Setelah undang kehutanan no. 5 tahun 1967 diubah menjadi Undang-undang no. 41 tahun 1999, sistem pengusahaan hutan produksi alam diberikan melalui ijin-ijin usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan kayu dan ijin usaha pemungutan hasil hutan. Disamping itu tujuan pengelolaan hutan produksi yang semula adalah “untuk memperoleh dan meninggikan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat” (ps 13, ayat 1, UU No. 5/ 1967) berubah menjadi “untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya”.
Untuk mendapatkan gambaran tentang arah perubahan peraturan di bidang pengelolaan hutan maka dilakukan penelusuran peraturan dengan fokus pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Pertama perlu diketahui tujuan yang akan dicapai, kemudian perlu diketahui kedudukan institusi IUPHHK dalam hirarki institusi kehutanan terutama untuk menjawab kerancuan tentang posisinya sebagai pengelola atau pemanfaat. Selanjutnya perlu dijawab pula kedudukan institusi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di dalam system kehutanan, kejelasan tentang kedudukan KPHP akan memperjelas perannya agar dapat dibedakan dengan peran pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian pembagian peran para pihak tersebut dipetakan berdasarkan tingkatan organisasi mikro, meso
dan makro, dan peletakan wewenang dalam konteks kuadran kebijakan untuk mengetahui kecenderungan birokrasi dalam mengatur sistem kehutanan.
4.1. Tujuan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan
Pada bagian ini dicari jawaban atas pertanyaan apa tujuan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, khususnya hutan produksi sehingga dapat diperoleh gambaran tentang arah perubahan yang diinginkan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dipelajari isi dari pasal-pasal dalam undang-undang yang menyangkut tujuan.
Tujuan pemanfaatan hutan ditetapkan dalam pasal (23) UU. 41/1999 yaitu untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam penjelasannya disebut bahwa manfaat optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari, sedangkan makna berkeadilan adalah apabila pemanfaatan dapat disitribusikan secara berkeadilan melalui peran serta masyarakat yang semakin berdaya dan berkembang potensinya.
Selanjutnya Pasal 4, menyatakan bahwa seluruh hutan dikuasai oleh negara, penguasaan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Pada pasal 10 disebutkan bahwa tujuan dari pengurusan hutan adalah untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, serbaguna dan lestari.
Pengertian tentang manfaat serbaguna yang dimaksudkan oleh undang-undang ini dapat diambil dari paragraph 7 penjelasan umum sebagai berikut :
“……Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan bukan kayu, tetapi harus diperluas dengan pemanfaatan hutan lainnya seperti plasma nutfah dan jassa lingkungan sehingga manfaat hutan lebih optimal”.
Sementara paragraph 8 lebih spesifik menjelaskan optimasi pada hutan produksi sebagai berikut :
“Dilihat dari sisi fungsi produksinya, dan keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat”
Inti dari perubahan tersebut terletak pada tiga hal penting, yaitu perubahan dari orientasi kayu menjadi orientasi sumberdaya, manfaat maksimal dan distribusi berkeadilan. Perubahan orientasi diaktualisasikan dengan produksi berbagai macam hasil hutan berupa kayu, non-kayu dan jasa lingkungan melalui optimasi pengelolaan hutan yang menghasilkan hutan berkualitas tinggi. Sedangkan keadilan yang dimaksudkan adalah distribusi atas manfaat yang diproduksi dari aktivitas pengelolaan hutan. Hal ini perlu mendapat perhatian agar tidak dikaburkan dengan distribusi lahan, atau hak pengelolaan hutan. Dengan demikian tujuan dari perubahan tersebut dapat dicapai melalui optimasi pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat sebesar-besarnya, dan atas hasil produksi yang maksimal ini kemudian dilakukan distribusi secara berkeadilan.
4.2. Hirarki Organisasi Kehutanan
Bagaimanakah stuktur atau hirarki organisasi kehutanan yang dibangun untuk mencapai tujuan yang dikehendaki ? Pertanyaan ini akan dijawab dengan mempelajari isi undang-undang dan peraturan pemerintah yang berkaitan.
Untuk menjawabnya dapat dimulai dengan memperhatikan pasal 4 dimana pemerintah bertindak mewakili negara yang mempunyai wewenang mengatur dan mengurus segala hal yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Wewenang sebagai pengurus diatur pada pasal 10 yaitu bahwa pengurusan hutan meliputi penyelenggaraan (1) perencanaan kehutanan, (2) pengelolaan hutan, (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan, dan (4) pengawasan. Pasal ini menunjukkan hubungan struktur antara pengurusan dengan pengelolaan dimana pengelolaan hutan merupakan bagian pengurusan hutan. Sedangkan tiga kegiatan lainnya tidak bersifat hirarkis karena ketiganya unsur-unsur pendukung bagi penyelenggaraan pengurusan maupun pengelolaan hutan.
Selanjutnya pasal 21, menyebutkan bahwa pengelolaan hutan yang dimaksudkan oleh pasal 10 meliputi kegiatan (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, (2) pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan (4) perlindungan dan konservasi alam. Keempat kegiatan tersebut dapat dibedakan ke dalam dua hal yaitu kegiatan yang berupa proses untuk menghasilkan sesuatu dan kegiatan yang berupa tindakan atas hasil (output) dari proses yang pengelolaan hutan. Termasuk kelompok pertama adalah butir (1), (3) dan (4), sedangkan kelompok kedua adalah pemanfaatan hasil hutan dan kawasan. Dengan demikian terdapat hubungan hirarki antara pengelolaan dengan pemanfaatan. Jika
diperhatikan pada pasal 17, dapat diketahui pula bahwa di dalam pengelolaan hutan juga dikenal hirarki yang terdiri dari pengelolaan hutan wilayah provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Kemudian pada pasal 22 dijelaskan bahwa kawasan hutan dibagi kedalam blok-blok dan kemudian dibagi lagi ke dalam petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaannya, melalui kegiatan tata hutan. Kegiatan tata hutan sendiri dimaksudkan untuk menciptakan prakondisi yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan hutan yang lebih intensif. Untuk memaknai pasal ini pertama perlu diperhatikan penjelasan pasal 17 tentang wilayah unit pengelolaan, yaitu bahwa unit pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan (KPH) terkecil yang dapat dikelola secara efisien. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa pembagian blok dan petak tersebut dilakukan di dalam unit pengelolaan atau (KPH). Hal yang belum dapat dijelaskan oleh undang-undang adalah dimana pemanfaatan hutan dan kawasan hutan dilakukan ? Apakah di wilayah pengelolaan hutan provinsi, kabupaten/kota, unit pengelolaan, blok atau petak ? Untuk menjawab pertanyaan ini, dipelajari Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Pada pasal 2 (2) disebutkan bahwa “Kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dilaksanakan di wilayah hutan dalam bentuk unit atau kesatuan pengelolaan hutan …….”. Berdasarkan ketentuan pasal ini diperoleh pemahaman bahwa pemanfaatan hutan dan kawasan hutan dilakukan di KPH yang secara teknik pemanfaatan ini dilakukan pada petak atau blok di dalam KPH. Penting untuk dipahami pula bahwa tidak dikenal pemanfaatan pada tingkat wilayah kabupaten/kota
dan provinsi, outlet pemanfaatan hutan adalah KPH. Pengaturan ini telah mempunyai konsistensi dengan definisi KPH sebagai unit terkecil yang dapat dikelola secara efisien, pengelolaan ini akan menghasilkan produk/manfaat, oleh sebab itu hubungan-hubungan yang terkait dengan pemanfaatan dilakukan pada tingkat KPH. Di dalam pasal 28 UU. 41/1999 dijelaskan jenis-jenis pemanfaatan di hutan produksi yang terdiri dari pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, yang diberikan melalui ijin-ijin usaha.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas diketahui bahwa untuk mencapai tujuan telah diatur hirarki organisasi kehutanan yang terdiri dari pengurusan, pengelolaan provinsi, kabupaten/kota, unit pengelolaan, blok, petak, dan pemanfaatan hutan, pada masing-masing tingkatan mempunyai instrumen-instrumen pendukungnya sendiri-sendiri. Hubungan hirarki ini disampaikan pada gambar 14. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah wewenang yang diatur dalam hirarki organisasi kehutanan tersebut telah sesuai dengan hirarki makro, meso dan mikro?.
4.2.1 . Hubungan Organisasi Makro-Meso-Mikro Pengelolaan Hutan Alam Produksi
Hubungan organisasi pada berbagai tingkatan Makro-Meso dan Mikro, terindikasi diperkenalkan pada pasal 13 (3) UU. 41/1999, yaitu dengan adanya pengklasifikasian kegiatan inventarisasi tingkat nasional, wilayah, daerah aliran sungai dan tingkat unit pengelolaan. Hal serupa juga ditunjukkan pada pasal 17, berupa pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan.
Dasar Aturan Hirarki Organisai PENGURUSAN Pasal 4, Pasal 10 UU. 41/1999 PENGELOLAAN Pasal 10, pasal 17, pasal 21, pasal 22 UU.41/1999 PEMANFAATAN Pasal 28 UU.41/1999 Pasal 2 (2) PP. 34/2002
Gambar 14. Hirarki Organisasi Kehutanan Berdasarkan UU. 41/1999
Aturan ini membagi pengelolaan hutan kedalam tiga tingkatan yang berdasarkan ayat (1) pasal 17 UU.41/1999 menjadi : (1) wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Provinsi adalah seluruh hutan di wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari.
PENGURUSAN Perencanaan Kehutanan Pengawasan LitBang, DikLat, Penyuluhan PENGELOLAAN PROVINSI PENGELOLAAN KAB/KOTA PENGELOLAAN UNIT/KPH Rencana Pengelolaan BLOK PETAK PEMANFAATAN
IJIN-IJIN USAHA PEMANFAATAN Tata Hutan
Rehabilitasi Reklamasi
(2) wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari; dan (3) Wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Unit Pengelolaan
Dengan demikian berdasarkan klasifikasi Goldman (2000) organisasi yang menangani wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi dan nasional dapat digolongkan sebagai institusi tingkat makro, sedangkan organisasi yang bekerja pada tingkat wilayah kabupaten/kota adalah institusi tingkat meso, dan organisasi yang menangani pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan (KPHP) adalah institusi tingkat mikro. Dihubungkan dengan penjelasan pasal 17 UU.41/1999, ruang lingkup urusan yang ditangani oleh masing-masing wilayah diatur seperti Tabel 11.
Tabel 11. Ruang Lingkup Urusan Setiap Tingkatan Wilayah Pengelolaan Hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara lestari.
Hirarki Organisasi Ruang Lingkup
Makro Pengelola Hutan Wilayah Tingkat
Provinsi
Seluruh wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten / kota yang ada dalam provinsi Meso Pengelola Hutan
Wilayah Tingkat Kabupaten/Kota
Seluruh unit-unit pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya (KPHL, KPHP, KPHK, KPHKM,KPHA, KPDAS) yang ada di dalam wilayah kabupaten / kota
Mikro Pengelola hutan Tingkat Unit Pengelolaan (KPHP)
Satu unit pengelolaan hutan terkecil yang mempunyai fungsi pokok produksi (KPHP)
Berdasarkan Table 11 telah terdapat pembagian fungsi unit-unit organisasi sesuai dengan peringkat makro-meso dan mikro, dimana kebijakan-kebijakan tingkat mikro diorganisasikan oleh KPHP, meso diorganisasikan oleh Pengelola Wilayah
Kabupaten, dan makro oleh Provinsi, dan oleh Menteri Kehutanan. Table 12 menyajikan hubungan antar tingkatan terkait dengan perencanaan, kedudukan dan peran dari masing-masing tingkatan.
Tabel 12. Hubungan Organisasi Tingkat Makro-Meso-Mikro Rencana Pengelolaan Hutan berdasarkan Pasal 13 (3) dan 17 (1) UU 41/1999
Hirarki Organisasi Misi
Makro Pengurusan dan Pengelolaan Hutan Tingkat Nasional/ Provinsi
1. Inventarisasi Hutan tingkat Nasional / Provinsi 2. Menyusun Rencana Kehutanan Nasional /
Provinsi
3. Menetapkan fungsi dan penggunaan kawasan hutan Tingkat Nasional / Provinsi
4. Menetapkan dan Mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan
5. Menetapkan dan mempertahankan kecukupan penutupan hutan pada DAS atau pulau
6. Optimalisasi manfaat, social, lingkungan dan ekonomi tingkat Nasional/Provinsi.
Meso Pengelolaan Hutan Tingkat Kabupaten/ Kota
1. Inventarisasi Hutan Tingkat Kabupaten / Kota 2. Menyusun Rencana Kehutanan Tingkat
Kabupaten / Kota
3. Menetapkan fungsi dan penggunaan kawasan hutan Tingkat Kabupaten
4. Menetapkan dan Mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan Kabupaten
5. Menetapkan dan mempertahankan kecukupan penutupan hutan pada DAS dalam Kabupaten 6. Optimalisasi manfaat, social, lingkungan dan
ekonomi tingkat Kabupaten/Kota
Mikro
Wilayah Tingkat Unit
Pengelolaan (KPHP)
1. Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan 2. Menyusun Rencana Pengelolaan Hutan
produksi
Struktur berdasarkan jiwa undang-undang kehutanan tersebut di atas menunjukkan secara jelas batas-batas jurisdiksi pada setiap tingkatan organisasi. Dalam hal ini pelaku pemanfaatan adalah pelaku usaha, sedangkan manajemen hutan dilakukan
oleh organisasi KPHP, sedangkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat melaksanakan tugas-tugas pengurusan hutan dan pengelolaan hutan wilayah yang meliputi gabungan unit-unit pengelolaan hutan dengan peruntukan dan fungsi-fungsi pokok, lindung, konservasi, produksi, dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pemerintah tidak berhubungan secara langsung dengan pelaku usaha, hubungan pemerintah dengan pelaku usaha dilakukan melalui organisasi KPHP.
Undang-undang kehutanan juga memandatkan kepada pemerintah untuk menjabarkan hal-hal yang diatur dalam undang-undang ke dalam aturan-aturan operasional. Bagaimana pemerintah menata tugas dan wewenangnya akan dijawab dengan mempelajari peraturan pemerintah no 34/2002.
Tatanan yang dikehendaki seperti pada Gambar 13 tersebut mulai tidak konsisten pada saat dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2002. Inkonsistensi ini berawal dari dasar pertimbangan tata hutan dan rencana pengelolaan hutan dan bermuara pada pembagian kewenangan. Pada ayat (4) pasal 22 UU 41/1999, diatur bahwa berdasarkan blok dan petak yang dihasilkan dari kegiatan tata hutan disusun rencana pengelolaan jangka waktu tertentu, pasal ini menunjukkan bahwa rencana pengelolaan hutan adalah perencanaan tingkat mikro, yaitu perencanaan yang berhubungan dengan urusan-urusan individu unit manajemen terkecil (KPHP), karena pembagian blok dan petak hanya dilakukan di KPHP tidak dapat dilakukan di wilayah. Sejalan dengan pasal 4 undang-undang tersebut, maka (2) pasal 2 PP. No 34/2002 menegaskan bahwa kegiatan penyusunan rencana pengelolaan hutan produksi dilaksanakan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Hal ini dapat digunakan untuk membedakannya dengan perencanaan kehutanan sebagaimana
dimaksudkan oleh pasal 20 UU 41/1999, yang dinyatakan “berdasarkan hasil inventarisasi (nasional, wilayah, DAS dan Unit pengelolaan), factor lingkungan, dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan”. Dua pasal tersebut dimaksudkan untuk membedakan rencana tingkat makro-meso dengan rencana tingkat mikro, rencana kehutanan tergolong sebagai rencana tingkat makro-meso dan rencana pengelolaan hutan adalah rencana tingkat mikro. Kedudukan rencana pengelolaan hutan pada tingkat mikro diperkuat oleh ayat (3) pasal 14 PP. 34/2002, bahwa rencana pengelolaan hutan memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi pengendalian, pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Jelas bahwa rencana ini berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan individual unit pengelolaan hutan, bukan wilayah pengelolaan hutan kabupaten yang terdiri dari berbagai macam unit-unit pengeloaan (KPHP-KPHP,KPHL,KPHL,dll) Perbedaan ruang lingkup perencanaan tersebut akan memerlukan masukan data dan informasi yang berbeda pula, oleh sebab itu informasi yang digunakan untuk setiap tingkatan institusi akan mempunyai perbedaan jenis dan resolusi data. Pada Tabel 13 disampaikan perbandingan dasar pertimbangan yang digunakan dalam menyusun rencana kehutanan dan rencana pengelolaan hutan menurut UU dan menurut PP. Tabel 13 memberikan indikasi bahwa Peraturan Pemerintah no.34 /2002 telah membaurkan antara rencana kehutanan dengan rencana pengelolaan hutan. Rencana pengelolaan hutan yang dalam undang-undang diposisikan pada tingkat mikro, oleh peraturan pemerintah didistribusikan ke semua tingkatan dari mikro, meso dan makro. Kencenderungan ini menjadi jelas jika diperhatikan ayat (2 a,b,c) pasal 14 PP. No. 34/2002 bahwa wewenang penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan
didistribusikan berdasarkan jangka waktu perencanaan bukan berdasarkan pewilayahan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Perencanaan jangka panjang disusun oleh instansi di provinsi dan disahkan oleh Menteri Kehutanan, jangka menengah disahkan menteri, dan rencana pengelolaan jangka pendek disahkan oleh gubernur, pengaturan tersebut di sajikan pada table 14 .
Tabel 13. Perbandingan Dasar Pertimbangan Penyusunan Rencana Kehutanan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
Rencana Kehutanan Rencana Pengelolaan Hutan (KPHP) menurut UU (1) Rencana Pengelolaan Hutan (KPHP) menurut PP (2) (3) Hasil Inventarisasi Nasional, Wilayah, DAS, Unit pengelolaan
Hasil Inventarisasi unit pengelolaan
Inventarisasi hutan unit pengelolaan
Tata Hutan : Ekosistem, Tipe dan Fungsi
Tata hutan : luas, potensi hasil hutan, kesesuaian ekosistem
Rencana Pemanfaatan
Faktor Lingkungan Kondisi lingkungan
Faktor Sosial Aspirasi, partisipasi, nilai
budaya Masyarakat Sumber : (1) Pasal 20 UU No. 41 tahun 1999; (2)
(3) Pasal 13 dan pasal 14(1) PP. No. 34 tahun 2002
Pasal 22 UU No. 41 tahun 1999
Tabel 14. Penyusunan dan Pengesahan Rencana Pengelolaan Tingkat Unit Pengelolaan
Nama Rencana Penyusun Pengesah
Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (20 tahun)
Instansi bidang kehutanan tingkat Provinsi
Menteri Kehutanan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka
Menengah (5 tahun)
Instansi bidang kehutanan tingkat Provinsi
Menteri Kehutanan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka
Menengah (1 tahun)
Instansi bidang kehutanan Gubernur Sumber : PP 32/2004
Dijelaskan di dalam butir (a),(b),(c) ayat (2) pasal 14 bahwa rencana pengelolaan hutan jangka panjang memuat rencana kegiatan secara makro tentang pedoman,
arahan serta dasar-dasar pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan jangka waktu 20 tahun, rencana jangka menengah memuat rencana yang berisi penjabaran rencana pengelolaan jangka 5 tahun, dan rencana jangka pendek memuat rencana operasional secara detail yang merupakan rencana pengelolaan jangka satu tahun. Di dalam peraturan ini tidak menyebutkan secara jelas siapa yang dimaksud instansi kehutanan yang menyusun rencana pengelolaan jangka satu tahun.
Pasal 14 ini bukan saja tidak konsisten dengan Undang-Undang, tetapi juga antara ayat (3) pasal 14 PP.34/2002 yang memposisikan rencana pengelolaan hutan sebagai perencanaan tingkat mikro yang berupa rencana kegiatan operasional, sedangkan ayat (2) memposisikan sebagai perencanaan tingkat makro yang berupa pedoman, arahan dan dasar-dasar pengelolaan hutan. Dapat disimpulkan bahwa peraturan pemerintah tidak memposisikan rencana pengelolaan hutan wilayah provinsi, kabupaten dan KPHP secara tepat. Gubernur dan Menteri yang seharusnya mengurusi pengelolaan keseluruhan unit-unit dengan berbagai fungsi pokok dan peruntukannya secara agregat di seluruh kabupaten/kota dalam provinsi diposisikan untuk mengurusi individu KPHP.
Peraturan Menteri Kehutanan no.P. 28/Menhut-II/2006, system perencanaan kehutanan tidak mengenal rencana pengelolaan hutan tingkat wilayah kecuali tingkat unit pengelolaan. Berdasarkan peraturan tersebut, sistem perencanaan kehutanan terdiri dari rencana-rencana kehutanan seperti Tabel 15. Tidak adanya rencana pengelolaan hutan tingkat wilayah membuktikan bahwa PP. No. 34/2002 tidak membedakan antara rencana kehutanan dengan rencana pengelolaan wilayah.
Tabel 15. Jenis-jenis Rencana Kehutanan dalam Sistem Perencanaan Kehutanan Nasional Provinsi Kabupaten/Kota Unit Pengelolaan
R enc ana P em ba nguna n RP jangka panjang Nasional RP jangka panjang Provinsi RP jangka panjang Kabupaten / kota - RP jangka Mene-ngah Nasional / Renstra KL RP jangka Menegah Provinsi / Renstra SKPD RP jangka Menegah Kabupaten /kota, / Renstra SKPD - RP jangka Tahun-an Nasional / Renja KL/ RKA-KL RP jangka Tahun-an Provinsi / Renja SKPD/ RKA-SKPD RP jangka Tahun-an Kabupaten/ kota, / Renja SKPD/ RKA-SKPD - R enc ana P enge lol aa n - - - Rencana Pengelolaan KPHL, KPHP, KPHK
Apabila dicermati lebih lanjut tentang ketentuan perencanaan, tidak nampak adanya arahan perubahan orientasi pengelolaaan hutan. Indikasinya bahwa dokumen tersebut tidak menyinggung target produksi selain kayu, tidak terdapat pilihan teknologi pengelolaan hutan multi produk, dan tidak ada indikasi upaya dan langkah-langkah untuk melakukan optimasi. Terdapat indikasi yang kuat bahwa visi perubahan yang dikehendaki undang-undang belum diterjemahkan dengan baik kedalam aturan pelaksanaan tentang perencanaan pengelolaan hutan.
Selanjutnya, bagaimanakah pengaturan penempatan tugas dan wewenang pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan pada tataran hirarki makro, meso dan mikro berdasarkan peraturan menteri, akan disampaikan berikut ini. Hasil identifikasi peraturan Menteri Kehutanan antara tahun 1999 sampai dengan 2008
yang terdapat pada lampiran 4, dan peletakan posisi kewenangannya pada Lampiran 5. Pada prinsipnya penempatan yang terbaik adalah apabila wewenang tersebut ditempatkan sesuai dengan urusan, mandat atau kepentingan langsungnya. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa urusan-urusan yang bersifat individual KPHP atau bisnis adalah merupakan urusan tingkat mikro, sedangkan urusan yang mencakupi kepentingan kelompok KPHP-KPHP atau kelompok bisnis dan tatanan yang berlaku lokal (wilayah) merupakan urusan tingkat meso, dan urusan yang menyangkut kepentingan antar kabupaten atau diatasnya dan tatanan yang bersifat umum dan berlaku nasional adalah urusan tingkat makro. Para pelaku usaha dan pengelola KPHP adalah pemangku kewenangan tingkat mikro, sedangkan Bupati adalah pemangku tingkat meso, Gubernur dan Menteri adalah pemangku tingkat makro. Dengan mengidentifikasi substansi yang diatur oleh peraturan Menteri dan penempatan kewenangannya maka dapat dipetakan kepatutan peletakannya. Jenis urusan dijadikan sebagai axis dan letak kewenangan sebagai ordinat dengan satuan skala (1) mikro, (2) meso dan (1) makro, maka peletakan yang paling patut adalah apabila berada pada garis pantas yaitu koordinat (1,1), (2,2) dan (3,3). Apabila nilai ordinat lebih tinggi dari axis maka kewenangan tersebut diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang sepantasnya, dan bila ordinatnya lebih rendah dari axis, maka wewenang tersebut ditempatkan lebih rendah dari yang sepantasnya.
Gambar 15 menginformasikan bahwa 44 % aspek yang diatur melalui peraturan menteri kehutanan telah diposisikan pada tingkat makro, meso dan mikro secara tepat. Sejumlah 56 % menempatkan urusan pada tataran yang lebih tinggi dari yang seharusnya, dan tidak ada yang ditempatkan pada tataran yang lebih rendah. Sebagian
terbesar urusan-urusan diangkat ke peringkat yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan adanya bias kebijakan yang berorientasi pada pengumpulan kekuatan birokrasi. Perilaku ini sejalan dengan pendapat Osborn dan Plastrik (2001), bahwa birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya dengan membuat peraturan yang diciptakan untuk memperkuat kekuasaan.
K EWE NA NG AN M EN TER I (M AKR O) 4,5,6,7,15,16, 17, 20, 21,22,23,24,25, 36,37,39,40,44, 46,49,55,61,62, 63,64 39,40,42 33,34,335,39,40, 53 1,8,9,10,11,12,13 ,14,15,26,27,28, 29,30,31,32,33, 34,35,38,39,40,4 1,42,43,44,45,47, 50,52,54,56,58, 59 GUB E R NUR (M AKR O) 16,18,19,57,60 2,42,44,48 B UP AT I (M ESO ) 18,18,19,51,60 44 KP H (M IK RO ) 3 PERMEN HUT
KPH LINTAS KPH LINTAS KAB LINTAS
PROV URUSAN
Gambar 15. Distribusi Posisi Penempatan Kewenangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan antar tahun 2000-2008
Ijin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang berisi hubungan kontraktual antara pemerintah dengan pelaku usaha sebagaimana telah dibahas dalam hubungan makro-meso-mikro, terindikasi adanya penempatan kewenangan yang tidak tepat. Untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan kontraktual dalam
kaitannya dengan konteks makro-mikro, berikut ini dilakukan pendalaman atas substansi pengaturan kontrak IUPHHK.
Peraturan Pemerintah no. 34/2002 mengatur 8 kewenangan yang berhubungan dengan pelaksanaan IUPHHK, seperti pada Tabel 15. Pertama berdasarkan pasal (14) pada setiap unit pengelolaan disusun rencana pengelolaan hutan. Rencana ini merupakan urusan individu unit manajemen (KPHP) yang sesungguhnya berupa perencanaan tingkat mikro, namun demikian wewenang penyusunan dan pengesahan dokumen ini diatur berdasarkan waktu jangkauan rencana tersebut. Rencana tahunan disusun oleh aparat Bupati dan disahkan oleh Gubernur, sedangkan yang berjangka 5 tahun dan 20 tahun disusun oleh aparat provinsi dan disahkan oleh Menteri Kehutanan. Apabila diperhatikan tentang hirarkhi makro-mikro, urusan-urusan individual seperti ini dapat diserahkan kepada pengelola KPHP, sedangkan Bupati, Gubernur dan Menteri Kehutanan dapat khusus menangani kebijakan publik.
Kedua adalah kriteria pengelolaan hutan secara lestari dan kriteria potensi hutan, berdasarkan pasal (15) pemanfaatan hutan harus dilaksanakan dengan berpedoman pada kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari dan berdasarkan pada pasal 29 (3) pemanfaatan hutan dilakukan berdasarkan pada kriteria potensi hutan alam, keduanya diterbitkan oleh menteri kehutanan. Kirteria dan indikator ini merupakan norma yang mengatur kepentingan bersama, oleh karenanya merupakan urusan publik yang harus diterbitkan oleh institusi publik.
Ketiga, pasal 29 (6) menyatakan bahwa mengatur lebih lanjut tentang usaha pemanfaatan hasil hutan, apabila diperhatikan penjelasan pasal 28 yang menyatakan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada dasarnya hanya diberikan untuk menebang kayu, dengan berbagai kewajiban. Menebang adalah kegiatan memanen hasil pengelolaan hutan, yaitu aktifitas mengambil manfaat yang merupakan aktivitas tingkat mikro dan mencakupi wilayah individual KPHP. Dalam hal ini pihak yang paling relevan untuk berhubungan dengan pelaku usaha adalah pengelola KPHP. Namun peraturan pemerintah ini menempatkan kewenangan mengatur hubungan transaksi individual atas hasil pengelolaan hutan pada Menteri. Sebagai lembaga publik Menteri lebih tepat mengatur norma-norma usaha pemanfaatan hutan yang bersifat umum melalui kebijakan publik daripada melakukan transaksi bisnis.
Substansi Individual Bisnis Lintas KPHP Lintas Kab Lintas
Prov Bisnis Bupati Gubernur Menteri Rencana Pengelolaan
Hutan tingkat unit (1) z z z z
Kriteria Potensi Hutan
Alam (2) z z
Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (3) z z
Ijin Usaha Pemanfaatan
Kayu/komoditas (4) z z z z
Pelengan ijin (5) z z
Membuat Rencana Usaha
(6) z z
Menyetujui rencana usaha
(7) z z
Perpanjangan ijin usaha
(8) z z
Letak Kewenangan Tingkat urusan
Keempat, pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai ijin dapat disederhanakan sebagai sebuah kontrak jual beli hasil hutan, dimana metode pembayarannya dilakukan dengan kombinasi tunai dan non-tunai. Pembayaran tunai dalam bentuk iuran, dana reboisasi dan provisi sumberdaya hutan, sedangkan bentuk pembayaran non-tunai berupa pelaksanaan kewajiban-kewajiban non moneter. Transaksi ini juga merupakan transaksi individual, hanya melibatkan satu KPHP dengan pembeli, bukan lintas KPHP dan tidak tergolong sebagai kebijakan publik. Namun peraturan mengatur bahwa transaksi dilakukan dengan melibatkan rekomendasi Bupati dan Gubernur serta dilakukan oleh Menteri Kehutanan, sedangkan pengelola hutan tidak diberikan peran sama sekali (pasal 42).
Kelima pelelangan ijin, pasal 43 dan pasal 44 mengatur bahwa Menteri mengatur lebih lanjut tentang pelelangan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan. Aturan pelelangan ini dapat merupakan kebijakan publik (kebijakan makro) apabila mengatur tentang tata-cara dan norma-norma yang berlaku umum. Namun apabila diperhatikan pada pasal 44 dan praktek yang berlaku, menteri bukan hanya mengatur kebijakan publik, melainkan juga bertindak sebagai pelaku kegiatan lelang (“menjual”) ijin usaha pada setiap satuan areal hutan. Transaksi ijin usaha ini merupakan transaksi individual yang melibatkan satu satuan areal hutan dengan satu orang / perusahaan pemenang.
Ke enam membuat rencana usaha, adalah sebuah kegiatan tingkat mikro yang dilakukan oleh individu perusahaan. Peraturan pemerintah mengatur bahwa setiap perusahaan berkewajiban menyusun rencana usahanya masing-masing.
Ke tujuh menyetujui rencana usaha, rencana usaha yang merupakan aktivitas individual perusahaan tersebut namun diatur hingga harus mendapat persetujuan
Menteri Kehutanan (pasal 47, ayat 4). Dalam hal ini sebuah aktivitas individual tingkat mikro, namun persetujuannya dilakukan oleh institusi publik tingkat nasional. Ini bukan saja tidak berada dalam satu tingkat yang sama, namun juga menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan rentang kendali pihak yang memberi persetujuan, kemampuan pengawasan dan pengendaliannya harus sangat kuat mengingat bahwa aktivitas individual dikendalikan langsung oleh pemerintah nasional. Situasi ini berpotensi menimbulkan Princaple-Agent Problem, apabila hubungan kerja disertai dengan syarat-syarat berupa kewajiban tertentu dan pemberi kewajiban (Principal) tidak mampu mengendalikan dan mengawasi pelaksanaannya, maka pihak penerima kewajiban (Agent) akan berusaha mencapai tujuannya meskipun tindakannya merugikan pemberi kewajiban (Pindyck dan Rubinfels, 2001).
Ke delapan perpanjangan ijin usaha, seperti halnya pemberian ijin usaha, perpanjangan ijin usaha juga merupakan hubungan transaksi individual tentang pemanfaatan hasil produksi dari aktivitas pengelolaan hutan, oleh karena itu merupakan kegiatan tingkat mikro, namun peraturan menempatkan kewenangan transaksi ini berada di Menteri yang merupakan institusi tingkat makro.
Kecenderungan pemerintah dalam mengatur hubungan makro-mikro disajikan pada gambar 16 peta peletakan kewenangan urusan makro-mikro yang terkait dengan dengan IUPHHK
K EWE NA NG AN M EN TER I (M AKR O) 1, 3,4,5,7,8 2 GUB E R NUR (M AKR O) 4 B UP AT I (M ESO ) 4 KP H (M IK RO ) 6 PP. 34 /2002 IUPHHK (MIKRO) LINTAS KPH (MESO) LINTAS KAB (MAKRO) LINTAS PROV (MAKRO) TINGKAT URUSAN
Gambar 16. Peta Peletakan Kewenangan berdasarkan PP. 34/2002
Pada gambar 16 terlihat bahwa dua urusan yang kewenangannya telah ditempatkan sesuai dengan hirarkinya, yaitu urusan tentang kriteria potensi hutan yang merupakan urusan bersama dan kewenangannya diberikan kepada institusi publik tingkat makro (Menteri), dan urusan tentang penyusunan rencana kerja yang merupakan kegiatan tingkat mikro dan kewenangannya telah ditempatkan di tingkat mikro (perusahaan IUPHHK). Sebagian besar kewenangan urusan-urusan tingkat mikro diambil alih secara langsung oleh Menteri, dan terdapat satu urusan yang melibatkan Bupati dan Gubernur dalam bentuk pemberian rekomendasi pada proses pelelangan ijin.
Dalam perkembangannya PP. No. 34/2002 ini telah diubah menjadi PP. No. 6/2007, dimana peran pemerintah telah diperjelas dalam menetapkan KPHP, disamping itu organisasi KPHP telah dielaborasi, namun demikian perubahan ini tidak mengubah struktur kewenangan yang berkaitan dengan perijinan. Secara umum PP. 34/2002 dan PP. 6/2007 tidak membuat perubahan yang signifikan, perbandingan kedua peraturan pemerintah tersebut disajikan pada Tabel 17.
Dengan substansi pengaturan seperti pada kedua Peraturan Pemerintah tersebut, KPHP yang sebenarnya dapat diperankan sebagai pengelola menjadi tidak jelas kedudukannya. Berdasarkan klasifikasi Schlager dan Ostorm (1992), dalam kedudukannya sebagai pengelola, KPHP seharusnya mempunyai hak access and withdrawl, management dan hak exclusion. Namun aturan tersebut mencabut hak exclusion dengan mengambil wewenang membuat hubungan-hubungan transaksional atas hasil-hasil yang diproduksi melalui aktivitas pengelolaan hutan, baik hasil hutan yang berupa barang maupun jasa. Kewenangan ini ditempatkan sebagai wewenang Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri. Demikian pula halnya dengan hak management, dimana wewenang menentukan pilihan teknologi berada pada Menteri. Sementara itu PP. 6/2007 telah memberikan wewenang kepada pengelola KPHP untuk menyetujui/mengesahkan Rencana Karya Tahunan, wewenang ini merupakan bentuk hak withdrawal yaitu menentukan hak-hak memanen hasil.
Dengan struktur seperti itu, kedudukan pengelola KPHP tidak berbeda dengan perusahaan IUPHHK yang hanya memiliki hak access and withdrawl, sementara PP. 6/2007 meskipun telah mengelaborasi tugas dan tanggung jawab pengelola KPHP lebih rinci, namun pengaturan ini sesungguhnya tidak mengubah kedudukannya.
Tabel 17. Perbandingan Pengaturan KPHP menurut PP 34/2002 dan PP 6/2007
No
PP 34 / 2002
PP 6 /2007
Organisasi
1 Kesatuan pengelolaan tingkat unit adalah kesatuan pengelolaan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari
Kesatuan pengelolaan hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah penge-lolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari
Kepala KPH adalah pimpinan, pemegang kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan dalam wilayah yang dikelolanya
KPH, bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah dapat melimpahkan penye-lenggaraan pengelolaan hutan kepada BUMN Kehutanan
Direksi BUMN membentuk organisasi KPH dan menunjuk kepala KPH Kewenangan
Penetapan Organisasi KPHK, KPHL, dan KPHP lintas provinsi oleh Menteri, KPHL dan KPHP lintas Kab oleh Gubernur, KPHL dan KPHP didalam Kab oleh Bupati
Menyelenggarakan pengelolaan hutan : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam
Menyelenggarakan pengelolaan hutan : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam
Menjabarkan kebijakan kehutanan nasi-onal, provinsi dan kabupaten/kota bi-dang kehutanan untukdiimplementasikan Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari peren-canaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan penga-wasan serta pengendalian Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya
Pengelola KPHP tidak dapat dimintakan akuntabilitas atas tugasnya sebagai pengelola hutan produksi karena batasan hak properti yang tidak lengkap. KPH diposisikan sebagai pekerja pelaksana instruksi pemilik. Penjelasan tentang KPH yang dipimpin oleh seorang kepala sebagai penanggung jawab, dan KKPH diposisikan sebagai bagian dari sebuah BUMN yang berada di bawah direksi. KPH tidak diposisikan sebagai sebuah entitas yang mandiri. Disamping itu PP. No. 6/2007 telah hanya mengatur tugas dan wewenang teknis kepala kesatuan pengelolaan hutan.
Meskipun tugas-tugas pengelola telah dielaborasikan dengan lebih jelas oleh peraruran terbaru, tetapi kewenangan yang menyangkut perijinan masih belum diberikan. Ketiadaan wewenang pengelola KPHP untuk mengatur hubungan transaksional dengan pengguna atau pemanfaat multi produk yang dihasilkannya berpotensi menimbulkan masalah, yang akan berpengaruh terhadap aktivitas pengelolaan hutan itu sendiri. Dari sisi pandang Osborn dan Plastrik (2001), Scott (2008) dan Jepperson (1992), perilaku pemerintah (birokrasi) telah menggunakan peraturan untuk memperkuat kekuasaannya (perversi kekuasaan) dan sebagai indikasi adanya resistensi terhadap perubahan. Potensi perversi terindikasi dengan menempatkan pengelola KPH di bawah kendali direksi BUMN, oleh sebab itu KPH mengandung resiko lebih besar terkooptasi oleh pihak-pihak yang berkuasa dibandingkan dengan menjadikannya sebagai entitas yang mandiri.
4.2.2. Organisasi Kehutanan dan Kuadran Kebijakan
Undang-undang telah mengatur hirarkhi institusi kehutanan kedalam pengurusan hutan sebagai organisasi makro, pengelolaan wilayah sebagai organisasi makro dan
mezo, pengelolaan tingkat unit dan pemanfaatan hutan sebagai organisasi mikro. Selanjutnya perlu diketahui apakah pengaturan ini juga telah memilah kedudukannya dalam kuadran kebijakan, sehingga dapat diketahui kesesuaian pengaturan tugas-tugas pemerintah dengan wewenang publik. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hubungan pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan diawali dari pasal 10 UU. 41/1999, bahwa wewenang pengurusan hutan meliputi penyelenggaraan : (1) perencanaan kehutanan, (2) pengelolaan hutan, (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan (4) pengawasan. Ketiga aspek, kecuali pengelolaan hutan, dapat mempunyai cakupan nasional (makro), karena pengelolaan hutan berdasarkan pembentukan wilayah menurut pasal 17 terdiri dari pengelolaan wilayah provinsi, kabupaten/kota dan pengelolaan unit manajemen.
Pengelolaan hutan diatur dalam pasal 21, meliputi kegiatan : (1) tata hutan dan rencana pengelolaan hutan, (2) pemanfaatan dan penggunaan kawasan, (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan, (4) perlindungan hutan dan konservasi alam. Pada pasal 22 dinyatakan bahwa tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang optimal dan lestari, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan hutan adalah aktivitas alokasi sumberdaya manajemen secara intensif untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi. Tata hutan sendiri merupakan kegiatan pembagian blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan. Sedangkan di dalam setiap blok dibuat petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Pasal 21 dan 22 ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan pengelolaan hutan disini adalah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan, bukan pengelolaan wilayah kabupaten dan provinsi.
Pembagian blok dan petak tidak mungkin dilakukan di tingkat wilayah kabupaten maupun provinsi, karenanya hirarki pengelolaan hutan adalah pengelolaan provinsi, kabupaten/kota, unit pengelolaan, blok dan terendah adalah petak. Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan hasil produksi pengelolaan hutan, oleh sebab itu kegiatan pemanfaatan hutan dilakukan di dalam unit manajemen.
Berdasarkan kepada pasal-pasal tersebut diatas dan pasal-pasal dalam bab pemanfaatan menurut UU 41/1999 wewenang pengurusan, pengelolaan, dan pemanfaatan disampaikan pada Tabel 18. Pada pasal 10, termasuk dalam pengurusan hutan adalah LIBANG, DIKLAT dan penyuluhan, serta pengawasan. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak termasuk yang diatur dalam pengelolaan dan pemanfaatan, oleh karenanya merupakan bagian dari pengurusan hutan. Selain itu kegiatan tersebut merupakan kegiatan pendukung bagi seluruh sistem kehutanan.
Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan hutan, meskipun pengaturannya berada dalam pasal yang sama dengan pengurusan hutan, namun jika dilihat dari segi ruang lingkup kegiatannya yang berada di dalam unit pengelolaan, dan kegunaan dari hasil inventarisasi adalah untuk kepentingan pengelolaan tingkat unit, maka kegiatan inventarisasi tingkat unit dapat dianggap sebagai bagian dari pengelolaan hutan. Sementara itu perijinan-perijinan pemanfaatan, adalah pengaturan hubungan transaksional tentang hasil-hasil pengelolaan, maka posisinya berada pada pemanfaatan.
Tabel 18. Daftar Kewenangan Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Menurut Undang-Undang 41/1999. No Kewenangan Peng-urusan Penge-lolaan Peman -faatan
1 Inventarisasi hutan tingkat nasional x
2 Inventarisasi hutan tingkat wilayah x
3 Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai x
4 Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan x
5 Pengukuhan kawasan hutan x
6 Penatagunaan kawasan hutan x
7 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat
provinsi x
8 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat
kabupaten/kota x
9 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat
unit pengelolaan x
10 Penyusunan rencana kehutanan nasional x
11 Penyusunan rencana kehutanan provinsi x
12 Penyusunan rencana kehutanan kabupaten/kota x
13 Penyusunan rencana kehutanan daerah aliran
sungai x
14 Penyusunan rencana kehutanan unit pengelolaan x
15 Pembagian blok berdasar ekosistem, tipe, fungsi
dan rencana pemanfaatan hutan x
16 Pembagian petak berdasar intensitas dan efisiensi
pengelolaan x
17 Penyusunan rencana pengelolaan hutan menurut
jangka waktu x
18 Ijin usaha pemanfaatan kawasan di dalam unit
pengelolaan x
19 Ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan di dalam
unit pengelolaan x
20 Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di dalam
unit pengelolaan x
21 Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di
dalam unit pengelolaan x
22 Ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu x
23 Ijin usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu x
24 Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
pelatihan, dan penyuluhan kehutanan x
25 Pengawasan x
Selanjutnya wewenang atau kegiatan pada tabel tersebut diuji dengan kriteria kuadran kebijakan sebagai berikut :
Tabel 19. Pengklasifikasian Wewenang Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfatan Dalam Kuadran Kebijakan Berdasarkan Undang-undang 41/1999 N
o
Kewenangan Kriteria
1 2 3 4 5 6
1 Inventarisasi hutan tingkat nasional x x x
2 Inventarisasi hutan tingkat wilayah x x x
3 Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai x x x
4 Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan x x
5 Pengukuhan kawasan hutan x x x
6 Penatagunaan kawasan hutan x x x
7 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi x x x
8 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat
kabupaten/kota x x x
9 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit
pengelolaan x x x
10 Penyusunan rencana kehutanan nasional x x x
11 Penyusunan rencana kehutanan provinsi x x x
12 Penyusunan rencana kehutanan kabupaten/kota x x x
13 Penyusunan rencana kehutanan daerah aliran sungai x x x
14 Penyusunan rencana kehutanan unit pengelolaan x x
15 Pembagian blok berdasar ekosistem, tipe, fungsi dan
rencana pemanfaatan hutan x x
16 Pembagian petak berdasar intensitas dan efisiensi
pengelolaan x x
17 Penyusunan rencana pengelolaan hutan menurut jangka
waktu x x
18 Ijin usaha pemanfaatan kawasan di dalam unit
pengelolaan x x
19 Ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan di dalam unit
pengelolaan x x
20 Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di dalam unit
pengelolaan x x
21 Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di dalam
unit pengelolaan x x
22 Ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu x x
23 Ijin usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu x x
24 Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan,
dan penyuluhan kehutanan
x x x
25 Pengawasan x x
Catatan (1) : Kepentingan umum /bersama, (2) Penegakan hukum, (3) Manfaat lebih banyak dinikmati oleh pengguna tidak langsung, (4) Kepentingan individu, (5) Penanggung jawabnya adalah pemerintah (institusi makro dan meso), (6)
Selanjutnya data pada tabel 19, kemudian dimasukkan kedalam gambar 17 kuadran kebijakan sebagai berikut :
Lingkup Isu/Urusan/Masalah/Manfaat Individu Masyarakat/Bersama P ena nggung j aw ab pe rt am a Indi vi du /P er us ah aa n/ KP HP Kuadran I Operasional Perusahaan 18,19,20,21,22,23 Pemanfaatan Kuadran II Quasi Publik 4, 14, 15, 16, 17 Pengelolaan Unit O rga nisas i P ubl ik Kuadran III kebijakan Penegakan Hukum Kuadran IV Kebijakan Publik 1,2,3,5,6,7,8,9,10,11, 12,13,23, 24 Pengurusan Pengelolaan Wilayah
Gambar 17. Posisi wewenang Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan pada Kuadran Kebijakan
Dengan menggunakan kriteria tersebut diketahui bahwa pengurusan hutan termasuk dalam wilayah kebijakan publik, pengelolaan unit termasuk dalam wilayah quasi publik dan pemanfaatan termasuk dalam wilayah privat.
4.2.3. Hubungan IUPHHK dengan KPHP
Tujuan pengelolaan hutan alam produski dapat dicapai melalui operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Dengan penjelasan tentang tujuan seperti yang tersebut di atas, KPHP dituntut untuk mampu mewujudkan rejim pengelolaan hutan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan,
bukan hanya berorientasi pada produksi kayu saja untuk mengoptimalkan manfaat hutan. Operasionalisasi pencapaian tujuan yang baru tersebut dilakukan melalui penataan berbagai peraturan maupun penyempurnaan dari peraturan sebelumnya. Perbandingan antara peraturan yang berlaku sebelum tahun 1999 dan sesudah terjadi perubahan disajikan pada Lampiran 2.
Terdapat beberapa perubahan yang berkaitan dengan perijinan yaitu perubahan dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Para pihak yang dapat diberikan IUPHHK bukan hanya badan hukum tetapi terdiri dari perorangan, koperasi, perusahaan swasta dan perusahaan milik Negara. Terdapat pernambahan jangka waktu ijin, pembatasan luas ijin, kewajiban bekerjasama dengan koperasi, dan lain-lain. IUPHHK adalah bentuk baru dari HPH, perbedaan dan persamaan dari keduanya dapat dilhat dari hak dan kewajiban yang ada pada kontrak keduanya, seperti yang tersaji pada Lampiran 3.
Secara garis besar tidak terdapat perbedaan antara HPH dan IUPHHK, kedua-duanya diberikan konsesi berbasis luas hutan, diberikan hak untuk menebang kayu, dan dibebani berbagai macam kewajiban yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, serta ada batasan jangka waktu ijin. Undang-undang kehutanan telah mengatur hirarki institusi kehutanan kedalam tiga tingkatan yaitu pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Dalam hal ini perlu diperjelas terlebih dahulu kedudukan HPH dan IUPHHK dalam hirarki institusi kehutanan yaitu apakah sebagai institusi pengelola atau pemanfaat hutan.
Ayat (2) pasal (2) Peraturan Pemerintah no. 34/2002 mengatur bahwa ijin-ijin usaha di hutan produksi dilaksanakan di dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
(KPHP). Berdasarkan definisi menurut Undang-Undang nomor 41/1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 34/2002, KPHP adalah unit pengelolaan hutan terkecil yang dapat dikelola secara lestari. Sebagai unit pengelolaan terkecil, maka di dalam KPHP tidak akan ada lagi unit-unit lain yang dapat mengelola hutan secara lestari, artinya bahwa di dalam satu KPHP berlaku hanya satu pelaku pengelolaan hutan..
Selanjutnya dalam penjelasan umum UU. 41/1999 paragraf (7) dan (8), bahwa perubahan yang dinginkan dalam pengelolaan hutan produksi adalah mengubah orientasi produksi dari produksi kayu menjadi berorientasi pada pemanfaatan optimal seluruh sumberdaya hutan, maka di dalam KPHP dapat dilakukan berbagai macam kegiatan usaha kehutanan. Jenis-jenis usaha yang dapat diberikan ijin di dalam KPHP adalah ijin-ijin usaha pemanfaatan yaitu ijin pemanfaatan Kawasan (IUPK), ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHB), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK), ijin usaha pemungutan hasil hutan (IUPHH) (pasal 23 s/d 29 UU. No.41/1999. Pelaksanaan dari ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Sejalan dengan penjelasan Undang-undang no. 41/1999, Peraturan Menteri Kehutanan P.10/Menhut-II/2006 mendefinisikan KPHP sebagai unit pengelolaan hutan produksi terkecil yang dapat dikelola secara efisien dan lestari oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan. Peraturan ini menegaskan bahwa KPHP adalah satuan terkecil yang dikelola artinya ada pihak yang mengelola yaitu pemerintah, pemerintah daerah atau BUMN. Oleh karenanya optimasi pengelolaan hutan tingkat unit dilakukan di KPHP.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas pengelolaan hutan tingkat unit berada pada pengelola KPHP, dan di dalam setiap KPHP terdapat jenis-jenis usaha pemanfaatan yang diberikan melalui ijin-ijin usaha yaitu IUPK, IUPJL, IUPHHB, IUHHK, IUPHH. Dengan demikian berlaku aturan bahwa pengelolaan hutan dilakukan oleh pengelola KPHP, dan pemanfaatan oleh pemegang IUPHHK.
Namun sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 3, IUPHHK sebagai pemanfaat yang diberi tugas-tugas pengelolaan dalam bentuk kewajiban-kewajiban. Oleh karena itu perlu diketahui strata hak yang dimiliki oleh IUPHHK dengan menggunakan pendekatan Schlager dan Ostorm (1992) yang membagi strata hak berdasarkan keberadaan hak access and withdrawal, management, exclusion, aleniation, sebagai berikut :
1. Hak access and withdrawal, IUPHHK memiliki hak untuk memasuki areal hutan yang menjadi konsesinya dan diberikan hak untuk menebang pohon, mengangkut dan menjual kayu.
2. Hak manajement, IUPHHK tidak mempunyai hak untuk mengelola, melainkan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mengelola hutan. Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dimaksuk IUPHHK harus mengikuti peraturan-peraturan teknis yang ditentukan oleh pemerintah, termasuk pilihan teknik silvikultur, penggunaan alat, dan pemilihan jenis yang diatur oleh Menteri Kehutanan. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut harus dipertanggung jawabkan kepada pemberi ijin, dengan demikian pihak yang berkepentingan atas hasil pelaksanaan kewajiban tersebut adalah pihak pemberi ijin.
3. Hak exclusion, IUPHHK tidak mempunyai hak exclusion, karena didalam kawasan hutan yang menjadi konsesinya dapat diberikan ijin-ijin lainnya oleh pemerintah. IUPHHK tidak dapat menolak pihak lain yang akan mengambil manfaat sumberdaya yang ada di dalam areal kerjanya, apabila pemerintah memberi ijin kepada pihak lain;
4. Hak alienation, IUPHHK dilarang memindah-tangankan ijin yang diberikan kepadanya, pemindah-tanganan harus atas ijin tertulis dari Menteri Kehutanan. Bahkan akibat dari ijin yang dimiliki, pemegang IUPHHK tidak dapat mengubah struktur kepemilikan saham pada perusahaan. Meskipun kepemilikan saham seseorang pada perusahaan tidak mempunyai hubungan langsung dengan kepemilikan IUPHHK, namun akibat kepemilikan IUPHHK, maka pengalihan saham-saham perusahaan harus atas ijin Menteri Kehutanan.
IUPHHK hanya mempunyai strata hak access and withdrawal saja, tanpa strata lainnya. Menurut klasifikasi Schlager dan Ostrom (1992) posisi IUPHHK dikategorikan pengguna (Authorized User). Kedudukannya sebagai pengguna, dapat dipastikan bahwa IUPHHK adalah organisasi tingkat pemanfaat berdasarkan hirarchi UU. 41/1999. Para pemilik IUPHHK adalah para pihak yang diberikan ijin untuk memanfaatkan hasil-hasil yang diproduksi oleh pengelola hutan, melalui mekanisme transaksi tertentu. Dengan demikian IUPHHK adalah organisasi pengguna (pemanfaat), struktur hubungan ini digambarkan dalam model pengoperasian KPHP seperti Gambar 18.
Penge-lola
K P H P Peman
faat IUPK IUPJL IUPHHBK IUPHHK IUPHH
Pelaku Usaha P E RO RAN G AN KOP E R A S I P E RO RAN G AN KOP E R A S I B U M S B UM N / B U M D P E RO RAN G AN KOP E R A S I B U M S B UM N / B U M D P E RO RAN G AN KOP E R A S I B U M S B UM N / B U M D P E RO RAN G AN KOP E R A S I
Gambar 18. Jenis Usaha dan Pelaku Usaha di dalam KPHP
4.2.4. Perijinan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi
Menurut pasal 28 UU No. 41/1999 dan ayat (2) pasal (2) PP. No. 34/2002 kegiatan pemanfaatan hutan dilakukan di unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. Pelaksanaan pemanfaatan hutan produksi diberikan melalui pemberian ijin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK), ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK), ijin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK), ijin pemungutan hasil hutan (IUPHH). Wewenang pemberian ijin-ijin usaha diatur didalam pasal-pasal 37, 38, 39,40, 41 dan 42 pada PP. No 34/2002. Kecuali ijin pemanfaatan hasil hutan kayu yang sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Kehutanan, ijin-ijin usaha lainnya dapat diberikan oleh Bupati/ Walikota, Gubernur dan Menteri Kehutanan. Pembagian kewenangan perijinan IUPK, IUPJL, IUPHHBK, IUPHH, didistribusikan berdasarkan letak KPHP dalam konteks wilayah administratif, gambar 19 memberikan ilustrasi distribusi dimaksud.
Gambar 19. Pengaturan Wewenang Perijinan
Pada Gambar 19, model KPHP 1 dimana seluruh areal KPHP berada di dalam wilayah administrasi Kabupaten/Kota, perijinan-perijinan tersebut di berikan oleh Bupati. Model KPHP 2 adalah model dimana areal KPHP terletak di dua wilayah administrasi Kabupaten yang berbeda, dalam kondisi seperti ini perijinan menjadi wewenang Gubernur. Model KPHP 3, areal KPHP terletak di kabupaten dan provinsi yang berbeda, dalam hal ini perijinan menjadi wewenang Menteri Kehutanan.
Sebagai pembanding Lampiran 6 menyajikan distribusi peran para pihak, indikator utama kinerja dan jenis perencanaan, pada berbagai tingkatan, yang dikembangkan berdasarkan perubahan yang dikehendaki oleh undang-undang
KPHP 3
Keterangan :
Unit Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah Pengelolaan Hutan Kabupaten
Wilayah Pengelolaan Hutan Provinsi Wilayah Pengelolaan Hutan Nasional
KPHP
KPHP 2
KPHP
kehutanan no. 41/1999. Pengurusan hutan dilakukan pada tingkat makro (nasional dan provinsi) dan meso (kabupaten/kota) dengan indikator utama kinerja adalah kecukupan luas hutan, kecukupan penutupan hutan dan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian, dan jenis-jenis perencanaan kehutanan jangka panjang, menengah dan tahunan yang menjadi tanggung jawabnya. Pengelolaan hutan tingkat makro dilaksanakan oleh institusi provinsi, dan tingkat meso oleh institusi kabupaten/kota dengan indikator utama kinerja adalah Kelestarian Hutan (Stok), Manfaat Hutan yang Optimal, indikator normatif distribusi manfaat yang berkeadilan. Sedangkan pengelolaan hutan tingkat mikro dilakukan oleh institusi KPHP dengan indikator utama kinerja kelestarian hutan (stok), manfaat hutan yang optimal, pelaksanaan distribusi manfaat yang berkeadilan. Pengelola hutan wilayah masing-masing menyusun rencana pengelolaan hutan jangka panjang, menengah dan tahunan. Pemanfaatan dilakukan oleh pelaku usaha dan dilaksanakan di dalam KPHP melalui perijinan berbagai jenis usaha dengan indikator utama kinerja produktivitas atau kesehatan perusahaan, dan menyusun rencana
Sementara pemerintah mengatur distribusi kewenangan tersebut berdasarkan pertimbangan letak geografis yang dikaitkan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan, dan meniadakan peran pengelola KPHP. Ijin-ijin tersebut adalah bagian dari manajemen KPHP, sehingga pihak yang paling berkepentingan terhadap keberhasilan pengelolaan hutan adalah pengelola KPHP. Sedangkan Bupati/Wlikota, Gubernur dan Menteri tidak berkepentingan langsung atas kinerja individu KPHP. Oleh sebab itu penempatan wewenang seperti itu, telah melampaui batas jurisdiksi pengelola KPHP.
Perubahan PP.34/2002 menjadi PP. 6/2007, tidak mengandung perubahan yang mendasar tentang pengaturan hak dan kewajiban terkait dengan properti IUPHHK, perhatikan Tabel 20. Dalam hal hak, perubahan yang terjadi adalah pada ketentuan tentang pengalihan ijin, jika sebelumnya dinyatakan dilarang mengalihkan tanpa seijin menteri, berubah menjadi ijin dapat dipindah tangankan seijin pemberi ijin. Menurut pemikiran North (1990) pengaturan ini menempatkan pemerintah sebagai pemain dan sekaligus regulator dan penegak aturan, sedangkan dalam pandangan Van den Berg (2001) merupakan tindakan penggunaan aturan untuk memperkuat kekuasaan, dan menurut Scott (2008) dan Jepperson (1991) sebagai upaya melindungi kepentingan. Dengan demikian pengaturan ini mengandung unsur perversi dan konflik kepentingan.
Tabel 20. Perbandingan Pengaturan Hak Properti (IUPHHK) Menurut PP 34/2002 dan PP 6/2007
No
PP 34 / 2002
PP 6/2007
1 Hak Hak
Berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya
melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya
Kegiatan Pemanfaatan meliputi meliputi kegiatan pemanenan,
pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah
ditetapkan
Kegiatan Pemanfaatan meliputi meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman,
pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan
Izin tidak dapat dipindah tangankan tanpa seizin Menteri
Ijin dapat dipindah tangankan dengan seizjin pemberi izin Jangka waktu 55 tahun Jangka waktu 55 tahun
Tabel 21. Perbandingan Kewajiban IUPHHK Menurut PP 34/2002 dan PP 6/2006
No Kewajiban PP 34/02, ps (47) Kewajiban PP 6/2006
1 membuat rencana kerja untuk seluruh
areal kerja selama jangka waktu berlakunya izin
menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja sesuai jangka waktu berlakunya izin berdasarkan rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh KPH
2 melaksanakan kegiatan nyata
dilapangan selambat-lambatnya 3 bulan sejak diberikan izin
Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan
selambat-lambatnya1 tahun sejak diberikan
izin
3 melaksanakan penataan batas areal
kerja selambat-lambatnya3 bulan
sejak diberikan izin
melaksanakan penataan batas areal kerja
paling lambat 1(satu) tahunsejak diberikan
IUPHHK
4 membuat laporan secara periodik menyampaikan laporan kinerjapemegang
ijin secara periodik kepada menteri
5 melaksanakan perlindungan hutan di
areal kerjanya dari gangguan keamanan
melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya
6 menatausahakan keuangan sesuai
standar akuntansi kehutanan
menatausahakan keuangan sesuai standar akuntansi kehutanan
7 mempekerjakan tenaga profesional
bidang kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan;
mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan;
8 Melaksanakan teknik silvikultur
sesuai lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan
melaksanakan sistem silvikultur sesuai dengan kondisi setempat
9 membayar IIUPHHK, PSDH, DR membayar iuran atau dana sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan
10 wajib bekerjasama dengan koperasi
paling lambat 1 tahun setelah diterimanya izin
wajib bekerjasama dengan koperasi paling lambat 1 tahun setelah diterimanya izin
11 Melaksanakan perlindungan hutan melaksanakan perlindungan hutan di areal
kerjanya
12 Mengajukan ijin penggunaan
peralatan
menggunakan peralatan pemanfaatan hasil hutan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku
13 Mengajukan ijin pengalihan saham Mengajukan ijin pengalihan saham
14 Melakukan penatausahaan kayu
(LHC, LPKP, SKSHH, dll)
melakukan penatausahaan hasil hutan
15 melakukan pengukuran dan
pengujian hasil hutan
melakukkan pengukuran dan pelujian hasil hutan
16 menyusun RKUPHHK, RKU 5 tahun, RKT diajukan 2 bulan sebelumnya
menyusun RKUPHHK, dan RKT yang disahkan oleh KPH diajukan 2 bulan sebelumnya
17 menyediakan dan memasok bahan
baku kayu kepada industri primer hasil hutan
menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri primer hasil hutan
Dari sisi kewajiban meskipun terdapat perbedaan pengaturan namun perbedaan tersebut kurang berarti. Beberapa ketentuan yang menyangkut batas waktu pelaksanaan kewajiban cenderung diperlunak. Jika diperhatikan daftar kewajiban Tabel 21, kewajiban tersebut dimaksudkan untuk beberapa tujuan (1) memastikan perusahaan segera bekerja, (2) memberikan informasi kepada pemerintah, (3) melaksanakan tugas-tigas pengelolaan hutan, dan (4) membayar transaksi hasil hutan.
Pemberian wewenang kepada Kepala KPH (KKPH) untuk mengesahkan RKT adalah perkembangan yang baik, RKT adalah salah satu dokumen yang menjukkan kontrak produksi yang ditransaksikan selama satu tahun. Perkembangan pemberian hak eksklusi atas produksi kayu ini belum cukup untuk memberi akuntabilitas kepada KKPH, karena di dalam KPHP dapat diberikan ijin-ijin lain yang kewenangannya ada pada Bupati, Gubernur dan Menteri.
4.3. Efektifitas Institusi Kehutanan
Apakah struktur yang dibangun melalui berbagai peraturan tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan institusi menjadi tidak ekfektif ? Unsur-unsur penyebab institutisi tidak efektif, sebagaimana telah disebutkan pada bab terdahulu terdiri dari (1) definisi hak properti yang tidak lengkap, (2) tegakan yang tidak diakui sebagai asset, (3) informasi tidak simetrik, (4) peraturan yang mengandung perversi
kekuasaan, (5) peraturan yang konflik, dan (6) biaya transaksi tinggi. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut dipelajari isi dari berbagai teks peraturan yang diberlakukan.
4.3.1. Kelengkapan Definisi Hak Properti
Pasal 4 UU no. 41/1999, mengatur bahwa seluruh hutan di wilayah negara Repulik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dijelaskan pada penjelasan pasal 4 (1) bahwa yang dimaksudkan sebagai “dikuasi” tidak berarti “dimiliki” melainkan pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam hukum publik. Makna dikuasi juga dijelaskan pada paragraf 4 penjelasan umum UU, yaitu bahwa penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur, mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah berwenang memberi ijin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.
Sedangkan pada pasal 5 disebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan adat dan pemerintah bertugas untuk menetapkan status hutan. Selanjutnya dijelaskan dalam penjelasan pasal 5 (1), bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaanya kepada
masyarakat hukum adat. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.
Dari pasal-pasal tersebut terdapat tiga makna penting, pertama negara menguasai seluruh hutan tetapi tidak memiliki, dan menurut statusnya terdapat hutan negara dan hutan hak. Hutan hak didefinisikan sebagai hutan yang berada diatas lahan milik, dengan demikian kepemilikan hutan hak melekat pada pemilik lahan, kecuali ada perjanjian lain antar pemilik dengan pihak lain. Menjadi belum jelas adalah siapa pemilik hutan negara ?. Kedua, negara dapat memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat adat dalam bentuk hutan adat, dan kepada desa dalam bentuk hutan desa serta kepada masyarakat dalam bentuk hutan kemasyarakatan. Ketiga secara tersirat yang dimaksudkan pemanfaatan adalah penggunaan atas hasil pengelolaan hutan untuk kepentingan kesejahteraan. Pengaturan ini memperjelas hirarki institusi kehutanan yang berupa pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas undang-undang mengenal hak milik pada hutan hak, hak mengelola, dan hak memanfaatkan, akan tetapi penjelasan undang-undang mengandung distorsi pemaknaan atas pengertian dikuasai yang menyebabkan definisi hak properti atas hutan negara menjadi tidak lengkap, kepemilikan atas hutan negara menjadi tidak jelas.
Undang-undang membangun logika yang menempatkan penetapan status hutan sebagai hal utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah sebelum mengatur hal-hal lainnya. Tata urutan yang dibangun oleh undang-undang menempatkan
penetapan satus hutan pada pasal 5 setelah pendefinisian mandat kepada negara. Sesudahnya baru mengatur fungsi hutan (pasal 6), dan selanjutnya menyusul pengaturan tentang pengelolaan hutan, pemanfaatan dan terakhir perijinan. Pendekatan ini mengandung makna bahwa dalam melaksanakan mandat pengurusan hutan, pertama-tama harus ditetapkan status hutan kedalam hutan negara dan hutan hak. Pada hutan-hutan yang telah ditetapkan statusnya kemudian pemerintah menetapkan fungsi pokoknya yaitu produksi, lindung, konservasi atau kombinasi dari padanya. Pemerintah diperintahkan untuk memberikan kompensasi pada pemanfaatan hutan hak untuk fungsi lindung dan konservasi. Dengan demikian unit-unit pengelolaan hutan tidak terbatas pada hutan negara saja, melainkan termasuk unit pengelolaan pada hutan hak. Oleh sebab itu pihak yang berwenang memberikan perijinan adalah pemilik hutan, dan pemilik dapat melimpahkan kewenangannya kepada pengelola hutan.
4.3.2 Status Asset Tegakan Hutan dalam IUPHHK
Apakah peraturan telah mengatur status asset tegakan hutan yang dibangun melalui tindakan-tindakan silvikultur yang memerlukan biaya ? Undang-undang tidak mengatur tentang status asset atas tegakan hutan, demikian pula peraturan-pemerintah juga tidak mengatur status asset atas tegakan hutan alam. Oleh sebab itu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut diatas, dilakukan penelusuran lebih lanjut pada peraturan-peraturan tingkat menteri.
Salah satu unsur yang digunakan untuk menilai kinerja IUPHHK adalah re-investasi ke hutan yaitu modal yang ditanamkan kembali ke dalam hutan (SK Dirjen
BPK, no. 42/KPTS/VI/2003). Perusahaan dianggap sangat baik apabila modal berupa hutan selalu meningkat. Kegiatan yang berhubungan erat dengan re-investasi ke hutan adalah kegiatan pembinaan hutan yang dimaksudkan untuk membangun kembali stok tegakan, sehingga biaya-biaya yang timbul untuk melaksanakan kegiatan ini diperhitungkan sebagai investasi. Pasal 47 Peraturan Pemerintah no.34 tahun 2002, mewajibkan perusahaan penerima IUPHHK melaksanakan sistem silvikultur yang ditetapkan oleh pemerintah, di dalam sistem tersebut terkandung kegiatan pembinaan hutan dan lain-lain. Demikian pula di dalam kontrak (SK-IUPHHK), pelaksanaan kegiatan pembinaan hutan dinyatakan sebagai kewajiban. Oleh karena itu pembinaan hutan dan kewajiban lainnya dilihat dari sisi pandang perusahaan bukan merupakan investasi yang diakumulasikan sebagai asset perusahaan, melainkan untuk memenuhi kewajiban dalam rangka bertransaksi dengan pemerintah.
Disamping itu perusahaan juga diwajibkan untuk menata-usahakan keuangannya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Standar yang dimaksud adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 32. Menurut standar ini tegakan hutan alam tidak dapat dibukukan sebagai asset (Ikatan Akuntan Indonesia ,1994). Dijelaskan lebih lanjut bahwa biaya-biaya penanaman dalam rangka pengusahaan hutan dibebankan sebagai biaya produksi hasil hutan. Sedangkan biaya penanaman untuk kegiatan bukan produksi, seperti penanaman hutan lindung disajikan sebagai beban lain-lain. Karena dibebankan sebagai biaya produksi dan beban lain-lain, maka biaya-biaya tersebut tidak dapat diakumulasikan sebagai asset perusahaan.
Jelas disini bahwa tegakan hutan tidak diakui sebagai asset perusahaan IUPHHK karena dua alasan, pertama tindakan pembinaan hutan dilakukan untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi kontrak, sehingga hasilnya menjadi milik pemberi kewajiban. Alasan kedua adalah berdasarkan Standar Akuntansi yang berlaku, biaya-biaya penanaman di hutan alam dibebankan sebagai biaya-biaya produksi sehingga tidak dapat diakumulasikan sebagai asset. Dengan demikian, perubahan-perubahan peraturan yang terjadi selama tahun 1999 sampai dengan 2007 tidak menyentuh issue pengakuan tegakan hutan sebagai asset. Ketentuan mengenai akuntansi kehutanan ini telah diubah oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan diadopsi oleh Menteri Kehutanan sebagai Peraturan Menteri Kehutanan no. P.69/Menhut-II/2009, perubahan tersebut adalah ketentuan pembebanan biaya penanaman daur kedua pada hutan tanaman. Pada ketentuan sebelumnya beban penanaman daur kedua diperhitungkan sebagai biaya, diubah dengan ketentuan baru menjadi beban yang dikapitalisasi. Hal ini berarti bahwa tegakan hutan hasil penanaman di hutan tanaman diakui sebagai asset. Sedangkan penanaman di hutan alam tidak mengalami perubahan.
4.3.3. Penguasaan Informasi
Mekanisme IUPHHK yang berlaku saat ini adalah sebagaimana yang tergambar pada Gambar 19, dimana perijinan dan pengelolaan hutan secara langsung berada di bawah kewenangan Menteri, dengan beberapa dukungan dari pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Dengan mekanisme seperti ini, semua pihak mulai dari pelaku usaha, bupati/wali kota, gubernur dan menteri memerlukan informasi dengan resolusi yang sama untuk setiap ijin IUPHHK. Menarik untuk dipelajari adalah