• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM KAWASAN HUTAN LINDUNG WOSI RENDAN

Letak Geografis dan Dasar Hukum Penunjukkan

Kawasan Hutan Lindung Wosi Rendani Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat berada pada koordinat 0o 52’ 05”– 0o 53’ 18”LS dan 134o 01’ 53”– 134o 02’ 54” BT. Kawasan ini memisahkan kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak dengan pesisir Pantai Wosi dan Pantai Rendani dengan batas-batas wilayah adalah: a). Kelurahan Sowi Distrik Manokwari Selatan di sebelah Selatan; b). Kelurahan Wosi Distrik Manokwari Barat di sebelah Utara; c). Cagar Alam Pegunungan Arfak di sebelah Barat; dan d). Jalan Drs. Essau Sessa dan Teluk Wosi di sebelah Timur (Dishut 2012).

Upaya perlindungan kawasan telah dilakukan sejak dikeluarkannya Pengumuman Kepala Pemerintah Setempat (KPS) Manokwari melalui SK 03/Kps/1969 tanggal 25 Januari 1969. Gubernur Irian Barat selanjutnya menunjuk kawasan ini sebagai Hutan Lindung dengan fungsi hidrologis dengan luas 300.65 ha (SK Gubernur Irian Barat nomor 118/GIB/1969 tanggal 5 Agustus 1969). Penunjukkan didasari oleh pertimbangan menjaga sumber-sumber air dalam kawasan, mencegah bahaya kekurangan air, banjir, erosi serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah. Sejak penunjukkannya kawasan HLWR telah mengalami dua kali rekonstruksi yaitu tahun 1983 yang dilakukan oleh Badan Planologi Kehutanan VI Maluku Irian Jaya tahun 1983 dan tahun 1990 oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (Sub BIPHUT) Manokwari dengan jumlah pal 118 buah sepanjang 7.75 km (Dishut 2012).

Berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK 783/Menhut-II/2014 tanggal 22 September 2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Papua Barat skala 1:250 000, lokasi kawasan HLWR masih dipetakan dalam Areal Penggunaan Lain (APL), sedangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Manokwari telah dimasukkan dan dipertahankan sebagai kawasan Hutan Lindung. DJPR (2014) menyebutkan hingga Maret 2014 Propinsi Papua Barat termasuk salah satu Provinsi yang belum menerapkan peraturan derahnya terkait RTRW yaitu Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2013 tanggal 2 Mei 2013.

Kondisi Tutupan Lahan

Kawasan HLWR berada dalam wilayah dua Kelurahan yaitu di wilayah Kelurahan Wosi Distrik Manokwari Barat dan wilayah Kelurahan Sowi Distrik Manokwari Selatan. Berdasarkan pengukuran digitasi peta kawasan HLWR skala 1:5000, luas kawasan HLWR, luas hutan Wosi Rendani dan luas kebun disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas kawasan, hutan dan kebun berdasarkan wilayah Kelurahan

Kelurahan

Luas Kelurahan

(ha)a

Kawasanb Hutanb Kebunb Non hutan dan

non kebunb

(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)

Wosi 2 757 205.00 7.44 69.49 2.52 36.40 1.32 99.11 48.34

Sowi 7 688 95.65 1.24 18.70 0.24 3.70 0.05 73.25 76.58

Jumlah 10 445 300.65 8.68 88.19 2.76 40.10 1.37 172.36 57.33

Sumber: a BPS (2012a dan 2012b); b luas hutan Wosi Rendani dihitung dari sungai Rendani sebagai batas Kelurahan Wosi dan Kelurahan Sowi

Luas kawasan HLWR, tutupan hutan dan luas kebun terhadap luas wilayah Kelurahan Wosi menunjukkan proporsi yang lebih besar dibandingkan Kelurahan Sowi. Kondisi yang sama juga terlihat pada persentase antar masing-masing luas areal yang dihitung. Komposisi luas kawasan HLWR di Kelurahan Wosi sebesar 68.18% dibandingkan luas kawasan HLWR di Kelurahan Sowi. Kondisi yang sama juga terlihat pada luas hutan Wosi Rendani (78.8%) dan luas lahan kebunnya (90.77%).

Luas areal yang bukan berupa hutan dan bukan berupa kebun di dalam kawasan HLWR seluas 172.36 ha (57.33%). Areal tersebut berupa areal terbangun (jalan dan bangunan fisik) dan areal selain hutan dan kebun. Dishut (2012) menyebutkan luas lahan non hutan dan non kebun berada di sisi timur kawasan (Pal HL/25 hingga Pal HL/62), sisi Selatan (Pal HL/62 hingga Pal HL/90), dan sisi Utara (Pal HL/97 hingga Pal HL/13).

Hidrologi dan Iklim

Sistem hidrologi kawasan HLWR berada dalam sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Pami. Asdak (2010) menyebutkan terbentuknya ekologi, geografi dan tata guna lahan suatu daerah sebagian besar ditentukan atau tergantung pada fungsi daur hidrologi yang terjadi. Kondisi iklim dalam daur hidrologi sangat mempengaruhi ketersediaan air. Di antara unsur-unsur iklim, presipitasi merupakan unsur utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu wilayah DAS.

Presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi dan laut. Parameter utama presipitasi adalah curah hujan dan hari hujan. Rincian jumlah curah hujan, hari hujan dan tingkat intensitas curah hujan bulanan di Kabupaten Manokwari disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah curah hujan dan hari hujan bulanan Kabupaten Manokwari tahun 2010 hingga 2012

Bulan

Curah Hujan (mm) Hari Hujan (hari)

i a (mm) 2010 2011 2012 Rata- rata 2010 2011 2012 Rata- rata Januari 210 165 306 227 22 19 21 21 10.99 Pebruari 120 80 313 171 18 19 22 20 8.69 Maret 365 239 517 374 24 20 28 24 15.57 April 239 129 523 297 23 21 23 22 13.29 Mei 47 401 421 290 18 24 22 21 13.58 Juni 80 308 285 224 16 24 20 20 11.21 Juli 109 216 116 147 19 17 19 18 8.02 Agustus 108 252 131 164 17 22 19 19 8.46 September 67 172 144 128 17 19 22 19 6.61 Oktober 70 143 102 105 15 19 13 16 6.69 Nopember 44 205 289 179 11 21 24 19 9.61 Desember 122 371 144 212 19 21 23 21 10.11 Total 1 581 2 681 3 290 2 517 219 246 256 240 122.82 Rataan 131.75 223.40 274.16 209.76 18.25 20.5 21.33 20.03 10.24

Sumber: BPS (2013a) (diolah); a i: tingkat intensitas hujan

Karakteristik presipitasi di Manokwari menunjukkan hujan terjadi sepanjang tahun dengan jumlah curah hujan rata-rata 2 517 mm. Tingkat intensitas curah hujan lebih tinggi pada bulan Maret hingga Juni dan bulan Desember hingga Januari. Hal ini disebabkan karena posisi Manokwari di wilayah Kepala Burung Pulau Papua berdekatan dengan ekuator dan dipengaruhi oleh udara hangat Pasifik Barat (Kartikasari et al. 2012).

Kondisi iklim suatu daerah dapat diketahui dengan melihat unsur-unsur iklimnya. Pola tiap unsur iklim secara periodik menunjukkan karakter iklim wilayah tersebut. Karakter iklim di Kabupaten Manokwari selama tujuh tahun disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Karakter iklim Kabupaten Manokwari (2006—2012) Unsur Iklim Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rata- rata Tmax (oC) 27.7 32.8 32.1 30.4 34.4 33.2 31.8 32.5 Tmin (oC) 26.4 23.4 23.6 23.5 22.4 22.6 23.9 23.3 Tav (oC) 27.1 23.5 27.3 27.1 27.3 27.9 27.9 27.9 Hu (%) 84.2 82.8 83.1 81.3 83.6 85.8 83.7 84.7 Pa (mb) 1 008.5 1 008.5 1 008.5 1 008.5 1 008.6 1 007.9 1 008.5 1 008.2 Sl (%) 54.6 54.1 60.8 37.0 60.6 46.0 48.3 43.8 Rf (mm) 2 319.0 1 492.0 1 602.0 1 906.7 1 581.0 2 680.5 3 289.9 2 160.7 Rd (hari) 150.0 212.0 223.0 152.0 219.0 246.0 256.0 208.3

Sumber: BPS (2013a) (diolah); Tmax= Suhu maksimum (oC); Tmin=Suhu minimum (oC); Tav=Suhu udara rata-rata (oC); Hu= Kelembaban udara (%); Pa=Tekanan udara (mb); Sl=Penyinaran matahari (%); Rf=Jumlah curah hujan (mm); Rd=Hari hujan (hari).

Temperatur, kelembaban dan tekanan udara di Manokwari umumnya konstan. Temperatur udara umumnya berkisar antara 23.3 oC hingga 32.5 oC. Rata-rata temperatur udara adalah 27.9 oC, kelembaban udara 84.7% dan tekanan udara 1 008.2 mb. Fluktuasi unsur iklim hanya terjadi pada penyinaran matahari, curah hujan dan hari hujan.

Vegetasi Hutan Wosi Rendani

Indriyanto (2010) menyebutkan kondisi komunitas hutan dapat diketahui dengan melakukan survei vegetasi. Survei bertujuan agar dapat mendeskripsikan keadaan komunitas tumbuhan hutan berdasarkan parameter yang diperlukan. Komposisi dan struktur komunitas tumbuhan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di hutan Wosi Rendani adalah:

1. Tingkat semai. Jumlah spesies pada tingkat semai sebanyak 106 spesies (33 famili). Jumlah individu 31 274.51 per hektar. Sepuluh spesies tertinggi adalah P. pinnata, L. domesticum, S. campanulata, S. papuanus, M. brownoides, F. trachypison, P. eurynchae, A. altillis, A. toxicaria, dan F. septica. INP spesies tersebut antara 22.81% dan 5.53%.

2. Tingkat pancang. Jumlah spesies pada tingkat pancang sebanyak 110 spesies (36 famili). Jumlah individu 5 341.18 per hektar. Sepuluh spesies tertinggi adalah P. pinnata, S. campanulata, L. domesticum, P. eurynchae, V. rubescens, H. foetidum, A. parviflorum, P. indicus, A. altillis dan N. lapaceum. INP spesies tersebut antara 12.98% dan 4.96%.

3. Tingkat tiang. Jumlah spesies tingkat tiang sebanyak 90 spesies (32 famili). Jumlah individu 496.08 per hekar. Sepuluh spesies tertinggi adalah P. pinnata, S. campanulata, P. eurynchae, N. lapaceum, L. domesticum, M. mappa, A. scholaris, M. fatua, P. corymbosa dan F. nodosa. INP spesies tersebut antara 24.68% dan 6.28%.

4. Tingkat pohon. Jumlah spesies tingkat pohon berjumlah 87 spesies (32 famili). Jumlah individu 174.51 per hektar. Sepuluh spesies tertinggi adalah P. pinnata, S. campanulata, A. altilis, P. coreacea, L. domesticum, S. cytherea, P. eurynchae, N. lapaceum, D. dao dan P. indicus. INP spesies tersebut antara 31.95% dan 6.34%.

Keragaman spesies dan famili di hutan Wosi Rendani lebih rendah jika dibandingkan dengan vegetasi Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari (TWAGM). Jarak TWAGM dengan HLWR dekat (±4.5 km). Lekitoo et al. (2008) menyebutkan vegetasi TWAGM merupakan salah satu contoh hutan di Manokwari yang dapat menjadi refleksi hutan alam Papua. Lekitoo et al. (2008) menyebutkan jumlah spesies di TWAGM pada tingkat semai sebanyak 162 spesies (48 famili), 147 spesies tingkat pancang (45 famili), 89 spesies tingkat tiang (34 famili) dan 101 spesies tingkat pohon (34 famili).

Persentase jumlah spesies tingkat semai hingga pohon di hutan Wosi Rendani lebih rendah dibandingkan di TWAGM berturut-turut 65.43%, 74.82%, 101.12% dan 86.13%; sedangkan persentase jumlah familinya berturut-turut 68.75%, 80%, 94.12% dan 94.12%.

Kondisi Demografis Masyarakat di Sekitar dan di Dalam Kawasan HLWR Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan HLWR berdomisili di wilayah Kelurahan Wosi dan Kelurahan Sowi. Jumlah rumah tangga, jumlah jiwa per rumah tangga, jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, seks rasio dan kepadatan penduduk pada masing-masing Kelurahan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah penduduk Kelurahan Wosi dan Kelurahan Sowi Kelurahan Rumah Tangga (KK) Jumlah jiwa per KK Laki- laki (jiwa) Perem- puan (jiwa) Jumlah jiwa Seks Rasio Kepadatan (jiwa/km2) Wosi 5 296 4.35 12 698 10 323 23 021 123.01 835.00 Sowi 1 488 4.66 3 801 3 127 6 928 122.00 90.11 Sumber: BPS (2012b)

Situasi masyarakat sekitar kawasan HLWR

Masyarakat sekitar kawasan HLWR umumnya adalah masyarakat pendatang dari suku non Papua. Keragaman sosial, budaya dan ekonomi terlihat dari asal suku, dan jenis pekerjaan yang dilakukan. Masyarakat sekitar berasal dari berbagai suku di Indonesia, diantaranya Sulawesi, Jawa, Maluku dan Tiongkok. Jenis pekerjaan umumnya pada sektor pemerintahan (PNS) dan sektor swasta (dagang, ojek, bengkel, dan pertukangan).

Jumlah penduduk di sekitar kawasan HLWR semakin bertambah terutama sejak dibukanya Jalan Drs. Essau Sessa sebagai jalur utama sejak tahun 1991. Jalan ini menghubungkan Kelurahan Wosi dan Kelurahan Sowi. Permukiman baru dan dinamika kegiatan ekonomi nyata terlihat di sepanjang jalan yang berbatasan langsung dengan sisi timur kawasan HLWR..

Permukiman penduduk di sekitar kawasan HLWR berada dalam wilayah administrasi dua Kelurahan yaitu Kelurahan Wosi dan Kelurahan Sowi. Kelurahan Wosi adalah satu dari enam kelurahan di Distrik Manokwari Barat. Jumlah Rukun Warga (RW) di Kelurahan Wosi sebanyak 17 RW dan satu Kampung (BPS 2012b). Kelurahan Wosi merupakan salah satu Kelurahan dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi (835 jiwa/km2). Jumlah penduduk hingga tahun 2012 sebanyak 23 021 jiwa (5 296 KK) dan jumlah jiwa per rumah tangga rata-rata 4.35 jiwa/KK.

Kelurahan Sowi merupakan satu dari 18 Kelurahan di Distrik Manokwari Selatan. Jumlah RW Kelurahan Sowi adalah sembilan RW. Jumlah penduduk hingga tahun 2012 sebanyak 6 928 jiwa (1 488 KK). Jumlah jiwa per rumah tangga rata-rata 4.66 jiwa/KK dan tingkat kepadatan penduduk 90.11 jiwa/km2. Sebaran jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Kelurahan Wosi dan Kelurahan Sowi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Kelurahan Wosi dan Kelurahan Sowi tahun 2013

Kelom- pok umur

Kelurahan Wosi Kelurahan Sowi

Laki- laki (Jiwa) Perem- puan (Jiwa) Jumlah (Jiwa) Persen (%) Laki- laki (Jiwa) Perem- puan (Jiwa) Jumlah (Jiwa) Persen (%) 0—4 1 366 1 276 2 641 11.47 468 439 905 13.07 5—9 1 145 1 063 2 208 9.59 420 371 790 11.41 10—14 981 868 1 848 8.03 339 278 617 8.90 15—19 1 106 1 015 2 120 9.21 328 289 615 8.88 20—24 1 539 1 172 2 710 11.77 361 327 687 9.91 25—29 1 708 1 289 2 996 13.01 427 372 799 11.53 30—34 1 378 1 093 2 470 10.73 462 334 795 11.48 35—39 1 058 805 1 862 8.09 311 250 561 8.09 40—44 863 621 1 483 6.44 258 168 424 6.12 45—49 564 423 986 4.28 154 110 263 3.79 50—54 448 281 728 3.16 108 84 190 2.75 55—59 221 169 389 1.69 83 43 125 1.81 60—64 149 104 251 1.09 47 41 87 1.25 65—69 69 51 120 0.52 28 22 49 0.70 70—74 37 33 69 0.30 15 8 23 0.33 75+ 20 25 44 0.19 8 7 14 0.21 Total 12 698 10 323 23 021 100.00 3 801 3 127 6 928 100.00 Sumber: BPS (2012a dan 2012b)

Situasi masyarakat dalam kawasan HLWR

Kelurahan Wosi Distrik Manokwari Barat memiliki sebuah Kampung berlokasi di dalam kawasan HLWR yaitu Kampung Soribo. Kampung Soribo saat ini merupakan kampung hasil relokasi Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari sekitar tahun 2011. Kampung Soribo, Ipingiosi dan Kentekstar yang sebelumnya terpencar di dalam kawasan HLWR digabungkan menjadi satu Kampung yaitu Kampung Soribo. Luas wilayah perkampungan adalah 104.28 ha (Dishut 2012).

Penduduk asli Kampung Soribo adalah masyarakat Suku Arfak. Pemilik tanah adat di dalam kawasan HLWR berasal dari marga Mandacan, Katebu dan Nuham. Selain itu, terdapat juga masyarakat Papua lain di luar Suku Arfak yang berdomisili di Kampung Soribo yaitu dari suku Biak dan Serui. Jumlah kepala keluarga di Kampung Soribo berdasarkan informasi aparat kampung dan verifikasi data jumlah penduduknya saat penelitian adalah 99 KK.

Pekerjaan utama masyarakat Kampung Soribo adalah petani. Hasil bertani (berkebun) digunakan untuk konsumsi pangan rumah tangga atau untuk dijual ke pasar Wosi yang jaraknya sekitar satu kilometer dari Kampung. Laksono et al. (2001) menyebutkan bahwa masyarakat Suku Arfak umumnya adalah petani. Kegiatan pertanian umumnya telah dilakukan secara turun temurun dengan cara membuat kebun.

Pembagian Wilayah Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Wosi Rendani Keberadaan adat di Papua diakui dan dinyatakan dalam Undang undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Papua. Adat didefinisikan sebagai kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun temurun. Adat juga mengatur perilaku di antara perseorangan, di dalam dan antar keluarga, masyarakat dan pihak-pihak luar serta mengatur hubungan antara manusia dengan alam (Contreras et al. (2006). Ter Haar et al. (1994) menyebutkan bahwa masyarakat yang berada dalam hukum adat memiliki kesamaan wilayah (teritorial), keturunan (geneologis) atau kesamaan wilayah dan keturunan (teritorial dan geneologis).

Pemanfaatan sumber daya lahan dan hasil hutan di wilayah tanah adat suku tertentu di Papua umumnya diatur berdasarkan aturan adatnya. Hal ini dimaksudkan antara lain agar manfaat lahan atau hasil hutan dapat terus diperoleh secara berkesinambungan, menghindari konflik sosial, atau pengukuhan jati diri. Tanah adat umumnya dikuasai secara turun-temurun dan dimanfaatkan bersama oleh masyarakat dalam suku. Batas-batas kepemilikan dan pemanfaatan telah diketahui oleh keluarga, fam atau masyarakat yang berasal dari suku tersebut atau masyarakat Papua dari suku lain. Sungai, gunung, pohon atau tanda fisik alam lainnya dijadikan pedoman dalam melakukan kegiatan pemanfaatan lahan atau hasil hutan (Laksono et al. 2001, Kartikasari et al. 2012 dan Yarman 2012).

Kondisi serupa juga terjadi pada masyarakat Suku Arfak. Lahan dan hasil hutan pada wilayah adat Suku Arfak umumnya menjadi hak pemanfaatan masyarakat Suku Arfak. Pemanfaatan tanpa izin pemilik tanah ulayat (kenamnyak/andigpoy) dapat berakibat pada timbulnya konflik. Masyarakat lain di luar Suku Arfak dapat juga memanfaatkan lahan atau hasil hutan setelah meminta izin kepada pemilik tanah ulayat diantaranya untuk pembuatan kebun, tempat tinggal atau mengambil hasil hutan.

Masyarakat Arfak umumnya mengambil hasil hutan dalam jumlah terbatas sesuai kebutuhan hidup, antara lain dalam penggunaan lahan hutan untuk berkebun, berburu, pemungutan bahan pangan, kayu bakar atau bahan-bahan dalam pembuatan rumah. Berbagai manfaat yang diperoleh dari hutan sebagai bentuk kemurahan alam dalam kehidupan mereka. Pandangan terhadap pentingnya hutan dalam kehidupan masyarakat Arfak kemudian diaktualisasikan dalam cara mengelola dan memanfaatkan hutan agar dapat terus memberikan manfaat dalam konsep pengelolaan berkelanjutan (igya ser hanjop) (Laksono et al. 2001).

Laksono et al. (2001) dan Mulyadi (2012) menyebutkan bahwa praktik pemanfaatan lahan dan hasil hutan di wilayah hutan masyarakat Suku Arfak dibagi menjadi empat wilayah yaitu:

1. Wilayah Bahamti, yaitu wilayah hutan primer yang lokasinya berada lebih tinggi dari perkampungan. Secara geografis, wilayah Bahamti umumnya terletak pada lokasi yang tinggi, bersuhu dingin dan sulit dijangkau. Aktivitas yang tidak boleh dilakukan adalah pembukaan lahan untuk berkebun, berburu, mengambil kayu atau membuat perkampungan. Hasil hutan yang diperbolehkan untuk diambil antara lain kulit kayu untuk dinding rumah, tali rotan untuk mengikat tiang-tiang rumah atau pengambilan daun untuk atap rumah, namun dalam jumlah terbatas.

2. Wilayah Nimahamti, yaitu bagian dari wilayah Bahamti berupa hutan yang sangat lembab dan dicirikan dengan banyaknya lumut dalam vegetasinya. Kondisi ini tidak memungkinkan dijadikan kebun, karena tanaman pangan tidak dapat tumbuh subur terutama untuk tanaman holtikultura yang umum ditanam oleh masyarakat Suku Arfak.

3. Wilayah Susti, yaitu wilayah hutan sekunder yang telah mengalami masa bera. Wilayah Susti merupakan lahan hutan yang sebelumnya pernah dibuka menjadi kebun. Lokasi tersebut telah lama ditinggalkan dan telah berhutan kembali (±5—20 tahun). Wilayah Susti dicirikan dengan adanya beberapa spesies tumbuhan yang sama pada lahan kebun masyarakat. Aktivitas yang boleh dilakukan adalah mengambil hasil hutan kayu dan non kayu serta pembukaan lahan hutan untuk berkebun.

4. Wilayah Situmti, yaitu wilayah yang pernah dipergunakan untuk menanam ubi jalar. Wilayah ini umumnya berada di wilayah perkampungan atau halaman rumah dicirikan dengan tumbuhnya rerumputan atau sayuran.

Berdasarkan klasifikasi pembagian wilayah pemanfaatan, observasi lapang dan informasi topografi kawasan HLWR Dishut (2012), maka kawasan HLWR dapat diindikasikan merupakan wilayah susti dan situmti.

Penggunaan Lahan Hutan untuk Kebun di Dalam Kawasan HLWR Penggunaan lahan hutan untuk kebun dalam kawasan HLWR telah berlangsung lama dan bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan pangan serta dijadikan sumber ekonomi utama keluarga. Peran hutan dalam kegiatan pertanian terlihat dari sistem pertanian dengan mengandalkan tingkat kesuburan yang diberikan alam. Suhendang (2013) menyebutkan bahwa pengetahuan terhadap peran hutan dapat memberikan kesuburan tanah pada sebagian masyarakat lokal diyakini sebagai suatu kebenaran. Keyakinan itu tetap dipertahankan secara turun temurun walaupun tanpa menggunakan proses berpikir ilmiah.

Pengetahuan masyarakat Arfak terhadap lahan hutan yang baik untuk dijadikan kebun umumnya berdasarkan tiga indikator yaitu topografi, warna tanah dan telah tumbuhnya jenis pohon tertentu. Pembukaan kebun pada tanah datar lebih disukai karena lebih mudah diolah dibandingkan kontur miring/lereng. Tanah berwarna hitam dan merah mengindikasikan tingkat kesuburan tanah yang baik, dan tumbuhnya beberapa jenis pohon indikator (Laksono et al. 2001). Kondisi ini hampir sama dengan praktik pertanian tradisional oleh masyarakat Arfak di dalam kawasan HLWR. Tahapan pembukaan lahan hutan untuk kebun diantaranya:

1. Pembersihan tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah berupa semak belukar, rerumputan dan tumbuhan berdiameter kecil (Ø<10 cm) dibersihkan menggunakan parang dan sabit. Kegiatan ini dalam bahasa Sougb disebut juga mahamlo. Pekerjaan pembersihan lahan umumnya dilakukan oleh kaum perempuan.

2. Pembakaran. Bekas semak, rumput atau tumbuhan bawah yang telah mengering akan dikumpulkan dalam beberapa tumpukan kecil untuk dibakar

(masairo). Tindakan tersebut dilakukan untuk menambah tingkat kesuburan tanah dan mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan.

3. Penebangan atau dibiarkan meranggas. Pohon berdiameter kurang dari 10 cm (mahiro) sebagian ditebang dan sisanya dibiarkan meranggas untuk dijadikan stok kayu bakar rumah tangga. Lahan kebun dibersihkan dari kayu bekas tebangan dengan cara dikumpulkan pada lokasi tertentu yang sewaktu-waktu dapat diambil dan digunakan sebagai kayu bakar rumah tangga.

Gambar 4 Pembukaan lahan hutan untuk berkebun

4. Penanaman. Lahan kebun yang telah dibersihkan selanjutnya ditanami jenis- jenis tanaman yang umum diusahakan antara lain ubi talas, ubi kayu, ubi jalar, pisang, pepaya, jagung, labu dan lengkuas. Pola penanaman (mabemij) umumnya menggunakan pola tanaman campuran (policulture) dalam satu hamparan kebun yang dimaksudkan agar pemanenan dapat dilakukan sepanjang waktu. Morren dan Hyndman (1987), Paiki (1996) dalam Kartikasari et al. (2012) menyebutkan bahwa sistem pertanian yang dilakukan masyarakat Papua dengan pola tanaman campuran dapat mengurangi kerugian akibat panen yang buruk serta dapat meningkatkan keragaman dan kualitas panen.

Gambar 5 Kebun masyarakat di dalam kawasan HLWR

5. Menunggu masa panen. Masyarakat Arfak umumnya tidak melakukan upaya intensifikasi pertanian seperti penggunaan pupuk atau obat-obatan tanaman. Produktivitas tanaman hanya mengandalkan tingkat kesuburan tanah secara alami (Laksono et al. 2001 dan Mulyadi 2012). Kondisi serupa ditemukan dalam sistem pertanian di lahan kebun masyarakat dalam kawasan HLWR. Tanaman akan dibiarkan tumbuh dengan sendirinya hingga berproduksi. Kegiatan yang dilakukan sambil menunggu masa panen adalah pembersihan gulma. Rumput, ilalang dan tumbuhan lainnya yang menggangggu pertumbuhan tanaman dicabut dan dikumpulkan di sekitar tanaman pokok. Tindakan tersebut dimaksudkan agar tanaman pokok tetap memperoleh kelembaban dan menambah tingkat kesuburan di sekitar tanaman pokok.

Dokumen terkait