• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidakadilan Kesenjangan ekonomi dan Ketimpanga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ketidakadilan Kesenjangan ekonomi dan Ketimpanga"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Ketidakadilan,

Kesenjangan, dan Ketimpangan:

(3)
(4)

Ketidakadilan,

Kesenjangan, dan Ketimpangan:

Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

Editor: Aris Santoso

Kontributor:

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015

Tim Penulis:

• Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini | Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan

Kompetensi

• Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana Widimulyani, Repelita Tambunan | Ketimpangan Akses

Kesehatan

• Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko | Lingkungan

• Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad Miqdad | Konlik dan Kerentanan

• Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna Damanik, Erickson Sidjabat | Mengatasi Kesenjangan

• Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo | Pembiayaan Pembangunan

(5)

Dicetak oleh: INSISTPress

Jalan Raya Kaliurang Km.18, Dukuh Sempu, Pakembinangun, Sleman, Yogyakarta 55582, Indonesia

Tel: +62 274 8594 244. Faks:: +62 274 896 403.

Email: press@insist.or.id | Web: http://blog.insist.or.id/insistpress

Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

Tim Penulis: Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini, Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana Widimulyani, Repelita Tambunan, Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko, Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad Miqdad, Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna Damanik, Erickson Sidjabat, Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo, dan Mike Verawati Editor: Aris Santoso

Perancang isi: Handoko

Perancang sampul: Bakkar Wibowo

PERPUSTAKAAN NASIONAL. Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-8384-61-2

13 x 19 cm; x + 112 halaman,

© Kemitraan, Jakarta, Cetakan pertama, Maret 2013

Diterbitkan oleh:

Kemitraan (he Partnership for Governance Reform)

Jl. Wolter Monginsidi No.3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Tel: +62 21-7279-9566 Fax: +62 21-720-5260/720-4916

Website: http://www.kemitraan.or.id

INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu.

Jakarta Selatan, 12540 Indonesia.

(6)

KATA PENGANTAR

Millennium Development Goals (MDGs) sebagai agenda pembangunan dunia jangka panjang yang dimulai sejak tahun 2000 akan segera berakhir tahun 2015 atau tinggal 2 tahun lagi. Pada tahun 2012, Sekjend Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki Moon telah menunjuk 3 orang sebagai ketua bersama untuk menyusun Agenda Pembangunan Pasca-MDGs yakni Perdana Menteri Inggris

David Cameron, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Liberia Ellen Jhonson Sirleaf. Ketiga ketua ini akan memimpin 23 High Level Panel Eminent Persons (HLPEP) yang terdiri dari pakar dibidangnya masing-masing dari seluruh dunia untuk bersama-sama menyusun agenda pembangunan pasca-MDGs (Post-2015 Development Agenda).

(7)

maupun pada sektor lain yang tidak secara langsung terkait dengan MDGs namun sangat berpengaruh terhadap pencapaian MDGs di Indonesia.

Selain hal tersebut, dalam beberapa kali Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia selalu memberikan klaim bahwa upaya pembangunan milenium berada pada jalur yang sudah benar (on the track), seperti dapat dilihat dalam Laporan Pencapaian MDGs tahun 2004, 2007, 2009, 2010 dan 2011. Namun laporan lembaga internasional juga seringkali memberikan warning kepada Indonesia. Salah satunya adalah Laporan UNESCAP tahun 2006 yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk 10 negara di kawasan Asia Pasiik yang berada pada posisi mengkhawatirkan dalam pencapaian MDGs. Dalam laporan Human Development Report, peringkat Human Development Index Indonesia makin memburuk. Jika di tahun 2006, Indonesia berada pada peringkat 107, di tahun 2007-2008 merosot ke peringkat 109, tahun 2009 berada di peringkat 111, pada tahun 2010 naik menjadi 108, namun pada tahun 2011 turun lagi menjadi 124. Hal ini menunjukkan bahwa betapa berat langkah menuju pencapaian MDGs di tahun 2015.

Terkait dengan Agenda Pembangunan Pasca-2015, Kemitraan bersama dengan INFID telah diberikan mandat oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk menjadi

(8)

masyarakat sipil di Indonesia. Sebagai salah satu upaya menindaklanjuti hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 telah menyusun kertas posisi sebagai usulan dari masyarakat sipil di Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 terutama pada bidang-bidang: Ketimpangan, Kesehatan, Konlik dan Kerawanan Sosial, Lingkungan Hidup, Demokrasi dan Tata Pemerintahan yang Baik, dan Pembiayaan Pembangunan.

Kertas Posisi yang ada dihadapan para pembaca ini adalah kerjasama dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebut satu persatu. Kepada para penulis kami ucapkan benyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyajikan tulisan terbaiknya bagi laporan masyarakat sipil ini

Semoga buku yang disusun berdasarkan bukti-bukti nyata dilapangan dan temuan-temuan dari masyarakat sipil ini berguna dan mampu menghadirkan sudut pandang yang berbeda dan bermanfaat pula sebagai salah satu sumber dalam penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015 guna pemenuhan hak dasar warga negara di Indonesia.

Jakarta, Maret 2013

Wicaksono Sarosa, Ph.D

(9)
(10)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ~ix

Kata Pengantar ~v

Pendahuluan ~1

I. Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi ~7

II. Ketimpangan Akses Kesehatan ~19

III. Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konlik

Berkepanjangan ~41

IV. Konlik dan Kerentanan : Konlik Sosial Berlarut dan Jalan Panjang Perdamamaian ~73

V. Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan Bagi Kelompok Rentan ~75

VI. Pembiayaan: Melipatgandakan Alokasi Bagi

(11)
(12)

Ketidakadilan,

Kesenjangan dan Ketimpangan:

Jalan Panjang Menuju

Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015

Pendahuluan

Pada tahun 2000 telah disepakati deklarasi yang ditandatangani 198 negara, yang menyatakan rangkaian keamanan, Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan, yang kemudian menelurkan delapan target Milenium Development Goals

(MDGs). Dapat dikatakan MDGs merupakan kesepakatan yang belum sempurna, namun tetap memberi dampak besar bagi negara dan masyarakat dunia, misalnya untuk meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan.1 Dikatakan tidak sempurna karena dalam penyusunannya kurang memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang secara riil dihadapi masyarakat.

Adapun Millenium Development Goals (MDGs) sendiri terdiri dari delapan tujuan besar pembangunan, yaitu: (1) Memberantas kemiskinan kelaparan (2) Mewujudkan pendidikan dasar (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (4) Menurunkan

(13)

angka kematian anak (5) Meningkatkan kesehatan ibu (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya (7) Memastikan pelestarian lingkungan (8) Mendorong pembangunan berkelanjutan

Masyarakat internasional telah menetapkan 2015 sebagai tenggat waktu bagi MDGs, dengan sasaran pokoknya adalah pengentasan kemiskinan global. Target utama tersebut telah diprioritaskan oleh banyak pemerintah, lembaga pembangunan, donor dan aktor-aktor pembangunan lainnya sejak tahun 2000. Gugus tugas PBB untuk pasca 2015 mengusulkan peta jalan menuju Pembangunan Pasca 2015 yang baru. Hampir semua upaya yang sedang berlangsung dirancang untuk mengumpulkan masukan yang akan memberi input langsung pada perumusan kerangka kerja pembangunan global pasca 2015, yang kemungkinan akan diadopsi dan diimplementasikan oleh semua negara. Tetapi tidak ada upaya konkrit untuk memastikan atau mendorong proses di level negara yang akan mendukung kerangka pembangunan global pasca 2015.2

(14)

HLP ini akan menjadi laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB yang merekomendasikan visi dan bentuk agenda pembangunan pasca 2015. HLP akan mempertimbangkan temuan dari berbagai konsultasi yang dikoordinasikan oleh PBB dalam menulis laporannya. HLP akan didukung oleh tim independen yang direkrut melalui konsultasi langsung dengan tiga co-chairs dari Panel. Laporan akan disampaikan pada Sidang Majelis Umum PBB ke-68, September 2013. Pertanyaannya sekarang: model pembangunan seperti apa yang akan dipromosikan oleh pemerintah (Indonesia) pada skema pembangunan berkelanjutan pasca-2015?

Dekade-dekade pembangunan di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa model pembangunan yang dipilih oleh pemerintah Indonesia adalah model pembangunan yang eksploitatif dan merusak, serta berbasis pada pemberian konsesi-konsesi usaha kepada korporasi yang seringkali menyebabkan munculnya berbagai konlik sosial.

(15)

co-chair di HLPEP yang ditunjukkan oleh UN.

Selama ini pemerintah Indonesia selalu menyatakan optimisme mengenai pembangunan dengan indikator-indikator kuantitatif. Keberhasilan Indonesia memper-tahankan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat krisis inansial global diakui oleh institusi keuangan internasional sebagai bentuk kokohnya fundamental ekonomi Indonesia. Dalam dua tahun terakhir ini, tingkat investasi juga menjadi kata kunci yang selalu disampaikan oleh pemerintah Indonesia untuk memperlihatkan keberhasilan pembangunan. Namun gambaran cerah tentang pembangunan di Indonesia, belum mencerminkan realitas yang sebenarnya.

Masyarakat sipil (CSO) Indonesia tidak menemukan bukti-bukti yang memadai bahwa pertumbuhan yang inklusif dan menjamin pemerataan telah terjadi. Fakta-fakta peningkatan kekayaan segelintir orang dan kesenjangan yang ekstrim, telah memberi keyakinan, bahwa harus ada perubahan dalam orientasi pembangunan. Pada semua aspek dan sektor kehidupan masyarakat, yang menonjol adalah kesenjangan/ketimpangan yang terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan yang dianut, buruknya tata kelola pemerintahan, serta praktik demokrasi yang parsial (prosedural, transaksional, elitis).

(16)

dimaksudkan untuk menghapus ketimpangan ini. CSO mendesak agar perspektif pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan mesti beralih pada pembangunan berkelanjutan dengan tujuan mengakhiri ketimpangan.

Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan komponen penting dalam menentukan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) baik di tingkat nasional maupun lokal. Secara sederhana, Good Governance ini dimaknai sebagai pengelolaan pemerintahan yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas dan rule of law serta bersifat responsif dan partisipatoris. Aktualisasi Good Governance ini akan menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pada gilirannya akan mempercepat proses pencapaian tujuan negara, yaitu menyejahterakan rakyat.

Di sisi lain, Good Governance ini juga merupakan perwujudan prinsip kedaulatan rakyat (dari, oleh dan untuk rakyat). Oleh karenanya Good Governance seharusnya menjamin, melindungi serta memperkuat hak-hak rakyat. Singkatnya, Good Governance merupakan prasyarat utama bagi tercapainya MDGs di Indonesia, sebagai negara yang masuk dalam kategori tingkat korupsi tinggi. Good Governance menjadi tantangan utama baik di tingkat nasional mau pun daerah.

(17)

birokrasi pemerintah dalam melakukan pengintegrasian MDGs, melalui mekanisme perencanaan teknokratis masih terbatas dalam hal kemampuan. Antara lain adalah keterbatasan kemampuan mereka dalam mengakomodir aspirasi masyarakat, menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, mendeinisikan permasalahan, merumuskan berbagai kebijakan publik yang sesuai kebutuhan masyarakat, menciptakan birokrasi yang eisien dan efektif, mengimplementasikan kebijakan dan peraturan, serta berempati dalam melayani kepentingan publik.

Keterbatasan kapasitas aparatur birokrasi ini juga berakibat pada terjadinya alokasi sumber daya yang tidak efektif. Masih banyak alokasi anggaran yang tidak diarahkan untuk program atau kegiatan yang dapat menjawab akar masalah kemiskinan. Selain memang dalam pengalokasian anggaran, proporsi belanja langsung masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan belanja tidak langsung. Sehingga program/kegiatan yang disusun pemerintah belum mampu mendukung untuk tercapainya target-target MDGs.

(18)

mana anggaran berasal dan bagaimana anggaran tersebut dibelanjakan. Tujuan lainnya, memastikan realisasi kebijakan alokasi anggaran sesuai dengan prosedur, regulasi dan eisien secara teknis dan efektif secara operasional atau sesuai dengan tujuan pada saat perencanaan anggaran di susun untuk peruntukan pada kegiatan dan program.

Menyoal berbagai kendala dalam pencapaian MDGs di Indonesia selama ini, seringkali dihadapkan pada persoalan lemahnya pengarusutamaan program-program berkait MDGs antarkementerian/lembaga, serta terbatasnya alokasi anggaran yang membiayainya. Sehingga untuk beberapa target MDGs di Indonesia, misalnya pada sektor kesehatan (kematian ibu dan anak) dan penanggulangan HIV/AIDS akan sulit dicapai pada tahun 2015.

I. Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi

(19)

masing-masing skor rata-rata per arena adalah 4,95 untuk pemerintah, 5,61 untuk birokrasi, 4,97 untuk masyarakat sipil dan 4,79 untuk masyarakat ekonomi.

Berdasar dimensi prinsip good governance yang berkaitan dengan tingkat keterbukaan pemerintah (Open Government), pemerintah memperoleh skor 5,04 untuk partisipasi, 6,69 untuk akuntabilitas dan 4,26 untuk transparansi. Sementara birokrasi memperoleh skor 3,78 untuk partisipasi, 6,55 untuk akuntabilitas dan 3,79 untuk transparansi. Di antara ketiga prinsip tersebut, yang cenderung memperoleh skor kurang bagus adalah transparansi sehingga menunjukkan bahwa tingkat transparansi pemerintah dan birokrasi Indonesia senantiasa harus selalu ditingkatkan.

Sementara itu, skor akuntabilitas terlihat terbaik di antara prinsip lain. Hal ini dikarenakan PGI hanya menggunakan indikator akuntabilitas secara prosedural, seperti audit BPK yang secara umum telah dipatuhi oleh sebagian besar provinsi meskipun berada dalam kualitas cukup.

Survei Failed State Index/FSI atau Index Negara Gagal 2012, yang dipublikasikan olehFund for Peace menetapkan Indonesia sebagai “warning” beresiko sebagai negara gagal.

(20)

tahun 2011 Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 177 negara.

Dalam kategori tersebut, Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya menuju negara gagal. Indonesia memang tidak sendiri, bahkan negara seperti Cina dan India berada kelompok“warning”seperti Indonesia di urutan 76 dan 78. Sedangkan negara Asia Tenggara yang berada pada kelompok“warning”adalah Filipina urutan 58 Malaysia urutan 111 sedangkan hailand pada urutan 84.

Kemudian Fund for Peace juga mengadakan penelitian berdasarkan 13 indikator, yang merupakan rincian dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial di negara tersebut. Berdasarkan 13 indikator itu hasilnya dibagi menjadi empat kriteria yakni negara-negara yang masuk kategori

alert, warning, moderate, dan sustainable. Negara-negara yang masuk kategori alert adalah Somalia, Congo, Sudan, Zimbabwe, dan Afganistan. Untuk Asia Tenggara yang masuk kategori ini adalah Myanmar dan Timor Leste.

Evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abu Bakar, menyimpulkan bahwa mayoritas pegawai negeri sipil tak memiliki kompetensi yang memadai. “Dari 4,7 juta PNS yang ada, hanya lima persen yang memiliki kompetensi. PNS di Indonesia sebenarnya terbagi dalam dua kelompok, yaitu struktural dan fungsional. Sayangnya, kelompok fungsional ini tak diisi oleh tenaga ahli di bidangnya”.

(21)

Prasodjo (Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), bahwa dari hasil pengamatannya selama berkecimpung dalam praktik keilmuan birokrasi di Indonesia, “Saya bisa katakan 80 persen PNS kita tidak berkompeten dan bermoral rusak. Ini kenyataan,” kata Eko Prasodjo.

Pada era reformasi ini, perubahan sistem sudah dilakukan meskipun belum tuntas. Di antaranya dengan sistem renumerasi, penggajian berdasarkan kinerja, kompetensi, dan bidang kerja. Perubahan ini diberlakukan di Kementerian Keuangan terutama di Direktorat penghasil pendapatan negara seperti, Bea- Cukai dan Pajak. Tapi ternyata masih ada juga pegawai pajak yang masih korup, meskipun gaji resminya bahkan 10 kali lipat dari PNS biasa.

Di sisi lain, jabatan fungsional umum di lingkungan pemerintahan dinilai masih banyak diisi orang-orang yang tidak kompeten. Hal ini dapat terjadi tidak lain karena rekrutmen dan promosi jabatan didasarkan pada faktor politis dan pertemanan dan bukan melihat pada kompetensinya. Untuk meningkatkan kompetensi pegawai tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyusun 10 langkah reformasi birokrasi yang diantaranya menyelenggarakan Uji Kompetensi PNS secara nasional untuk menyaring PNS yang kompeten.

(22)

lebih sulit dihadapi Indonesia saat ini mengenai efektivitas program dan anggaran yang berkait dengan MDGs itu sendiri. Sebab jika dilihat dari trend anggaran bagi program-program MDGs di tiap kementerian –walaupun belum sebanding dengan tantangan yang harus diselesaikan– kecenderungannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya bidang kesehatan, rata-rata pertumbuhan anggaran khususnya Kesehatan Ibu dan Anak sebesar 14 persen selama periode 2006-2012, bahkan 2010-2011 sempat mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 38,6 persen.3 Sayangnya walaupun kecenderungan alokasi anggarannya naik, hasilnya terlihat tetap stagnan dan tidak ada kemajuan berarti, sehingga terkesan anggaran yang telah digelontorkan untuk program-program MDGs terkesan terbuang sia-sia.

Menyoal efektivitas anggaran memang sangat ditentukan pada bagaimana cara pemerintah sebagai pengelola anggaran dalam mengelola keuangan negara, yang dalam berbagai konteks selalu dikaitkan dengan

good governance. Dan jika menyoal good governance, cukup menarik meminjam pemikiran Meuthia Ghani yang memahami governance sebagai tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan

(23)

rakyat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka.

Unsur yang terakhir biasa dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan di bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena rakyat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan perannya dengan baik. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya.4

Good governance pada akhirnya tidak terbatas pada menjalankan wewenang dengan baik semata, yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable). Oleh karenanya, konsep

good governance akan selalu didasarkan pada tiga pilar, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.5

Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, ketiga pilar tersebut sebenarnya secara tersirat telah tertuang di 4 Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998.

(24)

dalam Konstitusi Indonesia khususnya Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 karena konstitusi mensyaratkan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keterbukaan tersebut oleh pemerintah dijawab dengan diterbitkannya UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi, tujuan utama UU KIP menjamin hak masyarakat untuk mengetahui setiap rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik,  dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Lebih jauh daripada itu diharapkan UU tersebut akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Bagi pemerintah diharapkan akan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan eisien, akuntabel  serta  dapat dipertanggungjawabkan.6

Bagi banyak pihak, menuntut keterbukaan informasi khususnya menyangkut pengelolaan keuangan negara/ daerah kepada pemerintah adalah pekerjaan yang sulit dan hampir mustahil walaupun konstitusi dan undang-undang telah menjaminnya, mengingat birokrasi yang terbangun di Indonesia masih kental dengan kultur feodal-kolonial yang

(25)

berkarakter dilayani, bukan melayani. Apalagi dokumen anggaran baik di tingkat pusat (kementerian/lembaga) maupun daerah masih banyak yang menilainya sebagai dokumen rahasia yang “diharamkan” dibagi ke publik.

Ketertutupan akses terhadap dokumen anggaran tersebut sampai saat ini memang masih menjadi akar tidak efektifnya program-program pembangunan di Indonesia (termasuk program-program MDGs). Sebab masyarakat sama sekali tidak dapat melakukan kontrol terhadap setiap program yang disusun dan dilaksanakan pemerintah. Wajar jika dari tahun ke tahun wajah APBN Indonesia masih tersandera oleh kepentingan elit dan birokrasi. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun sebagian besar anggaran masih dihabiskan untuk membiayai kebutuhan aparat (birokrasi) mulai dari perjalanan dinas, tunjangan, vakasi, fasilitas perkantoran dan kendaraan, dan lain-lain.7 Ambil contoh salah satu program MDGs, khususnya menyangkut kematian ibu dan anak yang ada di Kementerian Kesehatan, hampir sebagian besar anggaran (sekitar 75 persen) hanya dihabiskan untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dan seterusnya).8 7 Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Catatan Akhir Tahun

Anggaran 2012, Anggaran Tersandera Birokrasi dan Elit Politik. 8 Sebagaimana yang diungkap Yenny Sucipto dalam Catatan Akhir Tahun

(26)

Selain rendahnya keterbukaan, problem partisipasi juga menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program pembangunan. Penyebabnya ruang partisipasi yang dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu. Satu-satunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui pemerintah hanyalah forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sekilas forum ini cukup partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk mengusulkan program/kegiatan sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik dan saran masyarakat akhirnya diamputasi ketika proses penganggaran memasuki internal elit, sebab dalam forum tersebut semuanya sudah bersifat tertutup, sehingga tidak bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung. Dari proses tersebut sudah dapat diketahui jika derajat partisipasi yang ditawarkan dalam forum musrenbang sangatlah lemah sebab forum yang dibangun hanyalah sebatas forum sosialisasi belaka, bukan forum konsultasi terlebih negosiasi.9

Selain tertutupnya ruang partisipasi yang disediakan pelyanan kesehatan anak). Begitu juga yang terjadi pada program pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi Rp 31,59 milyar habis untuk perjalanan dinas mencapai Rp 24 milyar (76persen). Program untuk pengembangan anak hanya dialokasikan sebesar Rp 1 milyar yang meliputi kegiatan pengembangan Centre of Excellent RBM, Yankes Anak Minoritas dan terisolasi, dan Surveilans Kesehatan Anak.

(27)

oleh pemerintah, masalah rendahnya derajat partisipasi masyarakat juga berangkat dari ketidaktahuan atau rendahnya pemahaman masyarakat terhadap anggaran itu sendiri. Hal ini menjadi hal yang sangat krusial yang belum pernah di sikapi oleh pemerintah. Dari hasil studi

Open Budget Index, dinyatakan bahwa rendahnya derajat transparansi Indonesia karena salah satunya tidak adanya

Citizen’s Budget sebagai salah satu produk untuk “melek anggaran” kepada masyarakat dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran.

Dari pengalaman melakukan penelusuran anggaran di 8 (delapan) wilayah program pencapaian MDGs melalui Good Governance yang di laksanakan oleh tiga lembaga, yaitu ACE, Kapal Perempuan dan JARI10 yang di dukung oleh Kemitraan, tergambar bahwa ketidaktepatan dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran daerah akan berpengaruh langsung pada tingkat keberhasilan pencapaian MDGs di wilayah tersebut. Sumber Pendapatan daerah (seperti di Kebumen, Maros dan Lombok Timur) dari tahun 2009 - 2011, selalu didominasi oleh Dana Perimbangan, hal ini menandakan kemandirian iskal daerah rendah atau ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sangat tinggi. Seumpama dana perimbangan dihilangkan atau dikurangi dengan

(28)

signiikan, hampir pasti stabilitas perjalanan pembangunan daerah akan sangat terganggu.

Selain juga ditemukan alokasi anggaran di pemerintah daerah masih jauh dari mencukupi untuk upaya-upaya pencapaian MDGs, kemampuan dalam membiayai kegiatan untuk pencapaian MDGs sangat kecil. Karena Pendapatan daerah dari Dana Perimbangan seperti Dana Alokasi Umum lebih banyak dialokasikan untuk membayar belanja pegawai, lalu Dana Alokasi Khusus kegiatannya sudah ditentukan oleh pemerintah pusat.

Analisis FORMASI Kebumen menyatakan bahwa : “Anggaran Kabupaten belum berpihak kepada masyarakat hal ini terlihat dari komponen belanja yang didominasi oleh belanja tidak langsung yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan untuk masyarakat sedang belanja tidak langsung alokasinya lebih banyak didominasi untuk membayar gaji / belanja pegawai, maka tergambarkan bahwa anggaran lebih banyak untuk membayar gaji birokrasi dari pada untuk melaksanakan pembangunan”

Rekomendasi

(29)

ini bisa dilakukan pemerintah dengan mengumumkan semuapos anggaran yang tercantum dalam APBN melalui media secara terbuka yang bisa diakses publik.Langkah semacam ini akan dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan anggaran. Sebab, rakyat bisa secara langsung menilai, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan semua pos mengenai kemana sesungguhnya uang rakyat tersebut dibelanjakan, siapa pengguna anggarannya, dan sejauh mana hasil yang dicapai.

Dalam konteks partisipasi, Pemerintah seharusnya menyediakan ruang-ruang keterlibatan masyarakat selama proses penyusunan anggaran, misalnya dengan meng-agendakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai kelompok atau komponen dalam masyarakat secara rutin dan kontinyu. Dalam praktik selama ini, keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan anggaran adalah nihil, demikian pula dalam hal pengawasan pelaksanaan anggaran. Padahal masyarakat berhak untuk tahu anggaran dalam suatu kementerian, ke mana saja anggaran itu diarahkan dan siapa pelaksana proyek anggaran, dan apakah pelaksanaan anggaran sudah sesuai aturan.

Dalam konteks akuntabilitas, pengawasan anggaran yang dimiliki oleh DPR juga tidak mempunyai kekuatan mekanisme tindak lanjut atas hasil pemeriksaan keuangan BPK dan hasil temuan lapangan baik daerah maupun pusat. Praktek yang terjadi selama ini, seringkali hasil pemeriksaan keuangan cenderung disalurkan DPR melalui mekanisme

(30)

internal di institusi sendiri. Dan problem politis, dimana independensi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi kontrol anggaran masih sangat ditentukan oleh arah kebijakan fraksi/partai politik yang menaunginya.

II. Ketimpangan Akses Kesehatan

Dalam tinjauan sektor kesehatan selalu digunakan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender. Perspektif HAM merujuk pada hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang bersifat universal. HAM tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau bahkan negara lain. HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan dan melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial dan bahasa serta status lain.

Sedangkan perspekti gender akan membantu kita melihat secara jelas perbedaan-perbedaan, serta mampu menunjukkan hubungan antara konsep gender equity dan

gender equality. Gender equity adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya proses yang sama bagi perempuan dan laki-laki, serta memastikan adanya kesamaan dalam perlakuan (fairness) terhadap perempuan dan laki-laki.

(31)

untuk mengaktualisasikan hak-hak dan potensinya sebagai manusia agar dapat menyumbangkan serta mendapatkan manfaat dari program-program yang tersedia serta kebijakan-kebijakan yang ada.

Gender equality merupakan bentuk pengakuan terhadap perbedaan perempuan dan laki-laki, serta menghargai peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, gender equity adalah strategi yang digunakan untuk memperoleh

gender equality. Gender equity adalah sebuah cara untuk mencapai hasil, sementara gender equality adalah hasil yang ingin dicapai.

(32)

langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan atau mempengaruhi perempuan secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan isik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya”.

Rekomendasi tersebut di atas menunjukkan ketim-pangan terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan Deklarasi dan Program Aksi Wina13 (Tahun 1993: Bagian 1, Ayat 18) yang menyebutkan:  “Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil dan ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan international, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan yang mendapat prioritas pada masyarakat internasional”.

Permasalahan kesehatan akan dilihat dengan kerangka berpikir yang menggunakan perspektif HAM dan gender

agar bisa diperoleh gambaran yang utuh mengenai bagaimana kondisi kesehatan dan pengaruh upaya-upaya yang telah dilakukan bagi kehidupan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan di Indonesia.

(33)

capaian kemajuan dalam pembangunan sebuah negara. Perhatian terhadap masalah kesehatan dengan menghargai dan melindungi hak asasi setiap warga, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menjadi kekuatan yang berpotensi mendorong kemajuan dalam upaya memenuhi prioritas pembangunan, termasuk disini penyelesaian permasalahan ketimpangan gender, kesehatan, ketahanan pangan dan ketersediaan air serta anggaran seluruh aspek kesehatan agar dapat mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, tulisan atau ulasan mengenai kesehatan adalah perlu karena sesuai dengan pasal 12

International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights

(1966)14, bahwa kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi dan seksualitas) sangat penting dalam pengembangan potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai hak-hak asasi yang wajib dipenuhi. Selama masih ditemukan permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, seperti belum terselenggaranya dengan baik pelayanan kesehatan bagi masyarakat atau belum terpenuhinya bagi semua warga pengadaan air bersih, maka pembahasan mengenai permasalahan kesehatan di Indonesia masih sangat relevan dan beralasan kuat untuk menjadi perhatian dalam agenda Paska 2015.

Indonesia sendiri telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan nasional sebesar 13,33 persen (2010) menuju target

(34)

8-10 persen pada tahun 2014.15 Harapannya dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dapat memberi dampak pada perbaikan gizi masyarakat Indonesia. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1989, menjadi 18,4 persen pada tahun 2007 sehingga Indonesia diperkirakan dapat mencapai target MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015.16

Dalam dua dasawarsa terakhir Indonesia telah membuat kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi yang ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi kekurangan gizi pada anak balita dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 21,6 persen pada tahun 2000. Angka prevalensi tersebut meningkat kembali menjadi 24,5 persen pada tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi anak balita kekurangan gizi kembali menurun menjadi 18,4 persen.17

Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menjadi 17,9 persen.18 Dengan melihat kecenderungan ini diharapkan target MDG sebesar 15,5 persen dapat tercapai pada tahun 2015. Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 adalah menurunnya prevalensi kekurangan gizi (terdiri dari gizi-kurang dan gizi-buruk) menjadi kurang dari 15

15 Laporan MDGs Bappenas, 2010, hal.5 16 Ibid

(35)

persen.19

Gizi buruk juga menjadi penyebab utama kematian bayi. Separuh kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi yang buruk. Dimana anak kurang memiliki daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi misalnya ISPA dan diare. Dampak langsung lainnya adalah generasi gagal tumbuh. Kekurangan gizi yang terjadi sejak masa janin dan masa balita akan menyebabkan berat bayi lahir rendah, anak kecil, pendek dan kurus.

Disamping gagal tumbuh, anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap umur (TB/U) yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin. Dimana ini akan mempengaruhi prestasi sekolah dan keberhasilan pendidikan.

Dalam jangka panjang, masalah gizi pada awal kehidupan akan menurunkan produktivitas. Literatur terkini mengungkapkan bahwa kekurangan dan kelebihan gizi pada usia dini akan menyebabkan gangguan metabolik, khususnya metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein. Ini merupakan faktor risiko utama penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus type 2 dan stroke pada usia dewasa.

Dalam Undang-Undang Nomor 36/ 2009 tentang

(36)

Kesehatan, secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan pembinaan gizi adalah tercapainya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui: perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas isik, dan PHBS ( perilaku hidup bersih dan sehat ), serta peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pemerintah memiliki tanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin.

Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antarprovinsi dan antara desa-kota. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Masih ada 15 provinsi dimana prevalensi anak pendek di atas angka nasional, dan untuk prevalensi anak kurus.

Kondisi gizi balita di desa cenderung lebih buruk daripada kota. Masalah kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada anak usia sekolah (6–12 tahun), usia pra remaja (13–15 tahun), usia remaja (16–18 tahun), dan kelompok ibu hamil, khususnya ibu hamil di pedesaan.

(37)

Dengan berbagai pendekatan dan proyek, pemerintah telah berupaya untuk mengatasi beberapa masalah gizi dan memenuhi ketercukupan gizi orang miskin. Namun masih juga ditemukan banyak kasus gizi buruk, kesenjangan antara antar provinsi maupun antara desa-kota. Beberapa tantangan yang dapat diungkap adalah sebagai berikut:

1. Sempitnya pemahaman tentang masalah gizi baik di pemerintahan maupun di masyarakat umum sehingga program penanggulangan gizi buruk cenderung kurang strategis. Hal ini dibuktikan dengan pilihan program dalam rencana aksi daerah pangan dan gizi cenderung ditentukan oleh sektor yang mengkoordinasikan pembuatan rencana aksi daerah tersebut.

2. Koordinasi dan kolaborasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih belum berjalan baik sehingga perencanaan, implementasi dan pemantauan program tidak berjalan lancar.

3. Ketidaksesuaian antara dokumen rencana aksi pangan dan gizi terutama di tingkat provinsi dengan dokumen perencanaan pembangunan yang lain seperti RPJMD, rencana strategis daerah, rencana kerja tahunan dan anggaran.

4. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait implementasi kebijakan tentang gizi misalnya UU 36 tentang Kesehatan 2009 dan PP 33 / 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

(38)

5. Pendekatan keproyekan di bidang gizi yang kurang terintegrasi di tingkat desa menjadi kendala dalam mendorong partisipasi dan kemandirian warga untuk mengambil peranan tingkat akar-rumput.

6. Pembinaan terhadap posyandu termasuk kadernya yang dianggap strategis dalam program perbaikan gizi ibu dan anak belum mendapat perhatian dalam rencana aksi nasional maupun daerah

Hambatan dan tantangan yang ada memang cukup memberi dampak pada pencapaian target MDGs. Berikut

rekomendasi untuk mencapai taget pemenuhan gizi seimbang untuk masyarakat antara lain:

1. Penguatan program gizi yang sudah ada mulai dari perencanaan, implementasi dan pemantauan untuk setiap komponen program (input – proses – output – outcome) di setiap tingkatan administrasi (mulai dari tingkat nasional hingga desa).

2. Integrasi pembangunan gizi menjadi bagian dari pembangunan di tingkat desa dalam kerangka pemberdayaan daripada keproyekan.

3. Melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal perencanaan dan pengganggaran pembangunan gizi pemerintah.

(39)

perguruan tinggi.

5. Integrasi pembinaan yang bisa dilakukan oleh Pokjanal posyandu perlu diaktifkan dengan melibatkan sektor pemerintah terkait secara lebih luas.

6. Membangun koordinasi dan kolaborasi yang lebih baik antara pusat dan daerah , antar instansi, sektor dan program agar memberikan dampak yang signiikan.

7. Pendidikan bagi para kader posyandu tentang gizi yang utuh termasuk pemantauan dan penimbangan ibu hamil, sangat penting untuk ditingkatkan terus-menerus.

Sejak deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948, bangsa-bangsa di dunia sepakat untuk menjamin standar hidup dan hak hidup yang sama kepada semua bangsa dan setiap orang. Artinya setiap manusia, termasuk manusia yang baru lahir, berhak untuk dijamin kesehatannya dan mendapatkan hidup yang layak. Hal ini menjadi landasan dimasukannya target penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) ke dalam salah satu target MDGs.

(40)

dari target MDG tahun 2015 dimana AKB diharapkan turun menjadi 23 dan AKA AKABA 32 per 1000 kelahiran hidup. Sebagian besar dari penyebab kematian bayi dan balita terjadi pada bayi baru lahir / neonatal ( umur 0 – 28 hari ). Masalah neonatal ini biasanya meliputi asiksia ( kesulitan bernapas saat lahir ), bayi berat lahir rendah ( BBLR ), diare dan komplikasi prenatal.

Jika diperbandingkan dengan negara tetangga, kasus kematian balita di Indonesia pertahun sangat tinggi yakni berjumlah 200.000 per tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya 3.694 dan Filipina yang memiliki 85.400 kasus kematian balita. Penyebab kematian utama anak balita di Indonesia adalah: diare, pneumonia, malaria ( di daerah endemis malaria ) dan campak. Sebenarnya, penyebab kematian ini bisa dicegah dengan imunisasi, deteksi dini, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta penanganan yang cepat dan tepat.

Akar masalah dari rendahnya kualitas hidup bidang kesehatan adalah kemiskinan yang menyebabkan sulitnya mengakses layanan kesehatan, kondisi hidup yang kurang layak, ketersediaan pangan dan tingkat pengetahuan yang kurang memadai.

Komplikasi ini harusnya dapat dicegah, namun ter-kendala banyaknya tantangan dan hambatan, diantaranya: 1. Tidak adanya sistem pencatatan kelahiran, kematian,

penyebab kematian yang baik.

(41)

pelayanan kesehatan dasar. Terlambat mendapat penanganan medis menyebabkan hampir 70persen kematian anak balita.

3. Kurangnya cakupan imunisasi yang dapat mencegah sebagian besar penyakit menular.

4. Kesenjangan fasilitas dan layanan kesehatan antar wilayah di Indonesia menimbulkan perbedaan signiikan dalam upaya penurunan AKB.

5. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait implementasi kebijakan tentang kesehatan anak.

6. Rendahnya kesadaran orang tua untuk mencari pertolongan tenaga kesehatan

7. Berbagai kebijakan tentang perbaikan kesehatan gizi, diantaranya UU Kesehatan No.36 / 2009 pasal 142 serta PP 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, belum mampu melindungi kepentingan ibu dan bayi.

Untuk mempercepat pencapaian target penurunan AKB di Indonesia, beberapa solusi dan rekomendasi yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, termasuk anggaran pembangunan bidang ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan keluarga berencana untuk meningkatkan status gizi masyarakat.

(42)

kematian yang mampu diimplementasikan oleh staf pemerintah di tingkat daerah.

3. Mendorong program imunisasi dan pola hidup sehat untuk mencegah penularan penyakit

4. Pemerataan pembangunan kesehatan di wilayah terpencil.

5. Ketersedian layanan kesehatan yang memadai dan mudah dijangkau oleh ibu dan balita.

6. Memastikan adanya 1 bidan yang tinggal di 1 desa terutama di wilayah terpencil.

7. Pemerintah perlu mengembangkan konsep pemantauan efektivitas kebijakan yang lebih independen yang melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan perguruan tinggi.

Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI/MMR, Maternal Mortality Rate) menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target pencapaian MDGs pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan telah cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian.22 22 Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010.

(43)

Berdasarkan angka di atas diketahui bahwa target penurunan AKI di Indonesia bahkan belum mencapai setengah angka yang diharapkan.

Pertolongan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66,7 persen pada tahun 2002 menjadi 77,34 persen pada tahun 2009 (Susenas). Angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3 persen pada tahun 2010 (Riskesdas, 2010). Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih antarwilayah masih merupakan masalah. Data Susenas tahun 2009 menunjukkan capaian tertinggi sebesar 98,14 persen di DKI Jakarta sedangkan terendah sebesar 42,48 persen di Maluku.23

Untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan, diperlukan pelayanan antenatal (antenatal care/ANC), yang juga akan menjamin ibu dalam melakukan persalinan di fasiltas kesehatan. Sekitar 93 persen ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa kehamilan. Terdapat 81,5 persen ibu hamil yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun baru 65,5 persen yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan.

(44)

penurunan AKI di Indonesia :

1. Terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayan-an kesehatpelayan-an ypelayan-ang berkualitas, terutama bagi penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK).

2. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama bidan.

3. Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masya-rakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan kese-lamatan ibu.

4. Masih rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil.

5. Masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan tingginya unmet need.

6. Pengukuran AKI masih belum tepat, karena sistem pen-catatan penyebab kematian ibu masih belum adekuat

(45)

kesehatan reproduksi remaja.

Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ternyata berdampak positif terhadap tingginya kasus KTD (kelahiran tidak diinginkan), baik oleh remaja maupun perempuan yang telah menikah.24 Ketidaktahuan ini berlanjut dengan proses pemulihan haid dengan cara yang tidak aman. Sebagai contoh mereka mengkonsumsi jamu, obat, atau minuman tradisional untuk pemulihan haid. Tidak sedikit yang menggunakan cara isik seperti melompat dan sejenisnya untuk menggugurkan kandungan, sebagian bahkan memilih melakukan aborsi yang tidak aman untuk mengakhiri KTD dan tidak mengetahui cara terbaik.

(46)

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi untuk perempuan.

Terkait isu HIV/AIDS, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang pertumbuhan kasus HIV dan AIDS relatif cepat, hal ini diungkapkan oleh UNAIDS dalam laporannya HIV in the ASIA and the Paciic “Getting to Zero”, pada tahun 2011. Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987. Sampai dengan September 2012 kasus HIV/AIDS tersebar di 341 dari 497 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia (atau sekitar 71 persen). Provinsi pertama yang menemukan kasus HIV/AIDS adalah Bali di tahun 1987, sedangkan provinsi terbaru yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.25

(47)

kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan September 2012 sebanyak 39.434 kasus.26

Selanjutnya Kementerian Kesehatan RI melaporkan kasus HIV tersebut dari kategori usia dan jenis kelamin. Dari Juli sampai dengan September 2012 jumlah kasus baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.489 kasus. Prosentase kasus HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (73,7persen), diikuti 20-24 tahun (15,0persen) dan umur kurang lebih 50 tahun (4.5persen). Rasio kasus HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Prosentase heteroseksual (50,8persen), penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun (9,4persen), dan laki laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki lain (7 persen). Untuk kasus AIDS sejak Juli sampai September 2012 jumlah kasus baru yang dilaporkan sebanyak 1.317 kasus. Prosentase tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (40,7persen), diikuti 20-29 tahun (29,0persen) dan 40-49 tahun (17,3persen). Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2.1. Jumlah kasus tertinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta (648), Jawa Tengah (140), Bali (102), Jawa Barat (80) and Kepulauan Riau (78). Prosentase faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (81,9persen), pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun (7.2persen), dari ibu (positif HIV) ke anak (4,6persen), dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki lain (2,8persen).27

26 Ibid.

(48)

Dari data tersebut di atas dapat dibaca bahwa kasus HIV/AIDS meningkat setiap tahunnya. Tidak hanya pada kaum laki-laki tetapi juga pada perempuan. Kerentanan perempuan terhadap HIV disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya ketimpangan gender yang berakibat pada ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku seksual suami atau pasangan seksualnya. Kurangnya pengetahuan serta akses untuk mendapatkan informasi dan pelayanan pengobatan kesehatan seksual, kesehatan reproduksi serta HIV/AIDS juga menjadi penyebab tingginya kasus pada perempuan.

Upaya mencegah penularan HIV dilakukan dengan program Preventing Mother To Child Transmission

(PMTCT), ditujukan kepada ibu rumah tangga, perempuan pekerja seks, perempuan pengguna narkoba suntik dan buruh migran dengan memperhatikan HAM dan layanan yang sensitif gender. Layanan PMTCT terdiri dari empat strategi, yaitu: (a) mencegah penularan HIV pada perempuan usia produktif, (b) mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif, (c) mencegah penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya, (d) memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarga.28

(49)

perempuan dengan HIV di Indonesia. Namun demikian rumah sakit yang merupakan rujukan layanan PMTCT belum semua melakukan penatalaksanaan medis dan manajemen yang baik kepada perempuan terinfeksi HIV.

Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia (MDGs) tahun 2010 disebutkan terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV baru. Sepanjang periode 1996 sampai dengan 2006, angka kasus HIV meningkat sebesar 17,5persen dan diperkirakan bahwa ada sekitar 193.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV di Indonesia. Epidemi AIDS umumnya terkonsentrasi pada populasi berisiko tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia dengan estimasi nasional untuk prevalensi orang dewasa dengan AIDS 0,22persen pada tahun 2008. Papua dan Papua Barat mengalami pergeseran ke generalized epidemic dengan prevalensi 2,4persen pada usia 15-49 tahun. Sementara itu, jumlah kumulatif kasus AIDS terus meningkat. Ditemukan 19.973 kasus pada tahun 2009, artinya lebih dari dua kali lipat jumlah kumulatif pada tahun 2006 sebesar 8.194.29

Kemudian berkenaan dengan air dan sanitasi, bahwa tujuan tujuh target ke-10 dalam MDGs ialah menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan, serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015. Dalam upaya pencapaian target MDGs tersebut, Pemerintah Indonesia

(50)

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) 2010-2014 memiliki target untuk meningkatkan akses air minum bagi 70 persen penduduk pada akhir 2014.

Selain itu pemerintah juga menargetkan untuk kondisi stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) dan menyediakan akses sistem pengelolaan limbah untuk 90 persen penduduk. Dalam hal pengelolaan sampah, pemerintah memiliki target 80 persen rumah tangga di perkotaan memiliki akses terhadap pengelolaan sampah serta menurunkan luas genangan (potensi banjir) sebesar 22.500 hektar di 100 kawasan strategis kota.30

Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi 47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi layak meningkat dari 24,81persen (1993) menjadi 51,19 persen (2009). Pada praktiknya, pencapaian penyediaan sarana air bersih dan sanitasi belum mampu dicapai, baik dalam target MDGs maupun RPJMN. Hingga tahun 2012 capaian sarana air minum masih di angka 44,19 persen dan cakupan akses pengelolaan air limbah masih 55,53persen. Hal yang sama juga terjadi untuk drainase (55 persen dari target 100 persen) dan pengelolaan sampah (42,9 persen dari target 80 persen).31 (lihat lampiran, graik 7: Target dan Pencapaian Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi).

(51)

Kondisi diatas terjadi karena beberapa faktor, diantaranya: (1) belum memadainya perangkat peraturan yang mendukung penyediaan air minum dan pengelolaan sanitasi (2) masih terbatasnya lembaga yang kredibel dan profesional (3) kualitas perencanaan penyediaan layanan air minum dan pengelolaan sanitasi masih rendah, serta (4) terbatasnya pendanaan untuk mendukung seluruh aspek penyediaan air minum dan pengelolaan sanitasi.32

Rekomendasi bagi pelayanan kesehatan pasca 2015:

1. Memasukan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan kesehatan reproduksi) terlebih untuk perempuan, kelompok difable (berkebutuhan khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan (DTPK) ke dalam indicator SPM

2. Mengupayakan tersedianya layanan kesehatan reproduksi di Puskesmas untuk semua warga, termasuk fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan pemulihan haid yang aman

3. Membentuk peer conseling untuk remaja di setiap jenjang pendidikan terkait kesehatan reproduksi

4. Menghapus praktik aborsi tidak aman karena akan meningkatkan peluang tingginya AKI di Indonesia

5. Melakukan pendekatan cultural kepada masyarakat untuk bisa merubah pola pikir agar menganggap 32 Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam HUT Proklamasi

(52)

permasalahan kespro, khususnya kespro remaja merupakan masalah bersama sehingga tidak lagi menekannya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan

III. Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konlik Berkepanjangan

Persoalan atau krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terjadi di level nasional tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi politik global dimana korporasi, lembaga keuangan, termasuk negara di dalamnya saling berkolaborasi demi pelanggengan kekuasaannya. KTT Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro (Rio +20) dan KTT Perubahan Iklim COP 18 di Doha menegaskan, bagaimana pengaruh korporasi semakin menguat dalam penentuan berbagai kebijakan negara yang seharusnya bertanggung jawab melindungi warga negara dan lingkungan hidupnya.

KTT Rio +20 menjadi titik balik yang mengecewakan bagi masyarakat sipil dunia dan menjadi satu catatan sejarah terburuk inkosistensi pemerintahan negara-negara, yang pada dua dekade sebelumnya, telah mencanangkan upaya global mewujudkan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. KTT Rio +20 menampilkan ketidakpedulian para pemimpin-pemimpin negara maju dalam mendorong agenda pembangunan berkelanjutan.33

(53)

Sementara Pertemuan COP ke-18 dari United Nations Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) - KTT Perubahan Iklim di penghujung tahun 2012 lalu juga masih menunjukkan hal yang mengecewakan. Perjanjian iklim global kali ini diselenggarakan di tengah pesimisme, bahwa proses negosiasi akan membawa resolusi untuk mengatasi perubahan iklim secara adil, terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang yang paling rentan dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim.

Salah satu hal yang menjadi pembahasan utama adalah perdebatan mengenai perdagangan karbon (ofset), dimana negara-negara industri Annex-1 dengan gencarnya mendorong perdagangan karbon dengan skema ofset

sementara negara-negara non-Annex-1 menolak dengan tegas.34 Pemerintah Indonesia dalam konferensi kali ini justru mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar dengan skema ofset (perdagangan karbon) sebagaimana yang diinginkan oleh negara-negara industri.35 Negara-negara industri tanpa keraguan menunjukkan keengganan melaksanakan kewajiban penurunan emisi, padahal untuk mencegah memburuknya dampak perubahan iklim terutama bagi negara-negara berkembang dan miskin, penurunan emisi oleh negara-negara industri maju adalah suatu keharusan.

Tantangan ini membutuhkan strategi baru untuk pembangunan pasca 2015. Kita harus mendapatkan 34 atau setidaknya tidak menyatakan dukungan secara eksplisit.

(54)

suatu visi baru pembangunan secara menyeluruh, berdasarkan pada ilosoi yang selaras dengan alam. Hal ini membutuhkan suatu transformasi sosial yang mendalam yang mengharuskan redistribusi radikal atas kepemilikan, akses dan kontrol atas sumber daya produktif dalam mencapai kehidupan yang lebih bermartabat. Juga dibutuhkan reorientasi produksi dan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan potensi manusia dalam batas-batas lingkungan ketimbang memaksimalkan keuntungan jangka pendek.

Pembaharuan tata kelola sumber-sumber kehidupan dan ruang hidup harus disertai dengan perubahan yang mendasar pada sistem pendukungan dan desentralisasi kewenangan. Tata kelola sumber daya alam kepulauan Indonesia dalam konsepsi pembangunan berkelanjutan, harus bisa menjamin kedaulatan pangan, kecukupan air, kemandirian energi dan keberlanjutan mata pencaharian dalam kerentanan perubahan iklim dan bencana ekologi. Pembangunan harus mampu menjamin keadilan sosio-lanskap, penghormatan terhadap keberagaman, kemandirian dan kemartabatan budaya komunitas.

(55)

baik, menjadi kebutuhan mendesak sebagai bagian dari HAM. Hak atas pembangunan tidak lepas dari ketentuan bahwa proses pembangunan haruslah memajukan martabat manusia, dan tujuan pembangunan adalah demi kemajuan yang terus menerus secara berkelanjutan untuk kesejahteraan manusia secara adil merata

Pendekatan pembangunan selama ini cenderung mengutamakan kawasan perkotaan dari pedesaan, sehingga kawasan pedesaan tertinggal jauh dari pembangunan perkotaan. Pendekatan pembangunan juga cenderung mengutamakan wilayah daratan dari lautan, sehingga pembangunan kelautan sangat tertinggal dan cenderung menjadi obyek penyelesaian masalah darat (misalnya sampah dan limbah). Bagi masyarakat lokal, tata kelola sumberdaya alam (laut dan daratan) tidak sekedar bagaimana mereka mengelola sumber kebutuhan isik, melainkan juga terkait dengan ruang hidup dan sumber inspirasi dalam membangun kebudayaan dan peradaban mereka.

(56)

industri dan kelautan, penyebab terjadinya perebutan SDA, dan tumpang tindihnya kebijakan di antara sektor-sektor tersebut.

Dari segi keadilan sosial, kebijakan-kebijakan yang ada bersifat atas-bawah (top-down) dan tidak memperhatikan budaya setempat. Kebijakan pengelolaan SDA selama ini cenderung bersifat sentralistik, elitis, paternalistik dan eksploitatif, sehingga menimbulkan kerusakan SDA dan lingkungan hidup serta kesenjangan ekonomi dan sosial antar pusat dan daerah, antara kelompok masyarakat, antarsektor dan antarkawasan.

Terkotak-kotaknya wilayah ekosistem ke dalam wilayah administrasi dan sektoral menyebabkan banyak kelompok masyarakat setempat terganggu kehidupan ekonominya.36 Pendekatan pembangunan saat ini cenderung seragam, sementara kemajemukan sosial budaya adalah kenyataan, sehingga pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Hal ini menyebabkan pembangunan tidak efektif, tidak eisien dan boros, serta menimbulkan banyak konlik sosial.

(57)

penguasaan SDA dengan masyarakat secara individual maupun komunal. Padahal model pengelolaan SDA yang selama ini dipraktikkan oleh rezim yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang dirasakan oleh semua makhluk hidup.

Keadaan ini semakin diperparah karena UU terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia saling bertentangan dan tidak sinkron, baik dengan peraturan yang lebih tinggi maupun dengan sesama UU maupun peraturan di bawah UU. Sedikitnya ada lima undang-undang yang secara sistematis telah memberikan kewenangan yang luas, bahkan terlampau luas, kepada pemerintah atas sumber-sumber agraria, namun kewenangan yang ada tidak dibarengi dengan semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, yaitu; Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.

Di tengah situasi carut-marutnya kebijakan tersebut kemudian hadir Perpres 3/2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai kelanjutan dari pertemuan

(58)

rakyat. MP3EI tidak disusun untuk mengkoreksi berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan kerusakan dan kejahatan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan.37 Hal ini bukan saja bertentangan dengan komitmen pemerintah.

Dalam MP3EI tidak terlihat visi nasionalismenya, dan kepentingan siapa yang diusung karena tidak mencerminkan kebutuhan rakyat. Untuk menopang MP3EI kemudian pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti: UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Perpres No. 3/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Kalimantan dan Perpres No. 13/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Sumatera. Regulasi ini mengindikasikan semakin kuatnya tekanan modal dan negara dalam upaya menggunakan sumber daya alam guna kepentingan ekonomi semata dan kurang menempatkan posisi masyarakat maupun implikasinya bagi masyarakat dalam kawasan dan sekitar kawasan hutan.

Lebih dari 91 persen konlik sumber daya alam di Indonesia terjadi antara masyarakat dengan perusahaan. Pemicu utamanya adalah pertentangan klaim wilayah antara masyarakat dengan pemegang izin. Tidak hanya menelan harta, konlik perebutan sumber daya alam telah merenggut korban jiwa dan sumber kehidupan utama masyarakat. Konlik sumber daya alam sebagai salah satu wilayah dengan pelanggaran HAM yang paling serius di Indonesia. Hingga saat ini, para pelaku kekerasan dan

(59)

pembunuhan tidak tersentuh oleh proses hukum yang memadai.

Penghancuran lingkungan juga disebabkan oleh industri tambang. Hal ini disebabkan oleh adanya pelemahan regulasi di sektor tambang. Upaya perlindungan dari ancaman pertambangan hanya menjadi diskursus di meja diskusi dan seminar, sementara rakyat lingkar tambang terus menjadi korban. Bukti pelemahan regulasi tersebut, misalnya, dibiarkannya Newmont membuang limbah

tailing ke laut yang secara fakta telah merusak ribuan mata pencarian nelayan di Teluk Senunu. Padahal secara legal izin pembuangan tailing sudah berakhir, namun Pemerintah melalui KLH memperpanjang izin pembuangan limbah.38 Tidak diprosesnya secara hukum oleh KLH berbagai tindakan kejahatan lingkungan hidup: Informasi AMDAL palsu, penimbunan limbah B3 dekat sawah di Kerawang, impor limbah B3, dan seterusnya.

Ditengah aturan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang lemah, Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2012 kembali mengeluarkan Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Penilaian lebih banyak mengandalkan data swapantau perusahaan (Dokumen Rencana Pengelolaan-Pemantuan Lingkungan). Perusahaan perusak lingkungan mendapatkan peringkat

(60)

baik (emas, hijau, biru) karena aturan yang mengatur kejahatan lingkungan lemah dan mengandalkan informasi sepihak pelaku yang dinilai. Dan bila masyarakat menggugat perusahaan atas tindak pengerusakan lingkungan, perusahaan akan menunjukkan surat keterangan berkelakukan baik atau PROPER tersebut untuk membungkam kritik.

Sampai hari ini, 121.74 juta hektar (setara 88 persen) kawasan hutan belum dipastikan batasnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan yang ada selama ini, yang dijadian alasan pemerintah untuk mengusir rakyat, adalah ilegal dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Padahal ada masalah besar, sebab dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak tersebut, terdapat sedikitnya 33.000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.

(61)

yang mencapai 30 juta hektar (per juni 2012), Kementerian Kehutanan juga memproses pelepasan kawasan hutan mencapai 12 juta hektar di 22 provinsi yang menjadi sasaran ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang.40

Sumber: Forest Watch Indonesia 2011

Pelepasan kawasan hutan besar-besaran di Riau, Kalteng, Maluku dan beberapa provinsi lain disamarkan dengan penunjukan kawasan hutan di Papua yang mencapai 6 juta hektar. Tidak berlebihan bila kecurigaan muncul bahwa penataan ruang yang diwajibkan kepada seluruh daerah ditunggangi oleh pengusaha perkebunan dan

review ke Mahkamah Agung

(62)

pertambangan untuk meloloskan kepentingannya melalui usulan review kawasan hutan ini. Selain modus operandi dengan memanfaatkan proses tata ruang, Kementerian Kehutanan juga telah melepaskan kawasan hutan untuk perkebunan secara langsung hingga 5 juta hektar dan proses izin prinsip untuk perkebunan pada kawasan HPK sebesar 1 juta hektar serta izin pinjam pakai untuk pertambangan yang mencapai 3 juta hektar meliputi izin eksplorasi, prinsip dan produksi. Bila dicermati pada pemberian izin pengelolaan hutan, pelepasan dan pinjam pakai, maka pemerintah Indonesia telah mengalokasikan peruntukan kawasan hutan Indonesia kepada pengusaha hingga 50,4 juta hektar atau 38.4 persen dari luas hutan Indonesia.41

Politik pengelolaan hutan yang transaksional oleh rejim SBY-Boediono melalui moratorium kawasan hutan melalui penerbitan PIPIB (peta indikatif penerbitan izin baru) yang setiap 6 bulan mengalami revisi. Pada modus ini kita melihat bahwa proses moratorium yang seharusnya dijalankan untuk menertibkan pengelolaan kawasan hutan dan penyelesaian konlik, justru mengalami penyimpangan dengan dikeluarkannya beberapa wilayah dari PIPIB pada setiap revisinya. Setidaknya selama tiga kali revisi PIPIB, Menteri Kehutanan telah mengakui pengelolaan oleh pihak ketiga terhadap kawasan hutan seluas 4,2 juta hektar, justru mengabaikan kewajibannya untuk melakukan penegakan hukum dan sanksi kepada pihak ketiga yang sudah berada dalam kawasan hutan.

(63)

Menariknya, moratorium selama dua tahun yang menjadi andalan pemerintah ini, terbukti tidak mampu mengatasi carut marutnya pengelolaan sumber daya alam di sektor kehutanan. Moratorium yang sangat singkat ini dinilai oleh WALHI dan organisasi lingkungan lainnya menjadi kemubaziran karena dia tidak dapat menyelesaikan problem pokok kehutanan yakni tata kelola kehutanan yang tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan, dan konlik tenurial di sektor kehutanan yang tidak terselesaikan.

Tingginya konlik kehutanan menunjukan bahwa buruknya tatakelola hutan di Indonesia. Ini juga bisa diartikan bahwa, tata kelola kehutanan Indonesia masih berpihak kepada kepentingan pemodal, bukan rakyat yang sumber kehidupannya salah satunya ada di hutan.

Bencana Ekologis dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Bencana ekologis merupakan sebuah bencana yang diakibatkan oleh salah urusnya negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Tahun 2012, WALHI mencatat telah terjadi 503 kali banjir dan longsor yang menewaskan 125 orang. Sedangkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang tahun 2012 telah memusnahkan hutan, kebun dan lahan seluas 11.385 Hektar.

Gambar

Gambar 1.1 Siklus Konlik dalam Kurva Tertutup
Tabel 1: Prinsip-Prinsip Dasar Efektiitas Bantuan
Tabel 2: Sistem Pembiayaan Pembangunan Internasional

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil-hasil ini disimpulkan bahwa, pemuatan bahan bakar 6 g dengan pengkayaan 233 U 8 % dapat dipilih untuk dipertimbangkan dalam desain teras RGTT200K lebih detail

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambahkan atau mengembangkan variabel lain selain dari variabel yang digunakan pada penelitian ini yang diduga mempengaruhi

4.5.1.1 Setelah menarik kesimpulan, peserta didik dapat membuat peta pikiran cara makhluk hidup menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dengan tepat.. 4.4.1.1 Setelah

Apabila terjadi perubahan tempat tugas atau status kepegawaian guru antar madrasah, antar jenis pendidikan dalam satu kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, antar

Dalam kegiatan kritik sanad ini dilakukan penilaian pada salah satu jalur sanad yang dipilih, dengan mengemukakan pendapat ulama hadis terhadap setiap periwayat

Pengadaan alat peraga Montessori di Sekolah Dasar nampaknya masih belum menjadi harapan karena ketersediaan alat peraga di Sekolah Dasar sendiri masih perlu mendapat

Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum Perkembangan Sel Betina adala Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum Perkembangan Sel Betina adala untuk memlelajari perkembangan katak