• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHA DAP CERITA NOVEL “HIDAMARI

2.3 Konsep Ajaran Konfusianisme

Ajaran konfusianisme mulai masuk ke Jepang pada abad ke-6. Ajaran ini

mulai masuk ke Jepang ketika pangeran shotoko mengirim wakil-wakilnya untuk

belajar di China. Sepulang dari China mereka membawa banyak ilmu

pengetahuan China salah satunya adalah ajaran konfusianisme. Nilai-nilai

konfusius menjadi jiwa dan karakter Jepang hingga kini dan menjadikan jepang

Masyarakat Jepang masih memegang erat nilai-nilai konfusianisme yang

mengajarkan etika/moral dan mementingkan akhlak yang mulia. Ajaran ini

merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajarkan bagaimana seharusnya

manusia bertingkah laku. Bagi masyarakat Jepang ajaran konfusianisme ini

dianggap penting sebagai dasar dalam menjalankan kehidupan, terutama yang

berhubungan dengan alam dan manusia. (Nosco dalam chang and kalmanson

,2010:57) .

Dalam kitab Analects atau disebut juga kitab Lun Yu (Saputra: 2002), Berikut

nilai-nilai ajaran dari Konfusius, yaitu :

1. Ren (Cinta kasih/kasih sayang)

Menurut konfusius manusia yang bermatabat adalah manusia yang memiliki “Ren”. Konsep Ren merupakan pusat kualitas moral manusia, intisari dari cinta terhadap sesama, perikemanusiaan, hati nurani, keadilan,

halus budipekerti, dan kasih sayang. Cinta kasih itu adalah mengendalikan

diri pulang kepada kesusilaan dan tergantung kepada usaha diri sendiri.

Seseorang yang berperi cinta kasih rela menderita lebih dahulu dan

membelakangkan keuntungan. Seseorang yang berperi cinta kasih ingin

dapat tegak , maka berusaha agar orang lain pun tegak ; ingin maju maka

berusaha orang lain pun maju. Sikap saling mengasihi mendasari

seseorang yang memiliki Ren pastilah mempunyai kemampuan yang baik

dalam memikirkan keadaan orang lain dan juga mampu mengetahui apa

yang tidak diinginkan oleh orang lain karena ia lebih dahulu mengetahui

kesanggupan untuk mencapai lima hal di dunia, yaitu hormat, lapang hati,

dapat dipercaya, cekatan, murah hati.

2. Yi (Kebenaran)

Sifat mulia pribadi seseorang dalam solidaritas serta senantiasa membela

kebenaran. Konsep ini juga bisa berarti “Apa yang sebaiknya dilakukan pada suatu situasi tertentu”

3. Li (Kesusilaan)

Li merupakan kepatutan atau kepantasan perilaku terhadap orang lain.

Pengertian ini memiliki arti luas yang meliputi sifat mulia pribadi

seseorang yang sopan santun, etika, moral social, tata krama dan budi

pekerti. Setiap orang memperlakukan sesama dengan kesusilaan dan

bukan karena pertimbangan yang lain.

4. Zhi (Bijaksana)

Sifat mulia pribadi seseorang yang arif bijaksana dan penuh pengertian.

Konfusius merangkaikan munculnya kebijaksanaan seseorang dengan

selalu sabar dalam mengambil tindakan, penuh persiapan, melihat jauh

kedepan, serta memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Pengetahuan diperoleh dengan memperlajari fakta-fakta dan peristiwa,

tetapi kebijaksanaan itu berkembang dari pengalaman batin. Yang paling

bermutu dalam hidup adalah kebijaksanaan.

5. Xin (Layak dipercaya)

Manusia yang konsisten dengan kata-katantanya maka ia layak dipercaya.

Sifat pribadi seseorang yang selalu percaya diri, dapat dipercaya orang

6. Zhong Shu (Setia & Tepa sarira)

Zhong (忠) terdiri dari huruf (中) yang berarti tengah, tepat dan juga bisa berarti perwujudan. Sedangkan (心) berarti hati, tembusan, sesuai,

berlandas pada hati nurani/ sanu bari. Orang yang berperilaku setia adalah

orang yang memiliki hati tepat di tengah atau hati yang terletak ditempat

semestinya. Maka Zhong artinya perilaku yang tepat, berlandaskan suara

hati nurani dengan mewujudkan dalam segala tindakan. Zhong bertindak

sesuai dengan cinta dan kebaikan, tanpa pamrih dan dengan tulus. Setia

kepada seseorang berarti selalu membimbingny. Zhong juga berarti

kepatuhan/ketaatan-kesetian terhadap tuhan, atasan, teman, kerabat,

negara. Sedangkan Shu ( 恕 ) terdiri dari ( 如 ) yang berarti

seperti/sama/serupa/menurut dengan (心) hati nurani/sanu bari. Shu

berdimensi larangan (negatif) : jangan melakukan sesuatu kepada orang

lain kalau anda tidak mau orang lain melakukan hal itu terhadap anda. Shu

merupakan tindakan bagaimana mengaktualisasikan Ren sebagai cinta.

Perikemanusiaan mengutamakan sikap tenggang rasa. Jadi Shu artinya

sebagai perbuatan tenggang rasa yang disesuaikan dengan suara hati

nurani/ sanu bari. Maka seorang yang sudah kehilangan hatinya tentu

sudah kehilangan kemapuannya untuk tenggang rasa. Manusia harus

melihat dirinya agar dapat mengerti orang lain dan mengarahkan manusia

untuk bertindak sesuai dengan cinta dan kebaikan, dengan tulus

menghormati orang lain. Prinsip Zhong-shu sekaligus merupakan prinsip

mengakibatkan pelaksanaan tanggung jawab serta kewajiban seseorang

dalam masyarakat.

7. Tian Ming (Takdir)

Tian ming merupakan ajaran untuk mempercayai takdir , nasib, titah, dan

kehendak tuhan. Ming berarti mengakui sifat yang tak dapat dielakkan

sebagaimana adanya dunia, dan juga bersikap tidak mengindahkan

keberhasilan atau kegagalan yang bersifat lahiriah dari seseorang.

8. Jun Zi (Manusia budiman)

Seseorang yang memiliki seluruh kebijakan dan keagungannya. Jun zi

merupakan idealisme moral manusia tertinggi yang harus dicapai dalam

konfusianisme.

9. San Gang (Tiga hubungan tatakrama)

Dalam masyarakat pasti diperlukan suatu tata karma hubungan yang

mengatur norma-norma kepantasan hubungan antara anggota masyarakat,

yaitu :

a. Seorang raja dengan para menterinya atau atasan dengan para

bawahannya.

b. Seorang ayah dengan anaknya.

c. Seorang suami dengan istrinya.

10. Wu Lun (Lima Etika)

Lima hubungan norma etika dalam bermasyarakat merupakan bentuk

dasar interaksi manusia .

a. Hubungan antara pimpinan dan bawahan.

c. Hubungan antara orang tua dan anak.

d. Hubungan antara kakak dan adik .

e. Hubungan antara teman dengan teman.

Dalam ajaran Konfusianisme yang sudah dijelaskan diatas, banyak

terdapat nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi masyarakat Jepang dahulu

sampai sekarang. Sosial masyarakat Jepang yang sudah lekat dengan nilai ajaran

konfusius ini hingga sekarang dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari mereka. Untuk menganalisis novel “Hidamari no Kanojo” karya Koshigaya Osamu ini penulis menggunakan ajaran Konfusius sesuai dengan nilai yang akan penulis

analisis yaitu mengenai nilai kesetiaan dan kasih sayang yang juga terdapat dalam

konfusianisme berupa Ren (Cinta kasih/Kasih Sayang) dan Zhong (Setia).

2.4 Studi Pragmatik Sastra dan Semoitik 1. Studi Pragmatik Sastra

Pradopo dalam Wiyatmi (2006:85) mengemukakan bahwa pendekatan

pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk

menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, yaitu berupa tujuan pendidikan,

moral, politik, agama, ataupun tujuan lainnya yang memberikan manfaat bagi

pembaca.

Pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori

resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya sastra tanpa

dekat dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca

(Abrams, 1981: 14-21).

Penggunaan teori pragmatik dalam penganalisisan karya sastra dapat

membantu menentukan apa saja fungsi karya sastra dalam kehidupan masyarakat,

bagaimana penyebaran dan perluasan karya sastra tersebut, serta manfaat yang

dihasilkan oleh karya sastra dalam tatanan kehidupan masyarakat. Selain itu teori

pragmatik juga melihat apa saja tujuan dari pengarang dan karakter dalam karya

sastra guna memenuhi keinginan para pembacanya. Teori pragmatik juga

memungkinkan para kritikus untuk melihat bagaimana tanggapan suatu

masyarakat terhadap suatu karya sastra, serta melihat dampak dan realisasi pada

pembacanya.

Sesuatu yang berguna dan bermanfaat dan yang mendidik kita agar dapat

direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari merupakan nilai pragmatik yang

sangat berperan bagi masyarakat khususnya pembaca. Begitu pula dengan nilai

kesetiaan dan kasih sayang yang berguna bagi pembaca untuk dapat

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pengertian pragmatik yang sudah dijelaskan sebelumnya,

bahwa pendekatan pragmatik dapat bermanfaat bagi pembaca berupa nilai-nilai

moral dan lainnya, maka ajaran konfusianisme dapat dikatakan sebagai nilai

pragmatik, karena nilai-nilai yang ada dalam ajaran Konfusianisme dapat

mendidik dan memberikan manfaat yang berguna bagi pembaca. Nilai-nilai dalam

ajaran konfusianisme yang bermanfaat berupa nilai kesetiaan dan kasih sayang

antara sesame manusia yang meningkatkan solidaritas dan menjalin hubungan

2. Studi Semiotik

Selain pendekatan pragmatik, penulis juga menggunakan teori semiotik

untuk melihat tanda (makna) nilai-nilai dalam novel dan manfaat novel tersebut

bagi para pembaca. Semiotik adalah teori tentang tanda, adapula yang mengatakan

bahwa ini adalah teori tentang gaya bahasa. A. Teeuw (1984: 6) mengatakan

bahwa semiotik adalah tanda sebagai tindakan komunikasi dan kemudian

disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua

faktor dan aspek hakiki, untuk pemahaman gejala sastra sebagai alat komunikasi

yang khas dalam masyarakat.

Semiotik terbagi atas tiga konsep, yaitu :

1. Semiotik pragmatik, berkaitan dengan asal-usul tanda, kugunaan tanda

dalam penerapan, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikannya.

Semiotik pragmatik ini dalam batas perilaku objek.

2. Semiotik sintakis adalah kombinasi tanda tanpa memperhatikan maknanya

ataupun hubungannya terhadap perilaku subjek.

3. Semiotik semantik adalah tanda dalam “arti” yang disampaikan . (http:/id.wikipedia.org/wiki/Semiotika)

Analisis sastra dengan pendekatan semiotik merupakan cara menganalisis

sistem tanda-tanda, setelah menentukan konvensi-konvensi yaitu yang

memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Banyak penikmat karya sastra

sastra. Karena itu, untuk memahaminya kita memerlukan adanya analisis dengan

menguraikan tanda-tanda kata yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Kita akan

bisa memahami sebuah karya sastra bila kita membacanya secara berulang-ulang.

Dengan demikian, penulis akan menggunakan kajian semiotik ini untuk

menjelaskan makna dari nilai pragmatik melalui tanda-tanda terhadap bacaan teks novel “Hidamari no Kanojo” karya Koshigaya Osamu.

2.5 Biografi Pengarang

Koshigaya Osamu adalah seorang penulis novel fantasy yang dilahirkan di

Tokyo pada tahun 1971. Ia memulai debutnya sebagai penulis dengan novel

berjudul Bonus Track yang memenangkan penghargaan khusus dalam ajang

Fantasy Novel Award di tahun 2004. Koshigaya Osamu dikenal sebagai penulis

yang sangat suka menggunakan imajinasi tingkat tinggi dengan memasukkan

sedikit misteri dan keanehan yang tidak terduga bagi pembaca.

Contohnya pada novel “Hidamari no Kanojo”, sebuah novel yang menyandang peringkat pertama dengan title “Novels which Japanese Girls wanted boys to read” Pada tahun 2011. Novel ini juga terjual lebih dari satu juta kopi ekslempar di Jepang pada saat itu juga. Pada novel ini Koshigaya Osamu

menggunakan gaya bahasa yang ringan dan bergenre romantis drama yang

Alasan Koshigaya osamu menjadi penulis adalah karena di Jepang sangat

banyak buku yang membuatnya berpikir salah paham dan membuatnya ingin

menulis sebuah novel dengan ide fantasi luar biasa yang mungkin penulis lain

tidak bisa melakukannya. Karya-karya lainnya dari Koshigaya Osamu adalah

Kaidan Tochuu no Big Noise, Sorairo Memory, Kinyou no baka, sekireisou no

Tamaru.

BAB III

ANALISIS PRAGMATIK TERHADAP CERITA NOVEL “HIDAMARI NO KANOJO”

3.1 Sinopsis Cerita Novel “Hidamari no kanojo ”

“Apakah kau sendiri juga menganggap bertemu denganku adalah takdir?”

Okuda Kosuke dan Watarai Mao, sepasang sahabat semasa SMP yang

bertemu kembali dalam satu proyek pekerjaan. Pertemuan pertama setelah 10

tahun ini mau tak mau membuat Kosuke mengingat kembali masa lalunya saat

bersama Mao. Masa-masa ketika dia membantu Mao dalam memahami pelajaran,

masa-masa dimana Mao menjadi anak yang ditindas teman-teman sekelasnya dan dijuluki sebagai “Anak paling bodoh di sekolah” namun, kenangan masa lalu itu tak terlihat lagi di diri Mao yang sekarang. Mao menjadi seorang wanita karir

yang cantik, cerdas dan pandai berbicara. Perasaan antara keduanya yang telah

terpisah selama sepuluh tahun pun kembali bersemi. Namun Kosuke tidak

mengetahui rahasia yang ada di balik kehidupan Mao yang ceria.

Watarai Mao merupakan jelmaan seekor kucing yang mendapat

kesempatan hidup menjadi seorang manusia. Mao diangkat menjadi seorang anak

oleh orang tua yang disiplin dan penyayang. Mao yang mulai masuk SMP dikenal

sebagai gadis bodoh dan pemalu, itu karena Mao tidak pernah belajar dan

mengerti tentang kehidupan manusia sebelumnya. Mao selalu diganggu dan

teman satu kelas Mao resah terhadap sikap teman-temannya yang selalu

mengganggu Mao. Kosuke pun mulai membela dan menjadi teman dekat Mao.

Setiap pulang sekolah mereka selalu bersama walau itu hanya karena paksaan

sebab Kosuke mulai dijauhi oleh temannya sejak berteman dengan Mao. Kosuke

juga terpaksa mengajari pelajaran-pelajaran yang Mao tidak mengerti, mereka

berdua hanya memiliki satu sama lain saat disekolah, sampai akhirnya Kosuke

menyadari bahwa Mao adalah sosok gadis periang, lucu dan manis. Entah

bagaimana perasaan yang lebih dari sekedar teman itu sempat timbul. Akan tetapi

Kosuke kemudian harus pindah rumah, dan mereka tidak pernah bertemu kembali

sampai 10 tahun.

Pertemuan kembali dalam suatu proyek membuat hubungan mereka

semakin dekat. Perasaan antara Kosuke dan Mao tumbuh pesat karena mereka

menghabiskan waktu bersama. Mereka tidak menunda rencana untuk melanjutkan

ke jenjang pernikahan. Meskipun kedua orangtua Kosuke dengan mudah

menyetujui hubungan mereka, beda halnya dengan orangtua angkat Mao. Kedua

orangtua Mao tidak merestui hubungan mereka. Alasannya, Mao pernah

mengalami amnesia semasa kecilnya. Orang tua Mao khawatir hal tersebut akan

menyusahkan Kosuke nantinya. Kosuke dan Mao yang sama-sama tidak

menerima alasan tersebut akhirnya memutuskan untuk kawin lari.

Kehidupan mereka setelah kawin lari berlangsung bahagia walaupun

dijalani dengan sederhana. Hubungan mereka berdua dengan orangtua mao juga

baik-baik saja. Keduanya beradaptasi dengan kehidupan baru dan saling

memahami satu sama lain. Keduanya menghabiskan banyak waktu bersama

beberapa kejanggalan mulai terungkap dalam rumah tangga mereka. Semakin

menyelidiki kehidupan Mao, semakin Kosuke sadar bahwa dia tidak mengetahui

banyak hal tentang Mao.

Perlahan-lahan sikap Mao yang ceria mulai berubah dan Mao menjadi

tertutup. Sampai akhirnya Mao mulai melemah karena kehilangan satu persatu

nyawanya dan akhinya Mao pergi meninggalkan Kosuke. Kosuke yang

mengetahui rahasia tentang Mao benar-benar terkejut dan tidak percaya. Kosuke

menghubungi semua keluarga Mao dan teman-temannya namun, tak ada satupun

dari mereka yang mengenal Watarai Mao. Seakan-akan Mao tidak pernah ada di

dunia ini, hanya Kosuke yang mengingat akan keberadaan Mao selama ini.

Meskipun Mao sudah pergi Kosuke tetap mencari dan menunggu Mao yang akan

datang kembali kepadanya meski dengan cara yang menyakitkan.

3.2 Nilai Kesetiaan dan Kasih Sayang antara Kosuke dan Mao yang terdapat dalam novel “Hidamari no Kanojo”

3.2.1 Nilai Kesetiaan dan Kasih Sayang sebelum menjalani hubungan percintaan.

1. Cuplikan cerita halaman 17: […“Wow!”

Telingaku menangkap seruan kagum Mao sementara aku sendiri masih berdiam

diri. Tatapannya yang berbinar-binar seperti anak kecil bukan tertuju padaku,

melainkan pada sepiring daging steik di meja.

Ini baru namanya Mao. Bahkan ketika ia dimarahi guru sekalipun, jika

teralihkan. Sifatnya yang kelewat jujur inilah yang membuatku tak pernah

membencinya, meskipun ia sering membuatku jengkel...]

Analisis :

Pada cuplikan teks di atas, terdapat indeksikal nilai pragmatik tentang kasih sayang. Hal ini terlihat dari kalimat “Sifatnya yang kelewat jujur inilah yang membuatku tak pernah membencinya, meskipun ia sering membuatku jengkel.” Kosuke yang tidak pernah marah ataupun benci akan apapun yang dilakukan oleh

Mao. Saat steik sudah dihidangkan, mata Mao tertuju pada Steik tersebut dengan

senyum lebar dan rasa kagum yang terlihat dari wajahnya, sama halnya seperti

Mao ketika dimarahi oleh guru, Mao tidak mendengarkan apa kata sang guru

namun Mao fokus pada kupu-kupu yang lewat di depan matanya. Seharusnya kita

sebagai murid yang baik mendengarkan guru jika dimarahi, namun beda hal nya

dengan Mao yang terlalu jujur dengan apa yang terlintas di depan matanya. Sikap

Mao yang seperti anak kecil dan jujur pada hal apapun tersebut tidak menjadikan

Kosuke menaruh perasaan benci ataupun merasa aneh kepada Mao.

Berdasarkan ajaran konfusianisme terdapat nilai “Ren” yaitu cinta kasih/ kasih sayang, (Saputra:2002) yang merupakan sifat mulia pribadi seseorang

terhadap moralitas, cinta terhadap sesama, perikemanusiaan, hati nurani, keadilan,

halus budipekerti, dan kasih sayang. Konfusius mengajarkan bahwa Ren

merupakan pusat atau dasar etika moral tertinggi manusia selama hidup di dunia.

Jika dilihat dari kata Kasih menurut kamus lengkap bahasa Indonesia

modern (KLBIM : 166) kasih adalah perasaan sayang, cinta, suka dsb.; belas

kasihan; mengasihi; merasa iba hati. Maka cuplikan teks di atas menunjukkan

dengan pengertian kasih sayang yang ada di Indonesia yaitu nilai kasih sayang

yang ditunjukkan oleh Kosuke terhadap Mao saat melihat perilaku Mao yang

kelewat jujur dan membuat jengkel, namun Kosuke tetap tidak bisa membencinya.

Nilai pragmatik yang pembaca dapat jadikan acuan dalam novel ini adalah bahwa

kita tidak boleh membenci seseorang hanya dengan sikapnya yang aneh, terlalu

jujur akan sesuatu hal ataupun hal yang membuat kita jengkel dan marah, karena

setiap orang pasti akan berubah baik itu menjadi lebih bagus ataupun lebih buruk.

Kita harus menerima seseorang apa adanya dan kita harus menyayangi seseorang

dengan tulus.

Berdasarkan analisis di atas, terdapat kesamaan antara pengertian kasih

sayang di Jepang dan pengertian kasih sayang di Indonesia. Jadi, cuplikan teks di

atas tidak hanya masuk dalam kategori kasih sayang yang ada di Indonesia namun

juga masuk dalam kategori kasih sayang yang ada di Jepang.

2. Cuplikan cerita halaman 36-37

[… Tiba-tiba saja Mao yang selama ini ada disampingku sudah menaiki palang

panjatan. Gerakannya ringan dan cepat. Dengan kedua kakinya berpijak di

palang paling atas, dia kembali membuka lembar ujiannya. “Hei!Bahaya! Awas jatuh!”

Mao mendongak kearah langit biru. Daun-daun pohon ginko berguguran

terkena tiupan angin. Karena posisi kedua kakinya terbuka lebar, bagian dalam

rok Mao terlihat jelas. Bahkan dengan celana pendek yang dikenakannya, aku

masih dibuat malu oleh pemandangan langkahnya yang sembrono. Lebih dari itu, aku tak sanggup melihat kalau dia sampai jatuh. “Sudah! Jangan berdiri lagi di

sana! Kenapa sih kau harus selalu melakukan hal-hal berbahaya? Cobalah

bersikap/normal!”

“Tenang, tidak berbahaya kok. Nih, lihat!” Mao kembali berjalan-jalan diatas palang/dengan/ahli.//Kakiku/serasa/beku.

“Kubilang bahaya! Cepat turun! Kalau sampai jatuh dan mati mana bisa pergi ke Tokyo!?”

“Gawat dong.” Mao berhenti melangkah, lalu perlahan-lahan turun.

“Terimakasih,” kata Mao tiba-tiba saat separuh tubuhnya sudah mencapai tanah.

“Untuk/apa?”

“Karena tidak pernah mengabaikanku.” Mendadak serasa sensasi hangat dalam tubuh yang belum pernah kualami sebelumnya. Tahu-tahu aku sudah menempelkan bibirku ke bibir Mao…]

Analisis:

Pada cuplikan teks di atas, terdapat indeksikal nilai pragmatik tentang

kasih sayang. Hal ini terlihat dari percakapan antara Kosuke dan Mao. Ketika

Kosuke mengatakan “Hei! Bahaya!Awas jatuh!” Terlihat bahwa Kosuke merasa khawatir dan takut Mao terjatuh. Saat mereka sedang berbincang Mao yang suka

melakukan hal-hal sembrono pun mulai memanjat palang tiang yang tinggi.

Kelakukan Mao tersebut membuat hati Kosuke gelisah karena takut Mao akan

jatuh dan terluka. Kosuke yang khawatir Mao akan terjatuh menyuruh Mao untuk

turun namun Mao tidak mengindahkannya dan bersikeras bahwa hal yang

dilakukannya tidak berbahaya. Kosuke pun mulai mengatakan hal yang ditakutkan

universitas Tokyo. Hal itu membuat Mao menuruti kata Kosuke dan

perlahan-lahan menuruni palang tersebut. Sikap kasih sayang yang ditunjukkan oleh Mao

terlihat ketika Mao mengatakan “Terimakasih, untuk tidak pernah

mengabaikanku”. Mao merasa bahwa Kosuke tidak pernah mengabaikannya

sekalipun saat duka ataupun suka.

Ini sesuai dengan ajaran Konfusianisme (Saputra:2002) tentang etika

moral manusia yaitu “Ren”(Cinta kasih) yang merupakan sifat mulia pribadi seseorang terhadap moralitas, cinta terhadap sesama, perikemanusiaan, hati

nurani, keadilan, halus budipekerti, dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh

Kosuke yang tidak pernah mengabaikan Mao kapanpun itu. Kosuke merasa

khawatir dan takut Mao akan terjatuh ataupun terluka.

Jika dilihat dari kata Kasih menurut kamus lengkap bahasa Indonesia

modern (KLBIM : 166) kasih adalah perasaan sayang, cinta, suka dsb.; belas

kasihan; mengasihi; merasa iba hati. Maka cuplikan teks di atas menunjukkan

bahwa kasih sayang yang terdapat di Jepang menurut Konfusius hampir sama

dengan pengertian kasih sayang yang ada di Indonesia yaitu nilai kasih sayang

yang ditunjukkan oleh Kosuke yang tidak pernah mengabaikan Mao dan selalu

perhatian. Nilai pragmatik yang pembaca dapat jadikan acuan dalam novel ini

Dokumen terkait