DAFTAR GAMBAR
1.1 Latar Belakang
Pariwisata, di satu sisi sering dinyatakan sebagai subsektor sekunder yang
memberikan sumbangan terbesar, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja maupun
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), namun di sisi lain sering pula
dilihat dampak negatifnya. Sehubungan dengan dampak negatifnya, pariwisata memungkinkan terjadinya resistensi sebagai reaksi masyarakat setempat terhadap
pihak manajemen suatu objek pariwisata. Dikatakan demikian, karena
sebagaimana dikemukakan oleh Nash (1989 : 33), pariwisata pada dasarnya
merupakan bentuk imperialisme. Maksudnya bahwa, uang hasil pengembangan
pariwisata bukannya langsung diperuntukkan bagi masyarakat setempat,
melainkan dibawa keluar untuk kepentingan pihak lain. Sejalan dengan hal ini,
Emanuel de Kadt (1979 : 3) dalam bukunya berjudul Tourism Passport to
Development?, meragukan manfaat pariwisata dalam pembangunan. Oleh karena
itu wajarlah jika masyarakat setempat merasa cemburu dan melakukan reaksi
dalam bentuk resistensi, terutama jika mereka yakin bahwa mereka berhak atas
hasil-hasil pengembangan pariwisata tersebut.
Kenyataan di Bali, sebagaimana diketahui melalui pengalaman selama ini
memang menunjukkan bahwa banyak Desa Pakraman mempunyai hubungan
yang erat dengan manajemen objek wisata. Hal ini tampak dari adanya
keterlibatan masyarakat Desa Pakraman dalam pengelolaan objek wisata.
2
2
pengelolaan objek wisata Hutan Sangeh di Kecamatan Abiansemal, Kabupaten
Badung. Begitu juga Desa Pakraman Kukuh, Kecamatan Kediri, Tabanan,
terlibat dalam pengelolaan objek wisata Hutan Kedaton yang berlokasi di wilayah
desa tersebut. Selain itu, Desa Pakraman Taro, Kecamatan Tegallalang,
Kabupaten Gianyar terlibat dalam pengelolaan objek wisata Gajah Taro yang
berada di desa tersebut.
Keterlibatan masyarakatDesa Pakraman dalam pengelolaan objek wisata
seperti itu tentu saja memungkinkan bagi para warganya untuk memperoleh
masukan finansial, baik secara kelembagaan maupun secara perorangan. Besar
kecilnya masukan finansial yang mereka peroleh berkaitan erat dengan besar
kecilnya masukan finansial dalam pengelolaan objek yang bersangkutan. Hal ini
berkaitan pula dengan perkembangan jumlah wisatawan yang berkunjung dan
membayar retribusi atas kunjungannya ke objek wisata tersebut. Dengan
demikian, tidak heran jika warga masyarakat Desa Pakraman, baik secara
kelembagaan maupun secara individual memaknai objek wisata sebagai sumber
daya ekonomi yang potensial untuk dimanfaatkan dalam rangka memperoleh
masukan finansial. Oleh karena itu tidak heran pula jika mereka berkeinginan
untuk mempertahankan keberadaan objek wisata agar tetap lestari sekaligus
menjadi sumber pendapatan mereka.
Berbeda dengan cara pengelolaan objek wisata yang melibatkan desa
pakraman sebagaimana dipaparkan di atas, ada fenomena yang menarik yakni
pengelolaan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Objek wisata ini berada di
3
sepenuhnya merupakan milik pemerintah dan sejak awal dikelola oleh
pemerintah sehingga wajar pihak Desa Candikuning tidak terlibat dalam
penglolaan objek wisata tersebut. Terkait dengan fenomena ini, ada fakta yang
menarik untuk dicermati, yaitu fakta tentang perilaku masyarakat Desa
Candikuning dalam hubungannya dengan pihak manajemen objek wisata Kebun
Raya Eka Karya Bali. Bahwa meskipun masyarakat Candikuning yang tidak
terlibat dalam pengelolaan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali itu justru
sejak dahulu hingga kini mereka berkeinginan atau berharap, bahkan menuntut
agar pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali memberikan
pembagian retribusi kepada Desa Candikuning. Hal ini dapat diketahui dari hasil
penelitian Sujana (2002 : 93) yang menunjukkan bahwa pihak manajemen objek
wisata Kebun Raya Eka Karya Bali telah memprakarsai sosialisasi konsep
otonomi daerah kepada masyarakat Desa Candikuning. Hal ini dilakukan
berhubung ada warga masyarakat Desa Cadikuning yang dianggap telah
mengganggu Kebun Raya Eka Karya Bali. Lebih dari itu pihak manajemen
objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali juga telah mengupayakan pembagian
retribusi bagi masyarakat Desa Candikuning dengan mengusulkannya kepada
Pemerintah Pusat, namun tidak berhasil. Ini berarti tuntutan masyarakat Desa
Candikuning untuk mendapatkan pembagian retribusi sudah terjadi sebelum
penelitian Sujana dilakukan (2002). Informasi yang diperoleh dari Kepala Bagian
Penelitian Kebun Raya Eka Karya Bali, Dewa Putu Darma (dalam wawancara
pada bulan Nopember 2013), menyatakan bahwa hingga kini keinginan, harapan,
4
4
demikian, hubungan masyarakat Desa Candikuning dengan pihak manajemen
objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali kurang harmonis.
Secara lebih konkret, sikap dan perilaku warga masyarakat Desa
Candikuning yang bersifat antagonistik itu adalah sebagaimana diberitakan dalam
harian Bali Post, 16 Mei 2011 dengan judul ”Warga Bedugul Ancam Tutup
Kebun Raya”. Pada intinya berita ini menggambarkan bahwa warga Desa
Candikuning tidak hanya berkeinginan dan berharap, melainkan juga mengeluh,
menuntut, bahkan mengancam akan menutup jalan menuju lokasi objek wisata
Kebun Raya Eka Karya Bali. Selain itu, Bali Post, 15 Agustus 2012 memuat
berita berjudul “Krama” Adat Pemuteran Tagih Kontribusi Kebun Raya; dan Bali
Post 21 Agustus 2012 memuat berita berjudul ”Polemik Retribusi Kebun Raya
Eka Karya”
Mencermati isi berita dalam media massa di atas, terutama dengan
berpegang pada gagasan Scott (1993 : 302) tampaklah sikap dan perilaku warga
masyarakat Desa Candikuning sebagaimana dipaparkan di atas merupakan
resistensi atau perlawanan mereka terhadap pihak manajemen objek wisata kebun
Raya Eka Karya Bali. Pada intinya, gagasan Scott dalam hal ini menegaskan
bahwa resistensi merupakan segala tindakan suatu pihak tertentu untuk
mengajukan tuntutan terhadap pihak lain guna memperoleh sumbangan atau
penghargaan sebagai imbalan atas jasanya. Oleh karena itu, penelitian ini diberi
judul “Resistensi Masyarakat Desa Candikuning terhadap Manajemen Objek
Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan,
5
Tampaknya belum ada penelitian yang khusus mengkaji resistensi
masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun
Raya Eka Karya Bali itu, padahal menunjukkan persoalan, baik persoalan yang
bersifat empirik maupun persoalan teoretik, sehingga menarik untuk dikaji
melalui penelitian secara mendalam. Berkenaan dengan persoalan tersebut, ada
beberapa fakta yang menarik untuk dicermati. Pertama, mengingat sebagaimana
telah dikemukakan di atas bahwa masyarakat Desa Candikuning tidak ikut
mengelola objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, maka dilihat dari perspektif
keadilan semestinya mereka tidak menuntut pembagian retribusi melalui
resistensi terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.
Kedua, resistensi itu dilakukan secara terang-terangan dengan cara mengancam
sebagaimana telah dipaparkan di atas, padahal resistensi pihak tertindas biasanya
dilakukan dengan apa yang oleh Scott (1993 : 270) disebut ”tindakan diam-
diam”. Masyarakat desa di Bali pun, jika melakukan resistensi biasanya secara
pasif (passive resistence) (Danandjaja (1988 : 47). Ketiga, resistensi tersebut
justru terjadi padahal sebagaimana diketahui, masyarakat Desa Candikuning
merupakan bagian dari masyarakat Bali yang memiliki berbagai kearifan lokal
yang memungkinkan untuk mencegah terjadinya resistensi yang tentu saja
merupakan fenomena yang bernuansa masalah konflik sosial. Kearifan lokal itu,
antara lain filsafat Tri Hita Karana yang menekankan pentingnya keharmonisan,
termasuk keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya (pawongan). Ada
juga konsep Sagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka
6
6
kolektif (senasib dan sepenanggungan), dan rasa hormat-menghormati.
Memnurut Mantra (1993 : 13-14) perkembangan krebudayaan Bali tidak akan
menyimpang darui konsep-konsep tersebut. Keempat, resistensi itu terjadi padahal
pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali telah menjalankan
tugas dan fungsinya dengan berpegang pada PP No. 75/2007, yang melegalkan
pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali menerima masukan
finansial melalui tiket pengunjung, jasa penginapan atau arena outbound dalam
bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak. Hal ini diperkuat oleh Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 7 tahun 1988, yang menggariskan bahwa semua
penerimaan pajak dan retribusi hiburan harus disetor ke kas negara. Ini berarti,
secara yuridis formal, sikap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka
Karya Bali yang tidak menyetor retribusi kepada siapapun kecuali ke kas negara
menjadi sah adanya.
Kelima, masyarakat Desa Candikuning melakukan resistensi dengan sikap
dan perilaku yang secara terang-terangan mengganggu dan mengancam
sebagaimana dikemukakan di atas, padahal desa ini merupakan unit sosial yang
relatif jauh lebih kecil kekuasaannya dibandingkan kekuasaan pihak manajemen
objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Dikatakan demikian karena pihak
manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali merupakan reprersentasi
pemerintah pusat atau negara, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
yang tentu saja memiliki kekuasaan yang relatif jauh lebih besar. Meskipun dalam
posisi seperti itu, tampaknya masyarakat Desa Candikuning justru memaknai
7
Bali sebagai pilihan terbaik demi terpenuhinya tuntutan mereka, sehingga mereka
tetap melakukan tindakan resistensi secara terus-menerus.
Bertitik tolak dari persoalan empirik dan persoalan teoretik yang
menunjukkan adanya kesenjangan dassolen dengan dassein sebagaimana
dipaparkan di atas, maka ada tiga hal yang dapat dilihat sebagai suatu masalah
yang menarik dikaji melalui penelitian ini. Pertama, hal-hal yang melatari atau
dijadikan dasar atau alasan oleh masyarakat Desa Candikuning untuk melakukan
resistensi dengan mengancam secara terang-terangan terhadap pihak manajemen
objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Kedua, strategi yang secara lebih jauh
atau lebih intensif dilakukan oleh masyarakat Desa Candikuning untuk memenuhi
tuntutannya melalui resistensi terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun
Raya Eka Karya Bali. Hal ini menarik untuk dikaji karena hingga kini tuntutan
masyarakat Desa Candikuning melalui resistensi mereka terhadap pihak
manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali belum terpenuhi. Ketiga,
implikasi resistensi masyarakat Desa Candikuning dalam kehidupan mereka dan
dalam manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Hal ini menarik
untuk dikaji karena secara logika, besar kemungkinannya bahwa resistensi
masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun
Raya Eka Karya Bali itu telah berimplikasi, baik kehidupan masyarakat Desa
Candikuning maupun dalam manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya
Bali. Dengan demikian rumusan lasalah yang dikaji dalam penelitian njini adalah
8
8 1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan mengenai latar belakang di atas, maka masalah
penelitian yang penting dan menarik untuk dikaji dalam hal ini dapat
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, yakni sebagai berikut.
1. Mengapa masyarakat Desa Candikuning melakukan resistensi terhadap
pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali?
2. Bagaimana strategi lebih jauh yang dikembangkan oleh masyarakat Desa
Candikuning dalam resistensinya terhadap pihak manajemen objek wisata
Kebun Raya Eka Karya Bali?
3. Bagaimana implikasi resistensi tersebut, baik dalam kehidupan
masyarakat Desa Candikuning maupun dalam manajemen objek wisata
Kebun Raya Eka Karya Bali?