• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konlik Berkepanjangan

Persoalan atau krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terjadi di level nasional tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi politik global dimana korporasi, lembaga keuangan, termasuk negara di dalamnya saling berkolaborasi demi pelanggengan kekuasaannya. KTT Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro (Rio +20) dan KTT Perubahan Iklim COP 18 di Doha menegaskan, bagaimana pengaruh korporasi semakin menguat dalam penentuan berbagai kebijakan negara yang seharusnya bertanggung jawab melindungi warga negara dan lingkungan hidupnya.

KTT Rio +20 menjadi titik balik yang mengecewakan bagi masyarakat sipil dunia dan menjadi satu catatan sejarah terburuk inkosistensi pemerintahan negara-negara, yang pada dua dekade sebelumnya, telah mencanangkan upaya global mewujudkan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. KTT Rio +20 menampilkan ketidakpedulian para pemimpin-pemimpin negara maju dalam mendorong agenda pembangunan berkelanjutan.33

33 Para pemimpin tersebut menyerahkan kepemimpinan untuk agenda pembangunan berkelanjutan ini kepada korporasi. Dalam pertemuan KTT Rio +20 ini lebih dari 1000 perwakilan bisnis besar hadir dan dengan kekuatan lobby yang luar biasa berhasil memasukkan kepentingan- kepentingan mereka dalam KTT ini.

Sementara Pertemuan COP ke-18 dari United Nations Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) - KTT Perubahan Iklim di penghujung tahun 2012 lalu juga masih menunjukkan hal yang mengecewakan. Perjanjian iklim global kali ini diselenggarakan di tengah pesimisme, bahwa proses negosiasi akan membawa resolusi untuk mengatasi perubahan iklim secara adil, terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang yang paling rentan dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim.

Salah satu hal yang menjadi pembahasan utama adalah perdebatan mengenai perdagangan karbon (ofset), dimana negara-negara industri Annex-1 dengan gencarnya mendorong perdagangan karbon dengan skema ofset

sementara negara-negara non-Annex-1 menolak dengan tegas.34 Pemerintah Indonesia dalam konferensi kali ini justru mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar dengan skema ofset (perdagangan karbon) sebagaimana yang diinginkan oleh negara-negara industri.35 Negara- negara industri tanpa keraguan menunjukkan keengganan melaksanakan kewajiban penurunan emisi, padahal untuk mencegah memburuknya dampak perubahan iklim terutama bagi negara-negara berkembang dan miskin, penurunan emisi oleh negara-negara industri maju adalah suatu keharusan.

Tantangan ini membutuhkan strategi baru untuk pembangunan pasca 2015. Kita harus mendapatkan 34 atau setidaknya tidak menyatakan dukungan secara eksplisit.

35 Lihat: http://www.mongabay.co.id/2012/12/05/lupakan-masalah- kehutanan-ri-malah-dagang-karbon-di-doha/

suatu visi baru pembangunan secara menyeluruh, berdasarkan pada ilosoi yang selaras dengan alam. Hal ini membutuhkan suatu transformasi sosial yang mendalam yang mengharuskan redistribusi radikal atas kepemilikan, akses dan kontrol atas sumber daya produktif dalam mencapai kehidupan yang lebih bermartabat. Juga dibutuhkan reorientasi produksi dan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan potensi manusia dalam batas-batas lingkungan ketimbang memaksimalkan keuntungan jangka pendek.

Pembaharuan tata kelola sumber-sumber kehidupan dan ruang hidup harus disertai dengan perubahan yang mendasar pada sistem pendukungan dan desentralisasi kewenangan. Tata kelola sumber daya alam kepulauan Indonesia dalam konsepsi pembangunan berkelanjutan, harus bisa menjamin kedaulatan pangan, kecukupan air, kemandirian energi dan keberlanjutan mata pencaharian dalam kerentanan perubahan iklim dan bencana ekologi. Pembangunan harus mampu menjamin keadilan sosio-lanskap, penghormatan terhadap keberagaman, kemandirian dan kemartabatan budaya komunitas.

Pembangunan berkelanjutan harus diletakkan sebagai kebutuhan dan aspirasi manusia kini dan masa depan. Karena itu prinsip HAM seperti hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak atas pembangunan dapat membantu memperjelas arah dan orientasi perumusan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Secara lebih kongkrit tidak bisa disangkal bahwa hak manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan

baik, menjadi kebutuhan mendesak sebagai bagian dari HAM. Hak atas pembangunan tidak lepas dari ketentuan bahwa proses pembangunan haruslah memajukan martabat manusia, dan tujuan pembangunan adalah demi kemajuan yang terus menerus secara berkelanjutan untuk kesejahteraan manusia secara adil merata

Pendekatan pembangunan selama ini cenderung mengutamakan kawasan perkotaan dari pedesaan, sehingga kawasan pedesaan tertinggal jauh dari pembangunan perkotaan. Pendekatan pembangunan juga cenderung mengutamakan wilayah daratan dari lautan, sehingga pembangunan kelautan sangat tertinggal dan cenderung menjadi obyek penyelesaian masalah darat (misalnya sampah dan limbah). Bagi masyarakat lokal, tata kelola sumberdaya alam (laut dan daratan) tidak sekedar bagaimana mereka mengelola sumber kebutuhan isik, melainkan juga terkait dengan ruang hidup dan sumber inspirasi dalam membangun kebudayaan dan peradaban mereka.

Pengelolaan SDA yang terkotak-kotak dalam wilayah administrasi yang kecil-kecil seringkali lebih sempit daripada ekosistem serta menimbulkan konlik antardaerah. Padahal daya dukung SDA per daerah administratif tidak mampu mendukung pembangunan dan kehidupan jangka panjang, sehingga diperlukan kerjasama antardaerah untuk mencapai kesejahteraan bersama dan keberlanjutan sistem penyangga kehidupan. Begitu juga pendekatan pengelolaan SDA yang sektoral seperti pertanian, kehutanan, pertambangan,

industri dan kelautan, penyebab terjadinya perebutan SDA, dan tumpang tindihnya kebijakan di antara sektor-sektor tersebut.

Dari segi keadilan sosial, kebijakan-kebijakan yang ada bersifat atas-bawah (top-down) dan tidak memperhatikan budaya setempat. Kebijakan pengelolaan SDA selama ini cenderung bersifat sentralistik, elitis, paternalistik dan eksploitatif, sehingga menimbulkan kerusakan SDA dan lingkungan hidup serta kesenjangan ekonomi dan sosial antar pusat dan daerah, antara kelompok masyarakat, antarsektor dan antarkawasan.

Terkotak-kotaknya wilayah ekosistem ke dalam wilayah administrasi dan sektoral menyebabkan banyak kelompok masyarakat setempat terganggu kehidupan ekonominya.36 Pendekatan pembangunan saat ini cenderung seragam, sementara kemajemukan sosial budaya adalah kenyataan, sehingga pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Hal ini menyebabkan pembangunan tidak efektif, tidak eisien dan boros, serta menimbulkan banyak konlik sosial.

Negara tidak mengakui dan memberi ruang bagi penguasaan SDA oleh masyarakat, baik secara individual maupun komunal, khususnya kepemilikan pada hutan alam, sumber daya mineral dan kawasan perairan laut. Hal ini menyebabkan konlik akibat klaim negara atas 36 Seperti masyarakat pemburu dan peramu, peladang berpindah dan nelayan tradisional; serta terganggu kebudayaannya seperti sistem pengetahuan, mata pencarian hidup, teknologi, religi, institusi dan norma-norma sosialnya.

penguasaan SDA dengan masyarakat secara individual maupun komunal. Padahal model pengelolaan SDA yang selama ini dipraktikkan oleh rezim yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang dirasakan oleh semua makhluk hidup.

Keadaan ini semakin diperparah karena UU terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia saling bertentangan dan tidak sinkron, baik dengan peraturan yang lebih tinggi maupun dengan sesama UU maupun peraturan di bawah UU. Sedikitnya ada lima undang-undang yang secara sistematis telah memberikan kewenangan yang luas, bahkan terlampau luas, kepada pemerintah atas sumber-sumber agraria, namun kewenangan yang ada tidak dibarengi dengan semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, yaitu; Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang- undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.

Di tengah situasi carut-marutnya kebijakan tersebut kemudian hadir Perpres 3/2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai kelanjutan dari pertemuan

Infrastructur Summit di Bali yang masih mengutamakan ekstraksi SDA dimana ternyata tidak memiliki safeguard dan sangat membahayakan bagi lingkungan dan keselamatan

rakyat. MP3EI tidak disusun untuk mengkoreksi berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan kerusakan dan kejahatan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan.37 Hal ini bukan saja bertentangan dengan komitmen pemerintah.

Dalam MP3EI tidak terlihat visi nasionalismenya, dan kepentingan siapa yang diusung karena tidak mencerminkan kebutuhan rakyat. Untuk menopang MP3EI kemudian pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti: UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Perpres No. 3/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Kalimantan dan Perpres No. 13/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Sumatera. Regulasi ini mengindikasikan semakin kuatnya tekanan modal dan negara dalam upaya menggunakan sumber daya alam guna kepentingan ekonomi semata dan kurang menempatkan posisi masyarakat maupun implikasinya bagi masyarakat dalam kawasan dan sekitar kawasan hutan.

Lebih dari 91 persen konlik sumber daya alam di Indonesia terjadi antara masyarakat dengan perusahaan. Pemicu utamanya adalah pertentangan klaim wilayah antara masyarakat dengan pemegang izin. Tidak hanya menelan harta, konlik perebutan sumber daya alam telah merenggut korban jiwa dan sumber kehidupan utama masyarakat. Konlik sumber daya alam sebagai salah satu wilayah dengan pelanggaran HAM yang paling serius di Indonesia. Hingga saat ini, para pelaku kekerasan dan 37 sementara UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

pembunuhan tidak tersentuh oleh proses hukum yang memadai.

Penghancuran lingkungan juga disebabkan oleh industri tambang. Hal ini disebabkan oleh adanya pelemahan regulasi di sektor tambang. Upaya perlindungan dari ancaman pertambangan hanya menjadi diskursus di meja diskusi dan seminar, sementara rakyat lingkar tambang terus menjadi korban. Bukti pelemahan regulasi tersebut, misalnya, dibiarkannya Newmont membuang limbah

tailing ke laut yang secara fakta telah merusak ribuan mata pencarian nelayan di Teluk Senunu. Padahal secara legal izin pembuangan tailing sudah berakhir, namun Pemerintah melalui KLH memperpanjang izin pembuangan limbah.38 Tidak diprosesnya secara hukum oleh KLH berbagai tindakan kejahatan lingkungan hidup: Informasi AMDAL palsu, penimbunan limbah B3 dekat sawah di Kerawang, impor limbah B3, dan seterusnya.

Ditengah aturan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang lemah, Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2012 kembali mengeluarkan Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Penilaian lebih banyak mengandalkan data swapantau perusahaan (Dokumen Rencana Pengelolaan-Pemantuan Lingkungan). Perusahaan perusak lingkungan mendapatkan peringkat 38 Hal ini diperkuat dengan diperbolehkannya perusahaan membuang limbah tambang ke laut Teluk Senunu oleh putusan PTUN Jakarta Pusat. Sementara Oseanograi LIPI, tidak mau mengungkapkan hasil penelitian di bawah laut tersebut. Alasan penelitian dibiayai dan hak cipta jadi milik perusahaan tambang.

baik (emas, hijau, biru) karena aturan yang mengatur kejahatan lingkungan lemah dan mengandalkan informasi sepihak pelaku yang dinilai. Dan bila masyarakat menggugat perusahaan atas tindak pengerusakan lingkungan, perusahaan akan menunjukkan surat keterangan berkelakukan baik atau PROPER tersebut untuk membungkam kritik.

Sampai hari ini, 121.74 juta hektar (setara 88 persen) kawasan hutan belum dipastikan batasnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan yang ada selama ini, yang dijadian alasan pemerintah untuk mengusir rakyat, adalah ilegal dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Padahal ada masalah besar, sebab dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak tersebut, terdapat sedikitnya 33.000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.

Kerusakan lingkungan sangat terkait dengan pengelolaan hutan dan perkebunan yang menjadi masalah perusak lingkungan yang tertinggi. Hal tersebut dikarenakan kebijakan di tingkat nasional antara lain dengan keluarnya PP Nomor 60 dan PP Nomor 61 tahun 2012 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Kedua PP ini menjadi alat pemutihan atas izin-izin yang terlanjur diberikan untuk usaha pertambangan dan usaha perkebunan yang melanggar tata ruang dan peraturan kehutanan.39 Selain pemberian izin perambahan hutan 39 Saat ini PP tersebut sedang dalam proses untuk diajukanan dalam judicial

yang mencapai 30 juta hektar (per juni 2012), Kementerian Kehutanan juga memproses pelepasan kawasan hutan mencapai 12 juta hektar di 22 provinsi yang menjadi sasaran ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang.40

Sumber: Forest Watch Indonesia 2011

Pelepasan kawasan hutan besar-besaran di Riau, Kalteng, Maluku dan beberapa provinsi lain disamarkan dengan penunjukan kawasan hutan di Papua yang mencapai 6 juta hektar. Tidak berlebihan bila kecurigaan muncul bahwa penataan ruang yang diwajibkan kepada seluruh daerah ditunggangi oleh pengusaha perkebunan dan

review ke Mahkamah Agung

40 Ada hal yang menarik pada review kawasan hutan ini, dimana luas pelepasan kawasan hutan yang diajukan oleh 22 gubernur dengan dalih penyesuaian tata ruang ini sama persis dengan jumlah kawasan hutan yang beralih fungsi yakni seluas 12.357.071 hektar. Persamaan luas yang persis pada perubahan fungsi dan peruntukan ini, menunjukan bahwa pengeluaran keputusan tersebut tidak berdasarkan pertimbangan dampak penting dan daya dukung lingkungan melainkan permainan angka tabulasi oleh kelompok tertentu dalam kementerian kehutanan atau bersama DPR RI, ketika merumuskan rekomendasi keputusan pelepasan kawasan hutan.

pertambangan untuk meloloskan kepentingannya melalui usulan review kawasan hutan ini. Selain modus operandi dengan memanfaatkan proses tata ruang, Kementerian Kehutanan juga telah melepaskan kawasan hutan untuk perkebunan secara langsung hingga 5 juta hektar dan proses izin prinsip untuk perkebunan pada kawasan HPK sebesar 1 juta hektar serta izin pinjam pakai untuk pertambangan yang mencapai 3 juta hektar meliputi izin eksplorasi, prinsip dan produksi. Bila dicermati pada pemberian izin pengelolaan hutan, pelepasan dan pinjam pakai, maka pemerintah Indonesia telah mengalokasikan peruntukan kawasan hutan Indonesia kepada pengusaha hingga 50,4 juta hektar atau 38.4 persen dari luas hutan Indonesia.41

Politik pengelolaan hutan yang transaksional oleh rejim SBY-Boediono melalui moratorium kawasan hutan melalui penerbitan PIPIB (peta indikatif penerbitan izin baru) yang setiap 6 bulan mengalami revisi. Pada modus ini kita melihat bahwa proses moratorium yang seharusnya dijalankan untuk menertibkan pengelolaan kawasan hutan dan penyelesaian konlik, justru mengalami penyimpangan dengan dikeluarkannya beberapa wilayah dari PIPIB pada setiap revisinya. Setidaknya selama tiga kali revisi PIPIB, Menteri Kehutanan telah mengakui pengelolaan oleh pihak ketiga terhadap kawasan hutan seluas 4,2 juta hektar, justru mengabaikan kewajibannya untuk melakukan penegakan hukum dan sanksi kepada pihak ketiga yang sudah berada dalam kawasan hutan.

Menariknya, moratorium selama dua tahun yang menjadi andalan pemerintah ini, terbukti tidak mampu mengatasi carut marutnya pengelolaan sumber daya alam di sektor kehutanan. Moratorium yang sangat singkat ini dinilai oleh WALHI dan organisasi lingkungan lainnya menjadi kemubaziran karena dia tidak dapat menyelesaikan problem pokok kehutanan yakni tata kelola kehutanan yang tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan, dan konlik tenurial di sektor kehutanan yang tidak terselesaikan.

Tingginya konlik kehutanan menunjukan bahwa buruknya tatakelola hutan di Indonesia. Ini juga bisa diartikan bahwa, tata kelola kehutanan Indonesia masih berpihak kepada kepentingan pemodal, bukan rakyat yang sumber kehidupannya salah satunya ada di hutan.

Bencana Ekologis dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Bencana ekologis merupakan sebuah bencana yang diakibatkan oleh salah urusnya negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Tahun 2012, WALHI mencatat telah terjadi 503 kali banjir dan longsor yang menewaskan 125 orang. Sedangkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang tahun 2012 telah memusnahkan hutan, kebun dan lahan seluas 11.385 Hektar.

Pencemaran dan pengrusakan lingkungan, ditambah dengan land use change (alih fungsi lahan) semakin menghabisi sumber pangan petani. Degradasi dan ancaman keberlangsungan produksi pangan terjadi di

berbagai daerah oleh berbagai faktor. WALHI mencatat bahwa ancaman terhadap sumber-sumber pangan rakyat terjadi akibat alih fungsi lahan, pencemaran, degradasi dan kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh pembukaan pertambangan, perkebunan besar, pariwisata, industri dan pembangunan infrasturuktur di areal tanaman pangan dan atau daerah penyangganya.

Jawa sebagai produsen pangan terbesar terancam oleh maraknya industri, infrastruktur besar dan perumahan yang dibangun di atas lahan pertanian. Hal ini seperti terjadi dibasis pertanian rakyat di Bekasi, Karawang, Subang (industri dan pemukiman dan infrastruktur), Bogor (perumahan mewah, vila dan pariwisata), Sukabumi (industri dan pemukiman), dan Sumedang (Waduk). Hal serupa banyak terjadi di Banten, Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur. Di luar Jawa, jumlah lahan terkonversi dan atau kehilangan daya dukung lingkungannya disebabkan oleh izin dan usaha pertambangan (Maluku Utara, NTT, Bengkulu, Sumatera barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Aceh, Bangka Belitung). Selain konversi lahan, trend perubahan jenis tanaman pangan kepada jenis tanaman perkebunan seperti sawit dan tanaman kayu industri juga marak terjadi.

Akibat pengutamaan penggunaan SDA kepada pengusaha juga berakibat merebaknya konlik agraria dan SDA. Di Indonesia, konlik agraria telah membuat keprihatinan banyak pihak karena seringkali konlik tersebut menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Dalam

setiap penanganan konlik agraria yang ada, pemerintah lebih banyak berkutat pada unsur-unsur pidana dalam penanganan konlik, namun akar persoalannya tertinggal jauh di belakang tanpa penyelesaian sehingga konlik setiap saat dapat meletup kembali. Kejadian konlik agraria yang berulang dan meluas dengan jumlah korban yang terus meningkat telah memberikan kesaksian kepada publik bahwa konlik agraria adalah konlik yang paling tinggi frekuensinya di Indonesia.

Dalam tiga tahun terakhir ini, graik kejadian konlik agraria di tanah air terus menunjukkan peningkatan. Jika di tahun 2010 terdapat sedikitnya 106 konlik agraria di berbagai wilayah, kemudian di tahun 2011 terjadi peningkatan drastis, yaitu 163 konlik agraria, yang ditandai dengan tewasnya 22 petani/warga di wilayah konlik tersebut, maka sepanjang tahun 2012 ini, KPA mencatat terdapat 198 konlik agraria di seluruh Indonesia. Luasan areal konlik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK) dalam konlik- konlik yang terjadi.

Sementara catatan kekerasan terhadap petani sepanjang tahun 2012, adalah 156 petani ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tercatat 3 orang telah tewas dalam konlik agraria.

Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi di sektor perkebunan (45 persen); 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur (30 persen); 21 kasus

di sektor pertambangan (11 persen); 20 kasus di sektor kehutanan (4persen); 5 kasus di sektor pertanian tambak/ pesisir (3persen); dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1 persen).

Dengan melihat pada catatan KPA, sepanjang pemerintahan Presiden SBY, sejak tahun 2004 hingga sekarang, telah terjadi 618 konlik agraria di seluruh wilayah tanah air. Konlik ini telah menewaskan 44 orang, areal konlik seluas 2.399.314,49 hektar, dan melibatkan 731.342 KK. Dalam sepanjang kekuasaannya tercatat 941 orang ditahan, 396 luka-luka dan 63 diantaranya mengalami luka serius karena peluru aparat.

Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012

Mengenai siapaaktor perusak lingkungan, berdasarkan analisis yang dilakukan WALHI, bahwa aktor perusak lingkungan hidup yang tertinggi adalah korporasi terutama yang berinvestasi di sektor tambang dan perkebunan. Kedua, adalah pemerintah. Dan ketiga adalah kombinasi antara korporasi dan pemerintah, serta terakhir adalah dari masyarakat.

Temuan ini juga semakin memperkuat CSO untuk terus mendesak tanggungjawab korporasi terhadap kejahatan lingkungan yang telah dilakukan. Dari data di atas terlihat adanya kolaborasi korporasi dan pengurus negara yang memperkuat analisis sebelumnya bahwa persoalan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keterikatan atau konsolidasi yang semakin menguat antara kepentingan modal dengan kekuasaan. Sedangkan masyarakat sebagai pelaku ditemukan pada tambang-tambang inkonvensional

dengan tingkat resiko yang tinggi, dan proses pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memberikan alternatif sumber penghidupan yang lain.

Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012

Data ini sekaligus mematahkan asumsi atau stigma bahwa aktor perusak lingkungan adalah orang miskin, bahwa kemiskinan sebagai penyebab dari kerusakan lingkungan.

Masih berdasarkan hasil riset media dari WALHI, disebutkan, bahwa sasaran protes yang dilakukan oleh masyarakat sipil yang sebagian besar dilakukan oleh LSM/ NGO dan masyarakat adalah pemerintah, hal ini terkait dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pengurus

negara baik di tingkat nasional maupun daerah. Desakan perubahan menjadi agenda utama yang terus didorong oleh aksi protes masyarakat. Hal ini menunjukkan relasi antara kebijakan yang dikeluarkan negara dengan persoalan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat. Kebijakan justru menjadi legitimasi bagi korporasi untuk melakukan kejahatan dengan “stempel” dari pemerintah melalui perundang-undangan, regulasi dan pemberian izin.

Sasaran protes berikutnya adalah korporasi atau perusahaan di wilayah konsesinya, yang menjadi sasaran protes warga. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat mulai “melek” dengan hak-haknya dan juga mulai mengerti dengan hukum, dan mulai paham dengan akar persoalan yang dialami, juga mengetahui siapa aktor dan kepentingannya.42 Ini tidak bisa dilepaskan dari kerja- kerja yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk terus menerus melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat melalui pengorganisasian di kampung-kampung.

Melihat dari fakta-fakta krisis dan berbagai peristiwa bencana ekologis yang terjadi, kita tidak mungkin menunggu waktu yang lebih lama untuk menghentikan 42 Dengan informasi yang semakin terbuka, rakyat juga semakin tahu dengan hak-haknya, termasuk hak atas lingkungan. karena itulah, dimana-mana dari ujung timur sampai ujung barat negeri ini, perlawanan rakyat terjadi untuk menyuarakan keadilannya, termasuk didalamnya keadilan ekologis. Menariknya, semangat perlawanan para pembela lingkungan dan hak asasi manusia itu juga tidak berkurang di tengah lemahnya negara melindungi para pembela lingkungan dan HAM. dalam catatan WALHI misalnya, selama tahun 2012, tidak kurang dari tujuh orang aktiis dikriminalisasi,mendapat tindak kekerasan dan lain-lain, ini belum termasuk dengan pembela lingkungan yang berasal dari masyarakat korban.

jatuhnya korban yang semakin banyak dan meluas. Krisis ini harus segera dipulihkan di tengah negara yang abai dan