• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.3.2 Teori Konflik

Sholihan (2007 : 6-7), memberikan penjelasan tentang konflik secara

gamblang. Menurutnya, secara konseptual konflik dibedakan dengan kekerasan.

“Konflik (conflict) adalah “hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau

kelompok) yang memiliki, atau mereka menganggap memiliki tujuan yang

bertentangan. Sedangkan kekerasan (violence) meliputi tindakan, kata-kata, dan

sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, dan

lingkungan, dan/atau menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan

potensinya”. Menurutnya, cakupan konflik amatlah luas, dari level konflik

interpersonal hingga level kelompok, orgaisasi, komunitas dan lain-lain; dan

meliputi hubungan sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Konflik muncul akibat

ketidakseimbangan pada hubungan-hubungan ini. Misalnya status sosial,

kekayaan, dan akses terhadap sumber daya , serta kekuasaan yang tidak adil

mengakibatkan berbagai persoalan seperti diskriminasi, pengangguran,

28

28

Memang konflik dapat dibedakan dengan kekerasan, namun keduanya

berkaitan. Keterkaitannya itu terlihat dari adanya kenyataan bahwa tidak jarang

terjadi konflik yang disertasi dengan atau bernuansa kekerasan. Selain itu,

keterkaitannya itu juga tercermin dari arti kata konflik dan kata kekerasan. Arti

kata konflik sebagaimana dikemukakan oleh Pruitt dan Rubin (2004 : 9), yakni

sebagai ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide,

dan lain-lain. Sedangkan kekerasan juga dapat diartikan sebagai berikut.

“Semua hal yang mengarah pada sikap mengingkari keberadaan orang

lain, yang ujung-ujungnya adalah kematian orang lain. Bukan hanya kematian fisik, melainkan juga kematian jati dirinya. Tidak lagi melihat orang itu sebagai seseorang, sebagai manusia, tetapi sebagai benda atau seekor binatang yang dapat diperlakukan semaunya, diperkosa akhirnya

dibunuh” (Smelin, 2003 : 9).

Khusus mengenai sumber konflik antaretnis atau antargolongan/umat

agama, Koentjaraningrat (1989 : 337-338) menegaskan bahwa paling sedikit ada

lima macam sumber untuk konflik, yakni sebagai berikut.

1) Konflik bisa terjadi, kalau warga dari dua suku-bangsa masing-masing

bersaing dalam mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama.

2) Konflik juga bisa terjadi kalau warga dari satu suku-bangsa mencoba

memaksakan unsur-unsur kebudayaannya kepada warga dari suatu

suku-bangsa lain.

3) Konflik yang sama dasarnya, tetapi lebih fanatik dalam wujudnya, bisa

terjadi kalau warga dari suatu suku-bangsa mencoba memaksakan

konsep-konsep agamanya terhadap warga dari suku-bangsa lain yang

29

4) Konflik terang akan terjadi kalau satu suku bangsa berusaha

mendominasi suatu suku bangsa lain secara politis.

5) Potensi konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-suku-

bangsa yang telah bermusuhan secara adat.

Menurut pendapat para ahli, masyarakat multikultural sarat dengan

potensi konflik, bahkan di dalamnya kerap terjadi peristiwa konflik. Hal ini

berkaitan dengan interaksi antara para anggota masyarakat multikultural yang

mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagaimana dikemukakan Leliweri

(2001: 208) perbedaan kebudayaan menyangkut berbagai aspek, yakni “(1)

keyakinan; (2) perasaan/sentimen; (3) tujuan, sasaran, dan cita-cita; (4) norma; (5)

kedudukan dan peranan; (6) tingkatan atau pangkat; (7) kekuasaan atau pengaruh;

(8) sanksi; (9) sarana atau fasilitas; dan (10) tekanan-ketegangan”. Perbedaan-

perbedaan ini bisa melahirkan sikap prasangka etnik ataupun prasangka

kelompok, sebagaimana terlihat pada stereotip antaretnik ataupun antarkelompok

sosial, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Hal ini bisa terjadi karena

sebagaimana dikemukakan Geertz (1999) dan Kleden (1999), manusia selalu

terikat pada kebudayaannya masing-masing, baik dalam arti kebudayaan sebagai

aspek kognitif (model of atau model tentang – atau kebudayaan sebagai sistem

pengetahuan dan sistem makna), maupun kebudayaan sebagai aspek evaluatif

(model foratau model untuk–aspek evaluatif kebudayaan).

Biasanya dalam interaksi antara anggota kelompok yang berbeda seperti

itu bisa muncul penilaian antarkelompok secara subyektif. Dalam penilaian itu,

30

30

lain dengan menggunakan kelompok dan kebiasaannya sendiri sebagai kriteria

(Bennett, 1990 : 81). Dalam keadaan demikian orang biasanya memandang

bahwa yang tinggi atau yang baik adalah diri sendiri dan kelompoknya ( Berry,

1999; Sudagung, 2001).

Penilaian secara subjektif seperti itu dapat menguatkan paham kekitaan

dan kemerekaan dan secara mudah dapat memunculkan eksklusivisme atas dasar

kesukubangsaan, kedaerahan, dan keagamaan. Akibatnya, muncul aneka gejala

sosial, yakni :

Di kampung-kampung, desa-desa, di dalam suku-suku, etnik-etnik, umat- umat beragama, di antara para pendatang dan penduduk asli, dan bahkan di antara para mahasiswa di universitas-universitas ada orang yang tidak bersedia untuk menerima saudara sebangsa yang berbeda suku, agama, atau tempat kelahirannya. Kita saksikan kebencian antarkelompok, usaha memaksakan cita-cita kelompoknya sendiri kepada semua, penawaran solusi-solusi eksklusivistik, disertai dengan sikap intoleransi,

marginalisasi, kekerasan hati, brutalitas, pengusiran mereka yang “lain”

(Magnis-Suseno, 2006: 215).

Lebih lanjut penilaian seperti itu jelas tidak hanya berpotensi untuk menyulitkan

atau menghambat upaya membangun persatuan dan kesatuan atau kerjasama,

melainkan bisa juga berujung pada munculnya masalah konflik laten ataupun

terbuka. Contohnya adalah konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia,

seperti di Poso, Ambon, dan lain-lain yang merupakan konflik berlatarkan

eksklusivisme kesukubangsaan bercampur dengan persaingan memperebutkan

modal ekonomi dan modal politik (Trijono, 2001; Magnis-Suseno, 2006).

Masalah konflik antara kelompok-kelompok seperti itu biasanya sulit

diselesaikan meskipun dilakukan dengan berbagai upaya dalam rangka

31

atau meniadakan masalah konflik seperti itu adalah sebagaimana yang telah

terjadi dalam hubungan antaretnik di Indonesdia. Dengan pemberlakuan politik

bhinneka tunggal ika (berbeda tetapi tetap satu juga) untuk memelihara persatuan

dan kesatuan di Indonesia ternyata kehidupan masyarakat lebih banyak

kebhinnekaannya daripada ketunggalikaannya (Danandjaja,1988). Menurut

Abdullah (2006), implikasi politik bhinneka tunggal ika di Indonesia justru

menempatkan kebudayaan-kebudayaan yang beragam di berbagai tempat tidak

mendapat tempat yang layak dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk

diekspresikan sehingga melahirkan berbagai akibat antara lain pemisahan diri,

konflik, dan teror.

Kemultikulturalan yang mengandung potensi konflik seperti itu bisa juga

dilihat pada masyarakat Bali, antara lain karena masyarakat Bali biasanya

memilah warga masyarakat menjadi dua macam, yaitu warga muwed, adalah

warga asli, orang dalam atau kita (in-group); dan wargatamiu,adalah orang lain,

orang luar, mereka (out-group). Berkenaan dengan pemilahan antara in-group

dan out-group, Dayakisni dan Yuniardi (2004) menjelaskan bahwa dalam

konteks in-group, maka familiaritas, keintiman, dan kepercayaan sangat tinggi;

sebaliknya dalam konteks out-group, maka familiaritas, keintiman, dan

kepercayaan sangat rendah sehingga kecurigaan orang-orang dari suatu kelompok

tertentu terhadap orang-orang dari kelompok lain sangat besar, bahkan selalu

menghantui hubungan mereka. Menurut Atmadja (2005 : 271), dengan pemilahan

warga asli (muwed) dan pendatang (tamiu) itu, dalam masyarakat Bali terbentuk

32

32

dan status sosial tinggi, sedangkan warga tamiu, orang luar atau mereka adalah

buruk, jahat, dan status sosial rendah”. Selain itu, pemilahan orang Bali menurut

wangsa menjadi empat kelompok klen (brahmana, ksatria, wesya, dan jaba), pada

dasarnya berpotensi konflik bahkan sudah pernah terjadi pertentangan atau

konflik laten ataupun konflik terbuka, terutama antara anggota kelompok

brahmana, ksatria, dan wesya (tri wangsa) dengan anggota kelompok jaba pada

tahun 1920-an (Bagus, 1969; Geertz, 1981; Atmadja, 1987).

Latar belakang dan proses terjadinya konflik seperti itu perlu dicermati

secara lebih mendalam agar dapat ditentukan strategi penanggulangannya melalui

pengelolaan konflik secara profesional. Selain dengan mengacu pemikiran para

ahli tentang konflik sebagaimana telah dipaparkan di atas, tampaknya teori

konstruksi realitas sosial juga dapat digunakan untuk mencermati proses

terjadinya konflik. Hamad (2004 : 12), secara ringkas dan jelas mengemukakan

pemikiran Berger dan Thomas Luckmann tentang proses konstruksi realitas, yakni

sebagai berikut.

”Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan

objektivikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses perenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat membuat pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa”

(Hamad, 2004 : 12).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses konstruksi realitas meliputi tiga

tahapan. Pertama, objektivikasi yang menunjukkan adanya praktik pemaknaan

33

adanya konseptualisasi terhadap suatu objek yang sebelumnya telah

dipersepsikan. Ketiga, eksternalisasi yang menunjukkan pernyataan-pernyataan

tentang hasil perenungan atas hasil pemaknaan suatu objek.

Jika pemikiran mengenai proses konstruksi realitas tadi diacu dalam

mencermati konflik maka konflik tersebut bisa tampak sebagai peristiwa yang

dilatari kekeliruan dalam proses konstruksi realitas sosial yang yang berkaitan

dengan konflik tersebut. Kekeliruan dalam hal ini bisa berawal ketika suatu

pihak, melakukan pemaknaan melalui persepsinya terhadap sesamanya. Dikatakan

bisa keliru karena sebagaimana dikatakan oleh Sears, Freedman, dan Peplau

(1985 : 52), dalam melakukan persepsi orang cenderung membentuk kesan

panjang lebar atas orang lain hanya berdasarkan informasi terbatas. Kesan

panjang lebar berdasarkan informasi yang terbatas itulah berpeluang terjadinya

kekeliruan. Oleh karena itu, pemaknaan dan hasilnya berupa makna yang

diperoleh melalui proses persepsi itu juga bisa hanya berdasarkan pengetahuan

yang terbatas mengenai objek yang dimaknai. Ini berarti makna atau pemahaman

atas sesamanya itu tadi juga mengandung kekeliruan atau merupakan

kesalahpahaman. Sedangkan sebagaimana dikemukakan oleh Barker (2014 : 168),

“makna memandu tindakan kita atau kita gunakan sebagai penjelasan dan

pembenaran atas tindakan kita tersebut”. Dengan demikian, kesalahpahaman tadi

akan memandu tindakan dalam memperlakukan sesamanya. Dalam konteks inilah

bisa terjadi konflik berbasis kesalahpahaman antara sesama warga masyarakat

34

34

Meskipun di satu sisi konflik dapat dilihat sebagai suatu masalah yang

bisa mengganggu ketenangan, ternyata di sisi lainnya, konflik juga bisa

bermanfaat. Menurut pendapat Weber sebagaimana dibahas oleh Laeyendecker

(1983 : 324), konflik merupakan dasar atas integrasi sosial dan perubahan sosial,

bahkan merupakan unsur dasar dan tidak dapat dilenyapkan dalam kehidupan

budaya manusia. Dengan kata lain, konflik merupakan keniscayaan (Sholihan,

2007 : 3), juga bisa dimanfaatkan untuk membangun suasana kehidupan damai

melalui integrasi sosial. Oleh karena itu, dengan tepat Jamil (2007 : v)

menegaskan bahwa “kita nyata-nyata membutuhkan konflik. Banyak literatur,

terutama dalam dunia bisnis yang memperhatikan efek yang menguntungkan dari

konflik”.

Dokumen terkait