• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.3.3 Teori Semiotika

Hoed, dalam bukunya berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya

(2008 : 3) menyatakan ”semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam

kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat

sebagai tanda yang harus kita beri makna”. Jadi suatu tanda akan bermakna jika

dimaknai. Makna yang dimaksudkan dalam hal ini mengacu kepada gagasan de

Saussure, yakni yang menyatakan makna tanda, yakni isi tanda yang dipahami

oleh manusia pemakai tanda. Ini berarti, makna suatu tanda tidaklah berada pada

tanda itu, melainkan pada benak manusia yang memaknainya. Jika tanda itu

35

”makna suatu istilah, sebagaimana kata, pada dasarnya bersifat arbitrer. Makna

terdapatdalam benak si pengguna istilah tersebut”.

Terkait dengan hal ini, Derrida berpendapat bahwa makna suatu tanda

diperoleh sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu (Hoed, 2008 :

68). Kehendak pemakai tanda dalam hal ini sinomim dengan kemauan, keinginan,

dan harapan yang kiranya berkaitan dengan kepentingannya. Sejalan dengan

pendapat ini, Hamad (2004 : 19-20) juga menjelaskan bahwa makna suatu tanda

yang muncul dalam wacana memang bisa berubah-ubah dan berbeda-beda dari

satu orang ke orang lain. Ini berarti, pemakai tanda akan memaknai tanda itu

sesuai dengan kepentingannya. Dalam konteks ini pendapat Karl Marx tentang

makna sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 244) menarik untuk

dicermati, bahwa ”mata dan telinga baru memperoleh maknanya yang penuh

bilamana ada sesuatu yang dapat dilihat dan didengar”. Jika mata dan telinga

dalam hal ini diposisikan sebagai suatu tanda, maka makna tanda-tanda ini akan

bersesuaian dengan kepentingan pemakainya (pemilik mata dan telinga) yang

memakai mata dan telinganya sebagai alat untuk melihat dan mendengarkan

sesuatu yang ingin dilihat dan didengarkannya sesuai dengan kepentingannya.

Dengan demikian, perlakuan berupa tindakan ataupun perbuatan terhadap suatu

tanda akan sesuai dengan makna tanda itu yang oleh pemakainya dikonstruksi

berdasarkan kepentingannya. Dalam konteks ini, Schluchter sebagaimana dikutip

oleh Laeyendecker (1983 : 325) menjelaskan hubungan antara kepentingan dan

tindakan manusia, yakni sebagai berikut.

”Kepentingan-kepentingan yang bersifat material dan ideallah, dan

36

36

Tetapi gambaran-gambaran dunia yang diciptakan oleh gagasan-gagasan, sering kali, sebagai penjaga wesel, menentukan jalur-jalur yang dilalui oleh tindakan yang digerakkan oleh dinamika kepentingan-kepentingan”.

Berdasarkan pemikiran terurai di atas dapat diduga bahwa para warga

masyarakat Desa Candikuning pada dasarnya merupakan pemakai sekaligus

pemberi makna terhadap berbagai tanda tertentu, baik berupa kata-kata, kalimat,

perbuatan, benda, dan lain-lain yang ada dalam pengelolaan objek wisata Kebun

Raya Eka Karya Bali. Tatkala memberi makna atau memaknai tanda-tanda

tersebut, mereka berpegang pada kepentingan yang hendak mereka penuhi

melalui resistensi terhadap pihak manajemen objek wisata tersebut. Dengan

demikian, resistensi yang pada intinya merupakan tindakan yang mereka lakukan

itu dapat dikatakan sebagai ekspresi kepentingan mereka.

Paparan di atas menggambarkan bahwa orang dapat menanggapi sesuatu

tanda sesuai dengan makna tanda yang telah dimaknainya. Tanggapannya itu bisa

direalisasikan melalui percakapan dengan menggunakan bahasa untuk

membicarakan sesuatu dalam rangka mencapai kepentingan atau tujuan tertentu.

Penggunaan bahasa untuk membicarakan sesuatu dapat disebut wacana dalam arti

sebagaimana dikemukakan oleh Aminuddin (2002 : 29) sebagai berikut.

”wacana sebagai sasaran kajian secara konkret merujuk pada realitas

penggunaan bahasa yang disebut ’teks’. Teks sebagai perwujudan konkret

wacana terbentuk oleh untaian kalimat yang mempunyai komposisi,

urutan, dan ciri distribusi tertentu”.

Dengan demikian, wacana dalam arti seperti itu perlu mengkaji untuk memahami

praktik pemaknaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan

dengan hal ini, Hamad (2004 : 19-20) menjelaskan bahwa melalui analisis wacana

37

bisa berubah-ubah dan berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Hal ini dapat

disebabkan oleh konteks penggunaan tanda tersebut, yaitu ideologi, kepentingan,

waktu, dan ruang). Sejalan dengan pemikiran ini, Derrida (dalam Hoed, 2008 :

68) dengan konsep dekonstruksinya menjelaskan bahwa perubahan pemaknaan

terhadap suatu tanda sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu.

Oleh karena itu, Derrida berpendapat bahwa untuk mengetahui makna lain atau

makna baru suatu tanda, maka makna tanda yang telah dikondisikan melalui

proses pembudayaan secara massal dapat ”ditunda”.

Sekiranya pemikiran mengenai dinamika praktik pemakaan dan wacana

yang berkontekstual dengan pelaku, waktu, uang, dan kepentingan sebagaimana

dipaparkan di atas dapat dijadikan acuan penting dalam memahami praktik-

praktik pemaknaan serta makna yang dihasilkan oleh para pihak yang terlibat

dalam resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek

wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Para pihak dalam hal ini bisa meliputi

individu-individu anggota dan tokoh masyarakat Desa Candikuning dan para

pemimpin atau manajer Kebun Raya Eka Karya Bali beserta jajarannya. Dinamika

praktik pemaknaan yang dilakukan oleh para pihak ini, selain bisa terjadi pada

babak awal, bisa pula terjadi pada babak lanjutan dari resitensi tersebut, sehingga

praktik-praktik pemaknaan itu bisa pula dilihat sebagai implikasi resistensi

tersebut dalam arti sebagaimana dijelaskan pada paparan mengenai konsep di atas.

Secara lebih jauh, melalui pemahaman terhadap wacana yang berkembang

di masyarakat dapat pula dipahami ideologi yang tersembunyi di balik wacana itu.

38

38

wacana adalah ideologi dalam praktik; tidak ada ideologi tanpa wacana dan tidak

ada wacana tanpa ideologi. Selain itu, Althusser (dalam Takwin, 2003 : 99)

berpendapat bahwa, ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan yang tidak

hanya terdapat pada tataran negara atau dalam hubungan negara dengan rakyat,

hubungan majikan dengan buruh, melainkan juga dalam hubungan antara orang

per orang sehari-hari di mana saja. Selanjutnya, Althusser (dalam Takwin, 2003 :

101), menegaskan bahwa dalam hubungan kekuasaan selalu terdapat usaha saling

menguasai dan saling menekan. Setiap penindasan menimbulkan usaha pada

pihak tertindas untuk melepaskan diri. Salah satu alat yang perlu ada dalam upaya

pembebasan ini adalah ideologi, suatu kepercayaan yang dibangun untuk

menggerakkan kelompok yang tertindas. Berkenaan dengan hubungan kuasa,

Foucault sebagaimana dikatakan Takwin (2003 : 130) melihat pengetahuan

ditentukan oleh kekuasaan, sehingga kebenaran merujuk kepada sebuah ”rezim

kebenaran” yang sedang bertahta. Upaya untuk saling menguasai dan untuk

melepaskan diri dari penindasan bisa juga dilakukan dengan strategi politik

identitas, dalam arti memakai identitas kelompok atau individu untuk memperoleh

perlakuan yang lebih adil dari kelompok atau individu lain (Sparringa, 2006 : 5-

6).

Althusser (2008 : 21), sebagaimana dijelaskan pula oleh Faruk (2002 :

137-139) berpendapat, bahwa untuk mengamankan hubungan antar kelas dan

dengan demikian kekuasaan dapat dipegang dalam waktu lama, maka pihak kelas

yang berkuasa mengembangkan dua macam ideologi. Pertama, ideologi yang

39

RSA ), yang bekerja secara represif lewat penggunaan kekerasan (militer, polisi,

penjara, pengadilan dan lain-lain) sebagai upaya untuk mengamankan bentuk-

bentuk sosial yang ada. Kedua, ideologi yang tampil dengan aparat-aparat negara

ideologis (ideological state apparatus, ISA) yang bekerja tidak terutama dengan

menggunakan kekerasan melainkan dengan memainkan ideologi dan/atau wacana

secara persuasif atau hegemonik. Dalam konteks inilah Althuser berpandangan

bahwa tidak ada kelas yang dapat memegang kekuasaan dalam waktu lama tanpa

melakukan hegemoni atas dan dalam ISA. Dikatakan demikian, karena yang

mempersatukan atau yang dapat menjamin harmoni antara yang satu dengan yang

lain dalam ISA itu adalah ideologi yang berkuasa sebagai semacam perekat bagi

bersatunya anggota-anggota masyarakat. Mengacu gagasan Bourdieu (dalam

Harker, t.t. : 117; Fashri, 2007 : 98-99), maka dapat dikatakan bahwa kesuksesan

para anggota kelompok dominan untuk melancarkan hegemoninya ditentukan

juga oleh modal budaya, ekonomi, sosial, dan modal simbolik yang mereka

miliki, yaitu sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, misalnya pemilikan benda-

benda budaya dan status sosial.

Pemikiran teoretis ini memungkinkan untuk menambah kemampuan

peneliti dalam menggali dan menganalisis data tentang wacana, ideologi, relasi

kuasa, permainan politik identitas serta pemilikan dan penggunaan aneka modal

yang mungkin berkembang dalam resistensi masyarakat Desa Candikuning

40

40 2.3.4 Teori Multikulturalisme

Berbicara tentang multikulturalisme berkaitan erat dengan apa yang

disebut masyarakat mulktikultural, sebab multikulturalisme dibutuhkan untuk

membangun kedamaian dalam kehidupan masyarakat multikultural. Masyarakat

mukltikultural berbeda dengan masyarakat plural. Sebagaimana dikemukakan

oleh Atmadja (2008 : 19-20), masyarakat plural mengacu pada suatu susunan

masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok yang memiliki ciri-ciri budaya

yang berbeda-beda satu sama lain, namun interaksi sosial lintas kelompok tersebut

relatif sangat minim. Masyarakat multikultural adalah masyarakat plural, tetapi

interaksi lintas kelompok sosial yang ada di dalamnya relatif intensif.

Dalam hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam

masyarakat multikultural bisa melahirkan pandangan-pandangan subjektif

(stereotipe), prasangka, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Hal ini bisa terjadi

karena dalam interaksi antara anggota kelompok yang berbeda seperti itu bisa

muncul penilaian antarkelompok secara subyektif. Dalam penilaian itu, secara

tidak sadar suatu kelompok cenderung memandang orang dari kelompok lain

dengan menggunakan kelompok dan kebiasaannya sendiri sebagai kriteria

(Bennett, 1990 : 81). Dalam keadaan demikian orang biasanya memandang

bahwa yang tinggi atau yang baik adalah dirinya sendiri dan kelompoknya

(Atmadja, 2010 : 377).

Penilaian seperti itu berpotensi untuk menyulitkan atau menghambat

upaya membangun persatuan dan kesatuan, bahkan bisa juga berujung pada

41

berawal dari resistensi suatu kelompok terhadap kelompok yang lainnya. Konflik

dalam hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh eksklusivisme kelompok bercampur

dengan upaya memperebutkan berbagai sumberdaya, antara lain sumberdaya

ekonomi (Koentjaraningrat, 1984 : 377-378). Selain itu, menurut pendapat para

ahli sebagaimana diulas oleh Atmadja (2008 : 22-23), ada beberapa hal yang

dapat menimbulkan konflik dan disintegrasi sosial yang mengganggu upaya

implementasi multikulturalism. Di antaranya : (a) eksklusivisme kelompok atau

kedaerahan; (b) mutual distrust, yaitu bentuk hubungan tidak sehat yang

kemunculannya didasarkan pada masa lalu yang dianggap tidak menyenangkan

sehingga memunculkan keinginan untuk balas dendam dan ketidakpercayaan

kepada kelompok lainnya; (c) inequality frustration terjadi dalam bentuk

perasaan diperlakukan tidakfairoleh kelompok lainnya.

Dalam rangka menanggulangi masalah ini maka upaya yang terkait

dengan pelembagaan tentang pengetahuan, nilai, sikap, dan perilaku yang

berlandaskan doktrin multikulturalisme sangat penting. Tujuannya bukan untuk

meniadakan keragaman, melainkan memberikan penyadaran bahwa keragaman

adalah sesuatu yang menyatu dengan kehidupan manusia. Keragaman tidak bisa

dilenyapkan sebagaimana yang berlaku pada strategi asimilasi, melainkan harus

dikelola agar tidak menimbulkan masalah, termasuk masalah yang mendorong

terjadinya resistensi dan/atau konflik yang kedamaian. Berdasarkan doktrin

multikulturalisme memang memungkinkan pengelolaan keberagaman itu

menghasilkan hubungan harmonis karena di balik keragaman selalu ada titik temu

42

42

perbedaan. Dalam konteks inilah kesamaan perlu ditumbuhkembangkan guna

mewujudkan kehidupan yang harmonis berasaskan multikulturalisme.

Multikulturalisme adalah gerakan sosio-intelektual yang mempromosikan nilai-

nilai dan prinsip-prinsip perbedaan serta menekankan pentingnya penghargaan

pada setiap kelompok yang mempunyai kultur berbeda. Orientasinya adalah

kehendak untuk membawa masyarakat ke dalam suasana rukun, damai, egaliter,

toleran, saling menghargai, saling menghormati, tanpa ada konflik dan kekerasan,

tanpa mesti menghilangkan kompleksitas perbedaan yang ada (Burhanuddin,

2003: 86).

Ada berbagai macam definisi multikulturalisme, namun pada dasarnya

dapat dikatakan sebagai doktrin yang mempromosikan keberagaman

antarkelompok secara sosiobudaya dalam suatu suasana yang rukun, damai,

egaliter, toleran, saling menghargai, dan saling menghormati. Bersamaan dengan

itu masing-masing pihak pun bisa menumbuhkembangkan jati diri mereka secara

optimal, tanpa dinisbikan oleh yang lainnya. Dengan meminjam gagasan Atmadja

(2008 : 26) dapat dikatakan bahwa jika pertemuan kode, simbol atau kebudayaan

antarsuatu kelompok sosial semakin luas titik singgungnya, maka semakin besar

peluang mereka untuk mendapatkan titik pandang bersama. Bersamaan dengan itu

maka konflik pun dapat diminimalisasikan. Jika terjadi hal yang sebaliknya, yakni

titik temu kode, simbol atau kebudayaan mengecil, maka titik pandang bersama

pun mengecil, sehingga peluang bagi munculnya kesalahpahaman yang berlanjut

pada resistensi dan masalah konflik bahkan disintegrasi menjadi semakin sulit

43

ideasional yang disosialisasikan guna menumbuhkembangkan kesadaran lintas

kultur, bisa dilakukan lewat revitalisasi maupun revivalisasi terhadap kearifan

lokal yang bersifat universal yang berlaku pada kelompok-kelompok yang

berbeda. Agar kearifan lokal itu bisa bermanfaat, maka dia harus nyambung

dengan sistem sosiobudaya masyarakat setempat melalui proses komunikasi.

Dengan mengikuti gagasan ’teori tindakan komunikatif’ menurut Habermas

(dalam Thompson, 2007 : 449), penggunaan bahasa secara komunikatif sangatlah

penting dalam penyampaian pesan-pesan. Dikatakan penting karena dengan cara

itu memungkinkan terjadinya kesepahaman serta hubungan yang berkesetaraan.

Teori multikulturalisme sebagaimana dipaparkan di atas kiranya dapat

dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi dalam mencari, menjelaskan, dan

memahami pemikiran para pihak terkait dalam resistensi masyarakat Desa

Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya

Bali. Di dalamnya termasuk pemikiran, baik yang berpotensi untuk membangun

maupun yang berpotensi mengganggu upaya menjalin hubungan sosial yang

harmonis.

Dokumen terkait