• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Kepentingan Pengelola dan Pengguna

4.3. Efektifitas Institusi Kehutanan

4.3.5. Konflik Kepentingan Pengelola dan Pengguna

Sebagaimana diingatkan oleh Scokpol (1985) didalam Van den Berg (2001) bahwa diperlukan pembatasan peran negara agar tidak masuk terlalu jauh dalam urusan bisnis tingkat mikro, karena negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktor-aktor sosial lainnya. Dalam pandangan Van den Berg (2001), dan Stiglitz (2000), pemerintah perlu mengambil peran sebagai regulator dan penegak aturan. Dalam konsep North (1990), agar institusi dapat efisien harus dipisahkan antara aturan main dengan pemainnya. Pemerintah sebagai pembuat aturan main dan wasit , tidak dapat sekaligus menjadi pemain untuk menghindari adanya konflik kepentingan.

Penjelasan-penjelasan pada bagian ini dan bagian-bagian terdahulu, menunjukkan bahwa dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pemerintah telah memasuki wilayah-wilayah mikro. Pemerintah bertindak sebagai pembuat peraturan, wasit yang bertugas menegakkan aturan, tetapi pada saat yang bersamaan juga menjadi pemain. Perannya sebagai pemain ditunjukkan dalam keterlibatannya menentukan pilihan teknologi, persetujuan rencana usaha dari setiap penerima ijin usaha, mengatur kebutuhan tenaga profesional, menentukan jenis-jenis alat, menentukan hubungan kontrak dengan pengguna. Dalam pandangan North (1990) keterlibatan pemerintah

sebagai pemain dapat menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi pembuatan peraturan maupun konsistensi penegakan aturan main.

Gambar 20. Kepentingan Pengelola dan Pengguna atas Kewajiban IUPHHK

Dalam menjawab persoalan penurunan produksi hutan alam, terdapat dua kebijakan pemerintah dalam bentuk goyangan teknologi (technological shock) yang berharga untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan konflik kepentingan peran sebagai regulator dan sebagai pemain, yaitu peraturan Menteri Kehutanan tentang teknik silvikultur intensif (SILIN) dan peraturan Menteri N0. 11/Menhut-II/2010 yang menurunkan batas diameter pohon yang dapat ditebang. Hasil penelitian Heriansyah I (2008), menyimpulkan bahwa SILIN tidak tepat diimplementasikan sebagai teknik silvikultur untuk menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari, teknik ini mengandung resiko kegagalan ekonomi yang besar dan cenderung

Pengelola Hutan (Mikro)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) P em anf aat l angs ung

Pengguna Ijin (Mikro) (1) (2)

Pengguna Ijin (Mikro

Pengelola Hutan (Mikro)

Beban dan Manfaat Kewajiban IUPHHK

menimbulkan masalah ekologi. Kesimpulan ini didasarkan pada temuan hasil kajian bahwa (1) bibit yang digunakan bukan bibit hasil pemuliaan sebagaimana ditentukan dalam aturan, melainkan berasal dari cabutan alam yang dipelihara secara masal dipersemaian dengan kualitas yang bervariasi; (2) akibat pemanenan kayu mulai diameter 40 cm semakin banyak tegakan tinggal yang rusak dan tidak produktif, dan adanya pembuatan jalur tanam dengan tingkat pembukaan 15-50% membuat kondisi hutan semakin sulit untuk dipulihkan dan semakin banyak sumber genetik yang hilang; (3) jalur tanam 3 meter hanya mampu mengakomodasi pertumbuhan sampai umur sekitar 3 tahun dan persen pertumbuhan tanaman merosot setelah melewati masa 3 tahun, sehingga target produksi tidak mungkin dapat dicapai; dan (4) jenis yang dikembangkan tidak mewakili jenis yang dipanen tetapi terbatas pada jenis yang cepat tumbuh dan intoleran, sehingga akan mengancam biodiversitas.

Hasil Heriansyah (2008) menunjukkan bahwa regulator menciptakan aturan main yang dapat memastikan kepentingan jangka pendeknya yaitu peningkatan produksi dapat dipenuhi dengan resiko ketidak pastian atas kepentingan jangka panjang. Kepentingan jangka pendek berupa peningkatan produksi adalah kepentingan yang lebih melekat pada kepentingan perusahaan bukan kepentingan pemerintah sebagai pengelola hutan yang harus membangun hutan berkualitas tinggi. Dominasi kepentingan perusahaan dalam keputusan ini adalah sejalan dengan pendapat Hampton (1989) bahwa untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan akan meningkatkan likuiditas dengan mengkonversi aset menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara meminimumkan biaya produksi. Keputusan untuk menurunkan batas diameter berimplikasi mempercepat konversi asset mengganggur

menjadi uang tunai. Sementara kegiatan pemeliharaan hutan adalah menyimpan uang kedalam hutan sebagai asset yang menganggur.

Sejalan dengan kesimpulan penelitian Heriansyah tersebut, Peraturan Menteri Kehutanan No. 11/Menhut-II/2010, yang menurunkan batas diameter dari 50 Cm menjadi 40 Cm adalah bentuk legalisasi dari kepentingan percepatan konversi asset menganggur menjadi uang tunai. Kebijakan ini menjawab kepentingan jangka pendek, dan tidak berhubungan dengan kepentingan jangka panjang pengelolaan hutan. Dalam hal ini kepentingan pengusaha IUPHK bertemu dengan kepentingan jangka pendek pemerintah dengan mengorbankan kepentingan jangka panjangnya.

Dampak kerusakan hutan yang terjadi akibat keputusan ini akan ditanggung oleh sebagian rakyat dalam bentuk eksternalitas negatif dan perusahaan-perusahaan atau generasi yang akan datang. Jika dipandang dari pengertian tentang perversi kekuasaan menurut Van den Berg (2001), peraturan-peraturan tersebut adalah bentuk penggunaan kekuasaan yang menguntungkan kelompok tertentu (pemerintah dan perusahaan IUPHHK yang sekarang) atas beban yang harus ditanggung oleh sebagian besar rakyat dan generasi yang akan datang.

Selanjutnya konflik kepentingan juga dapat dilihat dari pengaturan tentang sanksi, berdasarkan peraturan pemerintah no. 34/2002, diluar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UU41/1999, jenis-jenis sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada pemilik IUPHHK terdiri dari : (a) penghentian sementara pelayanan administrasi, (b) penghentian sementara kegiatan di lapangan, (c) denda administrasi, (d) pengurangan areal kerja, dan (e) pencabutan ijin. Dalam konsep regulasi Scott (2008) sanksi diperlukan untuk mempengaruhi perilaku kedepan agar di hari

kemudian berperilaku sesuai dengan norma yang dikehendaki. Apabila diperhatikan sanksi-sanksi tersebut bukan hanya berdampak kepada perusahaan melainkan dapat berdampak kepada pemerintah juga.

Sanksi penghentian sementara pelayanan administrasi adalah berupa penghentian sementara pelayanan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), dokumen yang diperlukan untuk pengangkutan kayu keluar dari lokasi penebangan. Penerapan secara konsisten atas sanksi ini dapat menurunkan suplai kayu di pasar dan suplai ke industri pengolahan kayu. Jika pelanggaran yang berakibat pengenaan sanksi ini bersifat masif, maka akan terjadi penurunan kualitas stok tebangan kayu di hutan dalam jumlah besar, dan kelangkaan suplai log sehingga perekonomian akan terganggu. Jika hal ini terjadi maka kepentingan pemerintah juga terganggu.

Sanksi berupa penghentian sementara kegiatan lapangan dan sanksi pencabutan ijin, akan mempunyai dampak berupa pengurangan produksi kayu, sehingga akan membuat target produksi kayu nasional tidak tercapai, target penerimaan Negara dari DR dan PSDH tidak tercapai pula. Penerapan sanksi-sanksi tersebut memiliki implikasi negatif pada kepentingan pemerintah.

Disatu sisi pemerintah membuat kebijakan yang mengarah kepada peningkatan produksi bahkan dengan cara menurunkan batas diameter yang mengandung resiko kerusakan hutan, namun disisi lain sanksi yang dibuat berakibat pada penurunan produksi. Sanksi yang mengandung unsur konflik yaitu apabila diterapkan akan mempengaruhi tujuan yang lainnya, sehingga pemerintah akan sulit untuk menerapkan aturan yang dibuatnya sendiri.

Dokumen terkait