• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Pemanfaatan SDA Kawasan Perluasan TNGGP

DAFTAR LAMPIRAN

Taman 1 dapat didefinisikan sebagai tempat yang menyenangkan atau kawasan yang ditanami berbagai macam tumbuhan sebagai tempat untuk

5 BODO GOL

6.3. Konflik Pemanfaatan SDA Kawasan Perluasan TNGGP

Salah satu faktor utama penyebab gangguan di TNGGP adalah faktor aktivitas penduduk sekitar kawasan perluasan TNGGP. Jenis gangguan yang disebabkan oleh aktivitas penduduk sekitar adalah berupa penggarapan lahan kawasan hutan dan pencurian hasil hutan (Balai TNGP, 1999 dalam Basuni 2003). Pemanfaatan SDA dimaksudkan sebagai penggunaan SDL dan pemanfaatan hasil hutan sebagai potensi SDH yang terdapat di dalam kawasan perluasan TNGGP oleh masyarakat. Konflik kepentingan atas SDH dan SDL sering diawali oleh sikap, yang kemudian diikuti oleh penggunaan, pemanfaatan, dan tekanan atas

SDA dan SDH tersebut. Sikap masyarakat akan potensi SDA termasuk SDH dan SDL yang terdapat di dalam dan disekitar kawasan TNGGP saat ini masih berorientasi pada nilai ekonomis untuk mendapatkan sumber pendapatan. Bentuk- bentuk konflik pemanfaatan SDH yang ada di kawasan perluasan TNGGP meliputi penggarapan lahan, pencurian hasil hutan khususnya kayu bangunan dan kayu bakar, perburuan satwa dilindungi, intimidasi dan ancaman keamanan dari petugas kepada masyarakat dan sebaliknya sampai kepada bentuk tindak kriminal kolektif berupa perusakan pos petugas atau kantor Resort TNGGP, dan gangguan terhadap tanaman pokok (tanaman restorasi) berupa cara penanaman dan pemanenan tanaman pangan.

Banyaknya jumlah desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGGP dan panjangnya batas kawasan TNGGP menunjukkan tingginya tingkat kerawanan keamanan kawasan TNGGP dan potensi konflik. Tingginya tingkat kerawanan ini juga terlihat dari panjangnya batas kawasan TNGGP. Semakin panjang batas kawasan maka tingkat gangguan dan kerawanasn keamanan akan semakin tinggi. Basuni (2003) menjelaskan bahwa tingkat gangguan kawasan konnservasi yang berdampak negatif terhadap pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya berupa arus materi dan energi yang keluar dari kawasan konservasi, tetapi juga meliputi arus materi dan energi yang masuk kedalam kawasan konservasi.

Potensi desa-desa di sekitar kawasan taman nasional memberikan peluang pekerjaan terbesar di sektor pertanian sehingga budaya masyarakat desa didominasi oleh budaya pertanian. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki petani penggarap lahan hutan, memaksa petani penggarap lahan tidak punya pilihan lain kecuali tetap sebagai petani. Kebutuhan lahan menjadi alasan masyarakat menggarap lahan kawasan perluasan TNGGP disamping aspek historis bahwa mereka sudah lama menggarap lahan hutan dengan memenuhi aturan penggarapan ketika kawasan dikelola oleh Perum Perhutani.

Kebijakan perluasan TNGGP (SK Menhut no 174/2003 pada tahun 2003) menyebabkan petani penggarap ex program PHBM-Perum Perhutani kehilangan akses atas penggunaan SDL yang selama ini menjadi tempat bergantung untuk mendukung kebutuhan hidupnya. Kebijakan tersebut berimplikasi pada perubahan

fungsi kawasan hutan dan penggunaan lahan yang lebih ketat, serta pilihan tindakan manajemen yang tidak seluas pada manajemen SDH yang dikelola Perum Perhutani dimana menurut aturan perundangan yang berlaku menyatakan larangan keberadaan kegiatan yang dapat mengancam keutuhan kawasan dan larangan terhadap kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, termasuk kegiatan pertanian di dalamnya.

Tujuan pengelolaan SDA sebagaimana amanah UUD pasal 33 dan juga tujuan konservasi SDA hayati dan ekosistemnya sebagaimana tertuang dalam UU no 5 tahun 1990 pasal 3 adalah untuk mendukung usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini disadari oleh Perum Perhutani selaku pengelola kawasan sebelumnya dan merangkul masyarakat untuk ikut terlibat sebagai pemain dalam pengelolaan SDA kedalam bentuk program ‘PHBM-Perum Perhutani’ guna mencapai tujuan pengelolaan kawasan. Melalui program ini masyarakat mendapatkan lahan garapan di dalam kawasan hutan dengan kewajiban mentaati aturan yang ditetapkan oleh pengelola. Penggarapan lahan di dalam kawasan perluasan TNGGP oleh masyarakat merupakan bentuk akses masyarakat kedalam SDA yang secara normatif penguasaan SDA tersebut dimiliki oleh negara (state property). Masuknya petani penggarap lahan kedalam program PHBM-Perum Perhutani ini merupakan bentuk akses legal masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan lahan di kawasan perluasan TNGGP.

Kegiatan pertanian di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang sebelumnya diperbolehkan oleh Perum Perhutani menjadi sesuatu yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Nomor 5 Tahun 1990). Hal ini memunculkan konflik kepentingan antara masyarakat dan pihak pemerintah selaku pengelola TNGGP. Pemerintah memandang hutan berdasarkan penguasaan (property right) sehingga berdasarkan peraturan perundang-undangan, SDA kawasan TNGGP dimiliki oleh negara (state property). Berdasarkan hak dan kewenangannya, dan berpegang pada peraturan perundang-undangan, pemerintah melarang masyarakat untuk memanfaatkan SDH di dalam kawasan TNGGP. Perbedaan pandangan ini menunjukkan perbedaan kepentingan terhadap keberadaan kawasan perluasan TNGGGP yang

pada akhirnya memicu konflik. Hal ini sejalan dengan kasus serupa di kawasan TN Halimun Salak (Pratiwi 2008; Prabowo 2010).

Konflik kepentingan terhadap SDA terkait dengan penggunaan lahan di kawasan perluasan TNGGP disebabkan oleh cara pandang yang berbeda terhadap SDA yang ada di dalam kawasan perluasan tersebut. Perum Perhutani (pengelola kawasan sebelumnya) telah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan SDA melalui program PHBM-Perum Perhutani. Melalui program ini masyarakat mendapatkan lahan garapan di dalam kawasan hutan dengan kewajiban mentaati aturan yang ditetapkan oleh pengelola. Sebagian petani ex program PHBM-Perum Perhutani tersebut merasa berposisi sebagai pemilik (owner) atas pepohonan khususnya tanaman kayu-kayuan hasil tanaman petani penggarap, sementara pihak BBTNGGP memosisikan petani penggarap sebagai pengunjung (entrant) sehingga menimbulkan konflik. Dengan munculnya konflik kepentingan atas lahan garapan dan ketidakpastian jaminan hukum untuk ketetapan menggarap lahan maka sebagian dari petani pengarap sudah mulai beralih kedalam perubahan pilihan jenis tanaman yang dikembangkan dalam usaha mempertahankan akses lahan garapan yaitu pengembangan jenis tanaman MPTs dan tanaman obat. Hal ini perlu mendapat perhatian dalam rangka penyusunan model dan strategi pelaksanaan kegiatan restorasi mengingat pilihan jenis tersebut dalam batas tertentu masih bisa ditolerir dalam rangka rehabilitasi.

Petani penggarap lahan yang menyatakan diri ‘bersedia keluar’ dalam waktu dekat dan yang sudah menyatakan diri ‘keluar’ dari lahan garapan ternyata sebagian besar masih mempertahankan akses lahan garapan dengan mengubah pola pertanian mereka melalui perubahan jenis tanaman yang diusahakan yaitu berupa tanaman MPTs (Multi Purpose Tree species) dan tanaman obat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya berusaha mempertahankan akses lahan garapan karena desakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Petani bersedia keluar dari lahan garapan dengan berat hati karena takut dengan aturan perundangan.

Berdasarkan sikap dan tindakan masyarakat dalam usaha mempertahankan akses lahan garapan di tengah situasi atau realitas konflik yang ada, maka konflik yang terjadi di wilayah perluasan TNGGP sebagaian besar dapat dikategorikan

sebagai konflik tersembunyi (latent). Usaha terselubung dari petani penggarap dalam mempertahankan akses lahan garapan berupa tekanan-tekanan yang tidak tampak dan gangguan diam-diam terhadap kelangsungan hidup tanaman restorasi merupakan salah satu bukti adanya konflik konflik tersembunyi. Konflik tersembunyi ini perlu diwaspadai karena sewaktu-waktu dapat muncul keluar merupakan konflik manifest jika ada peluang dan provokasi sebagaimana pernah muncul bentuk tindak kriminal kolektif berupa perusakan dan penjarahan pos petugas dan atau kantor salah satu Resort PTN-GGP.