• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konfl ik Kepentingan Dalam Pemanfaatan Ruang

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT BERORIENTASI TATA RUANG

1. Konfl ik Kepentingan Dalam Pemanfaatan Ruang

Adanya paradigma yang menyatakan bahwa sumberdaya pesisir merupakan “common property resources” (sumberdaya milik bersama), sehingga wilayah pesisir memiliki fungsi publik (tersedia untuk kepentingan umum). Di samping itu sumberdaya dan wilayah pesisir juga merupakan “open access regime”, yang memungkinkan bagi siapapun yang mau dan mampu untuk memanfaatkan ruang serta sumberdaya pesisir. Implementasi dari kedua pandangan ini seringkali menjadi pemicu timbulnya konfl ik pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir. Konfl ik dapat terjadi, baik antar sektor, antar daerah maupun antar pelaku usaha di laut (nelayan, petambak, petani ikan, serta pelaku usaha lainnya). Sebagai ilustrasi, Konfl ik pemanfaatan ruang pesisir dan laut Kabupaten Batang, telah membenturkan kepentingan konservasi terumbu karang dan habitat perikanan dengan kepentingan industri berteknologi tinggi PLTU, juga membenturkan kepentingan sektor perikanan, pertanian dan ESDM. Juga konfl ik pemanfaatan ruang di teluk Semarang yang menaungi Kabupaten Kendal, Kota Semarang dan Kabupaten Demak, telah menyebabkan timbulnya benturan kepentingan antara sektor industri (KEK Kendal dengan perikanan tambak Kota Semarang, Kawasan Industri Wijaya Kusuma dengan Kawasan Pertambakan Tugu Semarang, dan KI Terboyo Semarang dengan Perikanan Tambak Kabupaten Demak).

Timbulnya konfl ik dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan, dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

• Menonjolnya ego-sektoral dan ego-kedaerahan, yang meng-anggap sektor atau daerahnya lebih berwenang atau lebih superior dari sektor atau daerah lain dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Pengelolaan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan selama ini lebih banyak dilakukan secara sektoral dan berorientasi pada keuntungan sesaat (jangka pendek) secara maksimal. Egoisme sektoral lebih dominan daripada kerjasama secara sinergis antar sektor untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal.

pe-ren cana, pengambil keputusan, serta pelaku kegiatan pembangunan di kawasan pesisir akan pentingnya nilai strategis sumberdaya pesisir, baik yang sifatnya mudah atau sulit diperbarui, serta perlunya dijaga kebersihan/kein-dahan lingkungan pesisir bagi kelangsungan pembangunan; • Lemahnya koordinasi dan kerjasama antara para pihak yang

berkepentingan dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pesisir di tingkat daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota).

• Belum dipakainya pertimbangan daya dukung lingkungan dan daya lenting sumberdaya pesisir sebagai rambu-rambu pembatas tingkat eksploitasi sumberdaya alam di kawasan pesisir;

• Belum ada batas pengelolaan yang tegas dan jelas mengenai kawasan pesisir dan laut yang menjadi kewenangan setiap Provinsi, Kabupaten dan Kota, termasuk kerjasama secara sinergis antar daerah yang berbatasan.

• Lemahnya koordinasi serta kemampuan aparatur dan kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber-daya pesisir dan lautan;

Secara sosio-anatomis, sesungguhnya konfl ik dalam pena-taan dan pemanfaatan ruang pesisir, dapat dikelompokkan ke dalam berbagai kategori berdasarkan faktor-faktor penyebabnya, yaitu (Satria, 2002):

• Konfl ik kelas, yaitu konfl ik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan ruang atau wilayah penangkapan ikan (fi shing ground), terutama pada jalur (Ia 0 – 3 mil) dan Ib (3 – 6 mil). Konfl ik itu dipicu akibat beroperasinya kapal/armada penangkap ikan, misalnya Trawl, di perairan pesisir (jalur 1) yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan ikan nelayan tradisional (skala kecil). Nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam memanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan kelas atau tingkat penguasaan kapital.

• Konfl ik orientasi, yaitu konfl ik yang terjadi antar nelayan yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan

sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Konfl ik tipe ini didasari oleh sifat altruistik yang dianut oleh masing-masing pelaku usaha perikanan. Nelayan atau pelaku usaha penangkapan ikan yang menganut pola altruistik negatif akan cenderung mengikuti orientasi jangka pendek. Pelaku usaha tipe ini seringkali melakukan kegiatan yang bersifat destruktif atau melakukan penangkapan ikan berlebihan (over exploitasi), misalnya dengan menggunakan alat tang-kap yang bersifat merusak lingkungan (bahan peledak, bahan kimia beracun, aliran listrik, serta jaring yang tidak selektif atau bersifat merusak). Sebaliknya, pelaku usaha yang menganut pola altruistik positif, cenderung berorientasi jangka panjang. Mereka melakukan penangkapan ikan secara terkendali (responsible fi sheries) pada musim dan lokasi yang tepat dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Kelompok ini dalam pengoperasian alat tangkap akan selalu menghindari tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan (spawning and nursery ground) serta musim pemijahan ikan (spawning season).

• Konfl ik agraris spasial, yaitu konfl ik yang terjadi akibat perebutan atau tumpang tindihnya pemanfaatan ruang perairan laut. Misalnya, tumpang tindih antara : fi shing

ground (daerah penangkapan ikan) dengan spawning ground

(daerah pemijahan), fi shing ground dengan kegiatan pe-manfaatan lainnya (penambangan pasir/ terumbu karang,

fi sh sanctuary, terumbu karang buatan, alur pelayaran kapal

niaga), antara spawning ground dengan penambangan pasir laut (contoh: kerusakan habitat vital/spawning ground ikan Gelam/Phytophill, Psammopercha waigiensis, akibat penambangan pasir di Riau Kepulauan dan perairan Batam), antara zona konservasi terumbu karang/sempadan pantai dengan wisata bahari minaboga di Kepulauan Karimunjawa, antara kawasan industri dan pelabuhan Kendal/Kaliwungu dengan pertambakan Mangunharjo Semarang. Akibat tumpang tindihnya kegiatan yang tidak sinergis tersebut menyebabkan timbulnya dampak yang tidak diinginkan,

antara lain: (a) kerusakan habitat pemijahan dan penurun-an stok udpenurun-ang jahe (Metapenaeus elegpenurun-ans) di Sega ra Anakan Cilacap, (b) kerusakan habitat terumbu karang dan terjadinya pencemaran air di Kabupaten Batang dan Jepara, (c) degradasi lingkungan ( abrasi) dan hilang/ hancur nya tambak seluas 180 ha di pesisir Mangunharjo dan 128 ha di Sayung-Morosari Kabupaten Demak..

• Konfl ik primordial, yaitu konfl ik pemanfaatan ruang/ sumberdaya yang terjadi akibat menonjolnya egoisme/ kepentingan sektor, daerah, etnik, individu, kelompok, atau lainnya. Konfl ik tipe ini terlihat menonjol terutama setelah diberlakukannya desentralisasi (otonomi daerah) sebagaimana diamanatkan UU No. 32 tahun 2004.

2. Degradasi Sumberdaya dan Lingkungan