• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP SOSIOLOGI SASTRA, SETTING

2.2 Kondisi Umum Masyarakat Jepang Pada Zaman Edo

2.2 Kondisi Umum Masyarakat Jepang Pada Zaman Edo

Selama beberapa dasawarsa, dua orang yaitu Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi mengarahkan reunifikasi Jepang yang telah dibuat cerai-berai oleh Shogunat Ashikaga yang tidak kompeten. Oda Nobunaga (1534-1582) bangkit secara tiba-tiba dari penguasa tak dikenal di sebuah wilayah kecil di propinsi Owari dan hampir sukses dalam mempersatukan negeri Jepang dengan kejeniusan militernya yang kreatif dan tak kenal ampun. Ia hanya bisa dihentikan ketika tewas dibunuh oleh salah seorang jenderalnya sendiri, Akechi Mitsuhide.

Yang menggantikan Nobunaga adalah seorang jenderalnya yang bernama Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), seorang pemimpin samurai yang berasal dari

keluarga petani dan naik sampai menjadi jendreral berkat kecakapan dan kesetiaannya kepada Oda Nobunaga.

Toyotomi Hideyoshi memindahkan markasnya ke Osaka dari mana ia mulai menaklukkan daimyo-daimyo yang belum tunduk. Dalam usahanya ia dibantu oleh Tokugawa Ieyasu dan berhasil, sehingga Tokugawa Ieyasu kemudian memeperoleh tanah luas di daerah Kanto, di mana ia mendirikan markasnya di Edo (daerah Tokyo sekarang). Setelah menguasai seluruh Jepang, Toyotomi Hideyoshi mengerahkan kekuatannya ke Korea, dan selanjutnya ke Cina. Kekuatan militer Jepang dalam ekspedisi ini sampai ke sungai Yalu, yaitu perbatasan antara Korea dan Cina (Manchuria). Tetapi karena masalah-masalah logistik, Jepang akhirnya terpaksa mundur.

Karena untuk dapat diakui sebagai shogun, seorang harus dikenal mempunyai garis keturunan Kamakura atau Minamoto, maka Toyotomi Hideyoshi yang berasal dari petani, tidak pernah mengangkat dirinya sebagai shogun. Ia bersandar sepenuhnya pada prestise Tenno yang mendukungnya. Namun ia memperoleh sebutan kampaku (wali) setelah berhasil mengadaptasi dalam keluarga Fujiwara. Selama kekuasaannya, Toyotomi Hideyoshi menegakkan penentuan kelas dalam masyarakat Jepang, yaitu pemisahan yang tegas antara samurai, petani, tukang, dan pedagang. Selain itu, usaha Oda Nobunaga untuk menjadikan Jepang suatu pasaran bebas dengan mematahkan kekuasaan ekonomi dari para gilde (serikat kerja) dilanjutkan kembali. Untuk berfungsinya pasaran bebas, ia menciptakan mata uang emas. Kemudian ia juga mengadakan pengetatan hak penguasaan atas tanah dan merampas semua senjatan milik petani.

Meninggalnya Toyotomi Hideyoshi menimbulkan persaingan antara para daimyo, mengenai siapa yang akan menggantikannya. Sebelum meninggal, Hideyoshi menunjuk sebuah dewan yang terdiri atas lima Tairo, atau menteri utama, untuk memerintah negri sampai anak lelakinya yang bernama Hideyori, mencapai usia dewasa, dengan harapan bahwa melalui cara itu, klan Toyotomi akan terus memerintah negri Jepang. Salah satu dari kelima Tairo itu adalah Tokugawa Ieyasu. Dengan wafatnya Toyotomi Hideyoshi, Tokugawa Ieyasu meneruskan pekerjaannya dan menyempurnakan persatuan bangsa. Ia putra keluarga kaya di Mikawa dan dengan tekun memperkuat kedudukannya selama zaman Nobunaga dan Hideyoshi.

Tetapi tampuk kekuasaan akhirnya diperebutkan antara Tokugawa Ieyasu dan Mori Terumoto, di mana masing-masing dibantu oleh daimyo yang memihak mereka. Pertempuran hebat di Sekigahara pada tahun 1600 memberikan kemenangan pada Tokugawa Ieyasu. Tiga tahun kemudian (1603), ia diangkat oleh Tenno Heika menjadi Seii-Taishogun dan bermarkas di Edo yang kemudian menjadi pusat kekuasaan politik dan militer Jepang selama kurang lebih 265 tahun (1603-1867).

2.2.1 Keshogunan

Masa Tokugawa yang berlangsung hingga tahun 1867 telah memberikan landasan kepada Jepang dalam membentuk Jepang modern dewasa ini. Tokugawa mengakui supremasi Tenno sebagai lambang kelangsungan Jepang. Ia menyediakan tanah untuk keluarga Tenno dan keluarga-keluarga aristokrat di sekeliling Tenno. Tetapi Tenno dan keluarga-keluarga di sekelilingnya tidak boleh

meninggalkan Kyoto dan dilarang mencampuri urusan pemerintahan serta berhubungan dengan para daimyo. Untuk itu ditempatkan seorang Shoshidai atau gubernur-jenderal dengan pasukan besar bertempat di sebelah istana Tenno di Kyoto. Selama masa shogunat Tokugawa dari tahun 1603 hingga 1867, ada 15 orang keluarga Tokugawa yang telah diangkat menjadi shogun. Dimulai dengan Ieyasu (1603-1605) sebagai pendiri kekuasaan Tokugawa, kemudian berturut-turut dilanjutkan oleh Hidetada (1605-1623), Iemitsu (1623-1651), Ietsuna (1651-1680), Tsunayoshi (1680-1709), Ienobu (1709-1712), Ietsugu (1712-1716), Yoshimune (1716-1745), Ieshige (1745-1760), Ieharu (1760-1786), Ienari (1786-1837), Ieyoshi (1837-1853), Iesada (1853-1858), Iemochi (1858-1866), dan terakhir Yoshinobu (1866-1867), (Sayidiman, 1982: 18).

Sebagaimana beberapa pemimpin Jepang sebelumnya, Ieyasu juga menginginkan anak cucunya dapat memegang terus kekuasaan tertinggi di Jepang. Tindakan-tindakan yang dirasa perlu pun diambilnya. Ieyasu memilih Edo sebagai ibukota pemerintahannya. Di sekitar kota Edo dibuka tanah-tanah sewa, yang disewakannya pada anggota-anggota keluarganya sendiri, keluarga Tokugawa. Semua kedudukan penting diberikannya kepada orang-orang yang dapat ia percaya. Apabila kelihatan ada tanda-tanda munculnya kerusuhan, Ieyasu membagikan tanah-tanah sewa kepada anggota keluarganya dan para daimyo. Dengan begitu seorang daimyo yang berniat mengadakan pemberontakan, akan dapat melihat bahwa disekitar wilayahnya ada tanah-tanah sewa yang dikuasai oleh seorang anggota keluarga Tokugawa. Untuk menghindari lebih jauh keadaan yang tidak diinginkan, Ieyasu juga memaksa daimyo-daimyo yang kesetiaannya agak diragukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, misalnya

membangun istana benteng, sehingga daimyo itu tidak mempunyai waktu untuk tujuan-tujuan lain.

Pemerintahan samurai pusat didirikan sebagai langkah untuk menjamin pengendalian para daimyo, tekanan atas istana serta pengawasan terhadap para petani. Pengendalian terhadap para daimyo memakan hampir seluruh tenaga Ieyasu. Setelah pertempuran Sekigahara, Ieyasu mengadakan perubahan-perubahan penting, seperti yang dikemukakan Sakamoto (1982: 38):

1. Pembagian wilayah dengan memberikan daerah-daerah Kinai, Kanto, dan Tokai kepada daimyo yang telah mengabdi kepadanya secara turun-temurun. Ia juga menempatkan daimyo yang tidak mempunyai ikatan erat dengan keluarga Tokugawa di daerah-daerah yang jauh seperti daerah Tohoku, Shikoku, dan Kyushu.

2. Menetapkan kitab undang-undang bagi keluarga ksatria yang mengatur secara tertulis kewajiban para daimyo.

3. Menetapkan sistem yang dikenal sebagai sankinkotai yang mewajibkan para daimyo untuk mengabdi secara bergantian di Edo dan di wilayah-wilayahnya sendiri, sementara istri dan anak-anak mereka harus tetap tinggal di Edo. Mereka berada di bawah pengawasan lembaga bakufu dan secara mutlak bertugas mengabdi kepada shogun.

4. Kitab undang-undang untuk keluarga bangsawan ditetapkan untuk mengatur istana, kitab ini mengizinkan bakufu untuk campur tangan dalam kegiatan kaisar dan untuk diajak bicara dalam hal penunjukan dan pemberian pangkat.

5. Menetapkan sistem yang menentukan kedudukan sosial seseorang dengan cara menggolongkannya dalam salah satu dari keempat kelas, yaitu samurai, petani, buruh (tukang) atau pedagang (shi-nô-kô-shô) diterapkan secara ketat.

Kemudian Ieyasu mengambil langkah-langkah positif dalam bidang perdagangan karena terdapat keuntungan dari usaha itu. Pada tahun tahun 1600 kapal Belanda pertama tiba di Jepang di pelabuhan Bungo di Kyushu. Ieyasu kemudian mengundang dua orang awak kapal yang berkebangsaan Belanda itu ke Edo dan memperlakukan mereka secara khusus dengan cara mengangkat mereka menjadi penasehat untuk urusan luar negri. Sejak itu bangsa Belanda mulai mengunjungi Jepang secara teratur dan membangun kantor dagang di Hirado sebagai basis perdagangan mereka dengan Jepang. Sebuah kapal Inggris juga memasuki pelabuhan dan mendirikan kantor dagang, tetapi mereka tidak berhasil menyaingi bangsa Belanda dan terpaksa meninggalkan usaha itu.

Karena dorongan Ieyasu, perjalanan ke luar negri dan kegiatan perdagangan Jepang mulai maju. Jumlah “sertifikat bersegel merah” yang diberikan kepada pedagang sebagai ijin resmi untuk pergi ke luar negri antara yahun 1604-1616 berjumlah lebih dari 180. Perdagangan luar negri yang maju ini mendorong perluasan agama kristen dan sekitar tahun 1605 jumlah penganutnya mencapai angka lebih dari tujuh ratus ribu orang. Akan tetapi berbagai hal meyakinkan Ieyasu bahwa agama kristen merupakan ancaman terhadap masa depan bangsa dan ia mulai menjalankan tindakan-tindakan untuk menekan agama itu, yaitu dengan cara Shogun ketiga Iemitsu menolak orang Spanyol yang ingin datang ke Jepang dan berdagang, ia juga melarang orang Jepang pergi ke luar

negri atau kalau mereka pergi, dilarang pulang kembali ke Jepang. Sekitar zaman itu tejadi suatu ikki (pemberontakan petani) yang dilancarkan oleh petani-petani yang beragama kristen di Shimabara, Kyushu. Ini menyebabkan kesukaran besar bagi militer bakufu, dan mengakibatkan tindakan yang semakin keras terhadap agama kristen. Pada tahun 1639 larangan yang serupa berlaku bagi kapal Portugis dan pada tahun 1641 kantor dagang Belanda di Hirado dipindahkan ke Pulau Dejima, pelabuhan Nagasaki. Kunjungan–kunjungan orang Belanda ke daerah lain dilarang. Nagasaki menjadi satu-satunya pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar dan hanya orang Belanda dan Cina yang diijinkan berdagang. Dengan cara inilah isolasi nasional Jepang dimulai. Isolasi membantu memperkuat dan mengamankan pengendalian bakufu atas seluruh negara dan juga membantu perkembangan kebudayaan khas Jepang.

Semenjak zaman shogun keempat, Ietsuna, bakufu mulai melonggarkan cara pemarintahan militer yang ketat untuk lebih memberi tekanan pada usaha pendidikan dan kebudayaan. Kecenderungan ini menjadi semakin lebih nyata dibawah shogun kelima, Tsunayoshi. Zaman yang bertepatan dengan masa pemerintahan Tsunayoshi dinamakan zaman Genroku, nama lain dari masa perdamaian dan kemakmuran. Ia mengkhususkan perhatian pada pengajaran neo – Kong Hu Cu dari Chu Shi (Shushi-gaku) yang menekankan kewajiban penguasa dan rakyat serta hormat kepada moralitas biasa, memenuhi syarat sebagai dukungan teoritis bagi pemerintahan feodal bakufu.

Dengan masuknya ekonomi uang ke seluruh bangsa dan dengan semakin banyaknya tuntutan selera masyarakat, maka kekayaan juga semakin menumpuk ditangan kelas pedagang, sedangkan bakufu berada dalam kesulitan keuangan dan

para samurai serta petani tenggelam dalam kemiskinan. Selam zaman Genroku bakufu berusaha untuk membangun kembali keuangannya dengan cara mencetak ulang mata uang, menetapkan pajak “kemewahan” (goyoukin) bagi pedagang kaya, tapi tindakan ini tidak berhasil.

Yoshimune, shogun kedelapan, mengeluarkan larangan keras terhadap kemewahan dan dekadensi. Ia mendorong berkembangnya seni bela diri di kalangan kaum samurai dan memerintahkan seluruh bangsa untuk hidup sederhana. Ia juga mendorong pembukaan lahan pertanian dan pertumbuhan industri untuk membantu keadaan keuangan. Hasil-hasil perbaikan ini juga tidak memuaskan. Di bawah shogun kesepuluh, Ieharu, kaum samurai menjadi dekaden dan korupsi merajalela.

Di bawah shogun kesebelas, Ienari, menteri utama Matsudaira Sadanobu menjalankan kebijaksanaan memperkuat pemerintahan yang dicontohkan dari tindakan Yoshimune. Ia mendorong tumbuhnya ilmu dan seni bela diri, memaksa hidup sederhana dan mengambil langkah lain yang cukup ekstrim dan keras.

Dalam bidang pendidikan, tersebar luas ke seluruh negara. Selain sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh bakufu dan klan, juga terdapat terakoya atau sekolah di kuil yang merupakan sumber pendidikan bagi anak-anak pedagang dan petani, dan merupakan tempat di mana mereka dapat memeperoleh dasar-dasar pendidikan, yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Pada zaman ini muncul dalam bidang ilmu pengetahuan yang disebut dengan koku gaku (studi nasional), yang mulai mengimbangi perhatian yang berlebihan pada ilmu pengetahuan dari Cina dengan studi bahasa Jepang kuno, dan menganjurkan kembalinya cara hidup dan pemikiran kuno dan bersifat pribumi. Cabang ilmu pengetahuan lainnya ialah

Ran-gaku atau “ilmu pengetahuan Belanda”. Bahasa Belanda telah lama dikenal oleh para penterjemah untuk orang Belanda di Nagasaki, tetapi shogun Yoshimune menyuruh Aoki Konyo dan sarjana lain untuk mempelajari bahasa tersebut. Melalui ilmu bahasa, cabang ilmu pengetahuan lain berkembang sampai palajaran dalam berbagai bidang dari dunia barat, seperti ilmu kedokteran, astronomi, ilmu alam dan kimia diperkenalkan di Jepang.

Bangsa pertama yang mengetuk pintu Jepang untuk memohon dibukanya hubungan dagang ialah Rusia. Kemudian, pada tahun 1853 Komodor Perry dari Amerika Serikat, memasuki pelabuhan Uraga dengan kapal-kapal perangnya. Ia membawa surat dari presiden Amerika yang ingin membuka hubungan dagang dengan Jepang. Tetapi kalangan istana dan daimyo menuntut supaya orang-orang “biadab” itu diusir. Tetapi ketika Perry kembali pada tahun berikutnya untuk minta jawaban, bakufu menyerah dan perjanjian persahabatan antara Jepang dan Amerika ditandatangani. Perjanjian itu mengatur bahwa dua pelabuhan, Shimoda dan Hakodate akan dibuka bagi kapal-kapal Amerika untuk memberi persediaan bahan bakar, air, dan makanan. Ini disusul dengan perjanjian serupa dengan Inggris, Rusia, dan Belanda. Dengan demikian, pintu negara Jepang sekali lagi dibuka setelah pengasingan yang berlangsung sepanjang dua abad.

Menyusul perjanjian persahabatan tersebut, Amerika Serikat mendorong bakufu untuk mengadakan perjanjian dagang, tetapi istana tidak mengijinkan. Menteri bakufu Ii Naosuke tidak mengindahkan penolakan dari istana dan menandatangani perjanjian dan pada tahun 1858 perjanjian dagang dan persahabatan ditandatangani antara Jepang dan Amerika Serikat.

Setelah wafatnya Ii Naosuke, bakufu berusaha mengendalikan krisis melalui kerjasama dengan istana. Klan Choshu menembak kapal asing melalui selat Shimonoseki, sementara klan Satsuma diserang pasukan Inggris di Kagoshima. Klan yang kuat ini menyadari bahwa mengusir “orang biadab” sebenarnya mustahil, tetapi terus bersikeras dalam usaha pengusiran sebagai cara untuk mempersulit kedudukan bakufu. Dalam Taro Sakamoto (1982: 47), klan Choshu pada mulanya menyerukan kesetiaan pada kaisar dan pengusiran orang-orang asing, sementara klan Satsuma menyerukan kerjasama antara istana dan bakufu. Kemudian fraksi yang menyerukan dijatuhkannya bakufu berkuasa di kedua klan tersebut, dan pada tahun 1866 kedua klan itu menandatangani perjanjian alisansi rahasia. Di istana, Iwakura Tomomi dan bangsawan berpangkat rendah lainnya, berusaha mengeluarkan perintah rahasia dari kaisar untuk menjatuhkan bakufu ketangan kedua klan itu. Tetapi pada hari itu shogun kelima belas, Yoshinobu, atas kehendaknya sendiri mengusulkan pengembalian tampuk pemerintahan kepada istana. Ia melakukan ini sebagai hasil peringatan yang disampaikan oleh penguasa klan Tosa kepada bakufu yang menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk menghindari campur tangan asing dan untuk memelihara kemerdekaan Jepang, ialah dengan mengembalikan pemerintahan langsung oleh kaisar secara damai. Istana menerima petisi Yoshinobu dan mengeluarkan perintah yang menyatakan pemulihan pemerintahan kaisar di tangan kaisar Meiji (Tahun 1868). Lembaga bakufu pun runtuh 265 tahun setelah Ieyasu diangkat sebagai shogun.

2.2.2 Daimyo

Pada zaman Muromachi, ada yang disebut dengan shugo (pelindung) dan jito (pengawas) yang ditunjuk untuk memerintah di propinsi. Para shugo dan jito dari zaman Kamakura merupakan tenaga bayaran keluarga Minamoto dan terikat pada keluarga ini dengan ikatan kesetiaan kuat. Para shugo dari zaman Muromachi bukan tenaga bayaran keluarga Ashikaga. Mereka tidak mengabdi secara mutlak kepada shogun, melainkan bertindak sesuai dengan kepentingannya masing-masing dan dengan demikian mengakibatkan landasan lembaga bakufu menjadi sangat rapuh. Lebih dari itu, kekuasaan para shugo telah semakin besar selama pertikaian antara Istana Utara dan Selatan. Mereka tidak hanya memperoleh kedudukan dimana mereka memiliki hak sebagai penguasa lokal atas seluruh tanah dan rakyat di propinsinya sendiri, tetapi ada beberapa orang shugo yang menguasai beberapa propinsi sekaligus. Seorang penguasa yang memiliki wilayah yang luas pada saat itu dikenal sebagai daimyo, dan istilah shugo-daimyo mulai dikenal. Pada zaman berikutnya daerah yang dikuasai seorang daimyo lebih kecil dari propinsi sebelumnya, tetapi diorganisasikan lebih kompak dan daimyo berkuasa penuh di dalamnya. Di dalam daerah inti seluruh tanah menjadi milik daimyo dan semua samurai yang hidup di situ menjadi anak buahnya.

Dalam masa Tokugawa, tanah pada umumnya dimiliki oleh para daimyo yang menjadi penguasa-penguasa daerah sebagai kelas samurai. Tetapi bagian terbesar rakyat, 80 persen adalah petani. Daimyo yang jumlahnya hanya sekitar 270 orang itu memperoleh desentralisasi wewenang dari shogun Tokugawa untuk menguasai suatu daerah. Dalam fungsi tersebut, mereka dibantu oleh para samurai.

Daimyo di masa Tokugawa dibagi 3 golongan yaitu: Shimpan, yaitu yang ada hubungan keluarga dengan Tokugawa. Fudai, yaitu yang mendukung Tokugawa sejak sebelum pertempuran Sekigahara ketika Tokugawa Ieyasu mengalahkan musuhnya. Tozama atau daimyo luar, yaitu mereka yang ditundukkan Tokugawa setelah Sekigahara (Sayidiman, 1982: 18).

Di antara seluruh daimyo, 63 persen termasuk dua golongan pertama, sedangkan Tozama hanya 37 persen. Meskipun begitu, wilayah yang dikuasai golongan Tozama dan tanah yang dimilikinya lebih besar dari Shimpan ataupun Fudai daimyo. Namun letak wilayah Shimpan dan Fudai lebih strategis, yaitu sekitar Edo sebagai pusat kekuasaan Tokugawa, sedangkan kedudukan daimyo Tozama jauh dari Edo yakni di bagian barat dan utara negara serta sepanjang pesisir laut Jepang.

Para daimyo sepenuhnya dikuasai oleh shogun, sehingga shogun dapat memindahkan seorang daimyo dari satu tempat ke tempat lain serta merampas tanahnya. Bahkan bakufu, yaitu sistem pemerintahan militer zaman Tokugawa, dapat membatasi gerak-gerik daimyo, sampai pada masalah perkawinan, pemeliharaan benteng tempat tinggalnya dan lain-lain. Bakufu juga menentukan adanya Sankin kotai, yaitu keharusan para daimyo untuk mempunyai tempat tinggal di Edo, tempat istri dan anak-anaknya harus ditinggalkan. Para daimyo dapat tinggal berpindah-pindah di Edo dan di tempat kekuasaannya, selama setahun atau setengah tahun berturut-turut. Kalau berada di Edo, mereka harus bekerja di markas shogun atau menjalankan fungsi-fungsi protokoler.

Tanah yang dimiliki Tokugawa adalah sekitar 7 juta koku ( 1 koku = jumlah tanah yang menghasilkan jumlah beras yang dikonsumsi satu orang dalam

satu tahun), sedangkan milik para daimyo yang terbesar adalah sekitar satu juta koku, milik daimyo Maeda, seorang daimyo Tozama di daerah Kaga (sekarang bernama Kanazawa).

2.2.3 Samurai

Samurai sebagai golongan yang paling tinggi diatas kaum petani, tukang dan pedagang, merupakan golongan elit yang berkuasa di jepang sampai akhir masa Tokugawa. Pada saat itu jumlah mereka 7 persen dari jumlah penduduk Jepang. Kalau sebelum masa Tokugawa kaum samurai lebih bersifat pejuang militer, maka pada masa Tokugawa yang penuh perdamaian mereka tidak atau sangat kurang mendapat kesempatan untuk mempraktekkan kemahiran militernya. Karena itu, kaum samurai lebih aktif sebagai pemimpin administrasi dan politik. Kaum samurai mamakai kedua pedang tradisionalnya sebagai tanda pangkatnya, dan mereka masih juga memelihara kecakapan perangnya, tetapi sesungguhnya mereka lebih menjadi penguasa administrasi negara daripada pejuang militer. Melalui peranannya itu, pengaruh sikap hidup kaum samurai meluas kepada golongan-golongan lainnya. Tetapi, mereka juga senantiasa memelihara apa yang dinamakan Bushido atau sikap hidup seorang samurai. Bushido adalah suatu kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai yang merupakan penyatuan prinsip-prinsip kesetiaan dan keberanian seorang militer dengan sikap moral tinggi yang diajarkan Konfusius. Sumbernya adalah pelajaran agama Buddha, khususnya ajaran Zen dan Shinto, karena ajaran ini menimbulkan harmoni dengan apa yang dikatakan orang Jepang “kekuasaan yang absolut”. Melalui meditasi, kaum samurai berusaha mencapai tingkat berfikir yang lebih

tinggi dari ucapan verbal. Di samping itu, kepercayaan Shinto mengajarkan kesetiaan kepada yang berkuasa, sehingga menetralisasi kemungkinan sifat sombong seorang pejuang militer. Bushido mengandung keharusan seorang samurai untuk senantiasa memeperhatikan: kejujuran, keberanian, kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, kehormatan atatau harga diri, dan kesetiaan. Untuk itu semua diperlukan pengendalian diri.

Dalam alam pikiran yang berhubungan dengan Bushido bagi seorang samurai, hidup dan mati dua keadaan yang berbeda secara fundamental. Hal ini diperkuat lagi oleh keharusan-keharusan yang tercantum dalam Bushido. Karena itu, kalau ia merasa tidak dapat mencapai tujuannya dalam keadaan hidup, maka lebih baik ia memilih mati. Apabila kehormatan samurai merasa terpukul atau terganggu, ia tidak ragu-ragu untuk bunuh diri yang dinamakan seppuku. Buat samurai, seppuku bukanlah peristiwa bunuh diri yang kosong, tetapi merupakan satu kelembagaan yang legal dan seremonial.

Bushido tidak dapat dipisahkan dari sikap samurai dalam menjalankan kepercayaannya. Umumnya kaum samurai menganut dan menjalankan kepercayaan Zen, maka berdasarkan pendalamannya itu, timbul suatu sikap yang senantiasa mencari harmoni dengan alam semesta, khususnya dengan alam lingkungan. Harmoni ini mencari ketenangan, kesederhanaan, dan keindahan yang antara lain dapat dilihat pada taman batu-batu Ryoan-ji, pada upacara minum teh, dan rangkaian bunga (ikebana). Pada zaman Edo ini kaum samurai juga mencurahkan perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Karena sifat-sifat samurai ini, maka banyak ahli ilmu pengetahuan Jepang yang berasal dari samurai. Di samping mempelajari sejarah Jepang melalui Kojiki dan pengembangan Shinto,

pada saat itu orang Jepang juga mulai mempelajari “ilmu-ilmu Barat” melalui orang-orang Belanda yang ada di Deshima.

2.2.4 Seniman dan Kesusastraan Zaman Edo

Pada awal zaman Edo keadaan kehidupan rakyat dalam bidang ekonomi dan masyarakat cukup kuat dan stabil. Oleh karena itu keharmonisan kedua factor tersebut banyak menunjang lahirnya bentuk-bentuk kesusastraan rakyat yang menggambarkan segi-segi kehidupan mereka. Selain itu juga sebagai akibat meluasnya pendidikan rakyat sehingga arus pembaca bertambah besar dan bersamaan dengan itu percetakan sebagai sarananya mulai terbentuk. Dengan demikian menyebabkan bidang ilmu pengetahuan dan bidang kesenian lainnya yang selama ini hanya terbatas pada golongan bangsawan saja mulai menyebar ke segenap lapisan masyarakat biasa.

Kesusastraan pada zaman ini yang disebut kesuasastraan pramodern dibagi dalam dua bagian: pertama, Kamigata, yang berpusat di Kyoto merupakan masa

Dokumen terkait