• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3. Efektifitas Institusi Kehutanan

4.3.4. Perversi Kekuasaan

Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan IUPHHK mengandung unsur-unsur kepentingan pihak pengelola (pemerintah) dan pihak pengguna ( penerima IUPHHK). Masing-masing pihak mempunyai kepentingan untuk menyukseskan misinya, pihak pengelola berkepentingan untuk mengoptimalkan manfaat hutan, misi ini terwujud apabila pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari (penjelasan pasal 23, Undang-undang no. 41/1999). Penerima IUPHHK yang merupakan entitas bisnis bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan yang menurut Hampton (1989) akan meningkatkan likuiditas dengan mengkonversi aset

menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara meminimumkan biaya produksi. Hubungan antara pengelola dan pengguna diatur dalam peraturan pemerintah no. 34/2002 dan peraturan-peraturan lain yang berupa kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna dalam rangka transaksi IUPHHK. Prinsip Excludibilitas mengharuskan entitas dapat menjamin terjadinya situasi dimana pihak yang menanggung beban adalah pihak yang memperoleh manfaat, sebaliknya pihak yang memperoleh manfaat harus dipastikan sebagai penanggung seluruh beban yang diakibatkan. Dengan mengidentifikasi pihak-pihak penanggung beban secara langsung yang timbul dari kewajiban, dan pihak yang menikmati secara langsung hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, maka dapat diketahui posisi excludabilitas dari kewajiban tersebut. Berdasarkan PP. No. 34/2002 dan Surat ijin usaha yang diterbitkan Menteri Kehutanan, teridentifikasi sebanyak 17 jenis kewajiban teknik yang terkait dengan pengelolaan hutan, kewjiban ini merupakan bentuk pembayaran transaksi bukan dalam satuan moneter.

Tabel 23 menunjukkan bahwa dari 17 jenis kewajiban, seluruh beban pelaksana-annya ditanggung oleh pengguna (pemilik IUPHHK) sedangkan seluruh manfaatnya dinikmati oleh pengelola, terdapat dua jenis manfaat yang menjadi kepentingan kedua belah pihak. Dari sisi pandang keputusan pilihan metode transaksi tunai dan non-tunai, maka pengaturan seperti ini bisa tidak menimbulkan masalah jika kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama dan mempunyai kapasitas untuk mengukur kualitas hasil pelaksanaan kewajiban.

Pihak pengelola berkepentingan untuk mendapatkan hasil pelaksanaan kewajiban dengan kualitas terbaik agar misi sebagai pengelola dapat dicapai. Sedangkan pihak

pengguna berkepentingan untuk meminimumkan biaya agar keuntungan maksimum dapat dicapai. Dalam kondisi pengguna memiliki kebebasan memilih teknologi maka pengguna dapat meminimumkan biaya dengan teknologi yang paling efisien. Namun dalam hal ini pengguna tidak dapat memilih teknologinya sendiri, pemerintah melalui Menteri Kehutanan bertindak sebagai penentu pilihan teknologi. Dengan kendala seperti ini, maka upaya meminimumkan biaya dapat mempengaruhi penurunan kualitas pelaksanaan kewajiban. Apakah keputusan ini yang menjadi pilihan pengguna, kondisi empiriknya akan dibahas pada bab VI.

Adanya perbedaan kepentingan ini, menunjukkan bahwa pengguna melaksanakan kegiatan yang tidak menjadi kepentingan langsungnya, melainkan melaksanakan yang menjadi kepentingan pihak lain. Kewajiban adalah sebuah tindakan yang diper-tanggung-jawabkan kepada pemberi kewajiban, dan dianggap selesai apabila pemberi kewajiban menilai bahwa kewajiban tersebut telah terpenuhi. Hal ini membawa implikasi bahwa pemberi kewajiban dituntut untuk memiliki informasi yang cukup baik dan lengkap untuk mengetahui setiap detail pelaksanaan kewajiban dan kualitas hasilnya. Tetapi pada bagian terdahulu diketahui bahwa kepampuan pemerintah lemah, bahkan pengguna menguasai informasi yang lebih baik daripada pengelola.

Tabel 23. Peletakan Penanggung Beban dan Pemanfaat Langsung Penggun a Pengelol a Penggun a Pengel ola 1

Inventarisasi Hutan Tingkat Unit Pengelolaan Hutan

Informasi Detail Unit Pengelola / perncanaan A A A 2 Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Potensi penebangan / niliai atribut A A A 3 Invetarisasi Tegakan Tinggal Informasi kondisi hutan/ pemeliharaan A A 4

Pengelolaan Petak Ukur Permanen

Informasi riap /

perencanaan A A

5

Penataan Hutan kedalam Blok dan Petak

Desain pengelolaan

hutan A A

6

Pelaksanaan Tata Batas

Areal Kerja Klaim areal A A

7

Membuat Rencana Kerja (Pengelolaan) seluruh

jangka waktu Rencana pengelolan A A

8

Melaksanakan teknik silvikultur yang ditentukan Menteri Kehutanan

Membangun Stok

Tegakan A A

9

Penanaman dan rehabilitasi hutan

Membangun Stok

Tegakan A A

10 Pengayaan tegakan tinggal

Membangun Stok Tegakan A A 11 Melaksanakan perlindungan hutan Membangun Stok Tegakan / melindungi "asset" A A 12 Mengajukan ijin

penggunaan peralatan Alat Pengawasan A A

13

Mengajukan ijin pengalihan

saham Alat Pengawasan A A

14

Melakukan penatausahaan kayu (LHC, LPKP, SKSHH,

dll) Alat Pengawasan A A

15 Memelihara Pal Batas

Klaim / melindungi

"asset" A A

16

Alokasi dan pemeliharaan kawasan lindung Membangun Stok Tegakan / melindungi "asset" A A 17 Konservasi keanekaragaman hayati Membangun Stok Tegakan / melindungi "asset" A A Penanggung Pemanfaat Kode Kewajiban Hasil akhir /

Bila kewajiban tersebut di atas dipetakan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing pihak, didapatkan gambaran keberadaan aturan yang mengandung konflik kepentingan, hasilnya adalah sebagai Gambar 20. Undang-undang menetapkan bahwa pengelolaan hutan tingkat unit menjadi tanggung jawab pemerintah, untuk melaksanakannya pemerintah mempunyai pilihan yaitu melaksanakan sendiri melalui penguatan organisasi pengelola KPHP, atau mengalihkan tanggung jawab pelaksanaannya kepada pihak lain (IUPHHK) melalui pengaturan kontrak dengan membebankan kewajiban teknik pengelolaan hutan. Memperhatikan pendapat Van den Berg (2001) dan Plastrick (2001), yang mengingatkan bahwa bukan saja karena birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya, dan mengingat bahwa salah satu peran pemerintah adalah membuat peraturan, maka peraturan menjadi salah satu bentuk alat yang diciptakan untuk memperkuat kekuasaan, namun juga perlu dipahami bahwa pemegang kekuasaan juga cenderung mencari cara-cara yang paling menguntungkan bagi kepentingannya meskipun atas beban pihak lain.

Gambar 20 memberikan ilustrasi tentang adanya cara-cara mengambil keuntungan bagi kepentingan pemerintah atas beban pihak lain. Sejalan dengan keputusan pemerintah untuk tidak memperkuat organisasi KPHP yang tercermin dari kedua peraturan pemerintah yang disebutkan terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah dengan sengaja mengambil keputusan untuk mengalihkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada perusahaan penerima IUPHHK dengan cara memberikan beban kewajiban pengelolaan hutan. Dalam terminologi Van den Berg (2001), tindakan ini tergolong sebagai perversi kekuasaan (perversion of power), yaitu bahaya atas kekuasaan yang terpusat pada pemerintah yang akan mengarah

kepada memberikan keuntungan kepada suatu pihak atas beban pihak-pihak yang lain. Dalam pandangan North (1987), pilihan ini merupakan kecenderungan yang umum terjadi dalam sejarah keputusan politik yang membuat institusi tidak efisien .

Dokumen terkait