• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konlik dan Kerentanan : Konlik Sosial Berlarut dan Jalan Panjang Perdamamaian

Bagian ini bertujuan untuk memberikan analisis penerapan framework MDGs sebagai model pembangunan di Indonesia yang tidak mempertimbangkan faktor kerawanan geograis, sosial dan politik. Klaim kesuksesan pencapaian MDGs seperti yang dilaporkan oleh Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, telah berhasil meningkatkan pendapatan GDP lebih dari 1 dollar

sehari, namun mengapa enam rangking utama kemiskinan justru berada di daerah rawan konlik seperti Papua (32persen), Papua Barat (31,9persen), NTB (19,7persen), pascakonlik Maluku (23 persen), NTT (21,2persen), dan Aceh (19,6persen), yang memiliki sejarah konlik kekerasan seperti persoalan determinasi diri, otonomi khusus, kebebasan beragama, dan konlik antar kampung.

Penyebab konlik pada umumnya tidak tunggal. Persoalan hubungan antar etnik dan agama, kesenjangan ekonomi, krisis kelembagaan politik, krisis keamanan, dan degradasi nilai sosial budaya, diduga berkontribusi pada terjadinya konlik di Maluku, Poso, Kalimantan Barat, Aceh dan Papua. Sebuah intervensi pembangunan pada daerah yang pernah mengalami konlik tentu harus mempertimbangkan situasi konlik dan perdamaian, bagaimana program intervensi pembangunan dijalankan, dan kebijakan-kebijakan baik ditingkat nasional dan daerah peka terhadap konlik.

Secara sederhana konlik di Indonesia dikategorikan menjadi dua, yaitu konlik sumber daya alam (SDA) dan konlik sosial. Konlik SDA biasa juga disebut sebagai konlik agraria yang meliputi wilayah perkebunan, perhutanan, dan perkotaan dan pembangunan infrastruktur, sudah dibahas di bagian sebelumnya. Sementara konlik sosial meliputi konlik bernuansa agama dan etnik, tawuran, pertikaian antar kampung, konlik sumber ekonomi.

menjadikan isu penanganan konlik ini bagian dari agenda visi dan misi pembangunan Indonesia yang damai dan berkeadilan yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009-2014 dengan menjadikan penanganan pasca konlik menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Alih-alih menyelesaikan konlik, sepanjang tahun 2008-2010, berdasarkan hasil monitoring Institut Titian Perdamaian, insiden konlik dan kekerasan semakin banyak yaitu 4.021 kali. Jika dibagi pertahun, terjadi sekitar 1.340 insiden setiap tahunnya, yang berarti jika dirata- rata, terjadi 3,6 kali insiden setiap harinya. Kekerasan rutin seperti tawuran, pengeroyokan, serta penghakiman massa menempati rangking paling tinggi dengan total 62, 1 persen dari total konlik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Disusul konlik berbasis isu politik sebesar 13, 9 persen, konlik berbasis isu sumberdaya ekonomi 8,3 persen, konlik berbasis isu sumberdaya alam 7,8 persen, konlik berbasis isu agama dan etnis 2,2persen, dan konlik antaraparat negara 0,8 persen (Tim Institut Titian Perdamaian, 2011).

Pada tahun 2011, tidak terjadi pergeseran secara signiikan mengenai ranking konlik dan varian kekerasan yang paling tinggi. Tahun 2011, kekerasan rutin mencapai 1310 kali, atau 74 persen insiden dari total 1767 insiden konlik kekerasan yang terjadi di Indonesia. Yang cukup mengejutkan, tawuran menyumbang angka yang cukup fantastis, yaitu 501 kali insiden atau 28persen. Berdasarkan

pihak yang terlibat, kelompok terpelajar yang diwakili oleh mahasiswa dan siswa sekolah, menjadi aktor kekerasan yang paling banyak. Basis data monitoring ini adalah sumber berita media massa di 33 provinsi yang dikomparasikan dengan enam media nasional.

Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, kekerasan rutin selalu tampil sebagai penanda bagi konlik komunal yang sangat massif. Dalam berbagai konlik komunal yang terjadi, pada mulanya didahului kekerasan rutin yang dianggap lumrah. Di Kalimantan Barat, perkelahian sekelompok pemuda Dayak dan Madura meluas menjadi konlik komunal. Di Poso dan Ambon, dibuka dengan perkelahian antar pemuda, yang sebelumnya juga biasa terjadi, namun secara cepat meningkatkan level mobilisasi orang, pada suatu momen dan ruang yang sudah sedemikian dimungkinkan oleh ketersediaan prasyarat konlik kekerasan.

Masalahnya, artikulasi politik kita belum secara meyakinkan mengalami pergeseran pola patronase dan solidaritas tradisional ke ikatan yang kontraktual dan dewasa. Momen-momen elektoral dalam pilkada di berbagai daerah masih banyak menampilkan kekerasan sebagai ekspresi konlik, hal yang menjelaskan mengapa konlik berbasis isu politik menempati ranking tinggi dalam monitoring konlik dan kekerasan berbagai lembaga selama ini. Dasar pemikiran ini pula yang dijadikan sebagian kalangan untuk mengevaluasi, bahkan cenderung mengusulkan ditiadakannya pemilihan langsung kepala daerah. Salah satu daerah yang pernah menjadi narasi konlik politik

cukup lama adalah Maluku Utara, yang imbasnya masih terasa dengan maraknya tawuran antarkampung di Ternate sebagai sentral kekuasaan.

Patut dicatat, konlik sangat berpengaruh pada meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan yang berhasil didokumentasikan oleh Komnas Perempuan pada kurun waktu 1998-2010 mencatat sejumlah 1.503 kasus kekerasan seksual dari 3.283 kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah konlik seperti Aceh, Poso, Maluku, Papua, Timor Leste, Tragedi 65, dan Mei 1998. Sampai sekarang korban kekerasan seksual di daerah konlik kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, serta cenderung dilupakan. Kasus kekerasan seksual merambah ke daerah yang lebih luas. Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2011, menemukan

110.468 kasus kekerasan terjadi pada perempuan dalam ikatan pernikahan dan ada 1.405 kasus kekerasan dalam pacaran. Tingginya angka kekerasan pada perempuan tentu saja akan menjadi penghalang pencapaian gol ketiga dalam MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Konlik-konlik kekerasan yang terjadi selama ini di Indonesia juga menunjukkan adanya aspek kesejarahan dan memiliki korelasi yang kuat dengan proses pembangunan dan perkembangan arus modal, terutama di sektor eksploitasi sumber daya alam. Petaka kemanusiaan ini juga telah berdampak pada kerugian yang tak terhitung, baik secara material maupun non-material. Ribuan nyawa

tak berdosa melayang, ratusan ribu orang lainnya harus mengungsi, tercerabut (uprooted) dari tempat asal mereka, tempat dimana mereka pernah hidup secara turun-temurun untuk waktu yang tidak sebentar. Konlik yang terjadi juga meluluhlantakkan hasil pembangunan dan jerih payah masyarakat dalam sekejap serta mengubur impian dan harapan ribuan orang yang menjadi korban.

Selain itu, konlik sosial telah mengakibatkan jurang pemisah yang sangat tajam antara pemeluk agama (misal antara Islam dan Kristen) dan antara kelompok masyarakat pendatang dan pribumi (antara warga baru dan warga lama di perbatasan Indonesia dan Timor Leste). Ketimpangan kekuasaan dan otoritas dalam dan di antara organisasi- organisasi atau kelompok-kelompok sosial yang diakumulasi oleh adanya kesenjangan ekonomi, konspirasi politik, pola pikir, sentimen primordialisme, politik, ideologi, doktrin dan lain-lain adalah Horizontal Inequalities yang menjadi sumber utama terjadinya konlik sosial di Indonesia.

Konlik dapat digambarkan dalam bentuk yang berputar (cyclical) dimana tingkatan intensitas konlik selalu berubah dari satu titik ke titik yang lain, yaitu meningkat dari kondisi yang (relatif ) stabil dan damai menuju kondisi krisis dan peperangan yang kemudian juga akan menurun menuju sebuah kondisi perdamaian yang bersifat relatif. Dinamika siklus konlik ini menjadi pegangan bagi para pekerja perdamaian dan para ilmuwan yang banyak melakukan penelitian di bidang konlik untuk menyususn berbagai strategi mitigasinya.

Gambar 1.1 menjelaskan berbagai fase atau siklus konlik. Fase-fase ini dibagi dalam beberapa fase, yaitu fase sengketa (dispute), fase krisis (crisis), fase kekerasan terbatas (limited violence), fase kekerasan massal (massive violence), fase pengurangan (abatement) dan fase penyelesaian (settlement).43 Fase-fase ini bisa terjadi berulang-ulang dengan berbagai variasi “pertumbuhan” dan selesainya konlik yang sangat tergantung kepada dinamika yang terjadi di lapangan.

Gambar 1.1 Siklus Konlik dalam Kurva Tertutup

Untuk mempermudah strategi intervensi, pemahaman terhadap konteks wilayah menjadi penting. Dengan mencermati berbagai kejadian konlik kekerasan yang 43 CEWS, the Center for International Studies and the Department of

International Relations at the University of Southern California, 1995 Tingkat Intensitas Konlik

Perang / Kekerasan Masal Konlik Terbuka Krisis Perdamaian Tak Stabil Perdamaian Stabil

Fase Awal Fase Pertengahan Fase Akhir

Durasi Konlik

pernah terjadi di seluruh wilayah Indonesia, maka wilayah- wilayah di Indonesia bisa dipetakan dalam kategori wilayah sebagai rawan konlik, wilayah konlik dan wilayah pascakonlik.

Merebaknya berbagai konlik dan kekerasan saat ini menarik perhatian pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga negara untuk sampai pada kesimpulan relektif, kembali memprioritaskan isu konlik pada RPJMN berikut. Prioritisasi ini mulai ditunjukan melalui berbagai kebijakan yang terhitung baru diterbitkan seperti lahirnya UU No.7 tahun 2012 tentang PKS (Penanganan Konlik Sosial), program-program pembangunan perdamaian yang melekat ke berbagai unit atau bidang khusus penanganan konlik di beberapa kementerian dan lembaga negara, berbagai Peraturan Daerah (Perda) tentang pembangunan peka konlik, serta yang terakhir dan menuai banyak kritik adalah Inpres No.2 tahun 2013 tentang Tim Terpadu Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri.

Lahirnya sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan isu konlik di atas, bagi pegiat perdamaian, belum menggeser substansi konlik yang jauh lebih kompleks, tidak sekadar pada isu keamanan dan tanggap darurat pasca bencana sosial. Dalam kata lain, kebijakan-kebijakan tersebut memiliki problem secara paradigmatik, strategi maupun pendekatan dalam menyikapi konlik. Implikasinya adalah semakin memberi ruang intoleransi, mengedepankan “strategi pemadam kebakaran” dan tidak mendorong partisipasi masyarakat. Sehingga wajar apabila konlik

sosial dan sumber daya alam terus berjalan tanpa adanya penyelesaian yang tuntas.

Wilayah rawan konlik sosial bisa dimaknai sebagai wilayah yang rentan dengan gangguan berbagai tindak kekerasan, baik berkenaan dengan isu politik, sosial, ekonomi, budaya maupun berkenaan dengan masalah agraria (natural resources). Pada umumnya sebagian besar wilayah Indonesia adalah masuk kategori wilayah rawan konlik. Hal ini ditandai dengan mudahnya terjadi kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia berkenaan dengan menyeruaknya isu-isu tersebut , tak terkecuali di Jakarta sebagai ibu kota Indonesia.

Ketika di sebuah wilayah rawan konlik telah terjadi pengerahan massa besar-besaran di wilayah yang diperebutkan yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dan pembelahan sosial di masyarakat yang berbasis pada sumber daya politik, ekonomi dan sosial-budaya, maka wilayah tersebut masuk ke dalam kategori wilayah konlik. Di dalam situasi ini, selain terjadi kekerasan yang reguler dan sistematis, fungsi-fungsi juga pemerintahan lumpuh dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan tidak bekerja. Dengan menggunakan perspektif CEWS (Conlict Early Warning System), maka wilayah ini masuk dalam fase kekerasan terbatas dan kekerasan masif. Dalam kekerasan terbatas, perbedaan antar kelompok menguat dan usaha untuk melakukan klaim atau penguasaan terhadap sumber daya yang ada tidak lagi dilakukan dengan menggunakan cara- cara damai dan menggunakan mekanisme penyelesaian resmi yang ada tetapi dilakukan dengan menggunakan kekerasan yang sistematis dan reguler.

kekekerasan adalah mekanisme yang sah untuk dilakukan demi menyelesaikan persengketaan yang ada daripada penggunaan mekanisme penyelesaian yang resmi dan damai. Yan penting untuk dicatat di dalam fase kekerasan terbatas ini adalah bahwa meskipun tindak kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak terjadi secara sistematis dan reguler, tetapi tidak semua tindak kekerasan bisa dijustiikasi penggunaannya.

Penggunaan kekuatan militer hanya ditujukan secara spesiik terhadap mereka yang terlibat konlik kekerasan, misalnya untuk menghancurkan kekuatan pemberontak tetapi pada saat yang sama tetap melindungi mereka yang terjebak di daerah konlik.

Wilayah pascakonlik adalah kategori ketiga dari tiga kategori wilayah berdasarkan situasi konlik yang terjadi. Di wilayah ini, tindak kekerasan yang reguler, terukur dan tanpa batas tidak lagi bisa ditemui tetapi pada saat yang sama roda pemerintahan belum bisa berjalan dengan normal. Fasilitas- fasilitas penting untuk menjalankan roda pemerintahan dan fasilitas-fasilitas layanan umum mengalami kerusakan akibat konlik kekerasan yang terjadi sebelumnya. Kehidupan sosial ekonomi masih terseok-seok dan secara sosial-politik masih terjadi segregasi yang cukup tajam antar pihak-pihak yang sebelumnya terlibat konlik kekerasan.

Dalam perspektif CEWS, wilayah ini masuk dalam kategori fase abatement (pengurangan) dan fase settlement

penggunaan kekerasan oleh para pihak yang berkonlik tidak lagi terjadi. Namun, sifat dari berhentinya pertentangan dan penggunaan kekerasan ini hanyalah temporer, dan kemungkinan untuk berubah lagi menjadi konlik kekerasan terbatas maupun massif, masih mungkin terjadi. Pada saat yang sama, apabila pada fase ini terjadi usaha-usaha untuk membangun atau membangun kembali institusi-institusi resmi pemerintahan yang ada di wilayah pascakonlik yang dilakukan secara bersama-sama oleh kedua belah pihak yang sebelumnya berkonlik, maka fase ini dinamakan fase penyelesaian.

Rekomendasi

Pendekatan yang bertujuan menyambungkan hubungan sosial yang retak, dan dalam waktu bersamaan juga diharapkan mengatasi kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan dan membangun perdamaian berkelanjutan. Pendekatan rekonsiliatif dan transformatif yaitu menjawab persoalan kebenaran, terkait dengan apa yang diingat dan bagaimana mengingatnya, keadilan (apa yang bisa dilakukan saat ini untuk menyeimbangkan relasi), dan pengampunan dan perdamaian (menentukan faktor-faktor untuk memulai hubungan yang baru dan memperkuat satu dengan yang lain). Sehingga model intervensi harus selalu memperhatikan kebutuhan menyatukan kembali pihak- pihak yang berkonlik dan mengarah pada perubahan pada perdamaian yang positif.

hubungan. Situasi konlik dan tidak aman akan memperberat ongkos pembangunan, tidak ada penghasilan dan meningkatkan ketimpangan. Masyarakat di daerah konlik meletakkan keamanan sebagai prasyarat penting untuk memulai kehidupan mereka dan bekerja seperti semula. Intervensi pembangunan yang tidak peka konlik bisa berkontribusi pada korupsi, perilaku predator di kalangan elit dan konlik kekerasan. Sehingga perlu memastikan apakah pembangunan memiliki dampak yang positif pada perubahan di masyarakat. Oleh karenanya menjalin kerjasama multisektor di tingkat internasional, nasional dan lokal sangat penting dengan menggunakan pendekatan hak dan rekonsiliasi, dengan mempertimbangkan kearifan lokal.

Meskipun tidak banyak perempuan yang terlibat dalam perjanjian formal perdamaian, tetapi banyak sejarah mencatat perempuan-perempuanlah yang memulai untuk syiar perdamaian. Memperkuat kapasitas perdamaian perempuan akan mempercepat transformasi relasional di dalam keluarga dan komunitas. Ini karena perempuan memiliki semangat mempertahankan kehidupan, sehingga daya lentingnya jauh lebih besar. Karakter komunal perempuan banyak membantu mempercepat proses tranformasi pada suami dan anak-anak mereka, kemudian sangat niscaya mengubah cara pandang komunitas.

Potensi ini perlu diinstitusikan ke dalam organisasi untuk melakukan perubahan cultural dan struktural. UNR (UN Resolution) 1325 yang diturunkan ke dalam

Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Penanganan Konlik akan lebih mensistematisasi peran perempuan dalam pembangunan. Unsur penting lain adalah pemberian keadilan dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual selama konlik kekerasan, agar para korban bisa kembali hidup “normal” dan berkarya di masyarakat.

IV. Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan