cm/dtk) Laju sedimentasi (g/m2/hari)

29,5 31 5,33 67,5 3,33 39,87 29,5 31,5 7,33 46,38 3,33 39,87 29,5 30 10,67 32,8 3,33 39,87 29,5 30,5 6,33 52,17 4 27,28 29,5 31 10 31,5 5 45,7 29,5 29,5 6 55,0 3,33 45,7 29,5 31 2,33 51,50 3,33 39,87

4.1.2. Sebaran koloni karang keras tiap stasiun penelitian

Hampir di setiap stasiun pengamatan, kecuali Stasiun Pengamatan 1 dan 7 mempunyai daerah pecahan karang (rubble) dengan lebar rata-rata 50 m. Alga banyak dijumpai di daerah ini, seperti Caulerpa sp, Halimeda sp (alga berkapur),

Sargassum sp, Padina sp, dan Turbinaria sp. Stasiun Pengamatan 7 mempunyai

subtrat pasir, sehingga di daerah ini banyak sekali ditemukan tumbuhan lamun jenis Thalassia hemprichii. Pada Stasiun Pengamatan 5 dan 6 banyak dijumpai karang lunak (soft coral) jenis Sarcophyton sp dan Sinularia sp yang terdapat pada kedalaman 5 - 6 m. Pada kedalaman ini pula terdapat sponge dan juga koral jenis Junceella sp. Pada Stasiun Pengamatan 4 banyak ditemukan makro alga jenis Padina sp.

(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)

Tabel 4. Sebaran koloni karang keras pada setiap stasiun pengamatan di perairan Pulau Panjang, Jepara

St. Pengamatan

Lebar daerah TK (m)

Kedalaman

karang (m) Jenis yang banyak ditemukan 1 2 3 4 5 6 7 6-110 8-110 8-165 7-200 7-160 10-130 7-31 5,3 7,33 10,67 6 10 6 2,33

Acopora aspera, Porites lutea, Montipora digitata, Pocillopora damicornis, Favites chinensis, Goniopora stokesi dan Pectinia paeonia

P. lutea, F. chinensis, P. lobata, G. stokesi, G. aspera, dan P. paeonia F. flexuosa, P. lobata, P. damicornis, Euphyllia ancora, dan P. paeonia

P. lutea, P. lobata, F. flexuosa, Cyphastrea chalcidicum, A. humilis, Montipora venosa dan Podabacia crustacea

F. flexuosa, P. lobata, P. lutea, P cylindrica, Symphyllia recta, Hydnopora exesa dan P. paeonia F. flexuosa, F. abdita, P. lobata, Goniastrea pectinata, dan

Polyphyllia talpina

P. lutea, P. cylindrica dan Platygira verweyi

4.1.3. Komposisi dan tutupan karang keras di Pulau Panjang

(58)

spesies karang keras yang masuk kedalam 13 famili karang Scleractinia. Spesies

Acropora aspera, Pocillopora damicornis, Montipora venosa, Porites cylindrica, P. lobata, P. lutea, Goniopora lobata, G. stokesi, Favites abdita, F. Chinensis, F. flexuosa, Favia lizardensis, F. pallida, F. speciosa, Goniastrea aspera, Pectinia paeonia, Platygira pini, P. sinensis, P. verweyi, dan Cyphastrea chalcidicum,

melimpah di tujuh Stasiun Pengamatan (Lampiran 1).

Apabila dilihat dari lifeform-nya, karang Acropora bercabang (ACB), Acropora bercabang (CB), Acropora mengerak/merayap (CE), non-Acropora foliosa, berperan dalam pembentukan struktur komunitas terumbu karang di perairan Pulau Panjang, Jepara. Karang hidup di lokasi penelitian memperlihatkan persentase tutupan karang berkisar antara 9,45% sampai 38,75%.

Gambar 13. Tutupan karang keras pada setiap stasiun pengamatan di perairan Pulau Panjang

4.1.4. Indeks keanekarangaman, keseragaman, dan dominansi karang keras di Pulau Panjang

Nilai rerata Indeks Keanekarangaman (H’) karang keras di Pulau

Panjang adalah 3,28; nilai Indeks Keseragaman (E) adalah 0,71; Nilai Indeks Dominansi (C) adalah 0.01. Nilai Indeks Keanekarangaman berkisar antara

2,364-38.75 14.96 16.84 9.45 19.36 14.33 19.92 19.08 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1 2 3 4 5 6 7 RERATA Stasiun pengamatan Persentase

(59)

4,005; Indeks Keseragaman berkisar antara 0,538-0,79, Indeks Dominansi berkisar antara 0,003 – 0,022. 3.69 2.36 3.08 3.61 4.00 3.57 2.64 3.28 0.01 0.02 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.01 0.76 0.71 0.71 0.79 0.74 0.70 0.54 0.75 0 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 RERATA Stasiun Persentase C H' E

Gambar 14. Nilai Indeks Keanekarangaman (H’), Indeks Keseragaman (E),

Indeks Dominansi (C) pada setiap stasiun pengamatan di perairan Pulau Panjang, Jepara

4.1.5. Zonasi dan distribusi karang keras di Pulau Panjang, Jepara

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada setiap stasiun pengamatan ditemukan lengkap 5 zona karang keras yaitu back-reef, reef flat, reef crest, reef

slope,dan fore-reef slope. Namun pada Stasiun Pengamatan 7, hanya ditemukan 4

zona karang keras (Gambar 12).

Tabel 5. Habitat karang keras pada setiap zona, back-reef, reef flat, reef crest,

reef slope dan fore-reef slope, di Pulau Panjang, Jepara.

Habitat Stasiun Pengamatan

Spesies dominan (I) 1 (II) 2 (III) 3 (IV) 4 (V) 5 (VI) 6 (VII) 7 (VIII) Back-reef Acopora aspera + - - - -Cyphastrea chalcidicum - - - + - -

(60)

-Favia speciosa - - - + - - -Favites abdita - - - + -Favites chinensis - + - - - - -Favites flexuosa - + + + + + -Goniastrea pectinata - - - + -Heliopora coerulea - - + - - -Montipora digitata + - - + - - -Porites lobata - + + + + + -Porites lutea - + + - - - -Reef flat Porites lutea + - - - + Porites lobata + - - - -Pocillopora damicornis + - - - -Favites abdita - - + - - - -Platygira verweyi - - - + Reef crest A. humilis - - - + + - -Acopora aspera - - - + -Favia lizardensis - - - + -Favites chinensis + - - - + - -Galaxea fascicularis - - - - + - -Goniastrea aspera - - - - + - -Goniastrea pectinata - - - + -Goniopora lobata - - - - + - -Hydnophora exesa - - - - + - -M. hispida - - - - + - -Pavona decussata - - + - - - -Pectinia paeonia - + - - - - -Platygira lamellina - - - - + -Platygira sinensis - - - - + - -Pocillopora damicornis - - + - - -Porites cylindrica + - - - + - + Porites lobata - + + - - - -Porites lutea - - - -Porites rus - - - +

(61)

-Symphyllia recta - - - - + - -Reef slope Acopora aspera - - + - - - -Euphyllia ancora - - + - - - -Favia pallida - - - + - - -Favites flexuosa - - + - - - -Goniastrea aspera - + - - - - -Goniopora lobata - + - - - - -Goniopora stokesi + - - + - - -Goniopora stokesi - - - + -M. venosa - - - + - - -Pectinia paeonia - + - - - - -Pectinia paeonia - - + - - - -Platygira pini - - - + -Podabacia crustacea - - - + - - -Porites lutea + - - - -Stylophora pistillata + + - - - - -Fore-reef slope Goniopora lobata - + - - + - -Goniopora stokesi - - - + - - -Pectinia paeonia + - + - - + -Polyphyllia talpina - - - + -Porites lutea - - - + Ket.

+ : ada - : tidak ada

4.1.6. Variasi spasial karakteristik fisik-biologi

Variabel fisik-biologi yang digunakan dalam Analisis Komponen Utama untuk melihat sebarannya berdasarkan stasiun pengamatan, disajikan dalam Lampiran 2. Hasil Analisis Komponen Utama adalah informasi penting yang menggambarkan keadaan korelasi antar variabel pada struktur spasial (stasiun), yang terpusat pada dua sumbu utama (Komponen 1 dan Komponen 2). Pada

(62)

Gambar 15, terlihat pada komponen 1, bahwa adanya korelasi negatif antara arus dan jumlah spesies, keanekarangaman dan sedimentasi. Keempat variabel (yang membentuk Komponen 1) berkorelasi rendah terhadap pembentuk komponen 2 yaitu persen kover dan kecerahan.

Component Plot in Rotated Space

Component 1 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 Component 2 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 persen kover

jumlah spesieskeanekaragaman sedimentasi

arus

Gambar 15. Grafik Analisa Komponen Utama karakteristik fisik-biologi perairan di 7 stasiun pengamatan.

4.1.7. Sebaran spasial spesies karang

Hasil Analisa Faktorial Koresponden terhadap 44 jenis karang keras yang menyebar di 7 stasiun pengamatan, menunjukkan bahwa informasi mengenai organisasi spasial jenis karang keras di lokasi penelitian terpusat pada 2 sumbu utama (Dimensi 1 dan 2). Pada row scores (Gambar 16 A) kuadran I diisi oleh Stasiun Pengamatan 1 dan 7, kuadran II diisi oleh Stasiun Pengamatan 2, kuadran III diisi oleh Stasiun Pengamatan 2 dan 4, dan kuadran IV diisi oleh Stasiun Pengamatan 5 dan 6.

Pada column scores (Gambar 16 B) terlihat 44 jenis karang keras tersebar diempat kuadran yang ada. Gambar 16 C menunjukkan asosiasi antara

(63)

Column Scores Symmetric Normalization Dimension 1 2 1 0 -1 -2 Dimension 2 2 1 0 -1 -2 -3 T1 Sy1 Sp1 Prus Plut1 Plob1 Pc1 Py1 Po2 Po1 Pl4 Pl3Pl2 Pl1 Pe1 P1 M3 M2 M1 L1 H2 H1 Gs1 Gl1 Go2 Go1 G1 Fa3 Fa2 Fa1 F3 F2 F1 Ep2 Ep1D1 Cy2 Cy1 C1 A5 A4 A3 A2 A1 Row Scores Symmetric Normalization Dimension 1 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -1.5 Dimension 2 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -1.5 7 6 5 4 3 2

1 Row and Column Scores

Symmetric Normalization Dimension 1 2 1 0 -1 -2 Dimension 2 2 1 0 -1 -2 -3 Spesies Stasiun T1 Sy1 Sp1 Prus Plut1 Plob1 Pc1 Py1 Po2 Po1 Pl4 Pl3 Pl2 Pl1 Pe1 P1 M3 M2 M1 L1 H2 H1 Gs1 Gl1 Go2 Go1 G1 Fa3 Fa2 Fa1 F3 F2 F1 Ep2 Ep1D1 Cy2 Cy1 C1 A5 A4 A3 A2 A1 7 6 5 4 3 2 1

spesies-stasiun yang membentuk kelompok dan menggambarkan keterkaitan yang erat diantara keduanya. Kelompok I beranggotakan Stasiun Pengamatan 1 yang didominasi oleh spesies A. aspera, P. cylindrica, dan F. pallida; dan Stasiun Pengamatan 7 dicirikan oleh spesies G. stokesi dan P. paeonia. Kelompok II beranggotakan Stasiun Pengamatan 3 dan dicirikan oleh spesies P. lutea, G.

fascicularis dan C. chalcidicum. Kelompok III mencangkup Stasiun Pengamatan

2 dicirikan oleh spesies P. lobata dan A. minuta; dan Stasiun Pengamatan 4, dicirikan oleh spesies H. rigida, P. crustacea, dan M. venosa. Kelompok IV beranggotakan Stasiun Pengamatan 5 dicirikan oleh spesies S. recta dan A.

humilis; dan Stasiun Pengamatan 6 yang dicirikan oleh spesies F. abdita, dan P. sinensis.

4.1.8. Similaritas antar stasiun pengamatan

Hasil analisa kluster (Gambar 17) dapat dilihat, Stasiun Pengamatan 5 dan 6 membentuk kluster 1, kemudian Stasiun Pengamatan 1 dengan kluster 1 membentuk kluster 2. Kluster 3 terbentuk dari kluster kluster 2 dan kluster 4 (Stasiun Pengamatan 3 dan 4). Stasiun Pengamatan 2 dan kluster 3 membentuk kluster 5, kemudian kluster 5 bergabung dengan Stasiun Pengamatan 7 membentuk kluster 6.

A B

C

Gambar 16. A, B, C Hasil Analisa Faktorial Koresponden antara spesies karang dengan stasiun

(64)

Tree Diagram for 7 Cases Ward`s method Euclidean distances Linkage Distance C_7 C_2 C_4 C_3 C_6 C_5 C_1 0 50 100 150 200 250 300

Gambar 17. Dendogram pengelompokan jumlah spesies koloni karang keras di Pulau Panjang, Jepara.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Kondisi umum faktor oseanografi perairan Pulau Panjang

Pengukuran beberapa parameter oseanografi perairan dimaksudkan untuk melihat kualitas perairan sebagai habitat terumbu karang. Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan menunjukkan bahwa suhu, salinitas, kecepatan arus dan kecerahan dalam kondisi normal, sedangkan nilai rerata laju sedimentasinya sangat tinggi, yaitu : 39,58 g/m2/hari. Tingginya nilai laju sedimentasi ini disebabkan waktu peletakan sediment trap dilakukan pada waktu musim barat hampir mencapai puncaknya. Sehingga sedimen yang tertampung di

sediment trap berasal dari substrat dasar perairan yang teraduk oleh arus atau

gelombang.

Suhu rerata permukaan perairan adalah 29,5oC, menurut Coles et al. (1976), menyatakan bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan karang adalah 25

-ST. 1 ST. 5 ST. 6 ST. 3 ST. 4 ST. 7 ST. 2

(65)

29oC, terutama untuk karang di daerah dangkal yang mempunyai potensi peningkatan suhu yang dapat menyebabkan kematian dari karang. Menurut Suryono dan Irwani (1999) perairan Jepara telah mengalami peningkatan suhu lebih kurang 1 - 2oC yang mengakibatkan koral di kedua tempat penelititan yaitu Pulau Panjang dan Bandengan mengalami bleaching 15% dan 30,5%. Kenaikan 0,5oC dari suhu optimal maka pertumbuhan terumbu karang masih dapat dikatakan normal, karena terumbu karang dapat mentolerasi suhu sampai kisaran 16 - 40oC (Nybakken, 1988).

Kecepatan arus dan kecerahan masih dalam kondisi normal. Pada Stasiun Pengamatan 5 dan 6 kondisi perairan sangat keruh hampir sepanjang hari, dikarenakan kedua stasiun tersebut terletak dibagian utara pulau, yang berhadapan langsung dengan lautan bebas, sehingga kemungkinan teraduknya sedimen dasar perairan sepanjang hari sangatlah besar.

Adanya arus sangat penting bagi kehidupan karang, karena dengan adanya arus maka jasad renik dan O2 akan tersedia bagi karang. Dengan adanya arus pula, sirkulasi nutrien terutama Pospor dan Nitrogen yang mengontrol aktivitas fotosintesis dan produksi primer akan berjalan normal. Perputaran nutrien anorganik sangat diperlukan untuk proses metabolis biota simbion binatang-tumbuhan, seperti karang, sponge, moluska, coraline alga dan sebagainya (Tomascik et al., 1997). Salinitas pada ketujuh Stasiun Pengamatan adalah bekisar antara 30 - 31o/oo. Menurut Veron (1986), karang hermatipik tidak dapat bertahan pada salinitas yang terlalu menyimpang dari salinitas air laut yang normal, yaitu 32 - 35o/oo.

(66)

4.2.2. Komposisi dan tutupan karang keras di Pulau Panjang

Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Panjang menurut klasifikasi Gomez dan Yap (1988) dalam Edinger dan Risk (2000) termasuk ke dalam kondisi jelek, dengan persentase penutupan karang rata-rata sebesar 19,08%. Pengamatan dari ke-7 stasiun pengamatan menunjukkan bahwa, hanya satu stasiun pengamatan yang mempunyai kondisi penutupan karang dengan kategori sedang (38,75%) (Stasiun Pengamatan 1). Enam stasiun pengamatan yang lain mempunyai penutupan terumbu karang dengan kondisi yang jelek.

Hasil persentase penutupan karang pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Haryono (2001), dengan menggunakan transek garis 10 m yang diletakkan sejajar garis pantai, mulai ditemukan karang hingga puncak terumbu, menunjukkan persentase penutupan karang rata-rata sebesar 49,46% atau dengan kategori sedang. Perbedaan ini disebabkan perbedaan jumlah total panjang transek, jumlah stasiun pengamatan dan perbedaan lokasi. Total transek garis pada penelitian sebelumnya adalah 610 m, sedangkan pada penelitian ini adalah 1860 m. Akan tetapi bukanlah perbedaan yang dipermasalahkan namun dari penelitian-penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa kondisi terumbu karang di perairan Pulau Panjang pada umumnya dalam kondisi jelek-sedang, dan hingga saat ini mempunyai kecenderungan terus mengalami degradasi.

Penurunan persentase penutupan karang di perairan Pulau Panjang ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu manusia dan alam. Kerusakan yang

Gambar

Gambar 2. Kenampakan melintang secara umum pada tipe karang tepi yang memperlihatkan susunan geomorfologi/zona-zona ekologinya.
Gambar  13.  Tutupan  karang  keras  pada  setiap  stasiun  pengamatan  di  perairan Pulau Panjang
Gambar  14.  Nilai  Indeks  Keanekarangaman  (H’),  Indeks  Keseragaman  (E), Indeks  Dominansi  (C)  pada  setiap  stasiun  pengamatan  di  perairan Pulau Panjang, Jepara
Gambar 15. Grafik Analisa Komponen Utama karakteristik fisik-biologi perairan di 7 stasiun pengamatan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perangkat Lunak Bahasa (Language Program), yaitu program yang digunakan untuk menerjemahkan instruksi-instruksi yang ditulis dalam bahasa pemrograman ke dalam bahasa mesin agar

Dari perhitungan dan analisa yang telah dilakukan, didapatkan besar output daya listrik dan ukuran utama kapal PLTG yang didesain. Selanjutnya diketahui

• Degree of bodily arousal influences the intensity of emotion felt Schachter’s Theory Type Intensity Emotion (Fear) Perception (Interpretation of stimulus-- danger) Stimulus

Tujuan penelitian ini ialah (1) mendapatkan komposisi bahan aktif dan bahan pembawa biobakterisida yang efektif mengendalikan penyakit busuk lunak pada anggrek Phalaenopsis ,

menandatangani daftar hadir. Mahasiswa yang tidak hadir pada suatu kegiatan akademik atau perkuliahan wajib menyampaikan surat pemberitahuan tentang alasan ketidak-hadirannya dan

Kefir merupakan produk susu fermentasi dapat dibuat dari bahan baku susu sapi, susu kambing atau susu domba dengan menambahkan bibit kefir ( kefir grains ) yang terdiri

Selain itu, menurut penulis menjelaskan beberapa kesimpulan maka selanjutnya penulis akan mencoba memberikan saran yang berhubungan dengan penelitian yang dapat

Tes Kesegaran Jasmani Indonesia adalah bagian dari pembinaan fisik atau salah satu bentuk alat ukur untuk mengukur, mengetahui, dan menentukan tingkat kesegaran jasmani siswa,