• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Need terhadap Pelayanan Kesehatan

2.5 Konseling dan Test HIV (KTHIV) dan AIDS Sukarela (KTS/VCT) .1 Pengertian KTHIV dan AIDS Sukarela (KTS/VCT) .1 Pengertian KTHIV dan AIDS Sukarela (KTS/VCT)

2.5.6 Sumber Daya Manusia VCT

2.5.7.3 Konseling Pasca Tes HIV

Semua klien/pasien yang menjalani tes HIV perlu menerima konseling pasca tes tanpa memandang apapun hasilnya. Menurut Permenkes RI No.74 tahun 2014, konseling pasca tes adalah konseling untuk menyampaikan hasil pemeriksaan kepada klien secara individual guna memastikan klien/pasien mendapat tindakan sesuai hasil tes terkait dengan pengobatan dan perawatan selanjutnya. Proses ini membantu klien/pasien memahami penyesuaian diri dengan hasil pemeriksaan.

Pesan akan yang berbeda bagi mereka yang dites positif dan mereka yang dites negatif. Jika hasil tes positif, konselor meminta klien apa yang ia rencanakan dalam pengurangan risiko selama sesi pra-tes untuk dilakukan kedepannya serta menghubungkan dengan layanan terkait, seperti perawatan dan pilihan dukungan. Konselor harus mengingatkan klien untuk menguji ulang (dikarenakan periode

jendela) dan mengurangi risiko perilakunya jika ia menerima hasil tes negatif (Lamptey, 2004).

Petugas yang memberikan konseling pasca-tes sebaiknya orang yang sama dengan orang yang memberikan konseling atau informasi pra tes. Dalam hal konseling tidak dapat diberikan oleh orang yang sama maka dapat ditawarkan petugas pengganti (Kemenkes RI, 2013). Hasil dari konseling pasca tes yang dilakukan konselor mendokumentasikan dalam buku kunjungan klien, formulir ini dapat dibuat oleh masing-masing layanan VCT.

Menurut Permenkes RI No.74 tahun 2014, proses konseling pasca tes tetap dilanjutkan dengan konseling lanjutan yang sesuai dengan kondisi klien/pasien yaitu antara lain: konseling HIV pada ibu hamil, konseling pencegahan positif, konseling adherence pada kepatuhan minum obat, konseling HIV pada pengguna napza, konseling pasangan, konseling keluarga, konseling pada klien/pasangan dengan gangguan jiwa, konseling pada warga binaan pemasyarakatan, konseling pengungkapan status, konseling gizi, konseling yang berkaitan dengan isu gender, konseling paliatif dan dukacita, konseling pada gay, waria, lesbian, dan PSK. 2.6 Lelaki Seks Lelaki (LSL)

Terminologi men who have sex with men atau MSM dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa memandang identitas seksual mereka. Ini digunakan karena hanya sejumlah kecil dari laki-laki terlibat dalam perilaku seks sesama jenis yang didefinisikan sebagai gay, biseksual atau homoseksual tetapi lebih tepat mengidentifikasi diri menggunakan identitas dan perilaku lokal sosial dan seksual. Mereka tidak

menganggap hubungan seksual mereka dengan laki-laki lain dalam terminologi identitas atau orientasi seksual. Banyak yang berhubungan seks dengan laki-laki mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual bukannya homoseksual atau biseksual, terutama bila mereka juga berhubungan seks dengan perempuan, menikah, hanya memainkan peran sebagai pihak yang penetratif dalam anal seks, dan/atau berhubungan seks dengan laki-laki demi uang atau kesenangan (Demartoto, 2010).

Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki menjadi terminologi yang populer dalam konteks HIV dan AIDS dimana ia digunakan karena menggambarkan perilaku yang menempatkan mereka dalam risiko terinfeksi. Telah menjadi perdebatan bahwa terminologi tersebut terlalu terfokus pada perilaku seksual dan tidak mencukupi pada aspek lain seperti emosi, hubungan, dan identitas seksual diantara mereka yang juga merupakan determinan dari infeksi.

Sejak tahun 1990 para epidemiolog menciptakan terminologi men who

have sex with men atau MSM dalam rangka mempelajari penyebaran penyakit

menular diantara MSM terlepas dari apa identitasnya. Terminologi ini mampu menangkap lebih banyak ekspresi perilaku seksual antar lelaki yang tidak hanya sebatas homoseks atau gay (UNAIDS dalam Susanti, 2014). Sejak saat itu frase MSM (yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi LSL) lebih populer digunakan sebagai cara membicarakan perilaku seks antar lelaki dari pada istilah homoseksual atau gay. UNAIDS dalam Susanti (2014) menyatakan bahwa istilah LSL digunakan sebagai istilah penggantian “homoseks atau gay” yang dalam

banyak konteks sosial-budaya tidak dikenal, tidak berarti, sulit diterjemahkan dan dalam lapangan HIV dan AIDS cenderung menstigma kelompok tertentu.

LSL dapat termasuk yang berikut ini:

1. Laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain.

2. Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya berhubungan seks dengan perempuan.

3. Laki-laki yang berhubungan seks baik dengan laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan kesenangan.

4. Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau karena mereka tidak mempunyai akses untuk seks dengan perempuan, misalnya di penjara, ketentaraan (Demartoto, 2010).

Beberapa laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual atau biseksual kadang-kadang berhubungan seks dengan laki-laki untuk kesenangan, biasanya karena sulit mengakses perempuan. Ini bisa disebabkan karena masyarakat yang konservatif yang dengan ketat membatasi segregasi antara laki-laki dan perempuan, atau berada pada lingkungan yang seluruhnya laki-laki-laki-laki dalam waktu yang lama, seperti di penjara, lingkungan militer, lingkungan buruh migran laki-laki, dan institusi pendidikan khusus laki-laki. Karena sulit mengakses perempuan, laki harus menyalurkan kebutuhan seksual mereka dengan laki-laki lain, tanpa membuat mereka mengidentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual (Demartoto, 2010).

Beberapa laki-laki lebih senang berhubungan seks hanya dengan laki-laki tapi tekanan untuk menikah dan membina keluarga membuat mereka

berhubungan seks dengan perempuan. Sebagian lebih dengan laki-laki tetapi tidak menolak perempuan dan sebaliknya. Yang lain lebih senang berhubungan seks hanya dengan perempuan tetapi harus berhubungan seks dengan laki-laki karena uang atau karena mereka tidak bisa mendapat akses ke perempuan (Demartoto, 2010).

Perbedaan antara Lelaki Seks Lelaki dengan gay dan waria dapat diamati. Sebenarnya orientasi seksual mereka tidak memiliki perbedaan, mereka tertarik pada sesama jenis. Hanya saja ada beberapa hal yang membuat ketiganya berbeda satu sama lain. Menurut Maryani (2014), Lelaki Suka Lelaki atau sering disebut juga Gay adalah istilah laki-laki yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama laki-laki atau disebut juga laki-laki yang mencintai laki-laki secara fisik, seksual, emosional ataupun secara spiritual. Secara psikologis, gay adalah seorang laki-laki yang penuh kasih. Mereka juga rata-rata mempedulikan penampilan, dan sangat memperhatikan apa-apa saja yang terjadi pada pasangannya. Ciri-ciri gay menurut Ardiana (2012) yaitu:

1) Umumnya mereka merupakan golongan yang tertutup, hanya sedikit dari mereka yang mengakui identitasnya sebagai gay. Mereka cenderung terbuka hanya dalam kalangan tertentu saja, misalnya sesama homoseks, keluarga, atau teman dekat.

2) Umumnya mereka sudah memiliki pasangan tetap masing-masing.

3) Pasangan gay umumnya memiliki peran masing- masing dalam melakukan hubungan seksual, yaitu ada yang berperan sebagai lelaki (partner penetratif) dan ada yang berperan sebagai perempuan (partner reseptif).

4) Biasanya kaum gay memiliki gaya metroseksual.

Berbeda halnya dengan kaum waria di kota-kota besar pada umumnya sudah tidak tertutup lagi. Menurut Ardiana (2012), adapun ciri-ciri umum dari seorang waria adalah:

1) Memiliki peran sebagai seorang perempuan (partner reseptif) dalam melakukan hubungan seksual.

2) Berdandan layaknya seorang perempuan.

3) Memiliki sifat feminin layaknya seorang perempuan.

4) Melakukan hubungan seks dengan laki-laki demi mendapatkan uang (pekerja seks). Selain itu seorang waria umumnya sudah memiliki pelanggan tetap.

Menurut Susanti (2014), perilaku seksual yang dilakukan oleh LSL yaitu: 1. Oral erostism : segala sesuatu yang berkaitan dengan mulut misalnya

memasukkan penis kedalam mulut dan menggunakan bibir atau lidah dan mulut untuk menggelitik.

2. Anal erotism : berhubungan segala sesuatu dengan anus atau dubur yaitu

bergantian melalukan senggama melalui dubur.